Anda di halaman 1dari 5

SULUT GERBANG ASIA-PASIFIK SEJAK PRASEJARAH

Oleh: Dr. Santoso Soegondho


Konsultan Ahli bidang Arkeologi dan Budaya
Pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara

Saat ini Gubernur Drs. Sinyo Harry Sarundajang sedang berjuang untuk diakuinya
daerah Sulawesi Utara sebagai Pintu Gerbang Asia-Pasifik. Banyak orang yang tidak
tahu bahwa sebenarnya sejak masa prasejarah atau masa sebelum ada dokumen tertulis,
wilayah Sulawesi Utara sudah merupakan pintu gerbang bagi wilayah Asia-Pasifik.
Bahkan para sarjana menyebutnya sebagai jembatan darat yang menghubungkan
wilayah Asia dengan wilayah Pasifik. Para pakar memperkirakan sebenarnya Gajah
Purba (Stegodon) pernah bermigrasi dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia melalui
Sulawesi Utara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil gading dan geraham
binatang tersebut di Desa Pintareng Tabukan Selatan di pulau Sangihe. Demikian juga
ditemukan bukti bahwa budaya yang disebarkan dan dibawa oleh suku bangsa penutur
bahasa Austronesia, menyebar dari Daratan Asia lewat Formosa dan Filipina masuk ke
wilayah Pasifik melalui Sulawesi Utara. Dari Sulawesi Utara budaya ini kemudian
menyebar ke bagian Timur sampai di Pulau Paskah di Kepulauan Pasifik dan ke bagian
Barat sampai di Madagaskar.

FOSIL GAJAH PURBA


Pada saat terjadi peng-esan (zaman glacial) di muka bumi pada masa Plestosin, pernah terjadi
migrasi fauna dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara. Oleh sebab itu
di Filipina dan di Sulawesi Utara terdapat peninggalan fosil-fosil binatang purba seperti gajah
purba (stegodon) dan fosil hewan lainnya. Di Desa Pintareng di Tabukan Selatan di Pulau
Sangihe, telah ditemukan adanya fosil-fosil gading dan geraham gajah purba tersebut. Menurut
para ahli dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta,
fosil-fosil tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di
Kepulauan Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu. Gajah purba ini selain di
Pintareng telah ditemukan fosil-fosilnya di Sangiran, di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, di
Lembah Cabenge di Sulawesi Selatan dan di Lembah Besoa di Sulawesi Tengah. Stegodon di
dunia diperkirakan pernah hidup sejaman dengan binatang purba lainnya. Di Indonesia
stegodon hidup dengan binatang-binatang purba lainnya seperti Rinocheros (badak purba)
serta kerbau purba dan lain sebagainya. Dengan temuan fosil gajah purba di Pintareng,
Tabukan Selatan Sangihe tersebut, maka sebenarnya pada masa lalu gajah pernah hidup di
Pulau Sulawesi dan terutama di Sulawesi Utara.
Seperti diketahui pada masa plestosin sekitar 2.5 juta tahun yang lalu, iklim di bumi
mengalami perobahan total yaitu penurunan suhu yang sangat drastis. Masa itu dikenal dengan
zaman glacial (zaman es). Fenomena alam ini erat hubungannya dengan perubahan dari
parameter astronomi mengenai posisi bumi terhadap matahari. Kejadian ini berlangsung secara
periodik, yang telah mengakibatkan berubahnya jumlah total dan pembagian energy dari
matahari yang diterima bumi. Selama apa yang disebut zaman es (zaman glasial) itu
berlangsung, air di bumi terkumpul dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris lintang
tinggi. Hal ini berarti kandungan air di samudra menjadi berkurang, akibatnya muka air laut
menjadi turun. Sebagai contoh, pada puncak zaman glacial terakhir yang terjadi sekitar 18.000
tahun yang lalu, muka air laut terletak 100 meter lebih rendah dari sekarang. Ternyata selama 1
juta tahun terakhir, muka air laut telah mengalami lebih dari 10 kali pendangkalan yang
mencapai sekurang-kurangnya 80 meter.
Perubahan tersebut di atas sangat mempengaruhi bentuk kepulauan nusantara. Laut
Cina Selatan dan Laut Jawa menjadi surut, sehingga mengakibatkan terbentuknya jembatan
daratan yang luas yang menghubungkan Benua Asia dengan Kepulauan Asia Tenggara.
Jembatan daratan inilah yang memungkinkan berlangsungnya proses migrasi dari daratan Asia
ke Asia Tenggara bahkan ke Pulau-pulau lain di sekitarnya. Beberapa jenis hewan seperti
halnya Gajah yang mampu menyeberangi lautan, tidak menyianyiakan kesempatan itu untuk
bermigrasi mencari daerah yang lebih memberikan jaminan untuk kelangsungan hidupnya. Oleh
sebab itu tidak heran kalau gajah purba dari jenis Stegodon ditemukan di Filipina dan beberapa
daerah di Indonesia seperti Pintareng, Besoa, Cabenge, Flores dan Sangiran. Para ahli
memperkirakan bahwa Sulawesi Utara menjadi pintu gerbang dalam migrasi binatang purba ini.

SEJARAH PERADABAN DI SULAWESI UTARA


Sejarah peradaban manusia di daerah ini cukup panjang dan menarik. Daerah ini pada
jaman es melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian
daratan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan daratan Asia.
Setelah jaman es berakhir, Sulawesi Utara menjadi daratan yang membentuk jazirah Pulau
Sulawesi dan kepulauan di bagian Utaranya.
Selain daratan yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, Sulawesi Utara juga
terdiri dari pulau-pulau yang jumlahnya cukup banyak, lebih dari 150 pulau. Daerah ini
mempunyai karakter alam yang khas yaitu dataran tinggi lebih luas dari dataran rendahnya,
memiliki banyak gunung berapi dan sebagian besar masih aktif termasuk gunung api bawah
laut, memiliki banyak gugusan karang yang membentuk pulau-pulau, selain itu kerak bumi
daerah ini berdekatan bahkan sebagian berada tepat di daerah terjadinya proses subduksi
(perbenturan) lempeng-lempeng (plates) tektonik antara lempeng Pasifik-Filipina-Australia
dengan lempeng Sangihe dan Halmahera. Bahkan terletak dekat dengan pertemuan lempeng-
lempeng dunia seperti lempeng Pasifik, Eurasia dan Australia.
Posisi di daerah subduksi inilah yang menyebabkan kemunculan gunung-gunung berapi
dan sering terjadinya berbagai gempa bumi di daerah ini sejak jaman dahulu kala. Gunung-
gunung berapi Sulawesi, Halmahera dan Sangihe, adalah merupakan hasil zona subduksi
lempengan Sangihe dan Halmahera.
Sebagian besar lempengan Maluku telah tertindih (tersubduksi) oleh zona subduksi
Halmahera di bagian Timur dan oleh zona subduksi Sangihe di bagian Barat. Gunung-gunung
berapi di Sulawesi, Sangihe dan Halmahera diberi pasokan magma yang dibangkitkan di
mantle asthenospherik yang termodifikasi oleh fluida yang dihasilkan dari lempengan Maluku
yang tertindih. Dalam beberapa juta tahun semua lempengan Laut Maluku akan tersubduksi
dan lempengan Sangihe serta Halmahera yang sudah saling menindih pada ujung-ujung
lempengannya akan bertabrakan hebat (Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadile, 2008:
hal. 12, 144-149).
Fenomena alam yang telah digambarkan tersebut, disatu sisi telah menyebabkan
berbagai bencana seperti bencana gempa bumi atau letusan gunung api yang mendatangkan
kesulitan bagi masyarakat. Akan tetapi d sisi lain telah menberi warisan yang berupa keindahan
alam dan kekayaan alam yang menguntungkan bagi masyarakat. Warisan yang
menguntungkan itu antaralain keindahan alam pegunungan maupun bahari termasuk
keindahan terumbu karang bahkan juga hasil rempah-rempah yang sudah terkenal di dunia
sejak ratusan tahun lalu, adalah merupakan warisan yang menguntungkan masyarakat.
Demikian juga warisan alam yang berupa logam bernilai ekonomis tinggi seperti emas, perak,
timbal, seng dan tembaga. Semua itu telah terekam di dalam dokumen-dokumen sejarah alam
daerah ini.
Dari uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa Sulawesi Utara berdasarkan alamnya,
terkenal keseluruh dunia dengan kekhasan dan kekayaan alamnya yang indah dan subur,
dengan adanya taman-taman laut seperti Bunaken maupun adanya tambang-tambang emas,
serta tanaman cengkih-pala dan perkebunan kelapa yang sangat luas, demikian juga dengan
fauna langkanya seperti Anoa, Maleo, Tarsius dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa tanda-tanda kehidupan manusia di
Sulawesi Utara sudah berlangsung sejak 30.000 tahun yang lalu seperti yang ditemukan
buktinya di gua Liang Sarru di Pulau Salibabu. Bukti yang lain menunjukkan adanya kehidupan
sekitar 6.000 tahun lalu di Situs Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas dan 4.000 tahun
yang lalu sampai awal Masehi di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang.
Kemudian muncul kebudayaan megalitik berupa kubur batu ‘waruga’, menhir ‘watutumotowa’,
lumpang batu dan lain-lain sejak 2.400 tahun yang lalu sampai abad 20 Masehi di Bumi
Minahasa. Selain itu Sulawesi Utara pada masa lalu merupakan wilayah penghasil rempah-
rempah, beras, dan emas yang potensial yang menjadi ajang pertarungan kepentingan
hegemoni ekonomi antara bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Kerajaan-kerajaan di sekitar
daerah ini, yang akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz,
1962: 93-100). Pada masa lalu daerah ini juga menjadi route perdagangan antara barat dan
timur serta penyebaran agama Kristen, Islam maupun kepercayaan atau agama yang di bawa
oleh pedagang-pedagang Cina. Sulawesi Utara juga berperan dalam perjuangan-perjuangan
kemerdekaan dengan munculnya pahlawan-pahlawan asli dari daerah ini.
Wilayah Indonesia Timur termasuk daratan Sulawesi Utara dan kepulauan Sangihe,
Sitaro dan Talaud, sejak dahulu adalah merupakan wilayah yang strategis di kawasan Pasifik,
karena merupakan jembatan penghubung antara kawasan Asia dengan Kepulauan Pasifik
(Bellwood, 1996; Veth 1996). Pada masa lalu wilayah ini menjadi bagian dari route perjalanan
migrasi fauna dan manusia beserta kebudayaannya. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa di
dalam migrasi fauna prasejarah pernah melewati dan singgah di wilayah ini adalah ditandai
dengan adanya fosil gading gajah purba (stegodon) yang ditemukan di Pintareng, di Kabupaten
Kepulauan Sangihe di Sulawesi Utara (Husni, 1996/1997, 1999), dan geraham binatang purba
di lembah Napu di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, serta fosil-fosil binatang purba lainnya di
Cabenge di Sulawesi Selatan (Santoso, 2001, 2002, 2003).

PENINGGALAN BUDAYA AUSTRONESIA


Adapun migrasi manusia dari wilayah Asia ke Pasifik melalui route ini ditengarai dengan
menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau di sekitar Pasifik, seperti ditunjukkan oleh
penggunaan bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia, serta
ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang
berupa beliung batu persegi di Liang Tuo Mane’e di Kabupaten Talaud dan di daerah lain di
Sulawesi Utara. Disamping itu ditemukan pula sisa-sisa budaya masa logam tua (paleometalik)
yang mengenal penggunaan tempayan kubur seperti yang ditemukan di Liang Buiduane di
Talaud dan di Bukit Kerang Passo di Minahasa, serta peninggalan budaya megalitik
(kebudayaan yang mengenal penggunaan batu-batu besar) tersebar di wilayah kepulauan
Sulawesi dan kepulauan Maluku Utara (Bellwood, 1978). Sehubungan dengan hal itu wilayah ini
menurut para pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas
permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang
pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai
dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara
(Solheim, 1966; Shuttler, 1975, Bellwood, 2001).
Budaya yang dibawa oleh suku bangsa penutur bahasa Austronesia meninggalkan
warisan-warisan budaya yang terdiri dari alat-alat batu neolitik beliung persegi, benda-benda
yang terbuat dari batu-batu besar (megalitik) dan penguburan dengan menggunakan tempayan
tanah liat. Warisan budaya semacam itu banyak ditemukan peninggalannya di Sulawesi Utara.
Alat-alat batu neolitik telah ditemukan di gua-gua di daerah Talaud, di Guaan Bolaang
Mongondow dan daerah Oluhuta yang sebelum pemekaran wilayah, daerah itu termasuk ke
dalam wilayah Sulawesi Utara. Demikian juga benda-benda megalitik banyak ditemukan di
Sulawesi Utara dalam bentuk kubur batu waruga, batu bergores ‘watu pinabetengan’, menhir
‘watu tumotowa’, kubur tebing batu Toraut dan lesung batu, yang umunnya ditemukan di Tanah
Minahasa dan Bolaang Mongondow. Sedangkan kubur tempayan tanah liat ditemukan di
beberapa daerah seperti di Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas Minahasa, di Liang
Buiduane Salibabu, di Tara-tara, Kombi dan di beberapa daerah lainnya.
Dengan uraian di atas jelas peranan Sulawesi Utara sebagai gerbang Asia-Pasifik sejak
masa prasejarah tidak perlu diragukan lagi. Fosil-fosil binatang purba yang ditemukan di daerah
ini adalah salah satu bukti nyata peranan tersebut. Demikian juga dengan bukti-bukti sejarah
dan budaya yang dimiliki oleh daerah ini adalah merupakan saksi-saksi bisu yang menjelaskan
bagaimana peranan Sulawesi Utara sebagai Gerbang Asia-Pasifik sejak masa prasejarah
sampai masa sejarah bahkan tentunya sampai masa sekarang seperti yang diperjuangkan
Gubernur Sulawesi Utara pada saat ini. Dengan kenyataan-kenyataan tersebut, maka wilayah
ini dapat digambarkan berdasarkan fenomena dasarnya sebagai berikut (Ambary 1998: 150):
1. Dari segi zoografi, wilayah ini merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna, yakni
Wallace dan Weber (Bellwood, 1978:37; Veth, 1996).
2. Dari segi geolinguistik, wilayah ini dianggap sebagai tanah asal dari suku-suku bangsa
pemakai bahasa Austronesia (Andili, 1980; Bellwood, 2001: 340-347).
3. Dari segi geokultural, wilayah ini merupakan daerah lintasan strategis dalam migrasi-
migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia,
serta Oceania (Solheim, 1966; Duff, 1970; Shuttler, 1975: 8-10).
4. Dari segi ekonomi, wilayah ini merupakan wilayah penghasil rempah-rempah, emas dan
beras (Ulaen, 2003: 42-44), yang menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang
potensial di dalam pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, yang akhirnya
bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962: 93-100). Selain
itu dari segi ekonomi pada saat ini Sulawesi Utara merupakan daerah yang relatif aman
baik untuk investasi dan pariwisata.

DAFTAR ACUAN

Ambary, Hasan Muarif, 1998. Menemukan Peradaban. Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia. Editor Jajat Burhanuddin. Penerbit Logos.
Andili, A. Bahar, 1980. Profil Daerah Maluku Utara: Halmahera dan Raja Empat,
Konsep dan Strategi Penelitian. Editor E.K.M. Masinambouw, Jakarta: LEKNAS-LIPI.
Bellwood, P.S, 1976. Archaeological research in Minahasa and Talaud Islands,
Northeastern Indonesia. Asian Perspective, vol XIX, p. 240-288.
Bellwood, Peter, 1978. Man’s Conquest of the Pacific, The Prehistory of Southeast Asia and Oceania. William
Collins Publ. Auckland.
Bellwood, Peter, 1996. The Northern Mollucas as Crossroads between Indonesia
and The Pacifik. The International Conference on Linguistic and Culture Relations in East Indonesia,
New Gguinea and Australia. Yogyakarta.
Bellwood, Peter, 2001. Formosan Prehistory and Austronesian Dispersal, di dalam :
Austronesian Taiwan, ed. David Blundell
Daud Tanudirjo, Jeanny Dhewayani, Joko Siswanto, 1995. Laporan Penelitian
Kepurbakalaan di Kabupaten Sangihe-Talaud
Daud Tanudirjo. 2001. Islands in Between: Prehistory of the Northeastern Indonesian Archipelago. Phd.
Thesis pada Australian National University.
Duff, Roger, 1970. Stone adzes of Southeast Asia, Mueum Bulletin no. 3, Christchurch, New Zealand.
Geldern, Heine von, 1945. Prehistoric Research in the Netherlands Indies, Science and
Scientists in the Netherlands Indies, New York, hal. 129-167.
Heekeren, H.R. van, 1972. The Stone Age of Indonesia, VKI, 62, 2nd Revised Edition,
The Hague, Netherlands.
Lapian, A.B, 1996. Peta Pelayaran Nusantara dari Masa ke Masa. Al-Turas, vol. 2,
No. 5, halaman 51-65.
Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1962. Asian Trade and European Influence. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadile, 2008. Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan. Fuspad,
Jogja.
Santoso Soegondho, 2001. Pospek dan Strategi Balai Arkeologi Manado Menghadapi
Tantangan Issue-Issue Global. Paper pada EHPA, tahun 2001 di Yogyakarta.
Santoso Soegondho, 2002. A Small Prospect And Challenges Of North And Central
Sulawesi Archaeology. Paper pada Konggres IPPA, tahun 2002 di Taiwan.
Santoso Soegondho, 2003. Prospek Arkeologi Dan Pariwisata Daerah Sulawesi Utara di Era Globalisasi. Jejak-
Jejak Arkeologi, No, 3 Tahun 2003. Kementerian Kebudayaan Dan Pariwisata. Balai Arkeologi
Manado.
Shutler, Richard Jr. And Jeffrey C. Marck, 1975. On the Dispersal of the Austronesian
Horticulturalist. APAO, vol. X, No. 2, July: 103.
Soejono, R.P (Editor), 1976. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Solheim, Wilhelm G. II, 1976. Reflections on the New Data of Southeast Asian
Prehistory. Asian Perspective, vol. XVIII, no. 2. Hal. 154.
Ulaen, Alex J., 2003. Nusa Utara. Dari Lintasan Niaga Ke Daerah Perbatasan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
2003.
Veth, Peter (et all), 1996. Bridging Sunda and Sahul: The Arcahaeological Significance
of the Aru Islands, Maluku.The International Conference on Linguistic and
Cultural Relation in East Indonesia, New Guinea and Australia. Yogyakarta.

---SS---

Anda mungkin juga menyukai