Anda di halaman 1dari 3

HMI dan Konstruksi Abad XXI

Oleh Arip Musthopa

Ketua Bidang Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 5 Februari 1947. Berarti, sekitar
pertengahan abad XX dan delapan belas bulan pasca proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia. Nuansa ideologis sangat kuat mewarnai kelahirannya.
Terutama ideologi nasionalisme dan semangat keislaman. Dalam perjalanannya
selama 61 tahun, HMI mampu mensinergikan antara keduanya. Menjadi tidak
asing di HMI, bahwa wacana keindonesiaan dan keislaman, bukanlah dua
wacana yang terpisah. Keduanya merupakan dua ruang pemikiran yang saling
mengisi dan tidak layak untuk dipertentangkan. Diantara dua ruang pemikiran
inilah, pemikiran-pemikiran genuine anak-anak HMI dan alumninya banyak
dilahirkan.

Semangat kelahiran tersebut yang sering dijadikan pijakan anak-anak HMI dalam
berargumentasi bahwa konsepsi negara kebangsaan bisa diterima dan agenda
membentuk Negara Islam tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Selanjutnya
entitas Islam tidak diutamakan untuk dilihat sebagai simbol melainkan sebagai
nilai-nilai yang diekstraksi kepada keuniversalannya dan lebih tepat mewujud
sebagai ‘penanda’ dari pada ‘petanda’. Sehingga pertanyaan yang muncul,
bukan apakah berstatus Islam atau tidak, melainkan seberapa relevan,
mewarnai, dan bermanfaat nilai-nilai Islam bagi individu dan bangsa yang
memeluknya beserta perkembangan zaman yang mengiringinya.

Kerangka dasar inilah yang menstimulasi kegerahan para intelektual muslim


muda yang tergabung di HMI berinisiatif melakukan gerakan pembaruan
pemikiran Islam. Naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang disusun oleh
Nurcholish Madjid dkk yang disahkan di Kongres HMI IX Malang tahun 1969,
bukan saja monumental bagi sejarah pemikiran Islam di HMI, namun juga sejarah
pemikiran Islam di Indonesia.

Dengan karakternya yang obsesif dengan kemodernan, Nurcholish dkk berhasil


menyiapkan landasan pemikiran yang memungkinkan muslim Indonesia
kompatibel bagi isu-isu pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Perbedaan paradigma dalam memandang dan menghasilkan komponen
kemodernan kerapkali memunculkan ketegangan diantara dunia Barat dan
Islam. Namun Nurcholish Madjid dkk sejauh ini cukup berhasil menyiapkan
landasan pemikiran (ideologi) bagi pertemuan keduanya di ruang universalisme.

Selanjutnya, fase ideologis khas abad XX yang mewarnai semangat kelahiran


HMI yang dikembangkan dan diperbarui oleh Nurcholish Madjid dkk tersebut
diaksentuasikan dengan strategi perjuangan HMI yang cenderung bergerak
dengan karakter state/political structural oriented) sehingga alumninya
berbondong-bondong berkumpul di dunia politik dan birokrasi. Memang banyak
alumni HMI yang juga eksis di dunia swasta dan akademik, namun dalam arus

1
utama mindset kader dan alumni ukuran kesuksesan dan ruang utama
pengabdian adalah pada posisi politik.

Paling tidak itulah arus utama yang nampak hingga saat ini yang memang
sinergis dengan kebutuhan zamannya dan telah berhasil mencatatkan prestasi
yang mengesankan. Namun kini zaman telah beralih. Abad sudah berganti,
bukan lagi abad XX melainkan abad XXI yang tentunya akan membawa
karakteristik sendiri yang berbeda dari abad XX. Masih akan relevankah
karakteristik HMI yang didominasi state/political structural oriented tersebut?

Karakteristik Abad XXI

Agak sulit kita menggambarkan karakteristik abad XXI saat ini karena terlalu
banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam masa waktu sekitar 100 tahun ke
depan. Namun paling tidak apa yang kita sebut sebagai karakteristik awal abad
XXI sudah dapat kita identifikasi dari berbagai peristiwa politik dan ekonomi
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di akhir abad XX dan
dasawarsa pertama awal abad XXI ini.

Bila abad XX adalah abad industri dan ideologi, maka abad XXI merupakan abad
teknologi informasi dan ekonomi. Thomas L. Friedman sudah berani menyebut
dunia, seperti halnya Plato menyebutnya sekitar 2400 tahun yang lalu: The
World is Flat. Baginya, dunia yang mengalami globalisasi bukan lagi digerakkan
oleh driving force berupa Negara dan perusahaan multinasional seperti dalam
globalisasi gelombang 1.0 dan 2.0, melainkan oleh individu. Globalisasi, berkat
perkembangan teknologi informasi menjadi mungkin digerakkan oleh individu-
individu. Globalisasi gelombang 3.0 ini memungkinkan bagi individu tanpa atas
nama dan difasilitasi oleh Negara dan perusahaan besar mampu berbuat hal-hal
yang besar.

Teknologi informasi lebih dahsyat dari teknologi transportasi dalam


menyederhanakan ‘jarak’ (dimensi ruang-waktu sekaligus). Penyederhanaan
inilah yang merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat tercerabut hingga ke
akar-akarnya. Komunikasi dan Silaturahmi menjadi lebih mudah, murah, dan
cepat. Informasi mengalir lebih deras. Akibatnya struktur, hierarki, dan komando
menjadi kurang bermakna. Seketika dunia menjadi mengecil dan seolah datar
karena tidak lagi dibatasi oleh “dinding-dinding” geografis dan politis.

Karena komunikasi, silaturahmi, arus informasi menjadi lebih intens, maka


kehidupan menjadi lebih dinamis dan berwana. Bila demikian, maka perubahan
batas dan identitas hanyalah menunggu waktu. Apa yang kita anggap penting,
dengan cepat akan menjadi kurang atau malah lebih penting. Informasi dan
momentum menjadi sangat bernilai. Singkatnya, intensitas kehidupan
meningkat.

Bila arus informasi meningkat, maka pergerakan modal dan juga ekonomi
menjadi lebih labil karena mudah terpengaruh oleh informasi. Batas-batas
Negara menjadi kabur, maka yang berlaku adalah ‘capital has no flag’. Negara
tidak dapat lagi sepenuhnya mengendalikan aliran finansial.

Bila demikian, individu dan organisasi seperti apa yang dibutuhkan di abad XXI?
Ternyata bukan sekedar individu yang knowledge-intensive melainkan juga
berbakat. Kombinasi individu yang knowledge-intensive dan berbakat yang
mampu bertahan dan tampil dipermukaan. Selanjutnya, organisasi yang dituntut
adalah organisasi yang responsif, cepat bereaksi, dan cost-effective. Organisasi
gemuk tidak lagi dibutuhkan, yang ada adalah ‘flat organization’. Dengan
demikian, organisasi harus melakukan downsizing (perampingan) dan merombak
strukturnya menjadi lebih datar.

Flat organization memungkinkan organisasi ‘menari’ dengan lebih lincah dan


dapat tampil ‘seksi’ dibanyak kesempatan. Oleh karena itu, pemberdayaan
anggota dan pengurus organisasi di garis depan (frontline) perlu diperhatikan
secara khusus.

Agenda ke Depan

Kondisi HMI saat ini baik secara mindset maupun mekanisme dan infrastruktur
organisasi masih belum kompatibel dengan kebutuhan organisasi yang dituntut
abad XXI. Kondisi tersebut direpresentasikan oleh belum terciptanya
kemandirian (pendanaan) organisasi, manajemen organisasi yang belum
berbasiskan teknologi informasi, wawasan dan mindset kader yang belum
konstruktif sesuai tantangan dan tuntutan abad XXI, serta infrastruktur
organisasi yang belum mendukung bagi terselenggaranya roda organisasi yang
cost-effective, dan lain-lain.

Akibat dua periode kepengurusan PB HMI mengalami konflik dan alumninya yang
tergabung dalam KAHMI masih terbagi dua, HMI banyak mengalami kerugian
untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya yang
berlangsung cepat. Kepemimpinan PB HMI periode 2006-2008 saat ini cukup
efektif menyediakan stabilitas dan stimulus awal bagi penataan organisasi.
Hanya saja belum ada visi dan ‘peta jalan’ (roadmap) yang jelas untuk
melakukan tranformasi sumber daya manusia dan postur organisasi sehingga
lebih kompatibel bagi tantangan dan tuntutan abad XXI.

Tahun 2008 HMI akan berkongres untuk yang ke-26. Kongres dan kepemimpinan
pasca Kongres tersebut harus mengambil momentum untuk meletakkan
landasan dan melakukan transformasi sumber daya manusia dan postur
organisasi bila HMI tidak mau rugi untuk yang kesekian kalinya. Dirgahayu HMI
ke-61, Jayalah kembali.@

Anda mungkin juga menyukai