Anda di halaman 1dari 7

PENDEKATAN BUDAYA TERHADAP AGAMA

Pendahuluan

Dalam salah satu tulisan saya (1988: v), saya kemukakan bahwa: "Agama, secara
mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan
yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya,
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan
lingkungannya". Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau
teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan
khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam
definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi,
yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba
untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-
pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami
hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk memahami
hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah mengedit
sebuah buku yang berjudul "Anthropological Approaches to the Study of Religion,
yang diterbitkannya pada tahun 1966. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku
tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih
diacu dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford Geertz yang
berjudul Religion as a Cultural System. Tulisan Geertz inilah yang telah
menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama
yang dilakukan oleh para ahli Antropologi. Tulisan berikut ini juga mengacu pada
teori Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya, walaupun dalam rinciannya
tidaklah sama dengan teori Geertz tersebut.

Pendekatan Kebudayaan

Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata
pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang
awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses
mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu
tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah
kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi.
Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut
pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga
dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut atau cara
pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang
tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai
metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai
kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah mendefinisikan konsep kebudayaan
yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.

Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari
Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan
sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari:
1. Gagasan
2. Kelakuan; dan
3. Hasil-hasil kelakuan.
Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan
melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang
dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka
kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan
atau metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin
untuk menggunakan keseluruhan gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai
sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata
untuk mengkaji kelakuan atau gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak
mungkinan tersebut disebabkan karena:
1. Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan
kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan
kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba.
2. Kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal
dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan
dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu
gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan
yang sama yang namanya kebudayaan.

Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (1986), telah saya kemukakan bahwa
kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya
oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan
maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan yang keyakinan bagi
masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam definisi kebudayaan
tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena, kelakuan dan hasil kelakuan
adalah produk dari kebudayaan.

Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga


masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan
mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai
sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai
kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan
pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau
pengkategorisasian yang digunakan untuk membuat penggolongan-penggolongan atau
memilih-milih, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan
konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil
pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.

Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka


kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat
digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk
dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan masyarakatnya,
dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan
mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi
kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam
masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap
kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman
yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini
terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh
kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut
yang dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View; dan yang kedua, yang
mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para
pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para


warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan
kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan
untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat
meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan
menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka
pahami maknanya maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat
perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi
pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya. Secara individual atau perorangan
maka pengetahuan kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut dapat berbeda-
beda atau beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman individual
masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam
menyerap berbagai rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan
masyarakatnya atau lingkungan hidupnya.

Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya dan


pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya,
terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi
kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya
tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama
keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan
cenderung untuk tidak mudah berubah.

Pendekatan Kebudayaan dan Agama

Konsep mengenai kebudayaan yang saya kemukakan seperti tersebut diatas itulah
yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendatang dan mengkaji
serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama,
maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi
kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat
tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang
dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan
sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan
yang menjadi ciri dari kebudayaan.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang
kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat
manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur'an
dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka
agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat
tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari
masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses
perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan
hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai
hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga
agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan
nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan
dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian
dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai
tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos
agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan
terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut.
Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah
nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk
oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting
untuk upacara-upacara saja.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang


terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak
keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan
kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat
mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga
masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa
harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang
ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita
punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan
memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap
aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari
keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-
perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya
akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat
tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup
masyarakat tersebut.

Penutup

Sebagai akhir kata mungkin dapat dikatakan bahwa pendekatan kebudayaan dalam
upaya memahami dan mengkaji agama, dan khususnya bagi para guru agama adan
da'i, menjadi amat penting bila upaya pemantapan kehidupan keagamaan dan
pengembangannya ingin supaya berhasil dengan baik. Implikasi dari penggunaan
pendekatan kebudayaan adalah digunakannya pendekatan kwalitatif, seperti yang
telah dilakukan oleh Max Weber dalam kajiannya untuk mengetahui sebab dari
kemunculan dan berkembangnya kapitalisme. Max Weber menggunakan istilah
verstehen yang artinya sama dengan pemahaman, yang menjadi dasar dari pendekatan
kwalitatif.
Kepustakaan
Geertz, C
1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study
of Religion. (Di-edit oleh Michael Banton). London: Tavistock.

Koentjaraningrat
1988 Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhratara.

Suparlan, P.
1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.
1988 Kata Pengantar. Dalam Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis (Di-
edit oleh Ronald Robertson). Diterjemahkan oleh Fediani Syaifuddin. Jakarta:
Rajawali.

--------------------------------------------------------------------------------

*) Pelatihan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Dosen Pendidikan Agama


Islam Di Perguruan Tinggi Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, R.I. Tugu, Bogor, 26 November 1994

Anda mungkin juga menyukai