Anda di halaman 1dari 9

A.

PENDAHULUAN

Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi


baru dalam hubungan internasional. Hukum internasional telah memberikan suatu
pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan
hubungan ini. Ketentuan-ketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi
negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di dunia.

Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip


kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang
demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan
internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian
prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi
kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai
hukum oleh masyarakat internasional.[1]

Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan perlu untuk
membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara
tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission)
menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari
kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal
dengan Viena Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua
negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu.

Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena
masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun
kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut kekebalan dan
keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya
para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi
dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan
keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua
negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh sangat besar dalam perkembangan
hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik
menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai landasan hukum pelaksanaannya. [2]

Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut maka tiap negara haruslah menjadi
pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi
merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk
membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan
kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara, kewajiban tersebut antara lain adalah
kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta
harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara
keseluruhan atau sebagaian.
Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan mengenai
dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian
internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa. Berdasarkan kajian historis
diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan atau reaksi yang
dilakukan suatu negara kepada negara lain jika suatu sengketa terjadi. Di antaranya
adalah surat protes, denials/accusation (tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes
untuk konsultasi, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau
total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik
secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan
nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal,
penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang[3].
Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat
dari yang satu ke yang lain. Untuk sampai kepada tingkat ketegangan berupa pemutusan
hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya
sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut.

Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi, namun tidak terjadi
dengan begitu saja. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika
diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja
berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan
besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan
pengorbanan darah/nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena
pertimbangan emosional.[4]

Perkembangan dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini, terdapat dua faktor
yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian, yaitu hukum internasional dan
diplomasi. Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia yang bagaimanapun
anarkis, bagi pemeliharaaan perdamaian. Diplomasi mempunyai peran yang sangat
beragam dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan
perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Diplomasi,
dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran, dan sebagainya dalam
menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi mengurangi kemungkinan
penggunaan kekuatan yang sering tersembunyi di belakangya. Pentingnya diplomasi
sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat
meningkat dalam dunia modern ini. Seperti dinyatakan oleh Morgenthau, suatu pra-
kondisi bagi penciptaan dunia yang damai adalah berkembangnya konsesus internasional
baru memungkinkan diplomasi mendukung perdamaian melalui penyesuaian (peace
trough accomodation).

Berdasarkan kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dalam kurun


waktu 1961 sampai sekarang adalah banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung
perwakilan diplomatik. Oleh karena itu di posting berikutnya akan dijelaskan bagaimana
mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan
dengan hal tersebut berdasarkan hukum internasional dan praktik-praktik yang telah
diterapkan oleh beberapa negara di dunia.
PEMBAHASAN

B. Keistimewaan perwakilan diplomatik

Konvensi Wina 1961 menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara
pengirim dan kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk
pungutan dan pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain
terhadap gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961,
dan pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961.
Adapun bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:

Pasal 33 Konvensi Wina 1961, Agen diplomatik agen harus dibebaskan dari semua bea
dan pajak, baik bersifat pribadi, nasional, daerah atau kota, kecuali[5]:
a. Pajak langsung dari sejenis yang biasanya dimasukkan ke dalam harga barang atau
jasa;
b. bea dan pajak tak bergerak milik swasta yang berlokasi di wilayah negara penerima,
kecuali ia berpendapat ia atas nama negara pengirim untuk keperluan misi;
c. perkebunan, berturut-turut atau warisan tugas dikenakan oleh negara penerima, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pasal 39 ayat 4;
d. bea dan pajak pada para swasta memiliki sumber pendapatan dalam penerimaan pajak
negara dan modal investasi pada usaha komersial yang dibuat di dalam negara penerima;

e. biaya untuk jasa tertentu;


f. pendaftaran, biaya pengadilan atau merekam, hipotek dan cap pajak, sehubungan
dengan tenang properti, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 23.

Pasal 34 Konvensi Wina 1961[6]

Seorang pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua pungutan dan pajak-pajak, baik
pajak barang bergerak maupun barang tidak bergerak, pajak pusat, daerah, dan kotapraja,
kecuali:

(a) Pajak-pajak tidak langsung dari suatu barang yang biasanya telah dimasukan dalam
harga barang atau jasa;

(b) Pungutan dan pajak-pajak atas harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di
wilayah negara penerima, kecuali yang dikuasainya atas nama negara pengirim atau
untuk keperluan perwakilan;

(c) Pajak-pajak tanah milik, suksesi atau warisan yang dikenakan oleh negara penerima,
tunduk pada ketentuan dari ayat 4 pasal 39;

(d) Pungutan dan pajak atas penghasilan pribadi yang bersumber di negara penerima dan
pajak atas modal yang ditanamkan dalam usaha-usaha perniagaan di negara penerima;

(e) Biaya yang dipungut atas jasa-jasa khusus yang diterimanya;


(f) Biaya-biaya pendaftaran, pengadilan atau pencatatan, hipotik dan bea materai untuk
harta milik tidak bergerak, tunduk pada ketentuan-ketentuan dari Pasal 23.

Negara penerima akan memberikan kemudahan-kemudahan kepada negara pengirim


untuk mendapatkan tempat-tempat yang diperlukan bagi perwakilannya di negara
penerima atau membantu negara pengirim untuk memperoleh akomodasi. Hak kebebasan
pajak ini pada hakikatnya bukanlah hak yang dapat dituntut, melainkan hak yang
bersumber dari kebiasaan yang lebih merupakan kemurahan hati dan penghormatan dari
negara penerima.

B.1. Keistimewaan Diplomatik yang Kedua adalah Pembebasan dari Kewajiban


Militer.

Menurut Pasal 35 Konvensi Wina 1961 negara penerima akan membebaskan semua agen
diplomatik dari layanan pribadi, semua layanan publik apapun, dan militer dari
kewajibans eperti yang berhubungan dengan keharusan menyediakan barang
(requisitioning), sumbangan militer, dan penyediaan akomodasi.
B.2. Keistimewaan Diplomatik yang ketiga adalah Pembebasan Bea dan Cukai.

Negara penerima sesuai dengan hukum dan peraturan yang dianutnya, mengizinkan
pemasukan dan memberikan pembebasan dari semua bea dan cukai, pajak dan biaya yang
bersangkutan. Selain dari pada biaya-biaya penyimpanan, angkutan dan pelayanan jasa
semacamnya, atas barang-barang untuk penggunaan resmi dari misi dan barang-barang
untuk keperluan pribadi wakil diplomatik atau anggota
keluarganyayangmerupakanbagiandari rumahtangganya, termasuk barang-barang yang
diperuntukkan kediamannya.Namun apabila negara penerima berkeyakinan bahwa
barang-barang yang dimasukkanke negara penerima itu berisi alat-alat yang tidak
ditujukan untuk keperluan dinas, ataupun barang-barang yang dilarang undang-undang
nasional negara penerima maka dilarang untuk diimpor atau diekspor ataupun diawasi
oleh peraturan karantina yang berlaku di negara penerima adalah terlarang atau tidak
akan diizinkan masuk ke negara penerima.

B.3. Keistimewaan Diplomatik yang Keempat adalah Pembebasan dari


ketentuanJaminanSosial.

Seorang wakil diplomatik, sehubungan dengan pelayanan yang diberikan untuk negara
pengirim dibebaskan dari ketentuan jaminan sosial yang berlaku dinegara penerima.
Pembebasan ini juga berlaku terhadap pelayan pribadi yang hanya bekerja untuk wakil
diplomatik, dengan syarat bahwa mereka bukan warga negara atau penduduk tetap di
negara penerima danmereka dilindungi oleh ketentuan-ketentuan jaminan sosial yang
dapat berlaku di negara pengirim atau negara ketiga.

B.4. HAK DAN KEWENANGAN PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK[7]

Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :
Inviolability. Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan
kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan
dari aparat negara yang berkepentingan. Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik
yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :

a. kekebalan terhadap diri pribadi

b. Kekebalan yurisdiksional

c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi.

d. kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman

e. kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).

f. kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.

g. penanggalan kekebalan diplomatik.

h. pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.

Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :

a. pejabat perwakilan diplomatik.

b. Staf pribadi

c. Anggota keluarga pejabat diplomatic

d. Kurir diplomatik dan lainnya.

C. Dasar Teoritis dan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik[8]

A. Dasar Teoritis
Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikannya kekebalan-kekebalan dan hak
istimewa, di dalam hukum internasional terdapat tiga teori yaitu ;
1. Teori Exterritoriality
Artinya ialah bahwa seorang wakil diplomatik itu karena Eksterritorialiteit dianggap tidak
berada di wilayah negara penerima, tetapi di wilayah negara pengirim, meskipun
kenyataannya di wilayah neghara penerima. Oleh sebab itu, maka dengan sendirinya
wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara penerima. Begitun pula ia tidak
dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara
penerima.
2. Teori Representative Character
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan diplomatik dan hak istimewa kepada sifat
dari seorang diplomat, yaitu karena ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar
negeri.
3. Teori Kebutuhan Fungsional
Menurut teori ini dasar-dasar kekebalan dan hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik
adalah bahwa wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
melakukan tugasnya dengan sempurna. Segala yang mempengaruhi secara buruk
haruslah dicegah.
B. Dasar Yuridis
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak kekebalan dan hak istimewa dalam
Konvensi Wina 1961 dijumpai dalam pasal 22 sampai 31, hal mana dapat
diklasifikasikan dalam:
1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan
beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30
2. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau
pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal 25,26 dan 27
3. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil
diplomatik, kita jumpai dalam pasal 29 dan 31Disamping Konvensi Wina 1961 yang
merupakan yuridis pemberian dan pengakuan hak kekebalan dan hak-hak istimewa
diplomatik yang merupakan perjanjian-perjanjian multilateral bagi negara-negara
pesertanya, juga dibutuhkan perjanjian bilateral antar negara yang merupakan
pelaksanaan pertukaran diplomatik tersebut, sebagai dasar pelaksanaan kekebalan dan
hak-hak istimewa diplomatik

D. Mulai berlakunya kekebalan dan keistimeawan diplomatik

Menurut Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, setiap orang yang berhak
mendapatkan hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya sejak
pengangkatannya diberikan kepada Kementerian Luar Negeri atau kepada kementerian
lainnya sebagaimana mungkin telah disetujui.[9]

Pasal 39 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan, bahwa:

Every person entitled to privileges and immunities shall enjoy them from the moment he
enters the territory of the receiving State on proceeding to take up his post or, if already
in its territory, from the moment when his appointment is notified to the Ministry for
Foreign Affairs or such other ministry as may be agreed.

Adapun maksudnya adalah, setiap orang berhak atas hak istimewa dan menikmati
kekebalan (immunities) dari saat dia memasuki wilayah negara penerima dan
melanjutkan untuk mengambil pos itu, atau jika sudah dalam wilayah, dari saat ketika itu
adalah janji diberitahukan kepada Departemen Luar Negeri lain atau departemen yang
akan disepakati. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan tetap berlangsung sampai
diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang keberangkatannya setelah
menyelesaikan tugasnya di suatu negara penerima.

E. Berakhirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik


Bagi negara pengirim sudah jelas bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dari
wakil-wakil diplomatiknya berakhir atau tidak berlaku lagi pada saat mereka sudah
berada kembali di negara-negara mereka sendiri. Karena tidaklah mungkin negara itu
memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik kepada warga negaranya
sendiri. Sedangkan bagi negara penerima, hak-hak istimewa dan kekebalan dari seorang
perwakilan diplomatik asing yang masa jabatan atau tugasnya telah berakhir, biasanya
pada saat ia meninggalkan negara itu, atau pada saat berakhirnya suatu waktu yang layak
(resonable period/reasonable opportunity) yang diberikan kepadanya untuk meninggalkan
negara penerima. Namun dalam hal tertentu, negara penerima dapat meminta negara
pengirim untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.[10]
Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina disebutkan, bahwa:
When the functions of a person enjoying privileges and immunities have come to an end,
such privileges and immunities shall normally cease at the moment when he leaves the
country, or on expiry of a reasonable period in which to do so, but shall subsist until that
time, even in case of armed conflict. However, with respect to acts performed by such a
person in the exercise of his functions as a member of the mission, immunity shall
continue to subsist

Artinya, apabila tugas-tugas seseorang yang mempunyai hak istimewa dan kekebalan itu
biasanya berakhir pada waktu ia meninggalkan negeri itu, atau pada habisnya suatu masa
yang layak untuk itu, tetapi harus tetap berlaku sampai waktu berangkat, bahkan dalam
keadaan sengketa bersenjata. Namun sehubungan dengan tindakan-tindakan orang
demikian dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang anggota perwakilan,
kekebalan harus tetap berlaku. Kekebalan tidak berhenti dalam hal tugas-tugas resmi
yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mereka. Sedangkan dalam hal
kematian seorang diplomat, anggota keluarganya masih berhak untuk menikmati
kekebalan dan keistimewaan sampai waktu yang dianggap cukup pantas.

PENUTUP

Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961 memberikan kewajiban khusus kepada negara
penerima untuk mengambil semua tindakan yang patut untuk melindungi wisma-wisma
perwakilan dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan
ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya.

Hukum diplomatik mengenal adanya prinsip ex gratia, yaitu suatu asas yang dipakai oleh
negara penerima dalam menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan kerusakan
gedung perwakilan asing termasuk mobil-mobil dan harta milik lainnya yaitu dengan
memberikan kompensasi baik berupa penggantian maupun perbaikan terhadap kerusakan
atau kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian negara penerima dalam memberikan
perlindungan dan pencegahan. Menurut praktik-praktik yang ada selama ini, kompensasi
atas dasar ex gratia bukan saja diberikan atas gangguan secara langsung tetapi juga yang
terjadi sebagai akibat gangguan lain yang tidak disengaja

Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh
digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan
sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari
hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara
pengirim dan negara penerima. Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan
gedung perwakilannya sebagai tempat untuk menyembunyikan atau menyekap seseorang
yang berwarga negara pengirim atau menculik orang itu yang sedang berada di wilayah
negara penerima dan menahannya di dalam gedung perwakilan dengan maksud secara
paksa memulangkan orang itu ke negara asalnya.

Atas dasar Pasal 41 ayat 3 ini juga, gedung perwakilan asing tidak dibenarkan sebagai
tempat untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan-
perbuatan kriminal. Hal ini adalah sebagai penghormatan perwakilan terhadap Pasal 41
ayat 1 Konvensi Wina 1961, yaitu bahwa seorang wakil diplomatik diharapkan untuk
menghormati dan memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum negara penerima,
maka apabila salah seorang yang diinginkan oleh penguasa-penguasa negara-negara
penerima, sehubungan dengan tindak pidana kriminal yang dilakukannya, yang telah
berlindung di dalam kantor perwakilan asing tersebut, haruslah pejabat diplomatik
mengizinkan polisi atau badan-badan yang berwernang setempat untuk menangkap orang
tersebut, karena dengan izin yang diberikan oleh kepala perwakilan tersebutlah maka
alat-alat negara dapat masuk ke dalam gedung perwakilan asing.

DAFTAR PUSTAKA

Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional”


Law Online Library.

Suryokusumo, Sumaryo,(1995) “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Bandung:


Alumni

Alhaj, Taufik Muchtar, “Analisis Yuridis Hubungan Diplomatik Organisasi Interansional


Dan Negara Menurut Sumber Hukum Internasional”. Solo: UNS

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Beberapa situs internet.

[1] Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum


Internasional” Law Online Library.

[2] J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

[3] Ibid

[4] Sigit Fahrudin, Op. Cit

[5] Suryokusumo, Sumaryo,(1995) “Hukum Diplomatik Teori dan Kasus”, Bandung:


Alumni
[6] Sigit Fahrudin, Op. Cit

[7] Alhaj, Taufik Muchtar, “Analisis Yuridis Hubungan Diplomatik Organisasi


Interansional Dan Negara Menurut Sumber Hukum Internasional”.

[8] Suryokusumo, Sumaryo. Op.Cit.

[9] Alhaj, Taufik Muchtar. Op.Cit

Anda mungkin juga menyukai