Anda di halaman 1dari 4

Potret Pendidikan Yang Mengabaikan Nilai-Nilai Islam

By: Siti Maesuri

Berbagai kejadian yang menyedihkan telah mewarnai wajah dunia pendidikan


kita, mulai perilaku siswa/mahasiswa, perilaku guru/dosen, maupun masyarakat
umumnya yang notabene adalah produk pendidikan.

Melalui media massa (kompas, 12/5/02) diketahui bahwa data dari Direktorat
Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya bahwa tawuran antar pelajar pada tahun
2000 terjadi 197 kasus, tahun 2001 terjadi 123 kasus. Pelajar yang tewas tahun 2000
tercatat 28 orang dan tahun 2001 ada orang. Pelajar luka berat tahun 2000 ada 22
orang dan 2001 ada 32 orang. Yang memperihatinkan bahwa tawuran tersebut telah
turun ke tingkat SLTP. Hal yang lebih mencemaskan lagi adalah para pelajar mulai
berani melakukan aksi kekerasan, seperti penodongan sampai pembajakan kendaraan
umum (bus dan angkot), merampok penumpang bahkan tidak segan melukai
korbannya. Bukankah ini menjadi representasi kerapuhan sistem pendidikan kita???

Melalui media TV, kita pun sering dikagetkan dengan kejadian guru/dosen yang
melakukan kejahatan yang amat bejat, mencabuli siswa, demikian juga terdapat guru
yang mencari nafkah tambahan dengan melakukan pencurian sepeda motor.

Beberapa minggu yang lalu, saya pun dikagetkan dengan cerita seorang guru
SLTP, bahwa pernah terjadi seorang siswanya membawa sekumpulan foto/gambar
cabul. Hal yang mengerikan adalah siswa tersebut menjadikan foto tersebut sebagai
ajang bisnis, bahwa siapapun siswa dapat melihat gambar tersebut dengan syarat
membayar Rp500,00. Walhasil, banyak siswa (laki-laki) yang terpengaruh dan rela
kehilangan uang demi melihat foto tersebut, hingga akhirnya seorang siswa (wanita)
mengetahui kejadian tersebut dan segera melaporkan ke gurunya.

Dari survei yang dilakukan BKKBN Jawa Barat dapat diketahui bahwa sekitar
39,7% siswa di Jawa Barat pernah melakukan hubungan seks (Pikiran rakyat,
30/8/2002). Akhir-akhir ini pun, marak diperbincangkan kasus INUL dengan berbagai
efek negatifnya, termasuk efeknya terhadap anak-anak atau pun para pelajar. Sekali
lagi, bukankah ini menjadi representasi kerapuhan pendidikan kita???

Mari kita lebih cermat dan berfikir lebih serius, kenyataan menunjukkan bahwa
meskipun tidak ada Sekolah atau Universitas Tiran dan tidak ditemui adanya Institut
Konglomerat, tapi toh nyatanya kita punya persediaan tiran yang tidak pernah habis
dan stok juragan besar yang berlimpah ruah, itu pun belum terhitung para asisten tiran
dan asisten juragan. Kita tidak pernah melihat sekolah dengan kurikulum yang
mengajar siswa mencuri, membuat kerusuhan atau kekacauan, tetapi mengapa kita
selalu membaca di koran atau mendengar di radio, bahkan menonton tayangan TV
tentang berbagai macam kejahatan yang dilakukan oleh anak muda, antara lain
perkelahian massal antar pelajar, permintaan aborsi dari kaum pemudi, dan

1
merebaknya wabah ectasy. Dan yang lebih fatal lagi karena anak muda yang
melakoninya konon adalah “produk pendidikan”.

Hal yang patut direnungkan adalah, jika moral para pelajar tersebut rusak dapat
dibayangkan bagaimana masa depan agama kita atau pun masa depan bangsa kita.
Sebagai guru atau calon guru, (dan kita semua akan menjadi guru-paling tidak guru
dari sekelompok masyarakat, atau guru dari anak kita, bahkan guru dari diri kita
sendiri), seharusnya kita mau berfikir bagaimana menyiapkan anak didik kita dalam
menghadapi masa depannya sedangkan mereka tidak tahu wajah masa depan itu
sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dulu orang dapat mencari kerja hanya dengan
pendidikan Sekolah Dasar (SD), tetapi pendidikan setingkat itu sudah tidak memadai
lagi. Selain itu kita dapat merenungkan bahwa kesempatan kerja yang ada sekarang
belum tentu ada lima tahun atau sepuluh tahun yang lalu. Hal ini karena dunia terus
berkembang. Adanya industri baru, pekerjaan baru menyebabkan persyaratan kerja
juga baru.

Beberapa bulan yang lalu, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat


HM. Jusuf Kalla menyodorkan data yang menyesakkan dada. Lebih tiga perempat
tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke Singapura, Malasyia, Hongkong, dan Arab
Saudi, hanya berkelas pembantu rumah tangga, buruh bangunan, buruh perkebunan,
sopir, dan tukang kayu. Pokok dari semua masalah ini disinyalir oleh Yusuf Kalla
adalah karena rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Data rendahnya mutu ini juga
ditunjukkan oleh hasil survei dari asosiasi penilaian pendidikan internasional bahwa
prestasi matematika anak Indonesia untuk tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama,
berada di nomor empat dari bawah, dari 38 negara. Singapura di urutan teratas,
Malasyia di urutan 14 dan Amerika Serikat di urutan 18 (http://www.kompas.com).

Sistem pendidikan kita dapat terbilang jelek jika ditandai dengan tingkat kualitas
SDM kita tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic
Risk Concultacy (PERC) September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam.
Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada
tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174
negara atau sangat jauh dibandingkan dengan Singapura yang berada pada urutan ke-
24, malasyia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke ke-76, dan Filipina urutan ke ke-
77 (satunet.com)

Dari sejumlah uraian di atas, dua hal utama yang tidak dapat kita pungkiri lagi
bahwa dengan sistem pendidikan yang berlangsung selama ini (1) telah gagal
menempatkan peserta didik (manusia) pada kedudukan yang seharusnya, jika boleh
dikatakan bahwa belum berhasil memanusiakan manusia, (2) belum mampu memberi
bekal optimal sehingga kita pun selalu terkebelakang dalam penguasaan ilmu dan

2
teknologi. Fenomena-fenomena ini mengharuskan kita untuk berefleksi untuk mencari
jawab atas pertanyaan: apa yang salah dalam pendidikan kita?

Di sisi agama Islam, pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting. Hal ini tidak
dapat disangkal dari bukti sejarah, bahwa Rasulullah berhasil membina manusia-
manusia unggul melalui proses pendidikan (Sistem pendidikan yang bagaimana?)
Proses pendidikan yang seluruhnya dijiwai oleh rasa ketaatan pada Allah SWT.
Perjuangan Rasulullah diteruskan oleh para khalifahnya, demikian juga generasi
berikutnya yang konsisten dengan ajaran Rasulullah.

Imam Al-Gazali berusaha mendidik manusia melalui pelbagai hasil tulisan


berkaitan dengan ilmu kejiwaan, Imam Al-Asy‟ari dalam lapangan akidah, Ibn-Hazm
mengemukakan strategi pembasmian kemiskinan, sistem percukaian, sistem
pemilikan tanah. (www.geocities.com). Ini menunjukkan bahwa falsafah pendidikan
Islam bukan hanya terbatas kepada ilmu yang bersifat ukhrawi semata-mata, tetapi
juga bersifat menyentuh urusan hidup di dunia.

Dengan demikian, Islam mengajak umatnya mempelajari segala bidang ilmu


untuk membina mental, spiritual, fisik, serta untuk melaksanakan tanggung jawab
sebagai khalifah Allah. Imam Al-Ghazali sendiri pernah berkata: “...perkara yang
paling tinggi bagi manusia ialah kebahagiaan yang kekal abadi, dan yang paling mulia
adalah jalan untuk sampai kepada-Nya, dan manusia tidak akan sampai kepada-nya
melainkan dengan ilmu”

Salah satu kelemahan umat Islam karena kita gagal memahami konsep ilmu
seperti yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan al Sunnah. Akibatnya ada yang hanya
tertumpu pada kepada ilmu fardhu „ain saja tanpa lalu mengabaikan fardu kifayah,
demikian sebaliknya. Akibatnya lahirlah golongan yang pandai beramal tetapi tidak
tahu menyampaikan ilmu mereka melalui teknologi dan sains, dan begitu juga
sebaliknya. Bahkan tampak jelas adanya dua kelompok cendekiawan Islam yang
mempertahankan pendapat masing-masing, yaitu ulama dan teknokrat.

Berbagai persoalan pendidikan ternyata tidak hanya terletak pada persolan materi,
kurikulum, guru, atau metodologi pembelajaran, tetapi juga tidak adanya persepsi dan
tanggung jawab yang sama antar berbagai komponen pendidikan dalam membina
akhlak dan pendidikan nilaiterhadap para siswa. Pembinaan akhlak siswa lebih
banyak dibebankan kepada guru agama, karena mata pelajaran ini yang dianggap
paling relevan dengan persoalan pembinaan keimanan dan ketakwaan. Ini adalah satu
fakta adanya dominasi sekularisme.

Apakah ide sekularisme sesuai dengan ajaran Islam? Dari mana sumber ide
sekularisme tersebut? Ide sekularisme oleh beberapa pakar dinyatakan sebagai
kompromi atau jalan tengah antara para pemuka agama Kristen yang menghendaki
segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka dengan mengatasnamakan agama ---
dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari peran agama dan dominasi
para pemuka agama. Ide ini berawal di masa Renaissance, bermula pada saat kaisar

3
dan raja-raja eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras,
menganiaya, dan menghisap darah rakyat. Saat itu, para pemuka agama dijadikan
perisai untuk mencapai keinginan mereka. Hal ini menimbulakan pergolakan sengit,
yang membawa kebangkitan para filosof dan cendikiawan. Sebagian mereka
mengingkari secara mutlak adanya peran agama, sedangkan lainnya mengakui adanya
peran agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Hingga
akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan cenderung
memilih ide memisahkan agama dari kehidupan. Inilah yang menghasilkan jalan
tengah berupa pemisahan peran agama dengan negara.

Fenomena saat ini menunjukkan secara jelas bahwa proses sekularisasi ilmu
terjadi di mana-mana, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum.
Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah hanya merupakan bagian dari mata
ajar agama, sementara mata ajar yang lain mengajarkan bidang ilmunya seolah tidak
ada hubungannya dengan masalah keimanan dan ketakwaan.

Bagaimana menjembatani permasalahan ini? Jawabnya tidaklah ringan, melainkan


dituntut rasa keinginan tahuan yang besar, niat yang sungguh-sungguh untuk
melaksanakan amanah dari Sang maha Pencipta Allah SWT. Bila berbicara kaitannya
dengan guru selaku salah satu kunci pelaksanaan pendidikan di sekolah, maka maka
setidaknya ada dua permasalahan yang dihadapi guru sekaligus: (1) guru harus
menguasai bidang ilmunya, dan (2) guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu
tersebut dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terkandung dalam ajaran
agama Islam. Proses integrasi ini pun harus berjalan secara alamiah, tidak melalui
proses yang mengada-ada. Proses integrasi ini tidak boleh kaku, atau bukan berarti
setiap pokok bahasan harus dilegalkan dengan ayat-ayat Al-Qur‟an, melainkan dari
setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat dipakai siswa bagi
kebutuhan spiritualnya.

Sebagai contoh sederhana, dalam pengajaran matematika, guru seharusnya


memahami dua hal, yaitu memahami materi matematika yang diajarkan dan
memahami bagaimana agar supaya materi matematika ini dijadikan sebagai wahana
dalam mengarahkan peserta didik menjadi hamba cerdas dan beriman kepada Allah
SWT. Guru matematika seharusnya datang ke kelas dengan seperangkat tujuan
kognitif dan tujuan afektif. Secara lebih sederhana, guru tidak terbatas punya
keinginan supaya siswa dapat melakukan operasi pada pecahan, tetapi juga punya
tujuan supaya setelah pembelajaran tersebut, mereka dapat menjadi orang yang
percaya diri, mampu bekerjasama dengan orang lain dalam kebaikan, dapat semakin
menjadi manusia yang bermamfaat bagi orang lain, dapat menghargai orang lain,
punya sikap objektif, jujur. Singkatnya pengajaran yang turut mengantar siswa
menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa pada Sang Pencipta Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai