Anda di halaman 1dari 2

Mengkonversi Bank Konvensional ke Sistem Syariah 1

Kategori : Bank Syariah


Jumat, 11 Januari 2002

Sumber : Republika Online

Mengkonversi bank konvesional menjadi bank yang syariah kini bak tren saja. Lihatlah, setelah Bank Mandiri
Syariah, bank IFI Syariah, Unit BNI yariah, bakal menyusul lagi Unit Bank BRI Syariah dan Danamon
Syariah. Kabar terakhir, pergerakan Muhammadiyah membeli bank konvensional yang asetnya senilai Rp
170 miliar. Bank Muhammadiyah, begitu nama yang disematkan untuk bank baru itu, nantinya juga akan
beroperasi berdasarkan syariah.

Dalam waktu-waktu yang akan datang, pelan tapi hampir pasti masih akan banyak lagi bank-bank yang salih
rupa menjadi bank berprinsip syariah. Ini tentu memberri angin sejuk di tengah kemelut stagnannya
perbankan di tanah air.

Namun terlepas dari pengalihan bentuk operasi ini, bagaimana sebetulnya bank berbasis bunga bisa
nglungsungi menjadi bank yang berbasis syariah? Menurut pakar perbankan syariah, Zainul Arifin (Direktur
Eksekutif Tazkia Istitute, Red), prosedur berganti sistem menjadi syariah tidak terlalu sulit. Sekurangnya ada
dua alternatif dalam melakukan konversi.

Pertama, menghilangkan konsep dari setiap bentuk pendapatan atas simpanan dan pinjaman, dan hanya
mengijinkan bank untuk mengenakan biaya pelayanan (service charge) untuk menutup pengeluaran
perbankan. Cara ini memang akan berdampak kegiatan bank tidak profittable. Bank bisa-bisa berubah fungsi
sebagai lembaga pelayanan sosial yang kurang menarik khalayak dan utamanya investor karena tidak
menghasilkan laba. Konsekuensi logisnya, preferensi orang untuk menyimpan dananya di bank itu sulit
diharapkan.

Cara perubahan drastis ini, menurut Zainul juga kurang mendukung proses pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi. Pasalnya, mayoritas penabung adalah mereka yang berpenghasilan rendah, sedang peminjam
cenderung berasal dari kalangan usaha yang lebih makmur. Di bawah sistem ini, pengusaha dapat
menikmati dana murah yang dananya disediakan depositor berpenghasilan rendah. Sementara dengan dana
itu, dia dapat memutarnya untuk kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak keuntungan.

Alternatif kedua, perbankan syariah harus dijalankan dengan berpegang prinsip: bagi hasil dan risiko. Prinsip
ini sudah dikenal luas dengan profit and loss sharing). Kenapa mencari keuntungan? Islam tidak melarang
usaha untuk menghasilkan laba. karena itu, tidak ada alasan untuk menolak melakukan kemitraan dengan
pengusaha dan menyertakan dana tanpa memungut bunga, tapi dengan menyodorkan skim bagi hasil.

Di bawah alternatif ini, bank menempatkan diri sebagai patner berbagi dalam untung dan rugi.
Konsekuensinya, karena bank tidak mendapatkan hasil yang tetap seperti halnya perbankan konvensinal,
bank bisa saja merugi sebagaimana bisa untung. Dari sisi pengusaha, dengan bermitra dengan bank
berbasis bagi hasil, mereka tidak lagi dipatok untuk membayar dana yang pasti untuk periode tertentu,
seperti saat mereka dikejar-kejar untuk membayar bunga pinjaman bank. Tentu saja, ini sangat
menguntungkan, apalagi bila kondisi ketidakpastian menyergap, sehingga semua bisnis risiko untuk
memperoleh laba menjadi lebih kecil dibanding dalam kondisi normal.

Bagi deposan? Mereka juga diuntungkan. Mungkin tidak sebesar yang dijanjikan dan biasa diobral oleh bank-
bank konvensional yang saat ini berlomba menggaet sebanyak-banyaknya dana murah. Deposan bank
syariah tidak menimati bunga, lagi-lagi dihadapkan pada peluang untuk mendapatkan bagi hasil setelah
dana yang disimpan diputar oleh bank kepada para pengusaha atau investor. Di sinilah semua pihak terkait
dapat menerima manfaat dan menerima perlakuan adil sebagaimana yang diingingkan Islam.

Prosedur umum

Proses konversi bank konvensional menjadi bank berbasis syariah telah diatur oleh Undang-undang. Merujuk
pada UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan Undang-undang No 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, keduanya memberikan peluang bagi beroperasinya bank dengan sistem syariah. Itu bisa
dilakukan dengan pendirian kantor-kantor bank syariah baru atau mengkonversi dari kantor pusat bank
konvensional (bank syariah tunggal) maupun melakukan dua sistem kegiatan usaha perbankan
(konvensional dan berdasarkan prinsip syariah sekaligus) atau lebih sering disebut dual banking system.

Untuk yang terakhir bisa dilakukan dengan konversi dari kantor cabang bank konvensional, pembukaan
kantor cabang syariah baru dari bank konvensional atau melalui peningkatan status dan konversi kantor
cabang pembantu bank konvensional menjadi kantor cabang syariah.

Salah satu syarat untuk memperoleh izin prinsip atas pendirian kantor bank syariah adalah rencana
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban nasabah bank yang tidak bersedia menjadi nasabah berdasarkan
prinsip syariah. Setelah mendapatkan izin usaha, bank umum syariah baru, bank syariah hasil konversi serta
kantor cabang syariah baru wajib segera melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah. Bank
Indonesia akan membatalkan izin tersebut bila dalam batas waktu 60 hari setelah hak itu diberikan bank
belum melakukan kegiatan usaha.

Setelah itu, bank umum syariah atau kantor cabang syariah hasil konversi harus menyelesaikan hak dan
kewajiban kreditor dan debitor dari bank konvensional.
Ini, kata Zainul, bisa dilakukan dengan tiga cara. Tahap pertama, melakukan perubahan perjanjian dari
nasabah bank konvensional menjadi nasabah bank syariah, bagi mereka yang bersedia menjadi nasabah
berprinsip syariah. Bila nasabah tidak menghendaki, tahap kedua, memindahkan hak dan kewajiban mereka
ke kantor cabang bank konvensional lainnya pada bank yang sama. Nasabah yang tidak menghendaki
penyelesaian melalui dua cara itu, harus dicarikan alternatif penyelesaian ketiga yang mereka sepakati.

Setelah penyelesaian hak dan kewajiban itu, barulah bank memikirkan konversi penting lainnya.
Sekurangnya ada dua hal, konversi pasiva dan konversi aktiva.

Anda mungkin juga menyukai