Anda di halaman 1dari 2

Mengkonversi Bank Konvensional ke Sistem Syariah 2

Kategori : Bank Syariah


Senin, 21 Januari 2002

Tulisan Oleh : Zainul Arifin (Direktur Eksekutif Tazkia Institute)

Sumber : Republika Online

Mengkonversi bank konvensional menjadi bank yang syariah kini bak tren saja. Lihat saja, setelah Bank
Mandiri Syariah, Bank IFI Syariah, Unit BNI Syariah, bakal menyusul lagi Unit Bank BRI Syariah dan
Danamon Syariah.

Kabar terakhir, pergerakan Muhammadiyah membeli Bank Swansarindo, bank yang berbasis di sektor
properti, yang asetnya senilai Rp 170 miliar. Bank Persyarikatan, begitu nama yang disematkan untuk bank
baru itu, nantinya juga akan beroperasi berdasarkan syariah. Tulisan kedua ini akan memfokuskan pada
konversi dua sisi vital: pasiva dan aktiva.

Mengkonversi pasiva

Dalam bank komersial, sisi pasiva paling tidak terdiri dari setoran modal, cadangan, giro, tabungan, deposito
berjangka, penempatan bank lain, pinjaman antar bank dan pinjaman dari bank sentral. Menurut pakar
perbankan Islam, Zainul Arifin, seluruh item-item tersebut tidak akan diubah ketika bank tersebut berubah
wajah dari semula berbasis bunga ke sistem syariah.

Bedanya, kata mantan petinggi BMI itu, hanya dalam penentuan bagi hasil untuk para pemegang saham.
Dalam sistem lama (bunga), para pemegang saham akan memperoleh hasil dalam bentuk sisa laba setelah
bunga bagi semua jenis simpanan (deposit) dan pinjaman dibayarkan.

Sedang dalam sistem bagi hasil tidak satupun dari item pasiva berhak menerima alokasi hasil yang sudah
ditentukan lebih dulu. Dengan kata lain, pemegang saham hanya akan memperoleh bagian dari keuntungan
yang benar-benar diperoleh dari bank. Berikut diuraikan untuk masing-masing item.

Giro

Giro dalam bank yang berprinsip syariah sama saja dengan giro dalam perbankan konvensioanl. Bank tidak
membayar apapun kepada pemegangnya, malah mengenakan biaya layanan (service charge). Selanjutnya
dana ini akan dipakai oleh bank untuk antara lain membiaya operasi bagi hasil. Sedang pembayaran
terhadap giro, dijamin sepenuhnya oleh bank dan dilihat sebagai jaminan depositor kepada bank. Bentuk
giro semacam ini di Iran dikenal dengan qard.

Beberapa ulama memandang giro ini sebagai kepercayaan karena dana diterima bank sebagai simpanan
untuk keamanan (wadiah yad al dhamanah).

Tabungan

Berbeda dengan giro, tabungan relatif fleksibel menyangkut berapa dan kapan bisa ditarik oleh nasabah. Hal
lain, tabungan di bank konvensional memiliki hasil yang sudah pasti (fixed return). Untuk bank yang
menjalankan prinsip syariah, hasil pasti ini yang tidak ada. Sebagai gantinya, penabung memperoleh hasil
yang berfluktuasi sesuai dengan hasil yang diperoleh bank. Di sini ditampakkan, bahwa penabung pun ikut
menanggung renteng risiko dengan bank.

Meski demikian, dalam kenyataannya ada nuansa yang berbeda dari praktek perbankan Islam. Zainul
mencontohkan, untuk kasus di Malaysia dan di Indonesia, berbeda. Bank Islam Malaysia Berhard, terdapat
dua jenis tabungan: wadiah dan tabungan mudharabah.

Di sini, Bank Muamalat Indonesia menentukan penabung bisa memperoleh bagian keuntungan dari usaha
bank dari waktu ke waktu di samping adanya penjaminan pengembalian pokoknya secara penuh. Di Iran
ketentuan menyangkut penabung berbeda lagi. Di negeri para mullah itu, tabungan dianggap sebagai qard
yang tidak memperoleh hasil, tapi dijamin pembayarannya bila penabung menarik dananya.

Deposito

Jenis jasa perbankan ini, dalam sistem bank konvensional akan memperoleh dua keuntungan: jaminan
pembayaran pokok ditambah hasil bunga yang tingkatnya sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam bank
berbasis syariah, simpanan deposito akan diberikan hasil dari laba/rugi bank. Karenanya, deposito sering
disebut sebagai rekening investasi. Rekening-rekening itu dapat mempunyai tanggal jatuh tempo yang
berbeda-beda.

Ketiga jenis simpanan ini dalam bank syariah menjadi sumber dana utama bagi kegiatan pembiayaan
(financing). Ada juga simpanan investasi khusus yang dipakai untuk membiayai sebuah proyek dimana
hasilnya tergantung seberapa sukses proyek menghasilkan, berikut rasio bagi hasil (mudharabah fee) yang
disetujui bersama antara bank dan depositor.

Rekening antar bank

Dalam bank konvensional, rekening-rekening simpanan dan pinjaman antar bank -- termasuk pinjaman dari
bank sentral -- semua diatur berdasarkan bunga. Bila bank yang bersangkutan hendak dikonversi menjadi
bank bebas bunga, maka sistem ini juga harus ditinggalkan. Sebagai gantinya bisa diajukan alternatif sistem
berdasarkan qardh al hasan, wadiah atau bagi hasil (mudharabah).

Yang menjadi soal, konversi ini bisa saja ditolah oleh bank koresponden konvensional. Mereka enggan
menawarkan jasa mereka tanpa bunga. Namun sekarang perbankan konvensional sudah mulai terbiasa
dengan instrumen bank Islam. Alternatif yang lain, bank Islam bisa memperoleh layanan dari bank-bank itu
dengan perjanjian timbal balik.

Perjanjian itu bisa menyangkut empat poin: Pertama, bank syariah menyimpan sejumlah uang tunai di
rekening koran bank koresponden. Kedua, bank syariah segera mengoreksi saldo debet yang terjadi di
rekening koran mereka. Ketiga, bank koresponden tidak akan membebani bunga saldo debet dari bank
syariah, sebaliknya mereka memanfaatkan saldo kredit dari bank syariah tanpa membayar kompensasi.
Keempat, untuk keperluan L/C impor, bank koresponden hanya akan mendebet rekening bank syariah
sebesar cash margin tertentu. Dengan cara itu, bank syariah tidak perlu mengkredit rekeningnya sebsar nilai
L/C yang dibuka.

Mengkonversi aktiva

Dalam sisi aktiva bank konvensional, ada item-item berikut: saldo kas, giro pada bank sentral dan bank lain,
pembelian surat berharga, kredit dan investasi. Berikut akan dijelaskan mekanismenya.

Saldo pada bank sentral dan bank lain

Saldo pada bank sentral dan bank lain tidak berbunga. Karenanya dapat ditanamkan kembali seperti saat
bank dikonversikan menjadi bank bebas bunga. Sedang untuk simpanan di bank lain (setelah konversi)
hanya boleh menerima bagi hsil dari penerima simpanan dan bukan bunga. Memelihara saldo simpanan pada
bank berbasis bunga tidak diperkenankan. Jadi membayar tunai wesel sebelum jatuh tempo dipebolehkan
sesuai dengan kebutuhan masarakat bisnis.

Discounting bills

Bentuk ini dilarang dalam bank berbasis syariah. Sebagai gantinya, penarik bill menandatangani sekaligus
dua perjanjian dengan bank secara terpisah: (1) perjanjian pertama menunjuk bank untuk melakukan
collection jumlah dari pihak tertarik pada saat jatuh tempo; (2) perjanjian kedua untuk menerima pinjaman
(qard) dari bank dalam jumlah yang sama.

Surat berharga pemerintah

Umumnya bank berbasis bunga memegang surat-surat berharga dari pemerintah baik dalam bentuk
goverment securities maupun debentures. Bila ia berubah menjadi bank bebas bunga, maka pilihannya,
pemerintah harus menerbitkan sertifikat berbasis bagi hasil. Debenture dari lembaga bisnis bisa diganti
dengan tipe baru dari surat berharga dari perusahaan (corporate securities) dengan jangka waktu tertentu
dengan memberikan pembagian laba kepada pemegangnya dan bukan pendapatan pasti.

Kredit yang diberikan

Setelah menjadi bank syariah, porsi hasil dari pinjaman perannya sangat kecil karena tidak ada hasil yang
diperbolehkan atas pinjaman itu. Pinjaman hanya dipakai untuk membantu orang lain yang tidak
memperoleh pembiayaan dari sumber lain. Ada tiga pinjaman yang bisa disediakan oleh bank syariah.
Pertama, pembiayaan partisipatif melalui mekanisme bagi hasil. Kedua, Fasilitas pembiayaan berdasarkan
prinsip kontrak jual beli dan kontrak sewa. Ketiga, pinjaman kebijakan yang dikenal dengan qord al hasan
yang tak membebankan bunga (non interest loan).

Anda mungkin juga menyukai