Anda di halaman 1dari 2

Peluang Bank Syariah Menggerakkan Sektor Riel

Kategori : Bank Syariah


Senin, 18 Maret 2002

Tulisan Oleh : Achmad Baraba (mantan praktisi Bank Syariah, konsultan pada Prasetio Utomo-Andersen)

Sampai hari ini dunia perbankan masih digugat oleh berbagai pihak karena belum dapat menjalankan fungsi
utamanya sebagai penggerak roda perekonomian secara optimal sebagaimana diharapkan atau yang lebih
dikenal sebagai fungsi intermediasi.

Hal ini tergambar dari rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga masih berkisar pada angka dibawah 40 % ,
jauh dibawah standar yang ditetapkan Bank Indonesia untuk ukuran tingkat kesehatan bank. Padahal salah
satu tujuan Rekapitalisasi Perbankan adalah untuk menjadikan bank-bank sehat setidaknya dari ukuran
kecukupan modal sehingga kembali dapat beroperasi sebagai katalis pemulihan ekonomi yang pada giliran
nya akan memulihkan kondisi sosial ekonomi secara bertahap dan terarah.

Salah satu penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan dan bahkan menjadi krisis multidimensi adalah
tidak kokohnya landasan etika bisnis yang dibangun dimasa lalu bahkan bisa dibilang hampir dikatakan
terjadi erosi moral diberbagai lapisan atau strata sosial baik formal maupun informal. Kasus KKN menjadi
perbincangan umum dan bahkan seolah menjadi suatu yang sudah sangat sulit jangankan dihilangkan
sekalipun hanya ingin mengurangi. Perbedaan terletak pada cara dan gaya saja antara rezim “Orba” dan
rezim “Reformis” yang ujung-ujungnya tetap menempatkan Indonesia masih dalam posisi diatas dalam
urutan negara paling korup didunia dibanding dengan Cina yang sudah mulai secara serius memberantas
KKN tersebut sesuai dengan hasil survey PERC yang berpusat di Hongkong baru-baru ini.

Upaya pemulihan sektor perbankan seringkali terlihat berhadapan dengan kondisi yang memang sudah
sangat parah sehingga penyelesaian bank yang sudah di BBO, BBKU, BTO maupun BDL khususnya terhadap
pemilik lama menghadapi berbagai kendala tehnis maupun non tehnis khususnya perbenturan kepentingan
yang luar biasa besar dan sarat dengan muatan politis. Disisi lain bank-bank yang sudah direkap atau yang
tidak direkap dapat berjalan sebagai bank secara”artifisial” artinya fungsi bank sebagaimana dikehendaki
oleh UU Perbankan belum dapat berjalan secara optimal karena bank-bank dengan berbagai alasan masih
lebih suka menyimpan dananya di SBI dengan suku bunga yang memang secara sengaja dibuat attractive
dengan alasan klasik dalam rangka pengendalian moneter khususnya tingkat inflasi.

Kontroversi antara sektor moneter dan sektor riel dalam penentuan kebijakan makro ekonomi tidak akan
pernah terselesaikan selama ketakutan akan kenaikan jumlah uang yang beredar akibat dibukanya secara
lebar-lebar kran kredit dari perbankan dianggap hanya akan menaikkan tingkat inflasi tanpa pernah
diperhitungkan disisi lain toh pemerintah suka atau tidak suka harus menaikkan berbagai tarif dan harga
barang-barang publik seperti BBM, Listrik dll dalam rangka menekan defisit APBN yang pada gilirannya akan
menjadi “cost push inflation”, artinya perlu dikaji secara mendalam kegigihan otoritas moneter
mempertahankan tingkat sukubunga yang tinggi apa benar secara praktis menjadi solusi terbaik.

Dari situasi ekonomi yang terkesan “deadlock” tersebut meskipun nyatanya perekonomian tetap bergerak
terbukti dengan pertumbuhan yang mencapai lebih dari 3% untuk tahun 2001 akibat masih adanya sisa
kekuatan riel pada masyarakat khususnya UKM sehingga masih dapat memicu pertumbuhan meskipun kecil ,
menyebabkan perlunya langkah – langkah yang lebih berani untuk menyiasati kondisi tsb. agar tidak
berkelanjutan karena kapasitas ekonomi tidak dapat ditingkatkan akibat ekspansi ekonomi tidak menemukan
bahan bakar yang pas untuk tujuan menggerakkan sektor riel.

Dalam hal ini sebenarnya yang belum disadari atau mungkin dilupakan banyak pihak khususnya pengambil
kebijakan ekonomi adalah adanya Bank Syariah yang beroperasi dengan tujuan utama menggerakkan
perekonomian secara produktif dan akan sungguh-sungguh menjalankan fungsi sebagai intermediasi karena
secara syariah tugas bank selaku mudharib (pengelola dana) harus menginvestasikan pada sektor ekonomi
secara riel untuk kemudian berbagi hasil dengan pemilik dana (sahibul mal) sesuai dengan nisbah yang
disepakati. Hal ini terbukti meskipun market share Bank Syariah masih sangat kecil ( kurang dari 1 % )
namun rasio pembiayaan dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 % yang berarti sungguh –sungguh
menjalankan fungsi intermediasinya.

Masih kecilnya market share tsb.disebabkan antara lain bank syariah mempunyai keterbatasan dana baik
dari segi permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena alasan-alasan :
a) pemahaman masyarakat khususnya ummat terhadap bank syariah masih rendah
b) keterbatasan jaringan dan jenis pelayanan yang dimiliki
c) kurangnya dukungan yang nyata dari kekuatan ummat islam itu sendiri khususnya dari kalangan ulama
dan organisasi islam.
d) kurangnya dukungan dari pemerintah dalam hal pendanaan baik dalam bentuk permodalan maupun
dalam bentuk penempatan sebagaimana sering dikeluhkan atau tepatnya dicemburukan oleh para pengelola
bank syariah.

Namun demikian meskipun terdapat kendala seperti tersebut diatas setidaknya untuk saat sekarang tanpa
harus terlalu berharap banyak dari pemerintah mestinya bank syariah dapat mengambil inisiatif sendiri
dengan cara-cara yang sesungguhnya menjadi ciri yang menonjol dari keberadaan bank syariah melalui
produknya yang dinamakan mudharabah muqayyaddah, yaitu yang secara tehnis dapat digambarkan
sebagai berikut :

a) Bank Syariah melakukan studi atas proyek-proyek yang secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan
kelayakannya dan membuat studi kelayakan secara proyek per proyek dan dapat dilakukan melalui
kerjasama dengan asosiasi pengusaha dan atau lembaga pemerintah seperti Deperidag, Menneg Kop. dan
UKM , Depkimpraswil dll.

b) Atas dasar studi kelayakan yang telah dimiliki tersebut maka ditawarkan pada penyandang dana potensial
untuk melakukan investasi secara langsung pada proyek tersebut dengan konsep pembiayaan mudharabah
muqayyaddah artinya bahwa investasi harus digunakan untuk tujuan seperti yang diusulkan dalam studi
kelayakan atau proposal dan kemudian berbagi hasil dan bank syariah akan mendapatkan fee selaku
arranger / pengatur dan atau ikut mendapat porsi bagi hasil.

c) Bank syariah untuk dan atas nama investor berhak untuk melakukan monitoring dan pengawasan atas
kelancaran proyek tersebut dan kemudian melaporkan kepada penyandang dana / investor sehingga Bank
Syariah berfungsi sebagai manajer investasi seperti hal nya Reksa Dana.

d) Penetapan siklus bagi hasil disesuaikan dengan karakteristik dan siklus bisnis proyek yang didanai
sehingga tidak harus secara apriori ditetapkan bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.

e) Dalam perkembangan selanjutnya Bank Syariah dapat mengambil prakarsa untuk mensekuritisasi
pembiayaan tersebut sehingga menjadi likuid sepanjang pasar sekunder nya sudah tersedia.

Konsep tersebut diatas sebenarnya juga dapat dilakukan kerjasama antara BPPN dan Bank Syariah
khususnya untuk mengatasi problem restrukturisasi kredit UKM yang sedang diperbincangkan Caranya
adalah BPPN bersama Bank Syariah (termasuk cabang syariah dari bank konvensional) mengkaji debitur-
debitur yang ada dalam pengelolaan BPPN dengan kriteria :
a) Debitur masih mempunyai prospek yang layak secara ekonomis
b) Pemilik dan pengelola dapat dipercaya dan dapat diajak bekerjasama
c) Bila perlu diberikan suntikan pembiayaan baru secara syariah dan diikuti dengan hak untuk mengganti
manajemen yang lebih profesional dan kredibel.

Dengan pola itu maka langkah yang harus dilakukan adalah menghapuskan tagihan tunggakan bunga tetapi
sepanjang menurut perhitungan yang wajar tidak perlu ada pengurangan pokok maka seluruh sisa hutang
pokok dikonversikan menjadi pembiayan mudharabah dengan basis imbalan bagi hasil sehingga tidak terjadi
masalah tunggakan bunga yang berlarut-larut.

Untuk menghindari Bank Syariah menjadi kurang sehat karena memiliki portofolio baru dengan kolektibiliti
yang kurang baik maka sebaiknya Bank Syriah hanya bertindak sebagai pengelola dan atau manjer investasi
sehingga akan dicatat sebagai off balance sheet dalam neraca Bank Syariah. Pola ini sebenarnya tidak terlalu
beda dengan apa yang sudah dilakukan oleh BPPN dengan Bank Danamon, Artha Graha maupun Bukopin
dan Bank BNI dan kebetulan Bank BNI, Bank Bukopin dan sebentar lagi Bank Danamon sudah mempunyai
Unit Usaha Syariah / Cabang Syariah sehingga dapat dipertimbangkan untuk “relokasi” dari dibawah
pengelolan konvensional menjadi dikelola secara prinsip syariah.

Diharapkan dengan terobosan tersebut dapat membantu menggerakkan sektor riel kembali dan tidak ada
kerugian bagi BPPN bahkan akan memberikan kepercayaan baru dari dunia usaha bagi yang benar-benar
ingin menyelesaikan hutangnya tanpa suatu beban tetap (baca : bunga ) yang sudah ditetapkan dimuka
dalam situasi yang masih diliputi ketidakpastian. Dengan mencoba konsep tersebut diatas jika ditangani
dengan sungguh-sungguh niscaya akan membawa kebaikan bagi semua pihak sesuai dengan konsep bisnis
secara syariah yaitu win-win solution bagi yang beritikad baik dan sekaligus membuktikan bahwa islam
adalah rahmatan lil alamin.

Wallahualam bishawab

Anda mungkin juga menyukai