Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini
mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada
sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum
mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama
terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat
(kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga
oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad)
merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata
lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek
basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak
ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah
seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami
sebagai makhluk mulia atau hina.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un
atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa
yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan
tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein
yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia
dari seorang Paus Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi
bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu
pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu
mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian
mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur
kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang
manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi
paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam
memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan
Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber
segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala
sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam,
manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan
termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang
dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri
kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21)
sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari
“gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain
bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi
bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan
representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas
kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian
rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi
Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih
rendah dari binatang.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat
hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya
berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya
takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial
dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif).
Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur
secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan
dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan
filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab
masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep
yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas
pengetahuannya.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang komprehensif dan holistik dapat
mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang
telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk
diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-
sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-
hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan
rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-
menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari
keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang
dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol
masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan.