Sejarah Teologi, setidaknya selalu saja berputar antara dua kemungkinan yang
ganda yang pada hakikatnya sangat berbeda, namun dalam proses, seringkali
yang diperjual belikan, menjadikan agama saat itu tak lebih daripada sebuah
pranata yang tak jauh dari kepentingan perut dan kepentingan kantong
semata. Maka sebagai jawaban atas itu, muncul pula sebuah spirit perubahan
yang menjadi bukti terbalik, bahwa agama juga menjadi sebuah alat untuk
reformasi gereja.
Ketika kita menilik situasi terkini, kita dapat menyaksikan betapa agama masih
menjadi pranata yang kuat sebagai alat legitimasi kekuasaan dan legitimasi
menjadi sangat mudah diatur. Sebagai contoh, kita ambil saja di Lombok,
sebuah pulau kecil di gugusan kepulauan Nusa Tenggara Barat, yang terkenal
dengan sbeutan pulau seribu satu masjid. Tidak ada (mungkin belum) harapan
bagi orang dengan identitas agama non-islam untuk menjadi bupati atau
gubernur, secerdas apapun ia, dan sebrilian apapun idenya. Masyarakat (yang
mayoritas islam) telah begitu terdoktrin bahwa selain agama yang mereka
anut, tidak ada agama yang baik, tidak ada agama yang toleran dan tidak ada
agama yang rela menjadikan sebuah agama hidup dan berkembang. Dengan
sebuah agama tertentu. Terang saja ini akibat banyaknya salah tafsir dan
kuat. Jejaknya bisa terekam dengan jelas, bahwa ketika seorang Kyai besar di
sana menentukan partai mana yang akan menang dan kalah dalam pemilihan
umum. Seorang Kyai cukup berucap “mari bernaung di bawah pohon yang
rindang” untuk memenangkan Golkar, atau “kiblat kita adalah Ka’bah” untuk
Qurban” untuk menjadikan PDI pemenang pemilu dalam era Orde Baru dulu.
tokoh politik (pemimpin). Lihat saja gubernur NTB saat ini, atau bupati Lombok
Muhammadiyah di Jawa Tengah. Hal ini terus berlangsung sejak lama, bahkan
pemimpin yang ingin maju pun, setidaknya harus mendapat restu atau
Indonesia baik local atau nasinal, bahkan di Amerika Serikat yang (konon)
tertentu (dalam kasus ini islam) sebagai alat penghancur sebuah ideologi atau
sebuah gerakan. Hanya dengan isu komunis sama dengan tidak beragama,
setiap harinya rajin beribadah, sopan santun dan murah senyum tiba-tiba
beberapa data, penghasutnya adalah Kyai, pemuka agama yang secara politis
mereka. Terang saja jika apa yang dikatakan Marx, bahwa agama adalah
Namun, jika kita kembalikan pada konsep Teologi Pembebasan, maka kita bisa
melihat potensi konflik, potensi penindasan, bisa jadi sejalan dan berbanding
jahiliah oleh Muhammad, juga Reanisance, adalah sebagian contoh yang nyata,
bahwa agama adalah spirit pembebasan dan seperti yang diungkapkan islam:
teguh agamannya bisa saja menajadi sebuah modal kuat gerakan masa yang
gampang digerakkan hanya dengan isyu agama tertentu? Kenapa agama saat
buruh, buruh migran, dan kasus kemanusian lainnya. Agama, kan tidak hanya
berurusan dengan Tuhan, dan hanya ada saat terjadi crash, dengan agama
Tentu saja, hal ini bisa tercapai, kalau tokoh spiritual sebagai panutan dan
yang baik menuju perubahan itu. Kalau saja di Indonesia Kyai, Pendeta atau
penindasan, maka tentu saja akan banyak terjadi perubahan yang transdental.
Kalau saja mereka menjadi orator saat kenaikan BBM, saat hari buruh sedunia,
Namun, kondisi ini tidak akan pernah ada dan terjadi, jika Kyai sudah hanya
kesejahteraan.
Tapi apa jadinya kalau Kyai sibuk menjadi dai musiman di bulan puasa, atau
menjadi iklan HP 3G dengan dalih silaturrohmi. Negara akan makin kacau, jika
pemuka agama makin rajin menyejajarkan diri dengan artis dan berbondong-
beriman dengan kekerdilan hati, beriman dengan kepala dongol dan otak
pendek, bahwa semua datang dari Tuhan dan semua sudah diatur, semuanya
adalah yang terbaik dari-Nya. Jika kita berbicara demikian, maka habislah
perkara, maka tak perlulah kita berdebat, tak perlulah kita berjuang menuntut