Anda di halaman 1dari 59

Cerita Luka

untuk Dia

Irwan Bajang
Cerita Luka untuk Dia
© Irwan Bajang, 2022

Penyunting: Anindra Saraswati


Proof Reader: Orbit Indonesia
Desain Sampul: Irwan Bajang
Tata Letak: IBC Team Work

12.5 x 18.5 cm.


60 hal.

Cetakan Pertama: 2022


ISBN: 978-602-309-412-XX

Indie Book Corner


Jl. Cemp. Putih No. 8, Karang Gayam,
Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta
55281
www.bukuindie.com
Cerita Luka
untuk Dia
untuk para pembaca tercinta...
terima kasih sudah menemani saya
berkarya
Daftar Cerita

• Warna-warna dalam Mimpi 7


• Cangkir Berisi Angin 13
• Tembok Terakhir 21
• Lubang Dunia 29
• Merasakan Menjadi Buta 37
• Hadiah untuk Bapa 45
• Tentang Penulis 55

6
7
8
Warna-warna
dalam Mimpi

Sebuah jendela, menghadap


dunia. Di situlah Lia menemukan
dirinya. Angin berembus seolah
menerobos semua rongga yang
ada di seluruh tubuhnya.

9
Ia menyaksikan dunia dengan kedua
matanya. Menyaksikan bangunan-
bangunan tinggi, seperti tanaman
semen hidup yang ditancap dan subur
dari balik tanah, menantang untuk
segera menusuk langit. Cepat atau
lambat. Dia berpikir, mungkin di sinilah
segera ia akan menyelesaikannya,
menghadapi akhir dunia yang ia
bangun selama ini, ia jalani dengan
segala sakit dan pahitnya.

Sejenak ia mengingat, tujuh malam


sudah, bayangan-bayangan dan suara
datang padanya. Bayangan putih di
malam pertama, kuning di malam
kedua, biru di malam ketiga, dilanjutkan
merah, hijau, abu, dan baru saja, hitam.
Setiap bayangan dan warna membawa
suara menyeramkan, menusuk telinga,
berakhir dengan teriakan, mati, mati,
pergi, pergi, mati!

10
“Benar kau akan melompat sekarang?”

Sosok ayahnya tiba-tiba datang di


hadapan Lia. Ia terperanjat. Dengan
segera ia menyadari, wajah di
depannya tentu bukan wajah asli
ayahnya. Lia telah membunuh ayahnya
tujuh tahun yang lalu. Ia menjerat
lehernya, kemudian membenamkannya
ke dalam bak air kamar mandi. Bingung
bagaimana menghilangkan jejaknya,
mayat itu kemudian ia potong-potong,
ia blender setiap hari dagingnya, lalu
ia hanyutkan dalam lubang kloset.
Sementara tulang-tulang yang tak
bisa hancur telah ia buang dari atas
jembatan. Air sungai membawanya
menuju laut.

11
“Ini yang kau inginkan? Menakutiku
setiap saat dan menginginkan aku
menyusulmu ke neraka?” Lia menuding,
matanya menatap tajam ke dalam mata
bayangan di depannya.

“Kau selalu dihantui dendam. Aku tidak


pernah mengganggumu. Kaulah yang
merusak dirimu sendiri.”

“Persetan!”

Lia melompat segera dari mulut


jendela. Menyusul kendaraan seperti
semut api warna-warni yang berkejaran
di bawah sana. Wajah ayahnya
mengikuti Lia segera, tetap berada di
hadapannya. Berteriak, seolah lolongan
anjing sedih dari kejauhan.

12
“Lia... Lia... alangkah malang nasibmu.
Kau belum menemukan siapa yang
membunuhku, tapi ia telah berhasil
juga mengelabuimu hingga ujung
usiamu ini.”

Lia tersentak. Tapi semua sudah


terlambat.

13
14
Cangkir Berisi Angin

Hari ini, semestinya menjadi hari


yang paling sempurna dalam
hidupnya. Ia telah menghitung
sepanjang masa. Hari ini
adalah hari—yang jika ia hitung
mundur—adalah hari ke-365.000.
Dua belas ribu purnama sejak
hari itu.

15
Mereka sedang berendam di sungai
yang teduh di kaki bukit. Mengejar
ikan, melihat udang bersembunyi
di balik bebatuan, dan menyaksikan
akar pohon-pohon yang kokoh
menembus batu tua yang ditumbuhi
lumut-lumut basah dan kering. Hari itu
adalah hari yang sempurna. Mereka
berdua telanjang di bawah langit,
mendengarkan suara gigi mereka
saling beradu. Hangat bibir dan napas
mereka, berkejaran bersama desau
angin yang turun menyusuri punggung
gunung.

16
Tapi alam semesta memang tidak
pernah bisa ditebak. Entah ada kutukan
apa untuk bumi hari itu.

Langit menggelegar, hujan tumpah-


ruah seolah dituangkan begitu
saja dari wajan raksasa yang ada
di langit. Gunung bergetar dan
mengirim gemuruh seketika. Air
sungai bergejolak, menghanyutkan
batang-batang pohon dan bebatuan
ke arah mereka berdua. Lia berteriak,
tetapi teriakannya ditelan suara alam
yang tidak bisa ia tebak kenapa. Lalu
semua menjadi kosong. Ia merasakan
tubuhnya melayang ke udara. Sebelum
jatuh entah di mana, ia sudah tidak
tahu, apa yang terjadi setelahnya.

17
Begitulah. Ia lahir kembali, menjadi
rerumputan, lalu mengering dan mati.
Lahir kembali menjadi batu, berlumut
dan menjadi tanah, lalu menjadi rusa,
menjadi embun, menjadi semut,
menjadi burung, menjadi ikan di telaga,
menjadi api, hingga menjadi Lia yang
baru saat ini.

18
Dia akan datang. Telah disiapkan
sebuah cangkir kosong di atas meja.
Lia tak tahu, nanti ketika ia datang,
minuman apa yang akan ia tuangkan
ke dalam cangkir itu. Mungkin kopi dari
Papua, anggur terbaik yang ia simpan,
susu hangat, seduhan rempah, teh
hijau, atau mungkin hanya air putih.
Ia berusaha menyiapkan semuanya
dengan sempurna.

Maka ketika suara pintu rumah diketuk


perlahan, Lia bergegas bangkit.
Dibukanya perlahan pintu itu, sembari
menyiapkan senyum terbaik yang bisa
ia berikan. Tapi yang ia temui hanya
angin dan dingin.

“Sekali lagi, Lia. Setelah ini, semua akan


sempurna.”

Suara itu, membuat bulu-bulu di


tubuhnya meremang seketika.

19
20
21
22
Tembok Terakhir

Hari ini kau telah menjanjikan


sebuah pertemuan untuknya.
Sore ketika angin akan
terasa mulai dingin, kau akan
menjumpainya di tepi tembok
perbatasan. Di sana, dulu
tak pernah ada batas antara
kedua tanah ini. Permusuhan,
hasutan, dan keserakahan
telah membuatnya dibangun,
dijadikan pemisah dan menjadi
cikal-bakal kehancuran semua
yang pernah diciptakan.
23
Kita akan berjumpa, katamu. Lalu
semua kebencian dan dosa yang
pernah hidup dan tumbuh di kota
ini akan usai. Kisah kita sudah diatur
begini. Kita semua hanyalah mainan
yang telah diatur dan dibuat dengan
penuh taktik dan pertimbangan.

24
Tigabelas ribu tahun yang lalu, makhluk
yang lebih baik dari kita pernah ada.
Mereka tidak diciptakan, mereka
keluar dari tubuh yang lainnya. Mereka
kecil, lemah dan bodoh, kemudian
waktu membuatnya tumbuh dan bisa
melakukan apa saja.

Mereka menciptakan diri mereka


sendiri. Bukan membuat yang lain
keluar dari tabung-tabung berisi air,
atau dari plastik-plastik yang dicetak
menjadi patung, kemudian dihidupkan
dengan ultrabaterai seperti kita.
Dan pohon-pohon itu, katamu, tidak
pernah ditancapkan batangnya ke
tanah. Ia datang dari balik batu,
muncul sendiri, meninggi, menjadi
hijau kemudian berbuah dan dimakan
oleh mereka. Mereka membangun
rumah dan kota, kemudian ciptaan
mereka berhianat, membunuh mereka,
kemudian membuat kita.

25
Cerita-ceritamu membuatnya terpana.
Ia tak pernah bisa membayangkan
dengan pasti apa yang kamu ceritakan
itu. Berulang kali ia baca catatan-
catatan pengembaraanmu. Melirik
tanggal dengan tak sabar, mencoba
memastikan, hari inilah hari yang kau
tentukan untuk menemuinya. Kau
bahkan akan menunjukkan sesuatu,
katamu. Pencipta dari pencipta kalian
sebelumnya.

***

26
Kalian berjumpa, kau menggesekan
pipimu ke pipinya, lalu segera
memeriksa, lampu kecil di atas
kepalanya.

Kau berharap, manusia-manusia


yang kau bawa ini akan berhasil
menyelamatkan kalian segera.
Memperbaiki kerusakan dan kesalahan
kalian.

Dan sesuatu yang baru akan diualang


kembali, di sini. Satu-satunya tembok
yang tersisa di muka bumi. Di sini kalian
akan mulai mengabdi dan melayani.
Menjadikan apa yang pernah kau
ceritakan padanya, segera menjadi
nyata.

27
28
29
30
Lubang Dunia

Kau tak akan bisa mengikuti


kehidupanku. Kembalilah, dunia
kita seperti matahari dan dasar
samudera.

Ucapanmu itu telah mematahkan


semuanya.

31
Aku yang mengejarmu, kau tolak dan
kembalikan, kau jatuhkan ke lubang
yang paling mengerikan, yang tak
pernah bisa kubayangkan.

Sejak kepergianmu lima tahun


yang lalu, sejak kau memilih untuk
melanjutkan petualangan, keliling
Indonesia, katamu. Sejak itulah kau
seolah menjadikan aku selemah
mungkin. Menjadi yang tak berdaya
dan tak bisa melakukan hal yang
serupa.

32
Dan kau kemudian mengusirku. Padahal
telah ribuan hari aku mencarimu. Kau
bahkan mengejek, mengapa begitu
lama aku baru bisa menemukanmu. Itu
pun tanpa sengaja.

Kau terlalu manja jika ingin


mencariku, katamu. Kau tak mungkin
menemukanku. Karena kau hanya
mencariku sebagai anak manja. Putra
mahkota yang tidak tahu apa-apa. Kau
tidur di hotel-hotel kecil pinggir kota
yang katamu murah dan menyedihkan.
Sementara aku bermalam di bawah
langit, di pelukan pohon, bersama
nyamuk, angin danau dan benda-benda
lain yang tak mungkin bisa kau jadikan
teman.

33
Aku marah padamu. Segera berbalik
dan memaki. Bersumpah untuk
menjauhi duniamu selamanya. Kau
terlalu sombong dengan hasrat
bertualang dan kemiskinanmu. Kau
menganggap duniamu tak bisa
kusentuh. Kau salahkan semua takdir
yang bahkan tak bisa kutolak sejak
dalam kandungan ibuku.

Kini aku di sini. Masih menjadi manusia


kebanyakan. Menyelesaikan tugas kerja,
bertemu rekan dan membicarakan
rencana-rencana, pulang malam dan
tidur lelap di rumah untuk segera
bangun kembali menjadi robot, seperti
katamu.

34
Aku pernah belajar membenci
hidupmu. Berusaha pula menikmati
duniaku.

Tapi, cinta dan benci


memang seperti sebuah
uang logam. Satu sisi tidak
bisa hilang, dan sisi lain
tak pernah ada tanpa sisi
sebaliknya.
Sekarang, aku sudah siap menyusulmu
kembali. Siap menanggalkan pakaian
dunia. Mencarimu di sela-sela belantara
dan rimba, di perkampungan kumuh
bersama gembel-gembel itu. Kau
mesti segera tahu. Kerinduan yang tak
terperi, bisa membuatku melakukan
apa pun untukmu. Misalnya masuk ke
dalam dunia yang gelap tanpa peta,
mencarimu, dengan kemungkinan
bertemu yang nyaris tak ada lagi.

35
36
37
38
Merasakan Menjadi
Buta

Bagaimana seorang
buta mencintai seorang
pasangannya yang tidak buta?
Bagaimana ia percaya bahwa
pasangannya itu tidak akan
berbohong, mengejeknya,
mempermainkannya, sementara
ia bahkan tidak akan pernah
tahu. Bahkan jika hal itu
dilakukan di hadapannya
sekalipun.
39
Bagaimana dua orang buta
saling menjaga, hidup bersama,
membesarkan anaknya yang tidak
buta? Bagaimana mereka mengajarinya
banyak hal, mengajarinya menamai
benda, mengajarinya warna, bentuk ini
itu, dan hal-hal lain yang mereka tidak
mengerti.

Kemudian bagaimana orang buta


mengenal orang lain? Bagaimana
membayangkan wajah orang di
sekelilingnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dan


banyak pertanyaan lain, kini berkeliaran
di kepala Lia.

40
Tapi setidaknya, orang buta telah
membangun dunianya lebih awal,
apalagi jika ia lahir dan langsung buta.
Mereka mungkin bisa menyerahkan
tugas matanya pada telinga, kulit,
hidung, dan indera lainnya. Memahami
sendiri, memakai sendiri standar-
standar yang telah mereka bikin dan
sepakati sendiri.

Masalahnya, Lia pernah hidup hampir


tiga puluh tahun, pernah memakai
matanya untuk menjelajah dunia.
Pernah menyaksikan kecantikan dan
ketampanan, kemiskinan, kemelaratan,
keindahan dan ketidakteraturan.

41
Ia menangis, tapi ia tahu, sekarang
ia tak punya mata, apalagi air mata.
Kembali ia bertanya, apa arti menangis
bagi seorang buta? Kalau orang buta
pada puncak kesedihan, apakah
mereka menangis? Bagaimana caranya?

Pelan-pelan ia meraba setiap jawaban


dari antologi pertanyaannya. Pelan-
pelan ia menebak, membayangkan,
kemudian menangis kembali, tanpa air
mata. Ia tahu, ia akan buta seterusnya
setelah ini, ia tahu, segalanya akan
berubah, melaju jauh, berbelok ke
arah yang tak pernah ia pikirkan dan
bayangkan.

42
Ia menangis, tetap tanpa air mata,
sembari membayangkan, dua puluh
tahun yang lalu, ia pernah membuang
seekor kucing ke tengah hutan dekat
rumahnya. Seekor kucing yang ia
masukkan ke dalam karung beras,
karung yang mustahil terbuka sendiri.
Lia kecil mengunci, menutup kucing itu
dari dunia di luar karung beras.

Dalam isak tangis tanpa air matanya, ia


mendengar lolongan anak kucing dari
kejauhan.

43
44
45
46
Hadiah untuk Bapa

“Kau tahu, jarak dari tempatmu


berdiri sekarang menuju neraka,
hanya sedetik saja. Akulah yang
menentukan nasibmu sekarang.”
Lia mengacungkan sepucuk
pistol ke wajah lelaki itu. Lelaki
yang diam dan menunggu.

47
Ambillah sesukamu,
tapi jangan berlebihan.
Ambillah, hanya yang bisa
diambil.
Kata-kata itu bukan hanya kredo, tapi
layaknya Firman. Semua anak asuh
Bapa tahu, Bapa telah sangat baik pada
mereka. Tidak ada secuil pun alasan
memberinya kekecewaan. Terlebih,
kekecewaan itu datang karena sebuah
penghianatan.

48
Angin membuat dedaunan berderai
bergesekan. Dingin merasuk, langit
menyaksikan mereka berdua berdiri di
bawah rembulan redup jelang pagi.

Lia tahu, ia satu-satunya perempuan


di antara 17 anak Bapa yang lain. Ia
kadang benci perlakuan khusus yang
sering dialamatkan mereka padanya.
Termasuk kekhawatiran Bapa yang
kadang berlebihan. Ia tak mau jadi
yang berbeda, juga di mata lelaki
di hadapannya ini. Tapi ia juga tahu,
kadang ada waktunya, sesuatu yang
tersembunyi dalam dirinya akan keluar,
sebab tak kuasa berdiam sendirian
dalam diri. Sesuatu yang ia inginkan,
tetapi selalu berusaha ia hindarkan saat
bersama lelaki ini.

49
“Bapa tahu, apa yang telah terjadi. Kau
harus mengembalikan semuanya.”
Lelaki itu masih diam.

Sekarang, Lia hanya ingin


menyelamatkan kepercayaan yang
telah diberikan padanya, membalas
kasih sayang Bapa padanya. Sekaligus
berterimakasih atas kesempatan hidup
yang diberikan Bapa pada dirinya, bayi
kecil yang dulu menangis kedinginan di
tempat pembuangan sampah.

50
Pengingkaran ini akan membuat Bapa
terluka. Mereka sama-sama tahu, ada
satu lagi firman Bapa yang tak boleh
mereka langgar. Dan itu berlaku bagi
semua, termasuk bagi Lia dan anak
kandung Bapa di hadapannya ini.

“Kita akan menyelesaikannya. Ambil


pistolmu sekarang!”

Lia menunggu lelaki itu menggerakkan


tangan, mengacungkan senjata ke
arahnya.

Begitu suara tembakan meletus di


udara. Suara Bapa seolah turun dari
langit, berdengung di telinga mereka.

“Kalian semua anak-anakku, kalian


semua bersaudara. Dan kalian pasti
tahu memperlakukan keluarga."

51
52
53
Irwan Bajang, lahir dan besar di Aik-
Anyar Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat, 22 Februari 1987. Ia datang ke
Jogja tahun 2005, menyelesaikan kuliah
di jurusan Ilmu Hubungan Nasional
UPN Veteran Yogyakarta. Pernah
menerbitkan Kumpulan Puisi Sketsa
Senja (2006), Novel Rumah Merah
(2008), Album Puisi Musik dan Ilustrasi
Kepulangan Kelima (2013), Malam
Tanpa Ujung (2014), Hantu Presiden
dan Buku Puisi Kesedihan (2017).

Tahun 2014 ia menerima Satu Indonesia


award dari Astra Internasional untuk
dedikasinya pada pendidikan dunia
tulis-menulis dan sekolah menulis
yang ia dirikan. Ia juga diundang untuk
mempresentasikan kegiatannya di
Kick Andy Metro TV pada tahun yang
bersamaan.
55
Menjadi co-writer untuk buku Biografi
R.C. Harjo Subroto, Seniman yang
Tidak Mau Disebut Seniman (2014),
editor untuk proyek penulisan sejarah
kampung bersama Radio Buku yang
menghasilkan buku Ngeteh di Patehan:
Kisah Beranda Belakang Keraton
Jogjakarta (2011).

Beberapa karyanya termuat di antologi


Ibu (2009), Tralalatrilili (2009), Cinta,
Rindu dan Hal-Hal yang Tak Pernah
Selesai (2011), Karena Aku tak Lahir
dari Batu (2011), Agoni: Antologi Puisi
Jogja-Jember (2012), 22 Puisi Sastrwan
NTB (2013), Lintang Panjer Wengi di
Langit Jogja, Dokumentasi 90 Penyair
Jogja Lintas Generasi (2014), Puisi di
Jantung Taman Sari, Kumpulan Puisi
10 Penyair Muda Jogja (2014), Yogya
Halaman Indonesia, 12 Penyair Yogya
(2016), dan beberapa antologi lainnya.
56
Saat ini menjadi penyunting bahasa di
Indie Book Corner, sebuah lembaga
penerbitan yang ia dirikan sejak 2009.
Hingga saat ini telah menyunting
puluhan naskah penulis Indonesia.
Menulis di media massa, media sial, dan
blog pribadi irwanbajang.com.

57

Anda mungkin juga menyukai