untuk Dia
Irwan Bajang
Cerita Luka untuk Dia
© Irwan Bajang, 2022
6
7
8
Warna-warna
dalam Mimpi
9
Ia menyaksikan dunia dengan kedua
matanya. Menyaksikan bangunan-
bangunan tinggi, seperti tanaman
semen hidup yang ditancap dan subur
dari balik tanah, menantang untuk
segera menusuk langit. Cepat atau
lambat. Dia berpikir, mungkin di sinilah
segera ia akan menyelesaikannya,
menghadapi akhir dunia yang ia
bangun selama ini, ia jalani dengan
segala sakit dan pahitnya.
10
“Benar kau akan melompat sekarang?”
11
“Ini yang kau inginkan? Menakutiku
setiap saat dan menginginkan aku
menyusulmu ke neraka?” Lia menuding,
matanya menatap tajam ke dalam mata
bayangan di depannya.
“Persetan!”
12
“Lia... Lia... alangkah malang nasibmu.
Kau belum menemukan siapa yang
membunuhku, tapi ia telah berhasil
juga mengelabuimu hingga ujung
usiamu ini.”
13
14
Cangkir Berisi Angin
15
Mereka sedang berendam di sungai
yang teduh di kaki bukit. Mengejar
ikan, melihat udang bersembunyi
di balik bebatuan, dan menyaksikan
akar pohon-pohon yang kokoh
menembus batu tua yang ditumbuhi
lumut-lumut basah dan kering. Hari itu
adalah hari yang sempurna. Mereka
berdua telanjang di bawah langit,
mendengarkan suara gigi mereka
saling beradu. Hangat bibir dan napas
mereka, berkejaran bersama desau
angin yang turun menyusuri punggung
gunung.
16
Tapi alam semesta memang tidak
pernah bisa ditebak. Entah ada kutukan
apa untuk bumi hari itu.
17
Begitulah. Ia lahir kembali, menjadi
rerumputan, lalu mengering dan mati.
Lahir kembali menjadi batu, berlumut
dan menjadi tanah, lalu menjadi rusa,
menjadi embun, menjadi semut,
menjadi burung, menjadi ikan di telaga,
menjadi api, hingga menjadi Lia yang
baru saat ini.
18
Dia akan datang. Telah disiapkan
sebuah cangkir kosong di atas meja.
Lia tak tahu, nanti ketika ia datang,
minuman apa yang akan ia tuangkan
ke dalam cangkir itu. Mungkin kopi dari
Papua, anggur terbaik yang ia simpan,
susu hangat, seduhan rempah, teh
hijau, atau mungkin hanya air putih.
Ia berusaha menyiapkan semuanya
dengan sempurna.
19
20
21
22
Tembok Terakhir
24
Tigabelas ribu tahun yang lalu, makhluk
yang lebih baik dari kita pernah ada.
Mereka tidak diciptakan, mereka
keluar dari tubuh yang lainnya. Mereka
kecil, lemah dan bodoh, kemudian
waktu membuatnya tumbuh dan bisa
melakukan apa saja.
25
Cerita-ceritamu membuatnya terpana.
Ia tak pernah bisa membayangkan
dengan pasti apa yang kamu ceritakan
itu. Berulang kali ia baca catatan-
catatan pengembaraanmu. Melirik
tanggal dengan tak sabar, mencoba
memastikan, hari inilah hari yang kau
tentukan untuk menemuinya. Kau
bahkan akan menunjukkan sesuatu,
katamu. Pencipta dari pencipta kalian
sebelumnya.
***
26
Kalian berjumpa, kau menggesekan
pipimu ke pipinya, lalu segera
memeriksa, lampu kecil di atas
kepalanya.
27
28
29
30
Lubang Dunia
31
Aku yang mengejarmu, kau tolak dan
kembalikan, kau jatuhkan ke lubang
yang paling mengerikan, yang tak
pernah bisa kubayangkan.
32
Dan kau kemudian mengusirku. Padahal
telah ribuan hari aku mencarimu. Kau
bahkan mengejek, mengapa begitu
lama aku baru bisa menemukanmu. Itu
pun tanpa sengaja.
33
Aku marah padamu. Segera berbalik
dan memaki. Bersumpah untuk
menjauhi duniamu selamanya. Kau
terlalu sombong dengan hasrat
bertualang dan kemiskinanmu. Kau
menganggap duniamu tak bisa
kusentuh. Kau salahkan semua takdir
yang bahkan tak bisa kutolak sejak
dalam kandungan ibuku.
34
Aku pernah belajar membenci
hidupmu. Berusaha pula menikmati
duniaku.
35
36
37
38
Merasakan Menjadi
Buta
Bagaimana seorang
buta mencintai seorang
pasangannya yang tidak buta?
Bagaimana ia percaya bahwa
pasangannya itu tidak akan
berbohong, mengejeknya,
mempermainkannya, sementara
ia bahkan tidak akan pernah
tahu. Bahkan jika hal itu
dilakukan di hadapannya
sekalipun.
39
Bagaimana dua orang buta
saling menjaga, hidup bersama,
membesarkan anaknya yang tidak
buta? Bagaimana mereka mengajarinya
banyak hal, mengajarinya menamai
benda, mengajarinya warna, bentuk ini
itu, dan hal-hal lain yang mereka tidak
mengerti.
40
Tapi setidaknya, orang buta telah
membangun dunianya lebih awal,
apalagi jika ia lahir dan langsung buta.
Mereka mungkin bisa menyerahkan
tugas matanya pada telinga, kulit,
hidung, dan indera lainnya. Memahami
sendiri, memakai sendiri standar-
standar yang telah mereka bikin dan
sepakati sendiri.
41
Ia menangis, tapi ia tahu, sekarang
ia tak punya mata, apalagi air mata.
Kembali ia bertanya, apa arti menangis
bagi seorang buta? Kalau orang buta
pada puncak kesedihan, apakah
mereka menangis? Bagaimana caranya?
42
Ia menangis, tetap tanpa air mata,
sembari membayangkan, dua puluh
tahun yang lalu, ia pernah membuang
seekor kucing ke tengah hutan dekat
rumahnya. Seekor kucing yang ia
masukkan ke dalam karung beras,
karung yang mustahil terbuka sendiri.
Lia kecil mengunci, menutup kucing itu
dari dunia di luar karung beras.
43
44
45
46
Hadiah untuk Bapa
47
Ambillah sesukamu,
tapi jangan berlebihan.
Ambillah, hanya yang bisa
diambil.
Kata-kata itu bukan hanya kredo, tapi
layaknya Firman. Semua anak asuh
Bapa tahu, Bapa telah sangat baik pada
mereka. Tidak ada secuil pun alasan
memberinya kekecewaan. Terlebih,
kekecewaan itu datang karena sebuah
penghianatan.
48
Angin membuat dedaunan berderai
bergesekan. Dingin merasuk, langit
menyaksikan mereka berdua berdiri di
bawah rembulan redup jelang pagi.
49
“Bapa tahu, apa yang telah terjadi. Kau
harus mengembalikan semuanya.”
Lelaki itu masih diam.
50
Pengingkaran ini akan membuat Bapa
terluka. Mereka sama-sama tahu, ada
satu lagi firman Bapa yang tak boleh
mereka langgar. Dan itu berlaku bagi
semua, termasuk bagi Lia dan anak
kandung Bapa di hadapannya ini.
51
52
53
Irwan Bajang, lahir dan besar di Aik-
Anyar Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat, 22 Februari 1987. Ia datang ke
Jogja tahun 2005, menyelesaikan kuliah
di jurusan Ilmu Hubungan Nasional
UPN Veteran Yogyakarta. Pernah
menerbitkan Kumpulan Puisi Sketsa
Senja (2006), Novel Rumah Merah
(2008), Album Puisi Musik dan Ilustrasi
Kepulangan Kelima (2013), Malam
Tanpa Ujung (2014), Hantu Presiden
dan Buku Puisi Kesedihan (2017).
57