Anda di halaman 1dari 3

TERORIS

Oleh: Anton SRI PROBIYANTONO

Apakah Teroris?

Teror berarti suatu kondisi yang menakutkan, membingungkan atau panik. Akhiran -isme dapat diartikan
sebagai suatu bentuk upaya tertentu. Dengan demikian terorisme merupakan upaya untuk menciptakan
situasi atau kondisi yang menakutkan, membingungkan atau kepanikan guna tercapainya suatu tujuan
politik tertentu. Biasanya teror ini ditujukan bagi seseorang atau kelompok tertentu.

Akhir-akhir ini Indonesia sering mendapatkan serangan teror dari beberapa kelompok organisasi
masyarakat tak bertanggungjawab (dalam arti tak berani menyebut diri sebagai kelompok yang
bertanggungjawab atas bom yang diledakkan dan korban yang berjatuhan). Yang menghebohkan, selain
peristiwa bom Natal 2000, bom Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, bom Bali, dan lain-lain, para teroris
ini juga melakukan kegiatan perampokan dengan memakai senjata, memboyong ATM, serta yang terakhir
adalah penyerangan kelompok bersenjata ke kantor Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera
Utara.

Kegiatan para teroris tersebut tentu saja mengakibatkan konsekuensi tragis, yakni kematian, luka-luka
(berat dan ringan), ketakutan, kepanikan, trauma, hancurnya infrastruktur, rusaknya kepercayaan publik
terhadap keamanan suatu lokasi (lokal, sub nasional ataupun negara), dsb. Seperti yang terjadi di Bali,
masyarakat internasional tiba-tiba menggagalkan ataupun menunda perjalanan mereka ke Bali atau
bahkan ke Indonesia. Selain berdampak pada citra keamanan, dampaknya juga sangat terasa pada kondisi
ekonomi. Biro perjalanan harus berusaha membujuk para wisatawan untuk melakukan perjalanan ke
tujuan wisata lain (jika tidak, mereka harus menanggung kerugian yang lebih besar), tingkat hunian hotel
di Bali tiba-tiba turun drastis, para pekerja yang terkait dari industri pariwisata ini harus “banting setir”
agar dapat bertahan hidup untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri ataupun orang lain yang menjadi
tanggungannya (atau keluarga mereka), dan seterusnya.

Dampak kegiatan teroris ini sangat luas. Baik secara fisik (korban tewas, luka-luka), psikis (kejiwaan –
ketakutan, trauma, kepanikan, kepercayaan di bidang keamanan), ataupun terhadap kegiatan ekonomi
(turunnya kemampuan daya beli guna mencukupi kebutuhan dasar).

Memaknai Teroris dalam Perspektif yang Berbeda

Jika kita menaikkan sudut pandang kita, apakah hanya kegiatan mereka saja yang dapat dikatakan sebagai
teroris? Selain berkutat pada konsep “mata ganti mata” dan “gigi ganti gigi”, ada baiknya, barangkali
negara juga perlu mempertanyakan tentang pelanggaran etika publik, pelanggaran hukum, korupsi,
manipulasi dan keputusan (regulasi/ peraturan/ kebijaksanaan) publik negatif yang sangat berpengaruh
pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Barangkali kebanyakan kita tidak menyadari jika pelanggaran etika publik, pelanggaran hukum, korupsi,
manipulasi dan keputusan publik yang negatif sebenarnya juga dapat memberikan dampak setara dengan
kegiatan teroris. Walaupun secara fisik tidak terasa, kegiatan-kegiatan seperti ini hanya berorientasi
kepada kepentingan sekelompok orang dan terbukti mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih
luas.

Jika kegiatan ini dibiarkan berlangsung tanpa ada kontrol masyarakat dan proses hukum yang memadai
(seharusnya), maka negara akan menjadi “surga” para koruptor, manipulator dan para politikus rakus

1
 
yang berorientasi pada dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Negara tidak akan dapat menikmati
kemakmuran dan keadilan yang dicita-citakan bersama (seperti yang dituangkan dalam Undang Undang
Dasar).

Sangat menyedihkan saat kita mendengar bahwa gara-gara mengambil 3 biji kakao yang berharga
Rp.2.000, seorang wanita (55 tahun) di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kec. Ajibarang, Kab.
Banyumas, harus masuk Pengadilan. Demikian juga seorang maling ayam (yang notabene barangkali
ayam tersebut berharga lebih kurang Rp.20.000) digebuki sampai mati. Di sisi lain, seorang mantan
pejabat, yang terbukti menyalahgunakan wewenang dan merugikan negara sebesar Rp.15 milyar, bebas
bersyarat setelah menjalani masa hukuman di penjara selama 3 tahun.

Wanita 55 tahun tersebut tidak dapat menolak untuk diadili karena ia tak punya apa-apa ataupun siapa-
siapa. Padahal dengan logika sehat, ongkos proses pengadilan “sangat” lebih dari sekedar Rp. 2.000.
Ongkos ini sebenarnya menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan ongkos transport untuk
mendatangkan seorang pengacara, hakim dan jaksa penuntut. Demikian pula bila dibandingkan dengan
biaya yang harus dikeluarkan si pemilik 3 biji kakao untuk proses pengadilan.

Pencuri ayam naas mengalami kematian tragis terjadi karena ia dianggap bukan siapa-siapa. Ia tidak
punya akses terhadap proses keadilan. Ia digebuk dengan barang bukti di tangannya. Sedangkan mantan
menteri memperoleh perlakuan yang wajar karena ia memiliki akses terhadap pengadilan, koneksi elit
politik tingkat atas, dan kelebihan-kelebihan lain.

Akal sehat tidak berfungsi dan etika moral tak diindahkan. Perhatian kepada sesama telah menjadi dingin
dan beku. Orang menjadi bersikap egois atau mementingkan diri (kelompoknya) berdasarkan ukurannya
sendiri. Korupsi atau manipulasi memang tidak sama dengan kegiatan terorisme. Terorisme dilakukan
secara fisik, sedangkan korupsi atau manipulasi dilakukan di atas kertas. Pemindahan kepemilikan dari
milik publik menjadi milik seseorang. Hal ini yang membuat masyarakat tidak sadar bahwa proses
pembangunan yang sedang dilaksanakan di negeri mereka sebenarnya juga terganggu oleh sikap para elit
yang korup atau manipulatif.

Kisah Kebanggaan Para Koruptor

Seorang pemuda pergi ke Inggris untuk sekolah S2 dan S3. Di Inggris, ia bertemu dan berkawan akrab
dengan seorang rekan dari salah satu negeri di Afrika. Setelah beberapa waktu, ia selesai kuliahnya dan
kembali ke Indonesia. Ia bekerja sebagai seorang pegawai negeri dan memiliki jabatan strategis. Pada
suatu waktu, ia memiliki kesempatan menjadi bagian dari konferensi global yang mempertemukan
kembali dirinya dengan teman karibnya dari Afrika tersebut. Ia menceritakan kesuksesannya sebagai
pejabat di Indonesia. Ia mengundang temannya tersebut untuk berkunjung ke rumahnya di Indonesia.

Sampai pada suatu ketika, teman dari Afrika memiliki kesempatan untuk berkunjung di rumahnya di
Indonesia. Ia memamerkan bagaimana ia memiliki rumah yang besar dilengkapi dengan kolam renang,
fasilitas olah raga, mobil, dan lain sebagainya. Teman dari Afrika bertanya kepadanya, “Bagaimana
engkau dapat memiliki semua kekayaan tersebut?”

Orang dari Indonesia tersebut menjawab dengan pertanyaan, “Engkau lihat gedung tersebut?” sambil
jarinya menunjuk gedung tinggi di dekat rumahnya, “10%”. Ia kemudian melanjutkan, “Engkau lihat
jembatan itu?” ia menunjuk jembatan besar yang dapat dilihatnya, “15%”. Ia merasa bangga dengan hasil
jerih-payahnya.

“Bagus sekali!” Jawab teman Afrika sambil memuji, “Maukah engkau mampir ke rumahku di Afrika
suatu kali?”

2
 
“Tentu saja!” Orang Indonesia tersebut menjawab dengan tegas.

Pada suatu ketika, orang Indonesia tersebut berkesempatan pergi mengunjungi temannya di Afrika. Ia
terbelalak ketika ia tiba di airport dijemput oleh mobil keluaran terbaru yang sangat mewah. Setiba di
alamat yang dituju, ia lebih terbelalak lagi, rumah teman Afrika tersebut luar biasa besarnya. Ada kolam
renangnya, ada kebun binatangnya, ada koleksi binatang-binatang Afrika, dan lain sebagainya laksana di
istana kerajaan. Ia heran, kemudian menyempatkan diri bertanya, “Wow, kawan, bagaimana engkau dapat
memperoleh kekayaan yang begitu besar? Apa rahasianya?”

Teman Afrika menjawab dengan tersenyum lebar, “Engkau lihat bendungan itu, kawan?” jarinya
menunjuk hamparan gurun pasir kosong yang tak ada apa-apanya, “100%” imbuhnya.

Penutup

Fasilitas umum, seperti gedung sekolah, gedung perkantoran, jalan raya, jembatan, dan lain sebagainya
yang seharusnya berkualitas 100% ternyata hanya berkualitas 90% atau 60% atau bahkan hanya 30%.
Tidak heran jika kita mendengar gedung sekolah yang baru diresmikan langsung ambruk 3 bulan
kemudian. Harga tanah yang seharusnya hanya Rp.100 membengkak menjadi Rp.500 karena setiap
tingkat pemegang rekomendasi atau keputusan merasa berhak untuk mendapatkan keuntungan.
Akibatnya, biaya yang harus ditanggung rakyat menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.

Yang disebutkan di sini hanyalah dari dari satu sisi saja. Belum lagi dari aspek lingkungan hidup yang
sering kali dianggap sepele. Seorang pejabat, misalnya, bersedia memberikan rekomendasi terhadap
penyelenggaraan suatu kegiatan proses distribusi, produksi, dan lain-lain karena ia mendapatkan imbalan
sejumlah rupiah meskipun kegiatan tersebut sebenarnya memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan
lingkungan. Pejabat memanfaatkan posisinya demi kepentingan dirinya sendiri tanpa mau
mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kepentingan orang banyak. Masih banyak aspek lain
yang dapat dikaitkan dengan korupsi, selain dari aspek keuangan dan lingkungan hidup.

Bagaimana? Apakah kita masih merasa aman-aman saja dengan arogansi para koruptor yang menganggap
bahwa apa yang mereka lakukan “wajar-wajar saja”? Ataukah kita seharusnya juga merasa gelisah karena
hasil pembangunan yang seharusnya bisa kita nikmati bersama ternyata hanya bisa dinikmati oleh
sekelompok orang tertentu. Dapat dikatakan bahwa para koruptor tersebut sebenarnya melakukan
tindakan teror walaupun secara terselubung.

Perlu ada upaya yang dapat menerjemahkan teror = korupsi. Korupsi-pun harus dapat diterjemahkan
kepada aspek hukum yang adil. Misalnya, korupsi sampai dengan Rp.100 juta berarti sekian tahun
penjara, korupsi sampai dengan Rp.1 milyar = sekian tahun penjara, korupsi Rp.5 milyar = sekian tahun
penjara, dan seterusnya. Jangan sampai terjadi mencuri 1 ayam = kematian, atau mencuri 3 kakao =
sekian bulan/ tahun penjara.

------- oOo -------

3
 

Anda mungkin juga menyukai