Anda di halaman 1dari 11

INFO-PEMBEBASAN

MIRAH MAHARDIKA SOAL KRISIS EKONOMI,


PERGANTIAN PRESIDEN, DAN PEMERINTAHAN
KOALISI
Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama setengah tahun telah membuktikan bahwa
Orde Baru gagal. Atau lebih tepatnya lagi, Orde Baru telah terbukti menyengsarakan rakyat.
Rakyat sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Rakyat menjadi panik, karena
harga-harga semakin mahal dan sembilan bahan kebutuhan pokok semakin langka.

Sementara itu, keinginan agar Soeharto turun dari tahta kepresidenan semakin gencar. Amien
Rais dan Megawati Soekarnoputri menyusul Sri Bintang Pamungkas, Julius Usman, Berar
Fatia dan Wimanjaya untuk mencalonkan diri menjadi presiden/wakil presiden. Sementara
itu, para tokoh pro-demokrasi lain, seperti kelompok Petisi 50, Gus Dur, Aldera, PRD,
mahasiswa UGM, Forum Kebangsaan Indonesia, dan lain-lain secara terang-terangan
menolak Soeharto untuk menjadi presiden lagi. Tak ada alasan bagi pencalonan Soeharto
lagi, kecuali nafsu serakah semata.

Berikut ini wawancara dengan Mirah Mahardika dari Komite Pimpinan Pusat - Partai Rakyat
Demokratik (KPP-PRD) seputar masalah krisis ekonomi dan penolakan terhadap Soeharto.

Pembebasan (P) : Beberapa hari yang lalu rakyat panik. Mereka memborong bahan-bahan
kebutuhan pokok untuk persediaan. Karena harga-harga membumbung sangat tinggi, bahan
kebutuhan pokok menjadi langka, ada isu kudeta militer setelah Dollar membumbung di atas
Rp. 10.000. Bahkan Pangdam Jaya menuduh PRD dan Dewan Penyelamat Kedaulatan
Rakyat (DPKR) --sebuah organisasi yang baru berupa seruan-- sebagai pembuat isu. Apa
analisa Bung mengenai masalah ini ?

Mirah Mahardika (MM) : Kalau menuduh DPKR itu, memang lucu. Bodoh. Setahu saya,
DPKR itu belum dibentuk, DPKR adalah sebuah seruan dari Komite Nasional Perjuangan
Demokrasi (KNPD) sewaktu konferensi pers di YLBHI beberapa hari lalu agar para
figur/tokoh pro-demokrasi dan organisasi-organisasi yang pro-demokrasi mendirikan DPKR
untuk mengambil alih peranan pemerintah untuk menangani krisis. Alasannya, menurut
KNPD, pemerintah sudah tidak mampu menangani krisis dan rakyat sudah tidak percaya
pemerintah. Barang kali tuduhan terhadap DPKR ini untuk menakut-nakuti mereka yang
ingin bergabung dengan DPKR. Maksud militer : awas jangan menjadi anggota DPKR, nanti
saya kambing hitamkan ! Barangkali begitu. Jadi bermaksud mengancam. Tapi, yang nampak
justru kebodohan Pangdam Jaya.

Memang, seruan KNPD ini sangat tepat pada situasi seperti ini. Coba bayangkan, kalau pada
situasi seperti ini semua figur yang diserukan itu benar-benar bersatu ? Tentu rakyat akan
mengalihkan kepercayaannya kepada Dewan itu. Sebab, di saat kepercayaan rakyat
mengalami krisis, tiba-tiba muncul begitu banyak figur yang merepresentasikan begitu
banyak golongan tampil menangani krisis. Hampir dapat dipastikan rakyat akan
mendukungnya.
Kalau PRD dituduh pembuat isu, itu tidak aneh. Sebab selama ini PRD selalu menyerukan
agar rakyat menggulingkan Soeharto dan rakyat jangan lagi percaya pada Soeharto. Apa yang
dilakukan PRD bukan bermaksud membuat rakyat panik, tapi bermaksud menyadarkan
rakyat agar tidak terus-menerus mau ditipu oleh Soeharto. Rakyat sudah sengsara, harga-
harga terus naik, PHK dimana-mana, pengangguran membengkak, masak rakyat disuruh
diam dan mempercayai Soeharto begitu saja. Ini kan kesadaran palsu. Nah, PRD bermaksud
membongkar kesadaran palsu itu.

Apakah kepanikan kemarin adalah rekayasa PRD ? Ya, PRD memang turut mendorong. Tapi
yang jelas, kepanikan kemarin membuktikan bahwa rakyat semakin sadar bahwa pemerintah
sebenarnya sudah tidak mampu mengurus negara. Rakyat sudah tidak percaya pada rejim
Orde Baru. Orde Baru sadar ini. Maka rakyat ditipu lagi dengan pernyataan bahwa persediaan
sembilan bahan kebutuhan pokok masih cukup untuk tiga bulan dan pemerintah mengimpor
beras lagi. Itu terus-menerus dipertontonkan di TV. Lalu Tutut mempelopori Gerakan "Aku
Cinta Rupiah." Orang-orang yang pro-Soeharto mendukung dengan menjual Dollar, walau
hanya sebagian kecil dari Dollar yang mereka timbun. Mereka juga tidak mau rugi, maka
hanya sebagian kecil yang mereka jual.

Itu semua hanya artifisial. Tujuannya hanya memberi efek psikologis agar rakyat tenang.
Untuk menipu rakyat. Tapi akar persoalannya tetap tidak tersentuh. Akibatnya, untuk
sementara Dollar turun sedikit, harga turun sedikit, dan rakyat untuk sementara waktu tenang.
Tapi ini hanya sesaat. Tapi dalam waktu cepat kenyataan tidak lagi dapat dimanipulasi,
sehingga panik timbul lagi. Begitu terus, selama belum ada penyelesaian yang mendasar.

P : Apa penyelesaian yang mendasar itu ?

MM : Semua orang sudah tahu bahwa penyebab krisis ini adalah Soeharto, anak-anaknya,
beserta pranata ekonomi politik Orde Baru, selain faktor ekonomi internasional. Jadi,
penyelesaian yang mendasar itu adalah mengganti Soeharto dan mengubah sistem ekonomi
politik Indonesia.

P : Tapi dengan suksesi tidak akan otomatis krisis teratasi.

MM : Betul, kalau hanya suksesi. Di sini ada kata "hanya." Dengan hanya suksesi, juga tidak
dijamin akan ada demokrasi. Dengan hanya suksesi juga tidak dijamin kesengsaraan rakyat
hilang. Oleh karenanya, yang harus dilakukan adalah suksesi dan pergantian sistem ekonomi-
politik. Jadi, pemerintahan pasca-Soeharto nanti harus merombak pranata yang menyebabkan
kesengsaraan rakyat ini, seperti monopoli dan bisnis kroni. Jadi perusahaan monopoli
keluarga Soeharto harus dinasionalisasi, dijadikan milik rakyat. Lalu kekayaan para koruptor
harus disita untuk membiayai hutang luar negeri, misalnya. Perombakan pranata politiknya,
terutama harus mencabut 5 UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI, sebab keduanya adalah
yang menyebabkan demokrasi di Indonesia mati.

P : Bagaimana dengan perusahaan swasta lain, bagaimana juga dengan perusahaan asing dan
milik non-pribumi ?

MM : Tidak usah khawatir, mereka tetap kita lindungi. Yang kita tentang adalah perusahaan
kroni dan monopoli keluarga Soeharto/pejabat lain serta bisnis ABRI. Sedangkan perusahaan
asing tetap kita ijinkan beroperasi untuk bidang-bidang tertentu, karena ini diperlukan oleh
negara yang sedang berkembang untuk transfer teknologi dan industrialisasi. Sedang
perusahaan non-pribumi, juga tidak perlu khawatir. Pemerintahan demokratis yang akan kita
dirikan nanti, justru tidak membedakan pribumi dan non-pribumi, sebab kita menentang
diskriminasi rasial dan diskriminasi dengan alasan apapun juga. Sehingga perusahaan non-
pribumi akan mendapat perlakuan yang sama dengan perusahaan pribumi. Tidak perlu ada
dikotomi pri dan non-pri.

Pranata baru nanti justru menguntungkan para pengusaha, sebab bisnis kotor yang tidak fair
seperti yang dilakukan keluarga Soeharto tidak ada lagi. Jadi nanti tidak ada kolusi, tidak ada
ancaman, tidak ada diskriminasi dalam memberikan fasilitas dari pemerintah. Ini justru baik
bagi perkembangan bisnis dan ekonomi. Selama ini perusahaan kroni dan ABRI bukan hanya
menghancurkan sistem ekonomi kita, tetapi juga menindas pengusaha lain kan !

P : Soeharto telah melakukan reformasi ekonomi dengan bantuan IMF. Berarti dalam
menangani ekonomi ini, Soeharto mendapat dukungan internasional ?

MM : Harus dipahami dulu, IMF itu mewakili kepentingan siapa. Jelas IMF mewakili
imperialis, dalam hal ini Amerika Serikat. Reformasi-reformasi ala IMF hanya
menguntungkan kepentingan kelompok mereka. Coba kita cermati kesepakatan IMF dengan
Soeharto kemarin. Memang di situ IMF menekan bisnis kroni, seperti menghapuskan segala
bentuk privelese atau fasilitas. Fasilitas-fasilitas istimewa ini kan hanya dinikmati bisnis
keluarga presiden dan para pejabat, seperti mobil Timor, bisnis jalan tol-nya Tutut,
Bimantara, HPH bagi Bob Hasan, dan sebagainya. Nah itu merugikan modal asing kan. Oleh
karenanya, sama IMF itu digencet habis.

Tapi jangan terilusi bahwa IMF akan menguntungkan rakyat, atau dengan kata lain
melakukan proses demokratisasi ekonomi. Justru reformasi IMF banyak menyengsarakan
rakyat, seperti PHK besar-besaran, pengurangan subsidi untuk BBM dan listrik, menerapkan
pajak 40% bagi tanah dan gedung untuk bisnis dan pertanian. Jadi, akibat reformsi IMF ini
rakyat semakin sengsara.

Reformasi-reformasi itu, hanyalah menguntungkan modal asing, seperti


penghapuasan/mengurangi tarif impor, penghapusan/pengurangan pajak ekspor (ingat, ekspor
kita adalah bahan-bahan baku industri yang sangat langka di negara imperialis), privatisasi,
penghilangan kuota, pencabutan larangan investasi asing dalam perkebunan kepala sawit, dan
sebagainya.

P : Jadi menurut Bung, apakah reformasi IMF ini akan sukses menangani krisis ekonomi ?

MM : Krisis di Indonesia sudah mencakup banyak dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi
tapi juga mencakup dimensi sosial dan politik. Dimensi sosialnya adalah keresahan rakyat di
mana-mana akibat kenaikan harga, PHK massal, potongan subsidi barang-barang kebutuhan
pokok, dan lain-lain. Sedangkan dimensi politiknya adalah ketidakpercayaan terhadap rejim
Soeharto, polarisasi di kalangan kapitalis sendiri, keberanian para tokoh masyarakat untuk
menolak Soeharto, dan seterusnya. Mungkin saja reformasi IMF akan menambah modal bagi
aktivitas ekonomi Indonesia dan meningkatkan efisiensi. Tapi di sisi lain, justru
meningkatkan gejolak sosial-politik, yang disebabkan oleh kesengsaraan rakyat akibat
reformsi itu. Tentunya, dalam kondisi gejolak sosial-politik yang hebat, usaha reformasi
ekonomi pasti gagal. Reformasi ekonomi membutuhkan stabilitas soasial-politik.

P : Kita menolak reformasi ala IMF. Lalu bentuk reformasi yang bagaimana yang tepat ?
MM : a) Nasionalisasi perusahaan kroni --milik Tommy, Tutut, Bambang, Ari Sigit, Bob
Hasan, Probosutejo, Liem , dan konco-konconya itu. Perusahaan itu nanti untuk kepentingan
rakyat. Mereka tidak berhak memiliki perusahaan itu, karena perusahaan itu dibangun atas
dasar fasilitas-fasilitas negara. Yang berhak memiliki adalah rakyat.

(b) Penyitaan kekayaan para koruptor, sebagian untuk pembayaran hutang, sebagian untuk
peningkatan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat, dan sebagainya. Ingat, Indonesia
adalah rangking satu di seluruh dunia dalam hal korupsi. Sekitar 30% dari anggaran negara
bocor. Coba bayangkan, kalau yang 30% ini kita kumpulkan lagi, tentu akan sangat berguna
untuk membiayai hutang dan pembangunan.

(c) Dipulihkan kembali subsidi-subsidi untuk minyak, listrik, beras, dan komoditi-komodi
lain yang dibutuhkan rakyat

(d) Reformasi ekonomi untuk lebih mementingkan produksi untuk kebutuhan rakyat dan
mengurangi produksi sekedar untuk ekspor. Ini akan perlukan intervensi negara dalan
produksi.

P : Kemarin Presiden Clinton, Perdana Menteri Hashimoto, PM Howard, dan yang lainnya
menelpon Soeharto. Banyak spekulasi, antara lain para kepala negara itu menyarankan
Soeharto untuk mundur saja.

MM : Kita sangat menyayangkan para aktivis pro-demokrasi di Indonesia yang sangat


terpengaruh oleh rumor dan spekulasi-spekulasi. Celakanya lagi, seringkali rumor dan
spekulasi itu sering menjadi landasan untuk bertindak. Kan payah ini !

Yang jelas, Indonesia adalah aset strategis bagi perekonomian internasional karena
merupakan penghasil bahan baku utama bagi industri, seperti baja, timah, nikel, karet, kayu,
kelapa sawit, dan sebagainya. Juga secara geografis Indonesia strategis untuk perdagangan
internasional. Jumlah penduduknya 200 juta, ke empat tebesar di dunia, sehingga merupakan
penyedia tenaga kerja yang murah dan menjadi pasar yang penting. Semua ini menggiurkan.
Semua ingin menguasai ini. Dan ingat, Soeharto menyediakan semua ini untuk mereka.
Soeharto lah yang mengijinkan modal asing masuk setahap demi setahap hingga sampai
100%. Soeharto lah yang melakukan privatisasi BUMN-BUMN. Soeharto lah yang
menggebuki para buruh yang berani protes. Soeharto juga yang mempersembahkan stabilitas
bagi ketenangan bisnis. Dan lain-lain. Sederhananya, Soeharto adalah mitra paling baik bagi
imperialisme. Namun di sisi lain, Soeharto memang memberi fasilitas kerabatnya,
membesarkan bisnis kroni. Tapi, secara umum, Soeharto sangat menguntungkan para
imperialis. Sampai sekarang.

Tapi adalah juga merupakan bahaya, membiarkan atau mendukung Soeharto terus-menerus,
karena akan meningkatkan gejolak dan radikalisme peralawanan rakyat. Tapi sampai
sekarang, belum muncul mitra alternatif, yang seperti Soeharto. Saya pikir, baik AS, Jepang,
Australia, Jerman dan lain-lain sedang mengupayakan itu. Tapi tentunya yang dicari orang
yang masih di sekeliling Soeharto, untuk mengurangi resiko gejolak. Tapi, menyarankan agar
Soeharto mundur atau lari ke luar negeri pada saat seperti ini akan sangat beresiko, seperti
kemungkinan terjadi disintegrasi, perpecahan dalam rejim, penumpahan massa, dan
sebagainya. Itu yang sangat mereka hindari saat ini. Ingat, Soeharto istirahat total 10 hari saja
resahnya sudah bukan main. Apalagi melarikan diri ? Justru saat ini Soeharto diperlukan
untuk mendinginkan suhu politik.
P : Sekarang Megawati berani mencalonkan diri sebagai presiden dan menolak pencalonan
Soeharto lagi. Sementara itu Gus Dur juga menolak pencalonan Soeharto. Apa komentar
Bung ?

MM : Pertama, saya harus sangat menghargai Sri Bintang Pamungkas, Kketua Partai Uni
Demokrasi Indonesia, yang sudah jauh-jauh hari berani secara terbuka dan tegas
mencalonkan diri dan menolak Soeharto. Apa yang dilakukan oleh Bintang, saya pikir,
sedikit atau banyak memberi inspirasi dan keberanian tokoh-tokoh lain, seperti Amin Rais,
Megawati, Petisi 50, Gus Dur, dan lain-lain. Kalau dikatakan pencalonan ini untuk
menghilangkan tabu, dimana di sini ada pantangan mencalonkan presiden selain Soeharto,
mungkin apa yang dilakukan tokoh ini sudah berhasil. Bagus.

Tapi, saya pikir, pencalonan sebagai presiden tidak boleh semata-mata untuk menghilangkan
tabu. Para calon presiden pro-demokrasi tidak usah malu-malu untuk benar-benar berusaha
menduduki kursi kepresidenan. Sebab ini bukan hal yang memalukan. Justru ini sangat
terpuji, daripada membiarkan kursi kepresidenan diserahkan lagi kepada Soeharto dan
kliknya. Oleh karena itu, harus didorong agar usaha pergantian presiden benar-benar sukses
secara demokratis.

Sedangkan dampaknya bagi rakyat, saya pikir sangat besar. Rakyat menjadi terbuka matanya,
bahwa selain Soeharto terdapat banyak pilihan lain yang jauh lebih bagus dan benar-benar
pro-rakyat. Selain itu, rakyat menjadi bersemangat dan percaya diri, bahwa telah muncul para
pemimpin yang siap memperjuangkan hak mereka dan menjanjikan perubahan nasib.

Namun, ada hal yang harus kita kritisi, yaitu, menolak Soeharto dengan alasan usia yang
sudah tua. Ini bukan alasan yang benar. Kita harus tegaskan bahwa kita menolak Soeharto
karena Soeharto telah membuat pemerintahan diktator, melakukan kejahatan politik,
ekonomi, hukum, melanggar HAM, menyengsarakan rakyat, dan, sekarang, gagal mengelola
ekonomi Indonesia.

P : Tapi itu kan taktis, maksudnya biar tidak ditindas oleh Soeharto. Berani menolak saja
adalah sudah merupakan kemajuan yang sangat berarti.

MM : Sebagai taktik, alasan apapun harus dengan syarat. Pertama, tidak boleh memanipulasi
kesadaran rakyat. Kedua, tidak boleh memberi peluang rejim untuk memanipulasinya.

Alasan karena Soeharto tua, itu memanipulasi rakyat, sebab seolah-olah kita memaklumkan
kejahatan-kejahatan Soeharto selama ini. Seolah-olah Soeharto masih sah menjadi kandidat
walaupun melakukan berbagai kejahatan seperti yang saya sebut di atas. Yang membuat tidak
sah adalah faktor usia. Jadi orang ditolak menjadi pemimpin bangsa bukan karena jahat dan
kegagalannya, tapi karena usianya. Sederhana sekali.

Kedua, alasan ini dapat dimanipulasi oleh rejim. Kalau alasannnya karena faktor usia,
Soeharto bisa diganti oleh kliknya yang lebih muda, misalnya Tutut, Harmoko, Prabowo, dan
lainnya. Dengan demikian, kursi kepresidenan jatuh lagi ke tangan klik Soeharto. Akhirnya,
kita kecolongan.

Jadi, sebagai taktik sekalipun, alasan faktor usia semata tidak tepat. Kita boleh menyertakan
faktor usia sebagai alasan. Memang orang seumur Soeharto sudah tidak lagi efektif
memimpin negara. Tapi alasan yang prinsipil harus kita kampanyekan. Jangan sampai,
dengan alasan taktik justru yang prinsip kita korbankan.

P : Kira-kira, apakah mungkin para calon presiden pro-demokrasi ini dapat benar-benar
menduduki kursi presiden. Sebab, mayoritas anggota MPR yang akan memilih mereka kan
alatnya Soeharto ?

MM : Kalau kita masih terilusi dengan lembaga MPR, jelas pencalonan presiden ini tinggal
sebatas menjebol tabu. Sebab, dengan perhitungan yang paling awam sekalipun, sudah dapat
disimpulkan bahwa SU DPR/MPR akan memenangkan strategi Soeharto. Kalau menurut
strategi mereka, Soeharto harus menjadi presiden lagi, tanpa hambatan yang berarti. Pasti
Soeharto akan terpilih lagi. Namun kalau bagi rejim ini menggunakan strategi memilih
presiden lain --namun masih klik Soeharto-- juga tidak akan ada hambatan yang berarti.
Dengan kalimat yang sederhana, dapat saya katakan,: SU MPR jelas menjadi boneka
Soeharto semata, apa mau Soeharto pasti terkabulkan.

Nah, apa mungkin para kandidat presiden pro-demokrasi kita akan dipilih dalam SU nanti.
Untuk menjadi nominasi saja, pasti sulitnya bukan main. Kira-kira ada berapa fraksi yang
akan mengusulkan Bintang, atau Amien, atau Mega, atau calon lain yang pro-demokrasi ?
Apakah F-PP mungkin ? F-ABRI ? F-KP ? F-PDI ? Dan kita tahu, dalam UU Tentang
Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, setiap usul harus dilakukan oleh fraksi, bukan oleh
setiap anggota majelis ! Jadi, misalnya ada satu atau dua atau sepuluh anggota majelis yang
membelot, mereka tidak akan bisa bersuara, sebab setiap usul harus merupakan keputusan
fraksi ! Jadi, juga merupakan ilusi jika masih ada harapan ada anggota majelis yang
membelot, misalnya. Jadi, sangat sulit sekali memenangkan kursi presiden lewat SU MPR.

P : Lalu dimana segi positif pencalonan presiden Bintang, Berar, Amien, Mega, dan kandidat
lain ?

MM : Seperti yang telah saya singgung, ini akan membuat rakyat bangkit semangatnya
--tidak lagi putus asa-- dan membuka mata rakyat bahwa di antara 200 juta ini banyak pilihan
untuk menjadi pemimpin bangsa. Itu efek ke arus bawah. Sedangkan efeknya bagi politik di
tingkat atas, jelas ini akan membuat situasi semakin panas. Sekarang sudah menjadi hal yang
biasa untuk menyebut calon presiden baru dan menolak pencalonan lagi Soeharto. Berarti,
secara otomatis, pintu demokrasi terjebol secara paksa. Pers berani atau tidak berani terpaksa
memuatnya. Sementara Soeharto tidak punya alasan untuk melarang pencalonan itu, karena
memang dilindungi oleh UUD 1945. Paling yang dilakukan adalah teror-teror.

Jadi, secara prinsip, sudah tepat. Namun masih ada kesalahan dalam dua hal. Pertama adalah
alasan penolakan Soeharto --karena sudah tua. Kedua adalah cara memperjuangkannya yang
lewat jalur parlementer semata (SU MPR). Perjuangan lewat SU MPR boleh, dalam konteks
propaganda. Tapi hasil yang riil tidak dapat diharapkan dari SU MPR ini.

P : PRD sejak deklarasi 22 Juli 1996 lalu telah mendukung pencalonan Megawati sebagai
presiden. Bagaimana terhadap calon lain ?

MM : Secara prinsip, PRD mendukung siapapun, dari kalangan pro-demokrasi, sebagai


presiden. Namun demikian, kita mengajukan program sebagai syarat, yaitu mencabut 5 UU
Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI.
P : Menurut Bung, bagaimana cara kaum pro-demokrasi memenangkan kursi presiden ?

MM : Karena jalur parlementer --SU MPR-- tidak mungkin lagi, kita harus menempuh jalur
ekstra-parlementer. Jadi bentuknya adalah pemberontakan rakyat atau people power. Tentu
kita harus meminimalisir pertumpahan darah, dan ini bukan hal yang mustahil. Apalagi, kalau
aksi ini melibatkan tokoh-tokoh yang disegani rakyat, tentu militer tidak berani sembarangan
memuntahkan pelurunya. People Power di Filipina tidak ada pertumpahan darah.
Pertumpahan darah justru terjadi setelah Aquino berkuasa. Ini bukan karena People Power-
nya, tetapi karena ketidakmampuan Aquino.

P : Bagaimana ini dapat dilakukan ?

MM : Untuk memobilisasi massa dalam jumlah yang besar, tidak mungkin dilakukan sendiri-
sendiri. Belajar dari pengalaman berbagai negara, juga mobilisasi massa di Indonesia tahun
1945 dan 1966, itu semua dilakukan oleh aliansi, atau front, atau koalisi. Oleh karena itu,
yang pertama harus digalang adalah mempersatukan organisasi-organisasi dan para figur.
Apa yang dapat menyatukan ? Yang dapat menyatukan adalah kesamaan program.

Hal kedua adalah seruan-seruan kepada rakyat. Sekarang posisi rakyat adalah menunggu.
Sebagian lagi telah punya inisiatif, seperti penyerbuan kantor polisi dan lain-lain. Dengan
seruan-seruan tersebut, tindakan rakyat akan lebih terarah, tidak lagi tersesat kedalam isu-isu
SARA.

P : Apa hubungan ini dengan konsep pemerintah Koalisi yang diusulkan PRD ?

MM : Koalisi yang digalang untuk menumbangkan Soeharto tersebut adalah embrio


pemerintah koalisi. Jadi semua yang berperan dalam proses penggulingan Soeharto dan yang
membantu pembangunan masyarakat pasca-Soeharto adalah yang terlibat dalam
pemerintahan koalisi. Pemerintah koalisi bertugas menyelenggarakan pemilu yang benar-
benar bebas dan demokratis, yaitu pemilu yang bebas dari penindasan 5 UU Politik 1985 dan
Dwi Fungsi ABRI.

P : Sekarang Amien sudah menyatakan siap bekerjasama dengan Gus Dur dan Megawati.
Apakah ini berarti bahwa ide koalisi sudah meluas ?

MM : Saya pikir inisiatif Amien itu berdasarkan ide koalisi. Saya pikir Ide koalisi sudah
meluas dimana-mana, seperti ide pendirian DPKR oleh KNPD, ide Partai Uni Demokrasi
oleh Sri Bintang yang bercita-cita menyatukan generasi 45, 66. 70-an, 80-an, dan 90-an.
Proses realisasinya juga telah dirintis sejak berdirinya SIUPP (Solidaritas Indonesia Untuk
Pembebasan Pers), MPKR (Majelis Pemurnian Kedaulatan Rakyat), Oposisi Indonesia,
KIPP, MARI, dan sebagainya. Jadi, ide koalisi ini bukanlah ide baru. Cuma, secara kualitatif
bentuk-bentuk koalisi terus berkembang, sesuai tuntutan situasi.

P : Amien Rais mengusulkan agar pemerintahan paska-Soeharto dipegang oleh sebuah


presidium. Presidium tersebut melibatkan spektrum yang sangat luas, di sini Soeharto dan
Rudini masuk didalamnya. Bagaimana pendapat Bung ?

MM : Saya pikir ini bukan pemerintahan koalisi, tapi semacam pemerintahan rekonsiliasi
nasional, sebab melibatkan unsur-unsur yang bertentangan, yaitu antara rejim Soeharto dan
kaum pro-demokrasi. Namun sebagai pemerintahan rekonsiliasi nasional pun itu bukan
rekonsiliasi sungguhan, tapi hanyalah artifiasial atau lip-service saja. Atau rekonsiliasi
setengah hati. Sebab, kalau memang kita benar-benar melakukan rekonsiliasi, kita harus
konsisten, harus melibatkan semua unsur yang konflik di Indonesia, seperti PKI, PNI,
Masyumi, PSI, Murba, NII, PUDI, PRD, SBSI, dan sebagainya, juga unsur rejim. Untuk itu,
para tahanan maupun narapidana politik harus dibebaskan semua dan partai-partai serta
organisasi terlarang harus dilegalkan, baru nanti duduk dalam satu meja untuk membuat
pemerintahan baru.

P : Bagaimana sikap PRD terhadap usul seperti ini ?

MM : Seperti dalam Manifesto PRD, Soeharto harus diadili secara terbuka. Komisi HAM
nasional maupun internasional serta Palang Merah Internasional dan lembaga-lembaga lain
diberi kebebasan seluas-luasnya untuk meninjau sidang ini. Soeharto boleh memilih
pengacara secara bebas. Keselamatan dia dan keluarganya beserta pejabat lain dilindungi oleh
hukum. Karena kita harus menegakkan hukum. Ini adalah negara hukum. Siapa yang salah,
harus dibawa ke pengadilan.

Secara politik, kita juga tidak percaya bahwa rekonsiliasi adalah sebagai proses
demokratisasi. Justru seringkali ide rekonsiliasi datang dari rejim yang sudah hampir
tumbang untuk menyelamatkan kekuasaannya. Setelah rejim menjadi kuat lagi, golongan-
golongan yang beroposisi akan ditindas. Jadi, rekonsiliasi adalah sogokan untuk melemahkan
perlawanan rakyat.

P : Bagaimana posisi PRD dalam pemerintahan koalisi nanti ?

MM : PRD akan berperanserta dalam pemerintahan koalisi, dengan syarat pemerintahan ini
benar-benar berada dalam rel demokrasi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, terutama
rakyat kecil. Tentu saja pemerintahan kita nanti adalah pemerintahan koalisi dari unsur-unsur
yang berjasa dalam penggulingan kediktatoran dan unsur-unsur yang menyumbangkan
tenaga/pikirannya bagi pembangunan masyarakat selanjutnya. Dan segera, pemerintahan baru
nanti akan melucuti institusi-institusi negara yang berwatak parasit dan menindas sampai ke
titik impoten. Ingat, tak mungkin demokrasi dan atau sosialisme dibangun dari moncong
senjata dan birokratisasi. Kehidupan multipartai harus dijamin. Partai tidak boleh
menggunakan (dan tidak akan disubsidi) fasilitas-fasilitas negara. Jadi partai benar-benar
mandiri. Kebebasan beragitasi-propaganda, termasuk upaya mendirikan dewan-dewan rakyat
adalah hak rakyat sepenuhnya. Pejabat-pejabat eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak boleh
dipilih dari partai, tapi dari dewan-dewan rakyat. PRD dan partai lain yang memegang
pemerintahan hanya lah alat agitasi-propaganda bagi program-program atau bukan mesin
penghasil birokrat dan kekuasaan. Namun apabila pemerintahan koalisi ini mengkhianati cita-
cita itu, PRD akan menjadi oposisi. Untuk itulah, seperti dalam Manifesto PRD, PRD
dirancang untuk menjadi oposisi masa depan.***
=eof=

From:
PRD - EUROPE OFFICE
e-mail: prdeuro@xs4all.nl
Fri, 16 Jan 1998 21:58:38 +0100 (CET)

Kembali ke Index
Tragedi Tanjung Priok, Jakarta, 1984

Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushala As-Sa'adah untuk menyita pamflet berbau 'SARA'. Namun tindakan
Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid
tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-
Qur'an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus
mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari
aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang
ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.

Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang
menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan
tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir
Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang
yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara
bergetar, "Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam
sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini". Mubaligh lain,
Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, "Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama
Allah ?" Dijawab oleh massa, "Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !"
Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan
didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak
menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian
besar hanyalah berbekal asma' Allah dan Al-Qur'an. Amir Biki berpesan, "Yang merusak
bukan teman kita !"

Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal
seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi
ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas.
Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba
mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu ... astaghfirullah ! Tanpa
peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar
senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah
dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat
mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi.
Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa
yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar
menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta.
Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani,
menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil
investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung
prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat.
Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu
mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau
kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.

Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa
panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja
direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi
bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani,
adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam. Suasana
rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di
kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di
Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan
mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan
provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain
sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat
diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam
perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita
Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12
September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara.
Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di
Indonesia.

Diringkas dan diedit ulang dari Majalah Sabili dan Tabloid Hikmah

KEMBALI

http://www.ummah.net/islam/nusantara/realita/priok.html

Gerakan Pengacau Keamanan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Gerakan Pengacau Keamanan (disingkat GPK) adalah sebuah istilah yang digunakan di
Indonesia untuk merujuk kepada kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang
dianggap oleh Pemerintah Indonesia mengganggu keamanan atau stabilitas di Indonesia.

Beberapa organisasi yang pernah disebut sebagai GPK (baik di media massa maupun oleh
pemerintah):

 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (nama GAM tidak diakui pemerintah Indonesia; oleh TNI,
GAM disebut GPK)
 Organisasi Papua Merdeka
 kelompok-kelompok pemicu konflik di Poso pada tahun 2000-an

Selain Gerakan Pengacau Keamanan, ada pula istilah Gerakan Pengacau Liar yang juga
kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada hal yang sama.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Pengacau_Keamanan"


Kategori: Politik di Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Pengacau_Keamanan

Anda mungkin juga menyukai