Anda di halaman 1dari 8

ristania@gmail.

com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang


http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

”Identitas Nasional dan Nation Building”

Auguste Comte (1798-1857) sebagai peletak dasar dan bapak bagi ilmu
sosiologi politik menekankan pendekatan empiris melalui penelitian atau riset
terhadap studi masyarakat dan politik daripada hanya pengamatan inder
a semata. Peletakan dasar ilmu sosiologi politik secara empiris tersebut
menganalisis elemen struktural dan juga fungsional yang bergerak secara
dinamis di dalam masyarakat. Pada akhirnya analisis pada struktur dan fungsi
akan berdampak pada sistem pemerintahan yang tentunya terdiri dari lembaga-
lembaga (institusi).

1. Bottomore (1992), yang mengatakan bahwa obyek utama sosiologi politik


adalah dan seharusnya, fenomena kekuasaan di tingkat masyarakat yang
inklusif (baik suku, negara, kerajaan, ataupun jenis lainnya); mempelajari
hubungan di antara masyarakat-masyarakat tersebut, dan gerakan sosial,
organisasi, danlembaga yang secara langsung terlibat dalam penentuan
kekuasaan tersebut,
2. Duverger (1996), mengatakan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang
kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua
masyarakat manusia, yang bukan saja di dalam masyarakat nasional,
tetapi masyarakat loka dan masyarakat internasional,
3. Sherman dan Kolker (1987), mengatakan bahwa sosiologi politik sebagai
studi yang mempelajari mengenai partisipasi dalam pembuatan keputusan
mengenai suatu kehidupan yang luas dan yang sempit. Kehidupan luas
dan sempit yang dimaksud di sini merupakan kehidupan masyarakat
daerah, nasional, maupun internasional,
4. Faulks (1999),mengemukakan bahwa sosiologi politik sebagai studi yang
mempelajari hubungan kekuasaan yang saling tergantung antara negara
dan masyarakat sipil. Di mana negara dan masyarakat sipil terdapat
batas-batas kekuasaan yang saling berhubungan dalam proses
perubahan sosial.1

Bila mengacu pada definisi-definisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa
mempelajari sosiologi tentu akan selalu berbicara mengenai politik, karena
sejatinya kedua disiplin ilmu tersebut memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Begitu pula bila kita mempelajari sejarah terbangunnya suatu negara bangsa
atau nation state, tentu kita akan perlu menganalisanya dari sudut pandang
masyarakat, negara, dan kekuasaan. Nation State atau negara bangsa
merupakan suatu unit politik yang utama dalam dunia moderen. Negara bangsa
yang telah berdiri sejak ratusan tahun lamanya tentu memiliki akar dukungan
masyarakat yang kuat, begitupula rasa nasionalisme yang tidak lekang dimakan
waktu memerlukan proses sosial menuju integrasi sosial dan nasional yang perlu

1
Suryadi, Budi, Sosiologi Politik: Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep (IRCiSoD: Jogjakarta,
2007), hal. 8.
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

penguatan dari waktu ke waktu.

Nasionalisme dan Negara Bangsa

Di abad ke-16 dan ke-18, Tumbuhnya negara bangsa pertama kali merupakan
perkembangan dari pemerintahan sentralistis yang secara moderen dikelola oleh
bentuk pemerintahan monarki absolut di kurun abad ke16 dan abad ke-18. Pada
saat itu negara bangsa pertama banyak terbentuk berupa kerajaan-kerajaan
yang selanjutnya memberikan fondasi kuat bagi terbentuknya masyarakat berciri
khas budaya yang sangat terpelihara di tiap lapisan masyarakatnya.

Kemudian pembentukan negara bangsa kedua muncul setelah terdapat


keleluasaan dari lapisan masyarakat yang menempati wilayah tertentu untuk
menentukan pilihan politik mereka secara mandiri. Negara bangsa kedua
tersebut, melahirkan ide mengenai nasionalisme berdasarkan kedaulatan rakyat
dan penentangan terhadap penguasa yang sangat sentralistis dan berkelas-
kelas.

Pemahaman masyarakat terhadap negara bangsa yang spesifik akan


menimbulkan rasa nasionalime kuat. Untuk itu, Hans Kohn, mengatakan bahwa
”nasionalisme tidak dapat dipahami tanpa didahului oleh adanya ide kedaulatan
rakyat dan revisi seksama atas posisi penguasa dan yang dikuasai, posisi kelas
dan kasta.”

Namun demikian sebaliknya, rasa nasionalisme yang kuat dapat muncul lebih
dahulu sebelum terbentukinya negara bangsa. Karena hakekat dari
nasionalisme adalah gerakan budaya, culture movement, sebagai koreksi dari
bentuk negara bangsa pertama yang otoriter dan tidak mengakui kedaulatan
rakyatnya. Divine Rights of King atau hak Tuhan seorang penguasa akan
digantikan oleh dorongan kuat dari masyarakat dalam bentuk nasionalisme
membentuk negara bangsa yang mengakui keberadaan hak-hak masyarakat
(kedaulatan) tanpa harus berserah diri pada keinginan penguasa.

Di masa revolusi kemerdekaannya, Amerika Serikat merupakan negara bangsa


pertama yang lahir berdasarkan rasa nasionalisme kuat menentang penguasa
(Pemerintah Kerajaan InggrisJ). Baru kemudian, setelahnya Perancis yang lahir
dari revolusi perancis menentang pemerintahan kerajaan absolut Louis XVI.
Perjuangan kelas-kelas di dalam masyarakat Amerika Serikat dan Perancis
disatupadukan dalam nasionalisme mempertahankan hak-hak kedaulatan rakyat
yang ingin melepaskan diri dari pemerintah kerajaan. Puncaknya adalah
kemerdekaan masyarakat sipil di atas penguasa. Latar belakang sejarah seperti
ini selanjutnya akan menentukan corak hubungan pemerintahan dan masyarakat
di negara bangsa baru tersebut.

Setelah negara bangsa baru terbentuk, kemudian sistem politik yang tadinya
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

otoriter dan sangat sentralistis kemudian mengalami transisi ke bentuk yang


lebih demokratis dimana ide-ide mengenai ”kewarganegaraan” dan ”kedaulatan
rakyat” mendapatkan tempat terhormat. Transisi sistem politik menempatkan
kelas-kelas baru dalam masyarakat. Kaum borjuis dan kaum proletar masih ada,
akan tetapi terdapat kelas ketiga yang tidak kalah kuatnya, lebih kuat dari
sekedar pertentangan kekuatan ekonomi semata. Kaum ketiga, lahir diantara
kedua kaum yang lebih dahulu ada. Namun perlu disadari bahwa pembentukan
kaum atau kelas ketiga tidak selalu ada dalam tahapan pembentukan bangsa
negara, karena memerlukan proses pembentukan yang berbeda.

Di dalam masyarakat konservatif, kaum borjuis akan sangat memegang peranan


dalam membentuk ide nasionalisme dalam suatu negara bangsa baru. Teori
Marxis menekankan hubungan antara kaum borjuis sebagai pencetus kelahiran
bentuk negara baru berdasarkan bentuk pilihan ekonomi yang baru. Sedangkan
para penteori liberalis mengatakan bahwa kaum borjuis, sebagai pemilik modal
yang juga biasanya sangat terpelajar merupakan kaum yang berjuang keras
untuk melahirkan bentuk negara baru berdasarkan prinsip demokrasi. Teori
paling mutakhir menfokuskan perhatian pada pengaruh intelektual dan
kebudayaan, atau proses industrialisasi dan modernisasi pencetus nasionalisme.

Menurut FX Adji Samekto (2007)2, sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum dan
dosen Fakultas Hukum Undip, nasionalisme merupakan persepsi identitas
seseorang terhadap kolektivitas politik yang terorganisasi secara teritorial. Ada
berbagai macam pendekatan untuk memahami nasionalisme. Yang paling
sederhana nasionalisme merupakan kesadaran bangsa, emosi kuat yang telah
mendominasi tindakan kebanyakan rakyat di berbagai negara sejak Revolusi
Prancis 1789.

Samekto mengatakan bahwa pendekatan subyektif pada nasionalisme


digambarkan sebagai kebutuhan psikologis, cara seseorang merasakan dan
berpikir. Sedangkan pendekatan obyektif, ditunjukan oleh warga negara di
Kanada, AS, Swiss, dan juga Singapura dimana komposisi masyarakat
heterogent tidak serta merta menipiskan rasa patriotisme diantara mereka,
karena negara mampu memberikan rasa aman dan memberikan kepastian akan
pencapaian tujuan dalam hidup warganya.

Ide Negara Bangsa dan Integrasi Sosial

Ide mengenai negara bangsa diawali oleh bangsa Eropa pada abad ke-16.
Charles Tilly (1975) dalam bukunya, The Formation of National States in
Western Europe, mensyaratkan kondisi-kondisi pembentukan negara bangsa,
2
FX Adji Samekto, Nasionalisme dan Kepedulian Penguasa.
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

ciri-ciri dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Prasyarat tersebut antara lain


adalah:
1. adanya suatu negara nasional,
2. adanya suatu wilayah dengan batas jelas,
3. adanya pemerintahan pusat,
4. adanya proses pembuatan kebijakan nasional,
5. adanya kekuatan pemaksa atau coercive power untuk memonopoli sarana
dan prasarana fisik.
Negara bangsa tersebut dapat memaklumatkan keberadaanya melalui beberapa
cara:
1. Perang,
2. Penyerapan unit-unit politik lebih kecil, homogen, dengan standar
ekonomi serupa.
Tilly mengatakan bahwa pertumbuhan negara bangsa terutama dipengaruhi
oleh tumbuhnya kelas-kelas pedagang di perkotaan yang didorong oleh
semangat kapitalisme. Menurut Tilly, kapitalisme merupakan faktor politik penting
dalam pembetukan negara bangsa. Dalam negara bangsa seperti ini, kekuatan
ekonomi akan saling berkompetisi sehingga ekonomi bergerak secara dinamis.

Negara bangsa yang lahir atas dorongan semangat kapitalisme akan


menentukan bagaimana proses integrasi sosial masyarakat di dalamnya.
Kelompok-kelompok masyarakat akan bekerja sama, mulai dari individu,
keluarga, sampai masyarakat lebih luas. Ketika konsensus atau
permusyawaratan telah tercapai di antara unit-unit penyusun negara bangsa,
maka terdapat nilai-nilai yang disepakati bersama pula. Nilai-nilai tersebut
sangat penting sebagai pengikat demi menghindarkan prasangka diantara unit-
unit tersebut.

Semangat nasionalisme di bumi Indonesia berkobar ketika sekelompok generasi


muda Indonesia bersumpah untuk membela satu nusa, satu bangsa, dan satu
bahasa, yaitu nusa (tanah air) Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa
Indonesia. Sumpah pemuda dapat dianggap sebagai dorongan lahirnya
integrasi sosial yang berujung pada penguatan integrasi secara nasional.

Perlu kita sadari bersama, bahwa negara bangsa yang dibangun atas dasar
kesepatakan atas nilai-nilai yang sangat lemah, akan rawan terhadap konflik
pemecah belah kesatuan. Sumpah pemuda memang telah menyepakati hal-hal
prinsip nasionalisme Indonesia, namun, sejarah telah membuktikan bahwa
semangat nasionalisme yang dibangun, kemudian diteruskan oleh Soekarno dan
Hatta pada masa kemerdekaan negara republik Indonesia di tahun 1945, belum
mampu menimbulkan semangat nasionalisme yang kuat di antara warga negara
Indonesia. Adanya keinginan dari sekelompok masyarakat di wilayah tertentu di
Indonesia, seperti kemunculan negara Indonesia Timur menyadarkan kita bahwa
benih-benih disintegrasi nasional masih dapat muncul ke permukaan bila nilai-
nilai nasionalisme tidak mengalami penguatan berarti.
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

Analisis Integrasi Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia Kini

Maraknya kemunculan kembali sentimen ketidakpuasan yang dimotori oleh


kelompok separatisme di masa pemerintahan SBY-Kalla mengindikasikan bahwa
pemerintah belum cukup mampu meminimalisir rasa ketidakadilan, setidaknya
bagi kelompok berbasis etno-regional seperti Republik Maluku Selatan (RMS)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seperti berbanding lurus, hasil survey
Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2007 menunjukan indeks kepercayaan
masyarakat terhadap duet kepemimpinan reformis tersebut turut menghunjam
drastis dalam 2 tahun terakhir, dari 67 persen bulan Desember 2006 ke 49,7
persen.3 Boleh jadi faktor kegagalan SBY-Kalla dalam memenuhi janji reformasi
di bidang politik,, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
ternyata dijawab dengan pilihan kebijakan ‘kurang’ berpihak pada rakyat.
Terbukti janji pemerataan pembangunan kawasan barat dan timur belum bisa
menghambat niatan penduduk di timur Indonesia untuk mencari penghidupan di
Pulau Jawa4. Belum lagi kebijakan mempersilahkan investor asing
mengeksploitasi besar-besaran sumber daya mineral di bumi Papua ternyata
tidak menyisakan kemakmuran, kecuali 1% total pendapatan tahunan bagi
penduduk asli suku Komoro papua, dan masih banyak lagi kebijakan yang pada
akhirnya mengorek luka lama kelompok-kelompok minoritas tersebut. Tulisan ini
bermaksud untuk memberikan pencerahan pemikiran bahwa selama ini kita
terlampau ‘takut’ untuk membuka diri terhadap bangunan negara lain semisal
federasi sebagai penguat keterikatan rakyat Indonesia dalam satu bangsa yang
besar, tanpa harus melalui perpecahan terlebih dahulu akibat separatisme, akan
tetapi mengedepankan konsensus sebagai jalan tengah menuju perbaikan
bersama.

Salah satu isu yang kerap dimunculkan oleh gerakan separatisme adalah
keinginan kelompok tersebut untuk merdeka, melepaskan diri dari NKRI.
Terhitung, insiden 29 Juni 2007 mencatat penyusupan para penari Cakalele
membentangkan bendera RMS berukuran raksasa, telah mencoreng
kewibawaan simbol negara yaitu sosok Presiden SBY yang berdiri tepat di
depannya. Seolah mengekor insiden di Provinsi Maluku, Kongres Masyarakat
Adat Papua secara gegap gempita menyerukan Papua merdeka. Gelombang
reaksi pro dan kontra berdatangan dari dalam negeri maupun luar negeri.
3
Menurut Saiful Mujani, Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan masyarakat terhadap SBY-Kalla
merosot drastis karena ’’Konsentrasi masyarakat sekarang terfokus pada prestasi ekonomi. Apalagi, kesulitan ekonomi
akibat mahalnya beras menjadi pendongkrak angka ketidakpercayaan publik,’’ Menurut Mujani, kecenderungan
penurunan tersebut diprediksi terus terjadi hingga berhenti pada angka popularitas 32 persen. Lihat Lembaga Survey
Indonesia, “Popularitas SBY dan Kalla Merosot,” Radar Lampung Online (28 Maret 2007)
http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=505&Itemid=2 (diakses 16 Juli 2007).
4
GNU/GLP, “Proyeksi Penduduk 2000-2025: Urbanisasi,” Free source GNU/GLP (15 Juli 2007) http://www.datastatistik-
indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_content&task=view&id=923&Itemid=939 (diakses 16 Juli 2007). Menurut
sumber, tingkat urbanisasi di Indonesia akan mencapai 68 persent di tahun 2025. Pada saat itu, angka urbanisasi paling
besar akan terkonsentrasi pada empat provinsi seperti Jawa, Bali, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Banten.
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

Bahkan Congressman Amerika Serikat, Eni Faleomavaega, pada awalnya


datang secara khusus memenuhi undangan datang ke Papua demi mendukung
niatan merdeka tersebut, sebelum akhirnya diberhentikan langkahnya secara
diplomatis oleh pemerintah Indonesia di istana negara saja. Terlepas dari
kemampuan diplomatis wakil presiden membujuk sang Congressman untuk
meyakinkan bahwa selama ini Pemerintah AS sudah salah menilai Indonesia
pada kasus Papua, namun kenyataan di bumi Papua bukanlah isapan jempol.
Nun jauh di timur Indonesia, ada sekelompok minoritas meneriakkan merdeka,
menisbatkan diri mereka bukan bagian dari NKRI.

Bila dilihat dari kekerapan munculnya keinginan kuat beberapa daerah


memisahkan diri (disintegrasi) dari bumi NKRI, maka dapat pula disimpulkan
bahwa nasionalisme dalam pembentukan negara bangsa Indonesia masih
lemah. Menurut Achmad Fedyani Saifuddin (2006), Pengajar Departemen
Antropologi UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia, bahwa ekhawatiran
akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di
mana-mana akhir-akhir ini, dapat disebabkan oleh lemahnya kondisi-kondisi
daera yang di bangun oleh bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa
kebangsaan (nasionalisme).5

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara majemuk terbesar di


dunia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan negara berpenduduk
terbanyak keempat di dunia. Demikian besar bangsa Indonesia, sehingga
kondisi dasar yaitu suku bangsa memerlukan perhatian lebih dalam
membicarakan nasionalisme. Menurut Saifuddin, konsep-konsep seperti
bangsa, negara, dan nasionalisme harus diletakkan secara posteori. Artinya, kita
perlu memahami bahwa keunikan bangsa Indonesia terletak dari keragaman
suku bangsanya, baru kita dapat menganalisis sebab melemahnya semangat
nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia.

Suku bangsa menurut konsep sosiologi Weber merupakan tahap awal


pembentukan masyarakat tradisional dimana kebudayaan yang dibentuk oleh
kelompok etnik akan mengawali pembentukan masyarakat yang lebih luas.

Menurut ahli antropologi, IM Lewis (1985), suku bangsa meruapan landasan bagi
terbentuknya bangsa, “istilah bangsa (nationa) adalah satuan kebudayaan, tidak
perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya
hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya, segmen suku
bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda
ukuran namun ciri-cirinya sama.” Jelas di sini bahwa perdebatan prinsip
homogenitas dalam pembentukkan bangsa negara akan muncul karena
5
Saifuddin, Achmad Fedyani, Nasionalisme Ditinjau dari Akarnya, posted by lukman sriamin (August 14, 2006) din
http://himpsijaya.org/2006/08/14/nasionalisme-ditinjau-dari akarnya/http://himpsijaya.org/2006/08/14/nasionalisme-
ditinjau-dari-akarnya/
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

bertentangan dengan prinsip kemajemukan. Namun, perlu disadari bahwa suatu


negara bangsa memiliki ciri khas masing-masing, dan salah satunya negara
yang dibangun atas kompleksitas masyarakatnya perlu dianalisis sesuai dengan
kondisi sosial yang cocok dalam pembentukan negara bangsanya.

Kemunculan konsep kebangsaan (nationalitas) dan rasa kebangsaan


(nasionalisme) akan saling berkaitan. Meminjan istilah Benedict Anderson
(1991) di dalam bukunya, Imagined Communities, nasionalisme bukan sekedar
memenuhi prinsip politik semata, bahkan Anderson mengatakan bahwa
kebudayaan berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan
kebangsaan. Nasionalisme sebagai ideologi negara bangsa moderen
menjunjung tinggi kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara, ditunjukan
melalui pengikatan diri terhadap prinsip-prinsip politik, sentimen, emosi, dan
perasaan.

Bila berbicara sentimen, emosi, dan perasaan, maka sebuah negara bangsa
moderen yang terbentuk akan melampaui ruang dan waktu, tidak terpaku di
mana seorang manusia berada, karena manusia tersebut akan senantiasa
melekatkan dirinya dengan identitas negara bangsanya. Imagined communities-
pun akan terbentuk dengan sendirinya, tanpa batas seperti yang dikemukakan
oleh Anderson, “orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga
suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan
mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup dalam suatu imajinasi tentang
kesatuan bersama.” Masyarakat imajiner seperti ini akan rela mengorbankan
jiwa dan raganya demi masyarakat imajiner bernama negara bangsa tersebut.

Kenyataan di tanah air tercinta, negara bangsa kita telah mengalami penurunan
pemahaman. Dimensi imajiner dari negara bangsa Indonesia telah pupus
digantikan oleh semangat global identitas internasional bernama kapitalisme.
Masyarakat Indonesia lebih senang mengidentikan diri dengan identitas popular
seperti rumah-rumah bergaya eropa, setelan “gaul” terkini, gaya hidup konsumtif
dengan dominasi warung-warung cepat saji semacam mc Donald dan starbucks.
Malu mengidentikkan diri dengan budaya khas Indonesia seperti rumah
panggung, gudeg, sarung batik, dan lainnya yang konon merupakan identitas
suku bangsa Indonesia.

Walaupun Anderson juga mengatakan bahwa kelemahan pembentukan negara


bangsa Indonesia, terletak pada batas-batas imajiner bentukan bangsa penjajah
yang sengaja memecah belah persatuan Indonesia, perekat bangsa berupa
keragaman budaya bangsa seolah menjadi pembenar pecah belahnya kesatuan
negara bangsa Indonesia. Kita harus berupaya kembali menyebarkan ide
nasionalisme dengan berpijak kepada keragaman etnik.

Dari sisi politik, pemerintah perlu disadarkan bahwa mereke telah berandil besar
dalam memecah belah negara bangsa dengan prinsip otonomi daerah tanpa
ristania@gmail.com Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pamulang
http://raconquista.wordpress.com Fakultas Ekonomi Program Akuntansi S1 dan D3
2008
Artikel Minggu III

terlebih dahulu menekankan prinsip negara bangsa yang kuat. Alhasil, kita
semua harus meredefinisikan perbedaan menjadi kesepakatan. Bila perlu
sumpah pemuda kedua dilaksanakan demi memenuhi maksud tersebut.

Pemerintah harus mengupayakan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat


Indonesia, korupsi harus diberantas sampai ke akarnya, demokrasi dengan
berlandaskan hukum harus ditegakkan di bumi Indonesia, sehingga perbedaan
yang terjadi dapat terjembatani dengan baik. Konflik politik harus betul-betul
diselesaikan sesuai hukum yang berlaku, jangan berujung pada kekerasan di
jalan-jalan, memberangus hak politik rakyat, dan mematikan penghasilan “tukang
gorang dan pedagang kaki lima.”

Jadikan kekuatan keberagaman suku bangsa kita sebagai benih nasionalisme


Indonesia moderen, yang ditentukan oleh semua warga negara, bukan segelintir
elit saja. Bendung pengaruh negatif arus informasi dari luar (eksternal) yang
merusak budaya bangsa. Jangan sampai generasi muda Indonesia mengakui
kebudayaan yang bukan miliknya. Bila taraf nasionalisme semu seperti ini sudah
memonopoli kehidupan negara bangsa, niscaya negara bangsa Indonesia akan
hancur di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai