Anda di halaman 1dari 79

Renungan 1

Renungan Fisika
kosong tapi isi
isi tapi kosong
apakah bedaNya?
Dia-lah hakikat kosong dan isi
dimitri mahayana, 26 Oktober
1994

1. Tarian Elektron
Dalam kelembutan udara pagi, dapat kita reaspi segenap
keindahan mayapada ini. Segar udara mersap ke dalam dada.
Lembut sejuk menyentuh udara yang dipenuhi segenap
embunnya. Sempurna bias-bias cela’ memerah sang cahaya infra-
merah yang menyertai bulatan memerah Surya. Apakah itu
semua? Apakah kesegaran? Apakah penglihatan? Dan apakah
yang ada di blaik semua yang ada di mayapada yang tampak ini?
Manakala pandangan inderawi mulai mncerap segala peristiwa,
mulailah manusia dipaksa untuk mengkonsepsikan bahwa mentari-
lah suatu unsur yang penting dalam berbagai peristiwa. Maka
fisika memulai pembahasan dalam berbagai hukum-hukum materi.
Apaka materi itu? Sesuatu yang memiliki massa dan menempati
ruang. Itu definisinya. Kenapa didefinisikan seperti itu? Karena kita
dapat mengkonsepsikannya langsung secara mudah dengan indera
kita. Ruang hampa tidak memiliki massa walaupun menempati
ruang yaitu dirinya sendiri. Dan secara intuitif seolah diyakini
bahwa ruang hampa ini tidak berefek atau tidak menimbulkan
peristiwa apapun.
Prinsip niscaya rasional, -yaitu hukum sebab akibat-, memaksa
ummat manusia untuk melakukan pendakiannya menuju hukum-
hukum dan hakikat-hakikat di balik apa yang tampak. Amati
seluruh materi yang tampak! Karena secara mudah materi dapat
dibagi, maka timbul suatu pertanyaan penting, apakah materi
dapat dibagi terus-menerus tanpa batas atau ada batas terkecil di
mana materi tidak dapat dibagi lagi. Demokritus dan Dalton
menjawab dengan teori atomnya. Ada bagian terkecil dari suatu
zat yang tidak bisa dibagi lagi, yaitu atom! Semua zat terbentuk
dari beberapa unsur dasar (kira-kira seratus unsur). Tiap unsut
murni terdiri dari milyard milyard milyard…atom-atom yang maha
kecil, tetapi tidak bisa dibagi lagi. Jika atom-atom dari berbagai
unsur murni bergabung, maka terbentuk molekul, yang
merupakan zat dengan sifat-difat fisis yang berbeda-beda dari
unsur semula.
Teori bahwa atom adalah bagian terkecil suatu benda yang tidak
bisa dibagi lagi gagal menjelaskan beberapa hal, terutama ia gagal
menjelaskan berbagai efek kelistrikan maupun kemagnetan. Ia
gagal pula untuk penjelasan yang memuaskan dalam berbagai
sifat kimiawi berbagai unsur dan senyawa. Dari mana datangnya
arus listik? Bagaimana menjelaskan penemuan elektron Thomson?
Elektron merupakan partikel mikro-mikro yang bermuatan negatif
yang bisa muncul misalnya saat kita memanaskan sebuah filamen.
Apakah elektron ini juga atom? Kalau elektron ini atom, mengapa
ia dapat berasal dari berbagai unsur? Teori atom ini juga gagal
menjelaskan dengan baik sifat periodisitas dari berbagai unsur
yang telah ditemukan dan disusun oleh Dmitri Mendeleev dan
Lothar Meyer.
Rutherford dan Niels Bohr datang dengan tesis utamanya; atom
itu terbentuk dari partikel-pertikel yang lebih kecil yaitu inti atom
dan elektron. Inti atom bermuatan positif, elektron bermuatan
negatif. Elektron mengitari atom dalam orbit-orbit tertentu yang
teratur. Jari-jari inti atom Hidrogen diperkirakan berorde
seperseratusribu dari jari-jari atomnya. Dan jari-jari elektron jauh
lebih kecil dari jari-jari inti atom Hidrogen. Apa yag ada di antara
elektron dan inti atom? Ruang Hampa! Ruang Hampa! Sekali lagi
Ruang Hampa! Jadi kira-kira 99,99999999999999999 % ruang
dalam atom itu Hampa!
Apa artinya? Kalau kita menatap dan melihat bahwa kertas ini
utuh dan merupakan suatu materi yang malar, ataupun bangunan
kita adalah suatu materi yang tersusun kokoh kuat, atauoun
melihat bahwa baja itu suatu materi kontinyu maha-kuat,
sebenarnya, semua yang kita lihat itu menurut teori Bohr
sederhana 99,999999999999 % Ruang Hampa! Sama sekali bukan
materi kontinyu menurut bayangan kita. Jadi yang kita anggap
garis lurus batas suatu logam itu nafi! Itu hanya imajinasi.
Kenyataan sebenarnya tidak ada garis tersebut, dan meteri itu ada
di titik-titik ruang tertentu yang maha-kecil saja. Sebenarnya
semua yang kita lihat, ini “kosong” tapi nampak seolah-olah “isi”
karena adanya keterbatasan penglihatan kita dalam mencerap
kenyataan ini. Seadainya mata kita dpat melihat benda yang
ukurannya satu juta-juta kali lebih kecil dari apa yang biasa kita
lihat sehari-hari maka ia akan bisa menyaksikan “kekosongan” ini.
Lebih lanjut ternyata ditemukan lagi bahwa inti atom terdiri atas
berbagai pertikel yang lebih kecil, seperti netron dan proton.
Netron memiliki massa tapi tak bermuatan. Proton memiliki massa
dan bermuatan positif. Menjadi pertanyaan berikutnya, kalau
proton-proton bermuatan positif, kenapa mereka tak tolak
menolak. Jawabnya? Karena adanya gaya kuat! Dewasa ini Prof.
Dr. Abdussalam dan kolegannya telah berhasil membuktikan
bahwa gaya kuat ini dihasilkan karena ternyata proton maupun
netron terdiri dari berbagai partikel yang lebih kecil lagi….! Sampai
kapan penemuan-penemuan partikel yang lebih kecil ini akan
ditemukan lagi? Semakin lama semakin kecil. Semakin kecil
semakin luas kekosongan…….
Adalah suatu pandangan yang amat logis dan tidan bertentangan
dengan kenyataan maupun hukum-hukum fisika yang berlaku kita
membayangkan dalam sari-sari terkecil suatu benda apapun, yang
ada hanyalah titik-titik tertentu dalam ruang yang membawakan
efek bagi lingkungan sekitarnya, dari kekosongan yang berisi. Apa
isinya? Medan-medan berbagai efek yang ditimbulkan dengan
pusat. Berbagai titik-titik tersebut berkarakterisasi memiliki
massa, medannya adalah medan gravitasi. Jika memiliki
medannya adalah medan listik, dan seterusnya. Menurut
pandangan ini, materi yang kelihatannya menurut mata kita
adalah sesuatu yang malar, kontinyu ini tidak lain hanyalah suatu
kekosongan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai efek meda.
Efek medan bukanlah suatu materi yang malar, Ia bukanlah materi
arti fisik sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa.
Salah satu yang terpenting sebagai penghasil medan-medan ini
adalah elektron. Elektron dapat ktia konsepsikan sebagai suatu
titik-titik dalam ruang yang memilki gejala medan tertentu. Ia
bergerak terus menerus mengitari inti atom. Gerakan elektron
memindahkan titik-titik pusat meda tertentu, mengubah energi
yang terkandung dalam medan, di buang ke luar atom dalam
bentuk cahaya atau mengubah sifat-sfat mikro atom.
Mekanika kuantum datang memberikan analisis yang jauh lebih
akurat dan lebih umum. Persamaan Schrodinger, -yang
merupakan suatu persamaan differensial parsial yang amat rumit-,
memberikan solusinya untuk berbagai persoalan di alam mikro.
Spektrum yang dihasilkan oleh atom Hidrogen dapat dijelaskan
dengan baik oleh teori Bohr, tapi persamaan Schrodinger
memberikan hasil yang lebih teliti.
Satu aspek terpenting dari mekanika kuantum adalah bahwa
gterak dari titik massa dipandang sebagai gerak gelombang? Apa
itu gelombang? Bayangkan ketika bunyi datang pada anda tanpa
melalui rambatan partikel. Tapi apa yang dikatakan mekanika
kuantum? Jiak ada bola datang pada Anda, maka gerak bola ini
dipandan sebagai gerak gelombang. Artinya apa? Ada partikel
datang pada Anda tanpa melalui adanya partikel yang datang pada
Anda. Yang pertama berasal dari kenyataan bahwa ada materi
yang datang pada Anda. Yang kedua berasal dari kenyataan
bahwa gerak tersebut menurut Mekanika kuantum dapat
dipandang sebagai rambatan gelombang. Apa artinya? Terjadi
dualisme! Lebih dalam lagi? Teori kontradiksi! Jadi apa
kesimpulannya? Pada tahap ini sebenarnya definisi-definisi fisika
tradisional yang dikembangkan berdasarkan pengamatan inderawi
tidak dapat digunakan lagi.
Perhatikan pengertian materi menurut apa yang telah kita bahas
sebelumnya. Pandang materi sebagai suatu ruang di mana di
dalamnya terdapat medan-medan. Apa artinya meda? Medan
adalah kemampuan untuk menggerakan sesuatu. Artinya medan
tiada lain adalah energi. Apa arti medan? Medan adalah usuikan
atau gangguan jika dilihat dari keadaan tidak ada medan. Jadi
materi dalam pengertian ini langusng identik dengan gelombang
itu sendiri. Jadi gerak materi dapat dipandang sebagai gerak
gelombang, karena materi dan gelombang itu sama saja.
Jadi inilah salah satu pengertian, “kosong tapi isi, isi tapi kosong”
Kosong, tidak ada materi yang malar yang mengisi berbagai ruang
seperti yang ada dalam imajinasi kita, bahkan telah menjadi
definisi kita! Isi, berisi berbagai medan yang mampu mengubah
dan menggerakan berbagai hal lain. pandang tangan Anda.
Perluhkan bahwa berbagai tampak luar dari tangan Anda adalah
imajinasi, hasil keterbatasan indera kita. Sebenarnya tidak ada
materi malar, kosong, Kosong! Yang ada hanyal berbagai interkasi
medan atau energi, Isi!

2. Kabut-Kabut Kemungkinan
di balik kabut Semeru
tiada tampak ujud seribu burung yang sedang berkicau
nyaring
di balik kabut Sang Maha Meru
tiada tampak….Di Manakah Ia yang sejati, yang senantiasa
bertabir dalam berbagai ia-ia

dimitri mahayana, 29 Oktober 1994

Sebuah aspek penting lain dari mekanika kuantum adalah bahwa


gerak suatu partikel mengikuti suatu hukum yang bersifat
probabilistik. Terutama jika kita tetap pada keyakinan kita bahwa
partikel, -sebutlah misalnya elektron-, merupakan sesuatu yang
memiliki massa dan menempati ruang, waktu hanya sati titik. Jika
dalam benak kita masih tergambar bahwa elektron misalnya
adalah suatu bola mahakecil, maka posisi maupun kecepatan
elektron di suatu saat, tertentu bersifat probabilistik.
Persamaan Schrodinger memandang gerak benda sebagai
rambatan suatu gelombang. Energi gelombang terkandung pada
suatu bagian ruang tertentu berbanding lurus dengan
kemungkinan titik partikel terdapat pada bagian ruang tersebut.
Tapi ingat hanya kemungkinan. Dan kemungkinan tetap
kemungkinan. Jadi perhatikan urutan premis di bawah ini;
1. Jika kita memandang bahwa Persamaan Schrodinger adalah
salah satu hukum yang berlaku di alam
2. Dan jika kita memandang partikel pada dasarnya adalah
sesuatu yang menempati ruang dan waktu.

Maka;
“Hukum yang mengatur gerak partikel-partikel tidak
bersifat deterministik, artinya ia bersifat probabilistik”.

Jadi kepada arwah Dr. Eistein dan Dr. Schrodinger, mari kita
ungkapkan penafsiran ini. Tuhan tidak bermain dadu. Karena
dadunya tidak ada. Karena partikel, -sebagai dadu-, hanyalah
konsepsi imajiner. Kalaupun partikel itu bergerak bagai dadu,
-bukanlah Tuhan yang memainkannya-, fikiran dan imajinasi
kitalah yang memainkannya. Pemikiran kita terbatas, konsepsi kita
tentang materi telah mengurung kita dalam penjara-penjara tiada
ujung yang menyedihkan. Bukanlah kini saatnya bagi kita untuk
menyadari bahwa selama ini kita terpenjara, dan mari bersama-
sama melakukan “Escape form thies beloved jail,-Melepaskan diri
dari penjara yang kita cintai ini-“. Melepaskan diri dari konsepsi
bahwa partikel adalah sesuatu yang memiliki massa dan
menempati ruang.
Sebagai sebuah contoh, perhatikan suatu bola tenis yang
mengenai tembok baja beton setinggi enam meter. Misalnya bola
itu mengenai tembok dengan arah tegak lurus terhadap tembok
pada ketinggian satu meter. Mekanika kuantum menyatakan
bahwa “ada kemungkinan bola akan bergerak menembus tembok,
muncul dan melanjutkan geraknya di balik tembok, tanpa ada
bagian tembok yang terlubangi.” Memang kemungkinan itu kecil
sekali, amat sangat kecil sekali. Tapi itu tetap mungkin! Dan hal ini
benar-benar mustahil dan seolah melanggar prinsip non-
kontradiksi jika kita tetap bertahan pada pengertian kita bahwa
meteri adalah sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang.
Secara eksperimental, gejala ini telah dibuktikan dalam skal atom
oleh Dr. Ivan Giaever, salah seorang pemenang Nobel fisika pada
tahun 1973. Jadi inilah bagi kita dari pengertian danpemahaman
kita atas materi yang telah terlalu mendasari berbagai pemikiran
kita.
Materi adalah kabut. Yang menutupi kenyataan. Walaupun di
gunung berkabut yang terdengar hanyalan kicau burung, kita
yakin bahwa ada burung walaupun tak tampak. Jika kita hanya
berfikir tentang kabut, mungki saja mengkonsepsikan bahwa
kabut itulah yang berkicau. Betapa naifnya jika kita tergeletak
dalam kepekatan kabut materi!

3. Gerak, Ruang dan Waktu: Apakah itu?


Alam adalah gerak. Grak air terjun, gerak udara dalam angin,
gerak amuba-amuba dalam air gerak elektron mengitari proton,
dll.
Apa itu pasana yang memiliki berbagai derajat? Derajat panas
suatu gas tidak lain adalah suatu sifat makroskopik dari gerakan
dan tumbukan trilyun trilyun trilyun…molekul-molekul gas. Ditinjau
di alam mikronya, dari tiap molekulnya, suhu tidak mempunyai
makna. Yang ada hanyalah energi gerak dari molekul-molekul
tersebut. Dan ini secara makro dapat dirasakan oleh indera
manusia maupun indera dari suatu alat ukur dan disebut suhu.
Apa itu arus listrik dan berbagai gejalan dalam rangkaian
elektronik? Adalah gerakan elektron melalui berbagai media.
Apa itu gelombang air? Adalah gerak rambat energi melalui sifat-
difat elestisitas dari mediumnya, yaitu air.
Apa itu cahaya? Adalah gerak rambat energi elektromagnet
melalui suatu medium ataupun ruang hampa.
Apa itu bunyi? Adalah gerak rambat energi melalui getaran dari
partikel-partikel udara. Ketika getaran partikel-partikel itu
mengenai telinga, akan dikenali sebagai bunyi.
Apa itu berbagai reaksi kimia? Adalah gerakan perpindahan
elektron-elektron dari satu orbit ke orbit lain, sehingga secara
makro dikenali dengan berbagai perubahan sifat kimiawi berbagai
zat.
Adalah telah menjadi konsepsi umum bahwa sifat “gerak” seolah
hanya bisa dinisbatkan kepada materi. Padahal tidak demikia.
Dalam fisika tradisional itu sedniri, gerak dibagi menjadi gerak
materi dan gerak gelombang. Gelombang bisa merambat tanpa
memerlukan perambatan materi. Jadi dasarnya gerak adalah
perambatan enegeri. Apa energi itu? Kemampuan melakukan
usaha atau gerak. Kemampuan untuk menggerakkan suatu benda
dari keadaan diam menjadi bergerak.
Lebih lanjut Teori Relativitas Einstein telah membuktikan
ekivalensi massa dan engeri. Massa itu energi itu massa. Jika anda
sedang berfikir kemampuan sesuatu untuk mempengaruhi yang
lain, berarti Anda sedang memikirkan engeri. Sedang jika Anda
sedang berfikir tentang kemampuan sesuatu untuk lebih besar
bersifat lebih lembam, -lebih sulit untuk digerakkan oleh yang lain.
jadi karena massa ekivalen dengan energi, maka secara lebih
umum gerak dapat dinisbatkan kepada “energi” saja. Karena
materi adalah energi itu sendiri. Kenapa tidak kita nisbatkan pada
“materi”? karena pada pembahasan yang telah lali kita jelaskan
bahwa materi adalah merupakan suatu konsepsi subyektif yang
telah kehilangan nilai keobyektifannya dalam Mekanika Kuantum.
Jika Mekanika Kuantum benar, konspesi tentang gerak harus
diubah. Kita tidak bisa menisbatkan suatu gerak pada sesuatu
yang tidak ada secara obyektif, yakni materi.
Jadi apa itu engeri? Kemampuan untuk menggerakkan suatu
massa. Atau dengan kata lain adalah kemampuan suatu definisi
yang tidak tepat secara logika, karena definisi itu mengandung apa
yang didefinisikan itu sendiri. Energi adalah kemampuan untuk
menggerakkan energi lain. energi lain adalah kemampuan untuk
menggerakkan energi lain lagi, dan seterusnya. Ini akan
menghasilkan rantai definisi tanpa ujung, sehingga definisi ini
kehilangan maknanya.
Dengan menilik definisinya, dengan mudah dapat dibuktikan
bahwa gaya dapat dimaknakan sebagai perubahan energi tiap
satuan jarak dalam ruang yang ditempuh.
Sehingga dapat diperoleh tiga unsur yang paling mendasar bagi
gerak, yaitu: energi, ruang dan waktu. Anggaplah dulu bahwa
ketiga unsur ini aksiomatis, tidak dapat didefinisikan lagi. Tapi
awas! Teori Relativitas Einstein kembali menyatakan bahwa ruang
maupun wakti tidak absolut, tapi relatif. Tidak dapat didefinisikan
suatu ruang dan waktu mutlak. Ruang dan waktu memiliki makan
yang personal, amat personal. Suatu partikel (sekarang baca:
energi!) yang bergerak relatif terhadap partikel lain (sekarang
baca: energi lain), masing-masing akan memiliki ruang dan waktu
sendiri-sendiri! Jadi seandainya, sekali lagi seandainya, energi
dapat dibayangkan sebagai suatu makhluk yang memiliki derajat
kehidupan dan kesadaran tertentu, ruang dan waktu bersifat
subyektif! Lebih jauh lagi mereka tidak memiliki makna tanpa
adanya gerak dari benda tersebut. Mungkin itulah suatu dasar dari
ucapan “Ruang dan Waktu? Ilusi, hanyala ilusi!”. Ruang dan Waktu
kehilangan makna adanya tanpa adanya gerak dari pertikel (baca:
energi!). Lebih lanjut energi adalah kemampuan untuk melakukan
gerak itulah energi, itulah materi. Ruang dan Waktu? Adalah ilusi
dari gerak. Karena itu benalah khutbah mulia dari Sayyidina Musa
bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili (r.a): “Tiada lain alam ini adalah
gerak dan materi hanyalah potensi untuk melakukan gerak”.
Dalam kekosongan segala
kudapati ruang
dan denyut nafaskupun menyadari roda-roda waktu
Dalam ketiadaan ruang maupun waktu
kudapati Gerak, sumber dari semua citra di mayapada
Apakah Gerak itu? Aku tidak tahu
Yang kutahu, sekiranya Gerak itu satu-satunya yang Ada
maka Gerak tiada akan berGerak
Jadi Ada dan Tiada apakah artinya?
Ada dan Tiada adakah bedanya?
Di balik Ada dan Tiada, hanya kulihat satu Hakikat,
Tuhanku, Tuhan Yang Maha Agung dalam kesendirianNya !
Renungan 2
Renungan Tauhid

langit dan mentari


siang berganti malam
kulit dan jauhari
citra buhulan terang
Hud-Hud Rahmaniyyah
dimitri mahayana, 1993

1. Syarah kalimat “langit dan mentari”

Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya


bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan
termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi
dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana
sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat
prioritas lebih tinggi dari akibat.
Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak
memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak.
Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan
energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di
bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa
menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya.
Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke
bumi, menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta
hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan lain
maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah
energi matahari.
Adapun mentari dalam sya;ir di atas memiliki tafsiran kias yang
lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq,
sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?
Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya
cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam
kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam
lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui
bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung
dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat
berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah
yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung
atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.
Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan
sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda.
Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam
diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada,
mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud
membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan
eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan
kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama)
ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu
kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada
mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal dari-
mana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi
pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri,
tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan
ketiadaannya mustahil.
Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq).
Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah
sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab
pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki
sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru
masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun
kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin
memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan.
Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu
ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya keberadaan
bukan subyektif atau imajinatif.
Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau
wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata
lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah
keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu
selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan
keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi
jika ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut
harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk berapapun
ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada
banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik.
Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak
mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi
dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa
keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang
maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat
Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-
Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai
sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa
ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki
maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu
memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B,
keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan
negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu
yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A,
ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang
identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti
secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan
pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek di depan
cermin.
Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis.
Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang
lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang
lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu
apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu
adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan
mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti
sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu
sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika
tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan
keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya?
Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah
gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita
sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai
sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak
mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab
selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu
ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya
bukanlah merupakan sebab pertama.
Sebab pertam itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi
adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab
pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada
dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah
ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab
pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak
termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu
yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama
adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama
itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama
tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama
identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang
dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagian-
bagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena
keberadaan mutlak tidak terbagai.
Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah
Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya,
memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini
bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang
dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang
memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain
diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit
dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari
sya’ir di atas.
“Langit dan Mentari”

Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah, bahwa saat kita
melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut,
terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang
memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan
di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi
ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia
sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud
kepada segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya
tiada tanpa Ada. Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang
Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera kita, mata kita,
perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada
tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita
melihat berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu
obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud Al-Muthlaq” yang
memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan
bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan
“Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau
“Aku meliha Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali
Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang melihat, telinga
yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak,
pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas.
Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di
setiap hal yang tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang
apapun.

2. Syarah kalimat “siang berganti malam”

Adapun mengapa terjadi siang dan malam? Panas (“yang”) dan


dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan rendah?
Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua
dan muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?
Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme? Mengapa ada kutub-kutub?
Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai
hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun hal-
hal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya
eksis secara subyektif?
Apakah benar terdapat kebaikan dan kejahatan? Kebenaran dan
kesesatan?
Prinsip kausalitas menyatakan bahwa suatu Sebab tertentu akan
menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab
yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak
mungkin Sesuatu yang secara obyektif tidak terbagi menjadi
Sebab bagi suatu akibat yang secara obyektif terbagi. Karena jika
akibat yang ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti
membutuhkan sebab lain yang menimbulkan “keduaan” atau
“kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab Pertama, tidak
mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara
obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua
adalah akibat dari rantai sebab yang berujung pada Sebab
Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang secara logis
kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu
eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara
obyektif.
Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan tiada. Konsepsi subyektif
kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah yang
disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif
dalam artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi
dan rendah, Besar dan kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif,
Terang dan gelap.
Dengan adanya dualisme-dualisme dalam konsepsi subyektif kita,
terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung pengertian “dua-
dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa
menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah) itu ada
secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain
ia hanya ada dalam alam imajinasi.
Ada sebuah perumpamaan yang amat mengesankan dalam Kuliah
YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili,
-seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau
tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang
beranggotakan para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau
mengumpamakan fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud
sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma,
prisma akan menguraikannya menjadi cahaya multi-warna
(polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan nuansa merah,
ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang
tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian
pula Wujud Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang
“memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal Maha Mutlak.
Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya
hasil uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan bahwa “Maha
Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.
Siang berganti malam, menunjukkan adanya gerak dan
perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan
ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu
Ruang yang memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak.
Karena berarti tidak akan terjadi perubahan apapun. Karena itu
minimal harus terdapat dua titik agar terjadi gerak dan itulah
makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan
bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari
ini menunjukkan bahwa gerak sebagai gerak, -motion as motion-,
hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah
gerak, alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna.
Dalam pengertian yang sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan
sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam, yaitu segala sesuatu
yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada minimal
dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak,
dan itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-
bawahi bahwa ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun
pluralisme (kejamakan) di mana dapat terjadi gerak tersebut,
hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan dan
kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada
dalam imajinasi. Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan
jamak” dalam imajinasi. Dan sesungguhnya Semua ini “Ada dan
Tunggal” secara obyektif.
Maha Suci Ia yang menciptakan Siang dan malam sebagai tanda,
Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang
membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman
hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa
tiada selain Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang
Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah tampak
keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua
yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada
apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun selain Dia! Dia!

3. Syarah kalimat “kulit dan jauhari”

Adapun “kulit” adala sesuatu yang langsung terlihat. Dan jauhari


adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”. Dilihat dengan mata,
sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit jambu ini
tidak terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu
itu jambu. Tapi jika terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas
kulitnya maka ia tetap disebut jambu. Itulah jauhar jambu.
Sesuatu di kenali tidak dengan kulitnya tapi dengan jauharnya.
Penampakan luar yang terlihat tidaklah menunjikkan sesuatu
tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan
“kesesuatuan” dari sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari
sesuatu.
Jika kita memandang sesuatu sebagai sesuatu tersebut, maka
jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana jika kita
memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat
pisang yang ada di dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat
“luar” ataupun lebih tegas lagi bersifat “inderawai” tidaklah
penting selama hal itu tidak mempunyai relasi dengan
“kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika
anda melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya
secara estetis indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi
pandanglah dari segi “keefektifan penembakan, pengejaran
sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari
“kesesuatuaan” suatu rudal.
Dan adalah suatu pertanyaan maha penting sebagai berikut.
Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah Jauhari dari
Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari
Segala Sesuatu ini?”.

4. Syarah kalimat “citra buhulan Terang”

Citra artinya bayangan atau imajinasi sesungguhnya imajinasi


tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan oleh cermin
fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah
bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang
kita lihat selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Dimitri sebagai
“dimitri” dengan keapaan atau batasan-batasannya sebagai
“dimitri” yang Anda lihat saat ini adalah khayalan. Artinya dilihat
dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “dimitri” adalah suatu
khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa
secara “obyektif praktis”, “dimitri” tidak ada. Karena sebenarnya
alam “obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu
alam subyektif yang memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.
Pandang Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka hakikatnya bukan
lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa?
Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara Obyektif, dan
selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala sesuatu
bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun
bima huwa wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut
memiliki keberadaan? Dan jika Segala Sesuatu tersebut tidak
memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini tidak mungkin.
Jadi segala sesuatu yang tampak di mata ataupun tersirat di hati
ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di pembuluh dara,
ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini tiada
lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran
Cahaya Wujud Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke
alam ketiadaan mutlak (Al-;adam Al-muthlaw, -atau nothingness).
Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan
berbagai “keberadaan” wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai
wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut menjadi cermin
dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan
Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul
(terikat) dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citra-
citra. Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-
Citra adalah buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.
Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat Tuhan Yang Maha
Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada
Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian
apapun yang tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini
yang dapat diidentikkan dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah
Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang masih mungkin dicerap
oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan Tuhan. Inilah
yang mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,-
Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada
sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini
yang identik dengan Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif siapapun
yang mampu mencerap pengertian yang sempurna tentang Ia,
Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan
KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan
kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali
diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“ atau dengan kalimat
“Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah kubayangkan”.
Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun yang dituliskan dalam
makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya
sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi
makalah ini adalah hiburan lepasa senja yang tidak mengandung
Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri
di atas kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara
apapun kecuali dengan “PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu
ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina huwa wa laa HAITSU
huwa illa huwa”.
Dan kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap
kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi
dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi kita semua.

Renungan 3
Renungan Cinta

menatap Muhammad buhulan rindu


tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap
kelipnya
merintih akulah geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan
dengan Mu,
duhai Muhammad …

Sajak Maulid Nabi, dimitri mahayana, 1994

Wajah Asmara
dalam Nuansa
Nyala di dada
Buhulan Cinta !
dimitri mahayana, 1 November 1994

Wajah Asmara, Dia adalah puncak kesempurnaan yang mengatasi


seluruh batas-batas terjauh alam imajinasi. Dia adalah puncak
keagungan yang melampaui seluruh kebesaran rajanya raja di
raja, dalam dunia, alam dan jutaan dan milyaran bahkan trilyun…..
alam-alam yang ada (al-‘alamiin). Dia adalah puncak keindahan
yang melampaui seluruh keindahan bidadari pencabut sukma. Di
adalah Sang Maha Anggrek yang terselubung dalam hari Guruku
YM Sayyid Musa yang keindahannya semoga senantiasa
dipancakan-Nya ke maya pada. Sebatang Anggrek yang terkulai
jika tiada dikenali. Anggrek dengan sejuta wangi kesturi. Dia-lah
Sang Maha Gravitasi dengan segenap Keindahannya,
KeagunganNya , KeCantikannya, Kewangiannya. Maulana Rumi
Guruku tercintan mengatakan tentang Ia, ohh betapa pedih
lengkingan sebatang seruling. Mengapa duhai seruling yang tak
tahu darimana aku harus menyandarkan punggung-punggungku
kalau aku lelah. Aku rindu Bambu tempat asal muasal aku
mengada. Suaraku adalah geletar lara keterpisahan. Dimanakah
Ia, duhai Bambu? Dimanakah Ia, duhai Sari-Sari Pusaran Cintaku?
Dimanakah Ia, Wahai Sang Maha Rupawan?
Wajah Asmara adalah permukaan luar dari Kekasih Abadi yang
senantiasa rapat tertutup dalam tabir-tabir kegelapan ataupun
tabir-tabir cahaya. Wajah Asmara adalah tujuan tajalliyyat
(penampakan Keindahan dan Kesempurnaan Tuhan) yang
menerpa para pecintaNya. Hujan tajalliyyat ini begitu deras
menerpa, sehingga remuklah talang-talang hati, hancurlah
saluran-saluran beton “ego”, hancurlah semua bangunan kokoh
yang ada di hati. Hujan tajalliyyat yang mahaderas terus-menerus
menerpa sehingga lenyaplah semua yang ada di hati, imajinasi
maupun konsepsi tersapu oleh airbah mahadahsyat. Airbah yang
tiap percik zarrahnya adalah Gambar-Gambar Wjaha Kekasih.
Airbah yang tiap-tiap buihnya adalah Luapan Kerinduan Kekasih.
Airbah yang kedahsyatannya adalah Kehendak Yang Maha Agung.
“Tiada apapun di hati kecuali Ia, Tiada Yang Maujud kecuali Ia.”
Telah berkata Guruku YM. Mir Budi Trisakti tentang hadirnya Sang
Wajah Asmara. “Manakala seorang raja besar datang memasuki
suatu negeri dihancurkannya segala yang ada sehingga hanya
ialah yang duduk di singgasana agung dan mengatur seagalanya
dengan kebijaksanaannya.” Manakala Ia telah hadir di hati maka
tiada lagi selain Ia, karena Ia telah menghancurkan semua yang
ada di hati dan duduk di singgasana kerajaan MahaAgung di hati
kita. Jadi betapa mudah melihat apakah Ia Ada di hati atau tidak?
Sekiranya dalam detak-degup jantung kita masih terukir hasrat
untuk memperoleh kekayaan sekian-sekian, atau kedudukan yang
cukup atau wanita cantik, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam
detak-detak kekhawatiran masing terungkap cemas-cemas akan
nasib anak dan istri sekiranya jiwa ini dipanggilNya, pasti Ia tiada
di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbersit harapan-
harapan pujian orang tua, handai taulan ataupun masyarakat luas,
pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbesit
rasa takut kalau daging dan tulang kita dijadikan bahan bakar
neraka, pasti Ia tiada di hati, karena dalam hati tertancap dalam
sesembahan selain Ia yaitu “aku” yang mahabusuk dan pangkal
semua kebusukan. Sekiranya dalam lubuk hati tersimpan hasrat
yang amat kuat untuk beribadah agar memperoleh bidadari-
bidadari surga, pasti Ia tiada di hati, betapa kotornya
memanjangkan hasrat-hasrat birahi kita ke Alam Suci!
Wajah Asmara artinya semua adalah wajah-Nya. Bila kita
mencintai Rasul, Ahlul Bait, orangtua, istri, anak seperti kita
bayangkan menikmati cahaya lilin yang telah dipantulkan melalui
berbagai cermin atau prisma, itulah kekasihNya yang sejati! Selain
Ia hanyalah bayangan. Selain Ia hanyalah citra. Selain Ia
memperoleh keindahan, keagungan, kenikmatan, keanggunan,
kebaikan dariNya. Ia-lah yang ada di balik segenap keindahan, di
balik semua keagungan, di balik semua kenikmatan, di balik
semua keanggunan, dn dibalik semua kebaikan dan kasih sayang.
Ia-lah Semua Kesempurnaan dan Keindahan, dan tiada
kesempurnaan dan keindahan apapun selain Ia. Saat hangat
cahaya mentari menerpa, bukan cahaya itu memberikan
hangatnya tapi Mentari. Semua keindahan adalah tahapan-
tahapan pancaran emanasi Sang Maha Surya. Tapalah Sang Maha
Surya, maka gelaplah segala yang ada, dan hanya Dia-lah Yang
Ada. Sebagaimana yang telah diajarka oleh guruku Husein bin
Mansur Al-hallaj melalui berbagai Mursyid mulia (semoga
senantiasa dirahmatiNya). “Manakala engkau pandangi tinta, huruf
akan menghilang. Makala engaki pandangi huruf, tinta akan
menghilang.” Tanpa tinta hutuf itu tiada, tanpa tinta hanyala
tergeletak seelai kertas putih kosong. Maka tataplah Rasul dan
Ahlul Baitnya yang suci di pusat-pusat. Cahaya Sang Maha Surya,
ibu-bapak di salah satu pusat-pusat. KeindahanNya yang langsung
terpancar kepada jasad maupun ruh, surga sebagai sepercik
pelangi di atas pelangi di alam mayapada yang terbias dari
HasrtatNya untuk memberi karunia yang kekal pada selainnya,
neraka sebagai perckan meteor Surya yang akan melimatkan
semua keburukan. Neraka adalah kasih-Nya yang sejati
sebagaimana surga adalah karunia-Nya yang abadi…, maka
terucaplah untaian kata suci. “Sekiranya Engkau kuatkan aku
untuk menahan AzabMu maka betapa mungkin aku kuat untuk
berpisah denganMu, sekiranya Engkai tegarkan aku untuk
menahan panasnya nerakaMu maka betapa mungkin aku mampu
untuk tiada melihat KeagunganMu …..”. itulah rintihan PecintaNya
yang paling sejati dan murni, Murid Agung dari Baginda Rasulullah
(SAWW), Imam Ali bin Abi Thalib (kw).
Dalam Nuansa, Nuansa adalah udara-udara beserta segala
cakrawala angkasa yang senantiasa menemani tanah lempung
tiada arti ini. Membiru keindahan ufuknya, meluas kelapangan
tatapannya. Sungguh hayat kehidupan kita tergantung pada
elemen-elemen udara tak tampak ini. Tiada nafas tanpa udara.
Walau tidak terlihat. Sebagimana disebutkan dalam sebuah lagu
seorag Sufi besar Fariduddin Attar Naishapuri, yang kuburnya
senantiasa mewangi,

“ Dar hawayat
Mi parayam
Mi parayam
Ruze syab.”

“ Dalam udaraMu
aku terbang
aku terbang
di suatu malam.”

Udara tidak nampak. Tapi kehidupan seluruh tubuh material kita


tergantung padanya. dan tidak mungkin kita melepaskan diri
darinya. Seandainya di sekeliling tidak ada udara, maka pasti
tubuh-tubuh material ini kan segera kehilangan hari-hari
kehidupannya.
Seperti itu pula-lah keadaan-Nya. Ia ghaib dari pandangan lahir.
Tapi Ia melingkupi semua sebagaimana udara melingkupi tubuh
ini. Ia meliputi malaikat setiap Wujud dan kehidupan (baca:
keberadaan) setiap yang maujud tergantung pada keberadaan-
Nya. Subhaanalladzii biyadihi malakutu kulli syai’in wa ilaihi
turja’uun. Ketergantungan kehidupan (baca: keberadaan) setiap
yang maujud terhadap keberadaanNya jauh lebih dari
ketergantungan kehidupan tubuh material ini terhadap oksigen
pada udara. Jauh sekali. Tidak bisa dibandingkan.
Dalam Nuansa. Hijau, kuning, ungu dan merah maupun berbagai
warna-warna tajalliyyat, yang ada di hati, itulah sumber segala
kesan. Tuhan, Tuhan, Tuhan dan Tuhan maupun Tuhan yang
tercermin-cermin melalui berbagai mustika alam tujuh
mengesankan kesejukan nan cerlang di nuansa-nuansa hati, Yaa,
nuansa hati. Nuansa hati tiada lain sumber segala kesan dan
geletar hati. Dalam juataan nuansa hati, hanya Ia yang Ada dan
tiada selain Ia. Maha Suci Ia yang menggolakkan hati dalam
nuansa Nama-Nama-Nya. Mukmin tergolak di antara Nama-Nama
positif dan mukmin memandang nama negatif sebagai negatif.
Sedang kafir tergolek dalam Nama-Nama negatif dan
memandangnya sebagai positif.
Nyala di dada. Bagaikan lensa-lensa dan cermin-cermin, akal dari
perenung menangkap berbagai bayangan Wajah Asmara, yang
tampak dalam segala nuansa. Kemana saja engkau menghadap, di
situlah Wajah Allah. Bayangan terang, Bukan bayangan gelap.
Bayangan maya, bukan bayangan nyata. Wajah Kekasih teramat
cantik. Wajah Kekasih teramat lembut. Wajah Kekasih teramat
terang. Benderang Sorot beribu, berjuta Cahaya Wajah Asmara
terbias ke dalam loh-loh (lembar-lembar) hati nan bagaikan kertas
ingin menangkap Seluruh Kesempurnaan Wajah itu. Namun seribu
Wajah tergambarkan, sejuta Wajah pun datang menyorotkan
seinarnya. Sejuta Wajah tercitrakan, milyard-milyard Wajah pun
makin menyemarakkan citra-citra di hati. Ohh…, Ohh…, Ohh…,
maka cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya … tersebut
menyalalah. Menyala terang menggambarkan himpunan citra-citra
Wajah Kekasih yang bercampur dan bergolak dalam berbagai
bentuk dan intensitasnya. Terbakarlah loh-loh lembara hati tiada
mampu menahan hujan cahaya tajalliyyat tiada tara, sehingga
lenyaplah satu demi satu ia ia yang lain selain Kekasih yang
termaktub di hati. Api menyala degan terang. Dan Api nya pun
merintih lirih

Aku akan membakar


Aku akan membakar
Aku akan membakar
Atau sirna……

Itulah watak nyala api yang ada di hati. Ia adalah Buhulan Cinta.
Cinta pada satu Wajah Kekasih ditambah dengan Cinta pada
Wajah Kekasih yang lain ditambah dengan Cinta pada Wajah
Kekasih yang lain ………. Tiada terbayang intensitas Cahaya Wajah
demi Wajah cahaya yang terkumpul pada Buhulan Cinta. Sampai
di sini, sampailah sang salik pada satu maqam perjalanan ruhani
yang disebut maqam al-mahabbah yang dilewati setelah semua
selain ia melebur dengan sempurna karena terbakar oleh nyala api
cinta yang ada di hati.
Hati yang dipenuhi dengan nyala cinta akan melihat berbagai
bentuk (surah) Wajah-Wajah Kekasih yang semakin lama semakin
menambah gairah cintahnya. Semakin lama semakin tindu.
Semakin lama semakin dipenuhi oleh perihnya rindu. Semakin
lama semakin Indah dan Cantik Wajah Kekasih. Semakin lama
semakin jauh salik melangkah mendekati-Nya, semakin salik tiada
tahu kapankah Ia akan sampai kepada Sang Kekasih Sejati?
Cinta menyuarakan gending-gending dan seruling
faqir merintih rindu sembari berkeliling
Cinta meniup lembut lembar-lembar mahkota bunga
faqir menjeritkan harapan ‘tuk bersua
Cinta menjanjikan kekasih yang dirindukan
faqir nanar menangis … menangis … dan menangis

Wahai Kekasih… Wahai Pupur dan Bedak Kesturi


Wahai Seribu Wajah Asmara!

Laksana semut, fawir merayapi gunung-gunung…


di kala angin musim dingin menerpa salju-salju

O…Ratih…kaki fawir membiru, kaku, tiada mampu bergerak


O…Ratih…di manakah dikau harus kucari
O…Ratih…telah kulewati Fuji nun jauh di timur dan ratusan selat-
selat berakitkan bambu
O…Ratih…kau tiadalah ada di satu kota-kota cinta
O…Ratih…hanyalah aroma wewangian asli yang kudapat ataulah
gambar-gambar berpigura di pasar-pasar burung

Labuan hatiku yang tersembunyi…Latifah Ratih


Harapan rasaku yang tiada terjangkau…’Aliyyah Ratih
Pujaan nurani yang maha agung…’Azhiimah Ratih
Piala-piala anggur cinta…Waduudah Ratih
Kecantikan tiada tara tiada terbayang…Jamiilah Ratih
Raup-raup kesempurnaan kasih mesra…Rahiimah Ratih
Rahmat tiada terbatas bagai samudra…Rahmaniyyah Ratih
Puja dan puji yang sempurna….

Dimitri Mahayana, Hud-Hud Rahmaniyyah, Syair ke-16

Maka dikatakan, orang-orang mukmin amat sangat Cintanya


kepada Allah. Cinta yang sejati dan murni Jauh dari seluruh
khayal-khayal syahwati. Cinta yang sangat. Yang bertambah
sangat dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan di sebuah lagu

Tomorrow, I ‘ll love You twice more

Segera setelah balik mencapai maqam al-mahabbah, Wajah demi


Wajah Kekasih yang telah bergolak dalam nyala menariknya ke
dalam pusaran gravitasi Cinta Ilahi…, sehingga menghasilkan
kerinduan mahadahsyat pada Yang Tunggal Tiada Tara. Salik akan
memasuki suatu “Domain of Attraction”, daerah di mana dirinya
akan menjadi butiran-butiran mazhar (manifestasi) yang
melingkar-lingkar mendekat dan semakin mendekat pada Sang
Maha Tunggal Tiada Banding. Tak mungkin lagi salik menatapkan
wajahnya selain padaNya. Suatu kesetiaan tauhid tiada banding!
Bukankah Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (a.s) telah
bermunajat dalam Munajat Al-Muhibbiin;

“Ilaahi
mandzalladzii dzaaqa halaawata mahabbatik
faraama minka badalaa
waman dzalladzii anisa biqurbik
fabtaghaa ‘anka hiwalaa.”

“Ilaahi,
Apakah orang yang t’lah mencicipi manisnya cinta-Mu
akan menginginkan pengganti selain-Mu
Apakah orang yang t’lah bersanding di samping-Mu
akan mencari penukar selain-Mu.”

Dalam perjumpaan pertama Shamsuddin dari Tabriz dengan


Maulana Rumi, Sang Matahari dari Tabriz menjelaskan, “Cinta
adalah suatu penyakit, yang orang dihingapinya tidak pernah ingin
disembuhkan.” Ya, Cinta kepada Tuhan itu perih, Kenapa? Perih
karena rindu yang selalu menyayat, sedang Kekasih Sejati tiada
terjangkau. Rindu yang makin menyayat. Karena semakin dekat
sang pecinta tertarik mendekati Kekasih Sejati, semkain sadar
sang pecinta ketakterjangkauan Kekasih dari haribannya. Maka
‘Arif besar abad ini, Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Ruhullah Al-
Musawi Khomeini telah bersyair;

“Asyiwam, Asyiqam
Marizh tu am
Ze in maraz
Ma dawa nami khoham.”

“Kasihku, duhai Kasihku


Aku sakit, karena-Mu
Dan akan sakitku ini,
ku tak ingin sembuh.”

Satu lagi pertanda agung dari maqam al-mahabbah ini adalah


kemabukan. Betapa tidak? Nyala api Cinta nan terus bergolak
menggambarkan Milyunan Kecantikan demi Kecantikan Yang Maha
Cantik. Mulut terbelalak. Mata terpana. Syaraf-syaraf keindahan
dan lokus-lokus wadah yang memahami keindahan dalam hati
tiada mampu menyaksikan ini semua. Syaraf-syaraf pun rusak, Air
Bah Kecantikan Wajah-Wajah Kekasih tertumpah dari wadah-
wadah penerima keindahan, meyerang segenap syaraf. Kecantikan
Wajah-Nya menyerbu seluruh indera-indera lahir dan batin. Maha
Salik pun mabuk, terhuyung-huyung tak tahu arah tak tahu mata
angin. Tak tahu di mana, ke mana, dan mau ke mana. Doyong
kekiri tubuhnya dalam pelukan-Nya. Doyong ke kanan tubuhnya
menggapai Bedak-Nya. Bukankah YM. Guruku tercinta Maulana
Rumi telah merintihkan rintihan ini?

Pernah kaulihat pecinta yang demikian kepayang akan birahi ini?


Pernah kaulihat ikan yang demikian mabuk pada lautan ini?
Pernah kaulihat wayang yang minggat dari pengukirnya? Pernah
kaulihat. Wamiz bertobat pada Adhra?
Waktu berpisah, pecinta bagai nama tanpa makna; namun sebuah
makna seperti kekasih tak perlu nama lagi.
Kau luat, aku ikannya-genggam aku menurut maumu; beri aku
tujuan, tunjukkan wibawa raja tanpa kau aku akan terlunta-lunta.
Raja perkasa, apa yang kurang dari penunjuk jalan ini? Karena
kau tiada, api menjulang tinggi.
Jika api melihatmu, ia pasti menyingkir; karena itu siapa saja yang
memetik mawar dari unggun api, api akan memberi mawar yang
indah mempesona.
Tanpa kau dunia adalah siksaan bagiku, mungkin ia akan sirna bila
ku tiada; demi hidup kumohon ini, tanpa kau hidup adalah aniaya
dan derita bagiku.
Bayang-bayangmu bagaikan seorang sultan yang sedang tamasya
dalam hatiku, malahan bagaikan Sulaiman ketika berjalan menuju
mesjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Ribuan lentera menyala, tabir segala mesjid tersingkap; surga dan
Telaga Kautsar dikelilingi Ridwan dan bidadari-bidadari.
Terpujilah Tuhan, Terpujilah Tuhan! Di Surga ribuan bulan bersinar
terang. Rumah suci ini pun di huni malaikat dan bidadari-bidadari,
hanya mereka tersembuyi dari mata si buta.
Burung molek dan bahagia itulah yang bersemayam dalam cinta!
Siapa bisa mencapai puncak gunung Qaf kecuali burung ‘Anqa?
Molek si ‘Anqa mulia, maharaja Shamsi Tabriz! Ialah Matahari
yang tak berasal dari Barat ataupun Timur, tak dari mana pun.
Nyala api Cinta Ilahi bergolak, membiaskan berbagai Wajah demi
Wajah keindahan. Salik menatap Keindahan demi Keindahan
Kekasih. Salik menatap Keanggunan dan Haibah Tuhan. Tiap saat
dan tiap waktu. Hati salik-pun menangkap realitas segala
peristiwa. Hati salik-pun memahami Makna Keindahan di balik
segala peristiwa. Semua makna yang ada di hati salik sebelum
mencapai maqam al-mahabbah akan dimaknakan ulang
setelahnya. Tiada lagi kesedihan kecuali menjadi kebahagiaan.
Tiada lagi kesulitan kecuali menjadi kenikmatan. Semua hal
berubah substansi-nya, dengan sebenar-benar perubahan.
Sebagaimana dilantukan oleh Maulana Rumi;
Karena cinta pahit berubah menjadi manis,
karena cinta tembaga berubah menjadi emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,
karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,
karena cinta raja berubah menjadi hamba.
Jalaluddin Rumi

Lenyaplah berbagai dualisme-dualisme di hadapan sang salik.


Tiada lagi pahit dan manis, semuanya manis. Tiada lagi tembaga
dan emas, semuanya emas. Tiada lagi pedih melainkan ia adalah
obat. Hilangnya dualisme-dualisme ini memasukkan salik kedalam
alam monisme, alam kesatuan, alam ketunggalan, yang
merupakan negasi dari alam al-katsrah atau alam kejamakan.
Salik mulai akan masuk ke dalam daerah ketertarikan (domain of
attraction) dari Tuhan Yang Tunggal Tiada Tara, yang di dalam
daerah ini, salik akan memulai perjalanan barunya kembali
menuju maqam-maqam berikutnya yang tiada terhitung
banyaknya. Jauh, jauh sekali. Betapa sedikitnya bekal dan betapa
jauhnya perjalanan. O..betapa jauhnya perjalanan dalam alam
para muhibbiin ini...

Dan segala puji hanyalah bagi-Nya,


aku berlindung pada-Nya dari semua ke-iblisan diriku,
tiada daya upaya kecuali hanya dari-Nya selalu,

Wallahu a’alm bish-showab


Renungan 4
Renungan Fithrah Manusia

Puji kepada-Nya selalu. Sumber Segala Yang Wujud di milyunan


alam. Alam material maupun immaterial. Lahiriah maupun
ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Sumber segenap Cahaya Rahmat dan
Kesempurnaan. Yang Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dari
keseluruhannya, dari sebagiannya maupun dari zarrah-zarrah
terkecilnya maupun yang ada di balik itu semua.
Puji kepada-Nya selalu. Yang kekuatan-Nya mengaliri Segala.
Sehingga tampak langit-langit material tanpa tiang, dan adakah
pula tiang yang terlihat bagi langit-langit Ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Yang memancarkan dari Wujud-Nya yang
Kekal Mewangi, Ruh ke dalam tubuh-tubuh mahalemah dari tanah
dan air yang nista ini. Sehingga segala yang ada di tujuh lapisan
langit keberadaan ini senantiasa menyampaikan Shawalat dan
Salam kepada Junjungan Kita, Insan-Kamil, Manusia Sempurna,
Muhammad (SAWW), dan betapa para malaikat harus bersujud
kepada Kakek Kita YM, Nabi Adam (a.s).
Puji kepada-Nya selalu. Yang memuliakan Bani Adam dengan
Amanah Suci. Yang tidak mampu ditanggung oleh langit dan
bumi…Yang menunjukkan jalan-Nya kepada Bani Adam untuk
melaksanakan amanah ini dengan Nabi dan Risalah Yang Terang,
dan dengan hati yang bagaikan cermin jernih menangkap Cahaya
dari para Nabi dan Wali-Wali-Nya.
Maha Suci Nama-Mu, Duhai Tuhan Pujaan hati-ku. Duhai Tuhan
Sari Cinta-ku. Duhai Tuhan segala ruang dan segala waktu. Duhai
Tuhan segala imajinasi dan yang nyata.
Maha Suci Nama-Mu, dari apa yang aku sifatkan. Karena sungguh
seluruh keterbatasan diriku yang mahalemah ini niscaya
mensifatkan sesuatu yang terbatas, dan Maha Suci Engkau.
Engkau-lah Wujud Sempurna Tiada Berbatas. Lautan Agung
Kesempurnaan Tiada Tara Yang Tunggal dalam KesendirianMu
Yang Abadi.
Pena Penciptaan menorehkan satu tujuan yang jelas bagi
pencipataan jin dan manusia. Beribadah kepada-Nya. Beribadah
kepada Yang Maha Agung. Beribadah dengan sepenuh hakikat diri
kita kepada-Nya. Tuhan telah menciptakan jin dan manusia kita
untuk beribadah kepada-Nya.
Maka dalam diri manusia ada sesuatu hasrat abadi untuk
mengagungkan sesuatu dan menuhankannya. Memuliakan sesuatu
dan memujinya tiada berbatas. Menalikan dirinya pada sesuatu
yang kokoh dan menggantungkan nasibnya pada sesuatu ini. Ini
adalah beberapa dari unsur-unsur yang substansial dalam ibadah.
Beribadah kepada Tuhan adalah substansial dan essensial dalam
diri manusia. Tidak aksidental dan additional. Beribadah kepada
Tuhan adalah keniscayaan penciptaan suatu kemestian yang
dilakukan manusia bukan keharusan.
Karena itu jika hati manusia di suatu saat tidak mengakui Tuhan
Allah (SWT), Tuhan Yang Sebenarnya, maka pasti hatinya tertaut
pada tuhan-tuhan selain Allah. Atau manakala hati sedang
melupakan Tuhan, pasti ada tuhan-tuhan lain yang diingat selain
Allah. Apakah itu harga. Apakah itu kedudukan. Apakah itu anak.
Apakah itu istri. Apakah itu hasil karya. Apakah itu partai. Apakah
itu mobil. Apakah itu keinginan-keinginan nafsunya yang lain.
Bayangkan ada seorang Romeo yang tengah merindukan Julietnya
yang tak kunjung tiba. Lentik alis dan kecantikan Juliet yang tiada
banding tentu membayanginya setiap saat setiap waktu.
Mengganggu hati yang tentram. Menggundahkan sukma.
Mencairkan wadah-wadah airmata hati.
Betapa mungkin seorang beriman melupakan TuhanNya, sedang ia
menyaksikan kebesaran TuhanNya setiap saat dan setiap waktu di
seluruh ufuk dan cakrawala alam maupun jiwa. Dan ia tahu
dengan sebenar-benarnya pengetahuan bahwa Tuhan-lah sumber
seluruh kecantikan wanita yang tercantik maupun bidadari
surgawi, sumber keindahan semua keindahan, sumbe kasih semua
yang mengasihi. Ia tahu bahwa Ia lah yang Maha Indah,
MahaAgung, MahaCantik (Al-Jamiil), MahaKasih,….Betapa mungkin
seorang berimana menegasikan satu interval pendek waktu
hidupnya dengan hati yang lupa kepadaNya?
Yaa, sungguh hanya dengan berdzikir pada Allah-lah, hati menjadi
tentram. Sebagaimana bayi dicipta untuk merintih kehausan,
maka tatkala ia menemukan tetek ibunya kembalilah ia dalam
ketentraman. Begitu pula fitrah manusia senantiasa merindukan
Nama-Nama Allah.
Marilah kita akhiri acara ini dengan doa bersama;

Yaa Allah, sungguh kami adalah hambamu yang dhoif, hina dan
terhina, yang fakir dan miskin dihadapanMu.
Yaa Allah, duhai Tuanku, duhai Kecintaanku, dan DambaanKu
Sungguh hati kami telah bertabir
Dan jiwa kami berkekurangan
dan Akal kami tertipu
dan hawa nafsu kami telah menipu
dan ketaatanku kepadaMu sedikit
dan kemaksiatanku banyak
dan kini lisanku mengakui semua dosaku ini
Maka bagaimanakah dengan seluruh keadaanku ini,
Duhai Yang Menutupi Semua Keburukan
Dan Duhai Yang Mengetahui Semua Yang Ghaib
Dan Duhai Yang Menyingkapkan Semua Kesulitan
Ampunilah dosa-dosa ku Seluruhnya
Dengan kehormatan Muhammad dan Keluarga Muhammad
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Dengan rahmatMu, Duhai Yang Paling Pengasih dari semua yang
pengasih.
Allahumma sholli ‘ala Muhammadin, wa aali
Muhammad.

Renungan 5
Renungan Masa Depan Dunia dan Agama

Wahai Yang menunjukkan DzatNya dengan DzatNya


dan jauh dari segala keserupaan dengan Makhluq-Nya
(Imam Ali bin Abi Thalib a.s)

1. Akar Problema

Dari kotak itu, muncul gambar Madonna sedang di shoot dalam


keadaan over-sensual, atau yaa katakanlah, maaf-maaf, lengkap
melambangkan syahwat raja kuda yang paling perkasa. Maka
runtuhlah akal-akal orang yang melihatnya. Jelas, karena menurut
Aristoteles, manusia adalah hewan yang berfikir, runtuhlah akal-
akal orang yang melihatnya. Jelas, karena menurut Aristoteles,
manusia hewan yang berfikir, runtuhnya keberfikiran membuatnya
mengalami transformasi menjadi hewan.
Dari kotak itu pula, pada acara Dunia dalam Berita, tersungkur
Muslimin yang mazhlum di Bosnia maupun di Cehnya, dengan
segenap darah dan raut-raut wajahnya. Ia membuat hati demi
hati, -yang masih memiliki cahaya walau amat redup-, menyala
bak mata naga, ataupun besi yang dipanaskan hingga meleleh,
mata naga kemarahan. Besi memerah yang hancur karena
diremukkan oleh “rasa satu tubuh-rasa satu hati”, persaudaraan
Muslimin yang tumbuh subur di hati tiap Mukmin.
Telekomunikasi mutakhir membuat cross-cultural transformation,
cross problematical transformation, cross-political transformation
merambah dan tumbuh berkembang pesat. Jelas globalisasi
mengarah pada pembentukan satu “bangsa global, -qoum
global-“. Dunia. Minimal secara kultural. Tidak menutup
kemungkinan secara politis. Mohon maaf, sesuai dengan tema, al-
faqir tidak akan mendiskusikan globalisasi politis karena ini
memerlukan suatu analisis kekuatan, analisisi perkembangan
historis, maupun mungkin analisis-analisis lain yang perlu.
Syahid Murtadha Mutahhari dalam Masyarakat dan Sejarah-nya
maupun Syahid Muhammad Baqir Sadr membuktikan bahwa
masyarakat, -dapat dipandang suatu Individu. Sebagaimana
individu mempunyai dosa dan pahala, masyarakat mempunyai
dosa dan pahal. Sebagaimana individu mempunyai agama dan
keyakinan, masyarakat pun mau tidak mau mesti (niscaya)
mempunyai Agama dan Keyakinan. Individu mempunyai aspek
material maupun spiritual, demikian pula masyarakat. Jelas
terdapat hubungan antara aspek material maupun spiritual
individu maupun masyarakat. Sebagai contoh sederhana, OKB
(Orang Kaya Baru) mengalami perubahan aspek material drastis,
-dan betapa sulit menjadi OKB tanpa mengalami degradasi
spiritual. Kemajuan drastis aspek material masyarakat yang
disebabkan penerapan Saintek membuat masyarakat dunia
menjadi MKB (Masyarakat Kaya Baru). Degradasi spiritual MKN
nampak jelas dengan maraknya prostitusi dan tempat-tempat
maksiyat di kota-kota industri yang kaya. Ini pula yang mungkin
membuat Ulama Madura “kurang sreg” dengan industrialisasi
masyarakat Madura?
Ada dua analisis peran yang saya imajinasikan tentang Globalisasi.
Ini sehubungan dengan peran Agama dalam “Rekayasa
Transformasi Budaya Global Mutual Multilateral Multikultural
Multipolitikal Multiekonomikal Multisosial dalam konteks apakah itu
akan ditransendensikan ataukah akan dimaterialisasikan, dan
apakah itu akan diregulasikan secara global ataukah
dideregulasikan secara global…” (Sorry, ini sedikit guyon ngawur).
Lebih tepat lagi adalah dua analisis peran orang-orang yang
beragama dalam menentukan Agama Dunia-Pasca Globalisasi.
Silogismenya sederhana. Karena masyarakat mesti punya Agama,
sedangkan kenyataan terdapat banyak agama, maka ada
beberapa kemungkinan. Masyarakat akan memilih salah satu
agama yang ada sebagai Agamanya. Atau, masyarakat akan
melakukan sinkretisasi beberapa agama yang ada dan memilihnya
sebagai Agamanya. Atau, masyarakat akan menghasilkan “agama
baru” yang dipilih secara sadar sebagai Agamanya. Sebelumnya
saya mohon maaf, dalam makalah ini saya menggunakan
pengertian agama dalam arti luas (sebagai terjemahan dari ad-
diin), sehingga bagi semua pihak yang menggunakan pengertian
agama dalam arti sempit, harus ada re-definisi dan re-konvensi
makna-makna semantik sebelum melanjutkan diskusi kita. Dalam
pengetian ini komunis, -atheis pun beragama, agamanya tidak lain
adalah atheisme itu sendiri.

2. Buih-Buih di Lautan

Dalam model ini, masyarakat global dimodelkan sebagai lautan,


transformasi budaya global dimodelkan sebagai gelombang lautan,
dan orang-orang yang beragama dimodelkan sebagai buih-buih di
lautan. Gerak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat global
ditentukan oleh gelombang globalisasi itu sendiri. Saintek jelas
berubah-waktu, maka Agama masyarakat pun berubah waktu.
Dan teriakan-teriakan pada Ahli Dakwah hanyala seperti tetes-
tetes zat warna yang diteteskan ke dalam lautan.
Dalam model ini, agama hanyalah aksiden, dan tidak bisa menjadi
substansi. Misalnya pun kita bayangkan bermunculan milyaran ahli
dakwah. Sebagaimana halnya bisa kita bayangkan jika seluruh
permukaan laut dipenuhi buih. Buih tetap buih. Secara fisik ia
tidak mempuntai potensi untuk mengubah gerak laut. Segera saja
gelombang demi gelombang akan menelannya. Keberadaan buih
niscaya diikuti oleh ketiadaannya ditelan gelombang lautan. Hari
ini X mendengar ceramah Jum’at. Sebelumnya tadi pagi X melihat
aurat-aurat “megal-megol” dalam Senam Healthy Suplerhealthy
Superstar Supersexy Supermodern Superuptodate…..Aerobic,
pulang mampir nonton film semi-porno super-vulgar dan pulang
nonton memperkosa dan membunuh cewek? Anak TK sudah bisa
berzina? Ceramah subuh? Ceramah Tarwih? Pengajian? Bagai buih
di lautan. Sekali buih tetap buhi. Analisis filosofisnya amat
sederhana. Buih hanyalah aksiden temporal lautan. Aksiden
bukanlah substansi. Sifat temporal ekstrim menyebabkan buih tak
akan menyebabkan perubahan substansi lautan sampai kapanpun.

3. Pusaran Cahaya Rahmat

Analisis peran kedua ini memodelkan kebenaran dan Kebahagiaan


Puncak sebagai satu cahaya lilin yang exist, dan unique. Sedang
puak-puak bangsa dan ummat manusia adalah seperti laron yang
mencari kebahagiaan. Sedang orang-orang yang beragama, -atau
lebih tepatnya orang-orang yang beragama dengan benar-, adalah
bagai kupu-kupu yang telah menyatu dengan Kebenaran dan
Kebahagaiaan Puncak ini. Sehingga tanggallah ke-laronannya dan
berpendarlah cahaya lilin kebahagiaan dalam dirinya. Mereka
menjadi imitasi-imitasi cahaya lilin kebahagiaan. Sehingga laron-
laron pencari kebahadiaan berkitar-kitar mengorbit dengan indah
dan harmonis terdapat pusatnya yang tunggal. Mengorbit secara
eksistensial bukan secara fisik. Pusatnya yang tunggal adalah
Kebenaran dan Kebahagiaan Puncak, Tuhan Yang Maha Rahman.
Sehingga laron, kupu dan Tuhan jadilah satu, jadilah suatu
Masyarakat Global Ilahi. Satu masyarakat yang harmonis yang
mengikuti jalan-jalan (tao) yang mendatangkan rahmat.
Rahmat tersebar di mana-mana. Seolah langit terbuka dan
menyiramkan badai rahmat sampai orang tidak dapat melihat apa-
apa lagi kecuali Rahmat ada di dalam, di luar dan menyertainya
baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur. Keadilan Tuhan tegak di
muka bumi. Satu kesatuan global budaya (NB; mungkinkah juga
politik?) dunia. Dunia yang ilahiah. Bukti bahwa Tuhan tidak
menciptakan manusia dan alam ini dengan sia-sia. Mustahil Ia
melakukan sesuatu yang sia-sia. Maha Suci Ia dari seluruh apa
yang disangkakan makhluqnya yang bodoh/
Saintek, -terutama dengan teknologi komunikasi dan
transformasinya-, merupakan infrastruktur material yang men-
support penyebaran rahmat kupu-kupu cahaya agama ke seluruh
bagian dari dunia, pandangan yang lebih ekstrim lagi
mengatakannya, itu syarat perlu (necessary condition) bukan lagi
sekadar support. Globalisasi material dispiritualisasi sempurna.
Atau lebih optimis lagi, di Islamisasi sempurna? Apakah itu yang
disebut dengan abad Mahdi?
Karena itu, sebutlah analisis peran ini sebagai satu cabang yang
mungkin dari Mahdism Futurology. Dalam futurologi ini, agama
memiliki peran yang substansil dalam globalisasi. Tidak aksidental.
Tidak pula temporal ekstrim. Tapi ia bisa disebut temporal dalam
artian bahwa semua yang ada di dunia ini pastilah akan lenyap.
Sehingga karena itu, jika kita bisa menempatkan peran kita
dengan pertolonganNya dan petunjukNya sebagaimana model
masa depan ini, Islam akan menjadi Substansi Masyarakat Global
Dunia. Bagaimana cara kita menempatkan peran kita? Mari kita
bertanya pada para Ulama kita YM. Dan aku berlindung dari semua
kedhoifan ucapan yang muncul dari fikiran yang lemah dan bathil
ini, dan sungguh-sungguh Segala Puji hanyalah bagiNya selalu.
Kuakhiri tulisan ini dengan mengharap keberkahan Sholawat Nabi
YM.
Renungan 6
Surya, Rembulan dan Lilin Kecil

telah berkata Guruku YM, Maulana Rumi;

“Karena cinta pahit berubah menjadi manis,


karena cinta tembaga berubah jadi emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,
karena cinta pedih menjadi obat
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,
karena cinta raja berubah jadi hamba”

Yaa, Cinta merupakan kekuatan mahadahsyat yang siap


meremukkan segala sesuatu selain Kekasih. Ia adalah sari segala
gerak dan harmoni semesta. Semesta yang berputar-putar dalam
tarikan pusaran Sang MahaGravitasi, Pusat-Pusat Cinta segenap
makhluk. Cinta adalah salah satu rahasia-rahasia dari Dzat-Nya.
Apakah Cinta itu? Tiada kata, tiada pena, tiada ungkapan, tiada
lirik apapun yang bisa menggambarkan Apakah Cinta. Hanyalah
seperti asap-asap yang terbang menghilang dalam taufan, kata
hanyalah mampu mengungkapkan satu sisi-sisi kecil dari
keagungannya.
Tentang Cinta Ilahi, Sang Maha Surya, telah berkata Guruku YM
Sayyid Musa Al-Kadzim Al-Habsyi bahwa telah bersyair Imam
Khomeini,

“Asyiwam, Asyiqam
maridh tu am
ze in maraz
ma dawa nami khoham.”
“Kasihku, duhai Kasihku
Aku Sakit, karena-Mu
Dan akan Sakitku ini,
ku tak ingin sembuh.”

Cinta adalah Sakit dan Perih. Tapi PeCinta tak ingin sembuh dari
Sakitnya. Sakit karena Rindu akan Kekasih nan tak kunjung tiba.
Sakit karena Api Hasrat akan perjumpaan dan pertemuan dengan
Kekasih. Sakit karena Kekasih demikian Mulia, Agung, Suci, Tinggi,
Maharani, Mahaanggun, Maha …., tiadalah pantar al-faqir
menyentuh batas-batas terluar yang paling jauh dari Hadhirat
Kekasih.
Tentang Cinta kepada Nabi Muhammad, Rembulan Asmara,
Cermin Kesempurnaan Tuha, Makhluq Yang Paling Smepurna, al-
faqir yang dhoif ini bersyair;

menatap Muhammad buhulan rindu


tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap
kelipnya
merintih akulah geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan
dengan Mu,
duhai Muhammad …

Cinta kepada Nabi Muhammad (SAWW) adalah identik dengan


Cinta kepada Tuhan. Karena Muhammad (SAWW) adalah Kekasih
Tuhan. Apa yang dicintai Muhammad (SAWW) dicintai oleh Tuhan.
Apa yang dimurkai Muhammad (SAWW), dimurkai oleh oleh
Tuhan. Nabi berakhlaq sempurna, berjiwa amat mulia, berwajah
paling indah dan tampan. Tiada-lah satu percik zarrah apa pun
dalam lahir dan batin Nabi, maupun dalam tujuh lapisan alam
dalam semesta Nabi melainkan dipenuhi dengan segenap
Keindahan, Keagungan dan Ridho Tuhan. Mukmin adalah orang
yang mencintai Nabi lebih dari mencintai dirinya sendiri, dan
mencintai Keluarga Nabi lebih dari mencintai keluarganya sendiri.
Sholawat sejahtera atasNya selalu.
Di dunia ini, tiada mungkin kita bertemu dengan Kekasih Sejati,
Sang Maha Surya, Tuhan Yang Maha Agung. Tiada pula mungkin
kita bertemu dengan Rembulan Asmara, buhulan cinta para Wali
dan hamba yang taat, Muhammad (SAWW). Tapi bagi hamba yang
dikaruniai penglihatan indah, tiada lain segenap zarrah di semesta
adalah biasan-biasan Rahmat dan Sentuhan Kekasih Yang Maha
Agung. Di antara zarrah-zarrah tersebut, ada lokus-lokus Cinta
yang paling terang, adalah Kasih Orang Tua dan Cinta maupun
Birahi antara Laki-Laki dan Wanita. Al-faqir menyebut lokus-lokus
ini sebagai Lilin-Lilin Kecil. Manakala aku menatapi lilin-lilin kecil ini
aku teringat akan Cahaya Sang Maha Surya, Manakala aku
menikmati keindahannya, aku teringat akan biasan-biasan Cahaya
Sang Maha Surya. Suami/Istri adalah ladang-ladang kasih, ladang-
ladang asmara, tempat al-faqir menanam benih-benih Cinta, dan
melatih untuk merasakan pedih sekitnya Cinta. Ladang-ladang
kenikmatan maupun pengorbanan, pertemuan maupun kerinduan.

sepercik terang lilin dalam kelam,


saat tiada Surya maupun Rembulan
melepas setitik rindu dan dahaga
akan Kekasih Sang Maha Agung, Sang Maha Surya
dan Rembulan MahaCantik, MahaIndah, Muhammad

Menatap lilin-lilin kecil adalah Kehangatan. Mengurangi Silau-Silau


jika kita langsung menatap Surya. Menatap lilin-lilin kecil adalah
Kenangan. Mengenang Kekasih Mahacantik Mahaanggun
Mahamesra, Alla ‘Azza wa Jalla dan Cerminannya Yang Azali,
Muhammad (SAWW).

Aku pun mabuk dalam hangat cahaya lilin-lilin kecil


merah kekuningan nan bergoyang lamban bak taburan manik-
manik asmara
menggerakkan jutaan nuansa bayangan dan bintang-bintang
pemabuk
Tiada sadar, tiada keluh, tiada kesah, tiada desah,
tiada detak-detak hati,
tiada pula awan beranak mendung
Jernih, Bening kutatap nuansa yang bergoyang dalam Lautan
Tajalli
Aku pun mabuk dalam nuansa tarian lilin-lilin Tajalli,
Lilin-Lilin merasuk bak Anggur
Lilin-Lilin Yang Indah bak Lailah
Lilin-Lilin menari bak Zakiyah
Lilin-Lilin menangis gembira
Lilin-Lilin melengking merdu
Lilin-Lilin Asmara
Puncak Kemabukan Orang-Orang Tuhan
Lilin-Lilin nan tiada membuat dahaga
tapi membakar kerongkongan Perindu Tuhan
tetes demi tetes Cairan Putih Suci terbakar dalam Api Cinta
Cairan Yang memabukkan, itu lah aku
aku demi aku yang kepayang
menetes lenyap dalam kegelapan malam
lebur dalam keindahan Api, Gincu-Gincu Kekasih nan merona
merah
aku demi aku keram dalam ketiadaan
menatapi Tajalli demi Tajalli,
Keindahan Api lilin nan merona merah kekuningan, Rona-Rona
Kekasih bertahtakan manik munri keemasan,
Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar
Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar,
Sirna dalam Fana
Ooo, Sang Mahafana, mahafana, mahafana,…

dengan AsmaNya Yang Maha Tinggi


Dia memandang, aku tersipu
Aku memandang, Ia pun tersipu
memalu dengan pipiNya Yang Memerah Jambu
O…, Duhai Ia Yang Mahamalu dalam Puncak Keanggunannya
Kusentuh lentik bulumataNya,
Ia belai rambutku terberai,
Airmata dalam senyuman
Dengan sejuta makna dan cita
Citra itu memancaran Hujan pelangi di alam mimpi,
dalam alunan “bulan madu di atas awan”
dan jutaan zarrah langit nan senantiasa membiru,
dalam kelapangannya aku bercumbu dengan mesra,
Sedang Kekasih Nan MahaCantik memamerkan merah
rona pipiNya, dengan Wangi-Wangi azali yang,
meleburkan segenap zarrah dan mengguncang
Aku pun duduk bertelekan Awan-Awan putih nan menyelimuti ku
dari segenap tatapan dunia
maupun menyembuyikan aku dari khayalan hasrat-hasrat yang
tertidur di alam mimpi,
Segelas Anggur nan kuteguk, Anggur tetes airmata kerinduan
Kekasih,
Arak Kesturi tiada banding,
Kureguk cukup satu tegukan, dan Mabukpun menjalar ke segala
bagian-bagian terlembut dari jiwaku,
Bak keledai lupa akan kepalanya aku terjerembab dalam lorong-
lorong pusaran Cinta mahadahsyat,
Di tiap relung kutemui Berjuta Wajah Kekasih Rupawan,
menyanyikan lagu cinta dan dahaga,
dan dahaga,
Dalam setiap tetes kedahagaannya terdapat Samudera,
Yang menyegarkan jutaan kedahagaan baru…
Ohh, Ohh, Ohh, jangan begitu Duhai Kekasih, …
Ohh, Ohh, Ohh, janganlah malu Duhai Kekasih, …
Seiring serunai jagung menyiulkan lara keterpisahan, …
Serentak aku memasuki jutaan persatuan, yang masing-
masingnya menyantikan ribuan nyanyi perpisahan baru, …
Sejengkal saja dari mata tapi ada jutaan, milyaran, trilyunan,
trilyun-trilyun…, tak hingga titik yang harus dilalui, Dan tiap
titiknya mengandung rahasia-rahasia Wajah Kekasih nan rupawan,

Ohh, Ohh, Ohh, Nur melesat kembali ke asal tempat segala
bermuara,
Ohh, Ohh, Ohh, kutatapi Ceralng Wajah Muhammad buhulan
Asmara, melalui NurNya, Nut itu, Nur itu, Nur itu,
Betapa mungkin ini kutuliskan, Tanpa Pancungan KekasihKu, Yang
Maha Agung…?
Duhai nuansa, awan dan segala dahaga yang tersimpan dalam
hujan-hujan Tajalli …
Duhai hati, rasa dan segenap Cinta yang tersembunyi rapat dalam
tiap cinta-cinta …
Duhai kekasih, dan segala WajahMu yang Engkau sembunyikan
dalam tarabir tarabir tiada terhingga ……..

Darah pun tertumpah


Dari percik-percik darah Al-hallaj,
Melarik ke awan dan langit yang biru
Laa ilaaha Illa Allah,
yang asli tanpa cela, tanpa ragu, terang benderang dalam
naungan bendera Asmara,
Mengguncang sungai
Laa ilaaha Illa Allah,
yang mengalirkan semua air dari hulu ke muara,
yang mengalirkan Semua dalam Jalan, Tao, yang benar
Mengguncang segala,
Laa ilaaha Illa Allah
yang senantiasa memancar dalam iluminasi segala,
Iluminasi wujud azali, tiap saat, tiap waktu, tiap percik, tiap
ruang, dan tiap segala yang tak bisa diungkapkan dalam waktu
ataupun ruang ……
Diam dalam Ketunggaln Tiada Taranya,
Laa ilaaha Illa Allah
nan hanya diketahui olehNya dalam tahap pertama setelah
kegaibanNya terhadap diriNya sendiri, Akal Segala, Akal
Mahasempurna, Muhammadar Rasulullah,
Syahadat sempurna………
Tertuliskan dengan Laa merah muncrat dari hati,
Dan bertahtakan lengkap syahadar memerah sukma,
Darahpun menetes menuliskan Saksi demi saksi
KetunggalanNya……, Syahid Husein bi Mansur Al-Hallaj,…..,
Renungan 7
Imaginasi Teofanik : Imajinasi Penciptaan

menatap Kekasih buhulan rindu


lidah tertetak menjadi kelu
orok merah berari membiru
labuan bunda kaku membatu

Hud-Hud Rahmaniyah, syair ke-dua

O. Prolog

Apakah di surga itu ada warna dan bunyi sebagaimana di dunia


ini? Demikian, kami sibuk berbincang saat bis malam Bandung-
Surabaya yang saya tumpangi beserta Sayyid Musa menyusun
silogisme-silogisme menghadapi tikungan-tikungan Sumedang
yang amat tajam tersebut. Setajam itu pula, terulur kilauan-
kilauan berlian argumentasi dari akal Sayyid Musa, -pancaran
hikmah-, yang mengiris-iris semua kegelapan sehingga terang
teofani mengatasi segala yang ada!
“Pertama, warna dan bunyi, ditinjau dari sebab-sebab materialnya
jelas tidak ada di surga. Mengapa? Karena warna dan bunyi di
alam fisik ini ditimbulkan oleh gelombang-gelombang dengan
besar amplitudo tertentu, yang pasti-pasti terbatasi oleh ruang
dan waktu. Artinya mereka bersifat material. Sedang surga pasti-
pasti adalah suatu yang bersifat spiritual (immaterial),” begitu ujar
Beliau.

“Tapi Paduka,
apatah nan hendak kuucapkan tentang
pelangi-pelangi nan dengannya Ia kecup bibir-bibir hatiku
atau dengan simfoni yang kemarin dinyanyikanNya?
hijau biru Kubah Raja nan senantiasa nanar kutatapi?”
demikian aku menjawab pada Beliau.

“Oh…, budakku yang setia, pemilik ukuran yang mahafakir,…,


warna dan bunyi, sekiranya kita pandang secara hakiki adalah
sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sebab-sebab material.
Artinya sebab-sebab material timbulnya warna dan bunyi, -seperti
panjang gelombang, frekuensi gelombang, kecepatan gelombang,
mata, syaraf dan lain-lain-, hanyalah merupakan bagian dari
syarat cukup (sufficient conditon) timbulnya warna dan bunyi. Dan
sekali-kali bukanlah merupakan syarat cukup itu sendiri, apalagi
syarat perlunya. Apa buktinya? Dalam mimpimu yang kauceritakan
itu, engkau jelas-jelas menatap warna dan bunyi. Engkau menatap
keindahan Istana Kekasih di balik awan, dan Ia pun menyanyi
untukmu dengan teramat merdu. Bukankah dikatakan Nabi Daud
merupakan peniup seruling di surga?”
“Selain itu, oh…, budakku yang penuh semangat dalam
memerangi kebodohannya, …, sekiranya engkau memerlukan
bukti yang lebih akurat secara filosofis, apakah warna itu secara
obyektif ada pada cahaya ataukah merupakan suatu hal yang
hanya ada secara subyektif? Demikian pula apakah bunyi itu
obyektif atau subyektif pada gelombang suara? Jelas-jelas ia
bersifat subyektif, -tidak obyektif. Kenapa? Bagi seorang buta atau
tuli, keberadaan obyektif gelombang cahaya atau suara tidak
mengharuskan keberadaan obyektif warna dan bunyi.”
“Jadi warna dan bunyi itu subyektif. Ia memiliki suatu keberadaan
obyektif dalam alam subyektif orang yang melihat dan
mendengarnya. Jadi cahaya dan gelombang suara di alam fisik ini
tidaklah merupakan sumber satu-satunya tampaknya warna
maupun terdengarnya bunyi,” demikian Sayyid menjelaskan
panjang lebar.

“Jadi, Paduka
apakah itu hijau dan biru yang kunikmati sejuknya dalam
mimpiku,
ataupun “The Ancient Melody” yang kudengar sampai aku
menggeletar dalam puncak kerinduan dalam mimpiku itu, duhai
Sayyid – ku YM.”
Tanyaku sembari mengagumi bekas-bekas cahaya sujud dan
tafakkurnya yang menjulang Langit.

Beliau pun menjawab sebagaimana bersya’ir lirih;

“Itulah tempat hamba mungkin menyentuh Maha Rani,


tempat Muhsin terkapar penuh lara, dalam buaian pelangi di atas
awan,
Itulah tempat aku senantiasa bertemu dengan Kakekku YM, Ali
(a.s, k.w)
dan menciumi hikmah-hikmahnya.
Itulah Imajinasi Teofani. !”

1. Imajinasi Teofani : Imajinasi Kreatif

Sebagaimana kausalitas menunjukkan, -sejelas mentari di siang


bolong-, alam-alam yang lebih tinggi itu pula hasrat ilahiyah dalam
diri manusia menembus dan menyaksikan alam-alam itu. Secara
filosofis alam-alam itu adalah alam-alam yang memiliki derajat
prioritas lebih tinggi dari alam material kasat indera ini. Lebih
tinggi dalam artian suatu sebab yang mendahului akibat. Secara
fitrah-akliah-qolbiah alam-alam itu lebih menarik jiwa manusia dari
pada dunia fana ini.
Keteraturan bumi dan planet-planet mengitari matahari membuat
para ahli fisika menembus dan menyaksikan eksistensi hukum
gravitasi yang menjadi sebab dari keteraturan itu. Sebuah lukisan
indah membuat orang-orang yang dapat mengapresiasinya ingin
berjumpa dan mengenal lebih lanjut pribadi pelukisnya. Amat sulit
di sini memisahkan antara hasrat rasional yang selalu dituntun
oleh kausalitas dan prinsip non-kontradiksi logis dan hasrat
irasional yang selalu dituntun oleh gerakan mekar wangi bunga-
bunga hati yang semerbak rancak dan senantiasa mewangi.
Kini, ketika abdigakir ini sedang berusaha merasionalisasi
kumpulan-kumpulan pengalaman ini, dalam imajinasi saya ada
seorang penari wanita bergelayutan mesra di cabang-cabang
mawar dan membuat saya mabuk … mabuk dan mabuk … Saya
tak tahu apakah saya saat ini berfikir atau bermain simfoni. Saya
tak tahu apakah saya saat ini sadar ataupun mabuk.
Kemabukan spiritual karena terang dan lembutnya selarik kecil
dari Cinta Tuhan yang dikaruniakan kepada kita, mengangkat kita
ke suatu alam-alam lain. Pada alam-alam tersebut ada pandangan,
sebagaimana kita dapat memandang di dunia. Pada ruang-ruang
tersebut ada pendengaran, sebagaimana kita mendengar di dunia.
Cinta Tuhan menarik manusia, baik lahir maupun batinnya, dan
segenap indera dan persepsinya, ke alam-alam yang lebih tinggi…
Alam yang kurang obyektif jika dilihat dari obyektifitas alam
material, tapi sebenarnya adalah alam yang lebih obyektif jika
dilihat dari Obyektifitas Mutlak, Kebenaran Yang Maha Tunggal.
Kemabukan ruhaniah yang membawa manusia ke dalam sari
kecanduan Cinta Ilahi ini di saru sisi melenyapkan kesadarannya
dalam dunia ini, tapi di sisi lain memberinya kesadaran yang hakiki
tentang hakikat dunia dan segala yang ada ini.
Sentuhan putik benih-benih berseri
Keceriaan pemabuk dalam tarian bintang perumpamaan
Ia belah ujung-ujung kelipnya dan dirajutnya
menjadi manikan murni keriangan
menjadi jantung, darah dan airmata
menjadi lentera gemilang bak pelangi dalam tetes-tetes embun
atau mentari yang sejuk
O…Syaki, pemilik anggur-anggur yang mematikan
elang-elangmupun telah membunuh
jiwa-jiwa yang bagaikan ayam mengais-gais tanah
maka kupinta racunmu dengan segera
agar rindu tiada lagi menyayat
Cincin cendana tanda kematianpun kau berika
Senyum bahagia sang peminum racun
Hari-hari yang cerah telah tiba

Apa itu teofani? Teofani adalah tajalli


Wujud Yang Maha Mutlak tiada tertara tiada berbanding tiada
berbatas apapun walau hanya Nama-Nama. Nama tiada
membatasi wujud, ia hanyalah satu penyebutan Wujud itu sendiri.
Tiada selain Wujud Yang Maha Mutlak ini. Selain Wujud Yang Maha
Mutlak ini hanyalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq, atau
nothingness). Hakikat Zat-Nya tiada lain adalah WujudNya yang
tiada lain adalah wujud itu sendiri. Tunggal, tiada terhitung luas,
tiada berbatas. Besar, tiada tersifati dengan sifat apapun. Tunggal,
tiada terhitung karena dua-nya tidak pernah ada, dan tidak ada
dua, tiga,… yang mendampinginya dalam apapun. Tunggal tiada
tara dalam KesepianNya yang azali. Inni usyhiduka wakafaa bika
syahiida, … Aku bersaksi tentangMu dan cukuplah Engkau sebagai
saksi. Cukuplah Wujud sebagai saksi atas Wujud. Karena selain
wujud adalah ketiadaan muthlaq. Cukuplah keberadaan sebagai
saksi atas keberadaan. Karena apa yang bisa memperjelas
keberadaan? Saksi atas keberadaan diriNya (existence in-itself),
saksi atas ketunggal diriNya (ahadiyyul ma’na), saksi atas
kesempurnaan diriNya (yang Wajib sedang segala selain Ia
mungkin, atau dengan kata lain, yang Ada sedang segala selain Ia
tidak ada).
Creatio ex nihilo, penciptaan segala yang ada dari nothingness
(ketiadaan muthlaq), adalah mustahil. Karena jika ini mungkin,
maka ada Penciptaan (Khaliq), dan “ada” nothingness (ketiadaan
muthlaq) dan adan makhluq yang diciptakan oleh Khaliq dari
nothingness (ketiadaan muthlaq). Sedang ketiadaan muthlaq itu
benar-benar tiada ada sehingga tidak memiliki efek apapun. Jadi
makhluq apapun diciptakan Khaliq tidak membawakan efek
apapun dari nothingness. Artinya “tidak ada” nothingness yang
merupakan unsur penciptaan atau mudahnya ketiadaan itu benar-
benar tidak ada apa-apa. Kalau “ada” ketiadaan muthlaq yang
merupakan unsur penciptaan berarti ada bisa identik dengan tiada,
dan ini merupakan kontradiksi.
Tajalli bukan creatio et nihilo. Kesedihan Tuhan Yang Maha Wujud
dan tidak ada yang wujud kecuali Wujud ini digambarkan dalam
frasa berikut : “Aku adalah Perbendaharaan yang tersembunyi.
Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku mencipta, agar Aku dikenali”.
Frasa ini merupakan kesedihan dari Nama-Nama Tuhan yang ada
dalam peti-peti ketidaktahuan. Ketidaktahuan karena tidak ada
yang menamakan Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang
mengenali Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang menyebut Nama-
Nama tersebut. Kesedihan ini terwujud dalam bentuk Nafas Ilahian
(tanaffus) yang tidak lain adalah Kasih (Rahmah) dan eksistensial
(ijad), dan yang dalam dunia misteri adalah kasih Wujud Tuhan
dengan dan untuk DiriNya sendiri, yaitu, untuk Nama-Nama-Nya
sendiri.
Nama adalah pandangan kepada Wujud dari satu sudut pandang
tertentu. Wujud adalah Ar-Rahman. Wujud adalah Ar-Rahim.
Wujud adalah Al-Lathiif. Wujud adalah Al-’Azhiim. Wujud adalah
Al-Aliyyu. Ar-Rahman adalah Ar-Rahiim adalah Al-Lathiif adalah
Al-‘Azhiim adalah Al-‘Aliyyu. Dan Dialah Wujud Al-Muthlaq . dzat
Tuhan tidak bisa dibatasi oleh apapun dan tiada terbatas. Sebagai
suatu contoh mudah, karena keterbatasan mata kita, maka tidak
mungkin kita memandang seluruh aspek sebuah rumah dari segala
sudut pandang pada saat yang bersamaan. Jika kita memandang
dari atas kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang
dari samping kita sedang memandang rumah. Jika kita
memandang dari penjuru atas kita sedang memandang rumah.
Maka ada yang disebut tampak atas, tampak samping, dan lain-
lain. seperti itualh Nama. Segala sesuatu selain Tuhan terbatas,
minimal oleh kekuasaan Tuhan yang menciptanya. Keterbatasa itu
esensial. Hakiki. Hakiki dalam artian yang paling dalam dan tidak
berubah dan tidak pernah akan berubah. Keterbatasan esensial
segala sealin Zat Tuhan membatasi secara esensial pandangan
dari segala keapda Zat Tuhan melewati Nama-Nama. Nama-Nama
inilah yang masih mungkin di “pandang” oleh segala selain Zat
Tuhan. Hanya Nama, sekali lagi hanya Nama. Bukan Zat Tuhan itu
sendiri.
Betapa tidak sedang Kekasih Allah. Makhluq Allah Yang Paling
Sempurna di sekalian alam Rasulullah (S.A.W.W) yang mulia telah
bersabda :

“Kami tidak mengetahui Engkau sebagaimana seharusnya Engkau


diketahui. Kami tidak menyembah-Mu, sebagaimana Engkau
seharusnya disembah.”
(40 Hadist, Imam Khomeini, Buku Pertama, Mizan, Cetakan
Kedua, 1993, hal 70)

Tajalli adalah penampakan/manifestasi Nama-Nama Tuhan.


Seluruh makhluq yang tercipta tiada lain adalah manifestasi
Nama-Nama Tuhan. Wujud Mutlak bagaikan Mentari yang
memancarkan Cahaya Keberadaan kepada berbabagai Nama-
Nama. Nama-Nama tidaklah memiliki Wujud secara obyektif,
mereka hanyalah memiliki wujud secara subyektif atau imajinatif.
Ya, bagi Wujud Yang Maha Mutlak Nama tidak mungkin
mempunyai keberadaan secara obyektif, kecuali Nama tersebut
identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak. Jika Nama mungkin
mempunyai keberadaan secara obyektif walaupun ia tidak identik
dengan Wujud Yang Maha Mutlak, maka ini melanggar prinsip non-
kontradiksi.
Nama-Nama Tuhan yang terkena cahaya Wujud akan berpendar
dan mereka akan memancarkan Cahaya Wujud sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Antara Cahaya yang terpancar dari
satu Nama dengan Cahaya yang dipancarkan dari Nama lain dapat
terjadi berbagai hubungan. Berbagai hubungan tersebut bisa
merupakan unifikasi, negasi, interseksi, dan lain-lain. Berbagai
hubungan antar Nama kembali memendarkan berbagai Nama-
Nama baru yang merupakan manifestasi dari berbagai Nama-
Nama yang lebih dulu memperoleh Cahaya Wujud. Ini terjadi terus
menerus di berbagai arah sehingga “terciptalah” alam ini sebagai
manifestasi dari Nama-Nama Allah. Atau dengan kata lain, seluruh
alam ini tidak lain adalah Nama Allah dalam sebuah ceramah
Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini dijelaskan bahwa;

“The whole world is a name of Allah, because the name of thing is


its sign or symbol and as all the things existing are the signs of
Allah, it may be said the the whole world is His Name. At the most
it can be said that very few people fully understand how the
existing things are the signs of Allah. Most people know only this
much that nothing can come into existence automatically.
…….
This much can be easily understood by all that exizting things are
a sign and a name of Allah. We can say that the whole world is
Allah’s name. But the case of this name is diffent from that of the
names given to ordinary things. For example if we want to indicate
a lamp, or a motor car to someone, we mention its name. The
same thing we do in the case of man or Zayd. But evidently that is
not possible in the case of the Being possessing infinite sublime
qualities.” (Light Within Me, Islamic Seminary Publication,
Pakistan, First Edition 1991, pp. 123-124)

Yang terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut;


“Seluruh alam adalah Nama Allah, karena nama dari sesuatu
adalah tanda atau simbol dan karena seluruh yang ada adalah
tanda-tanda Allah, dapat dikatakan bahwa seluruh alam adalah
NamaNya. Sungguh dapat dikatakan bahwa sangat sedikit orang
yang mengetahui secara penuh bagaimana seluruh yang ada
adalah tanda-tanda Allah. Kebanyakan orang tahu tentang hal ini,
hanya tentang bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat meng-
ada secara otomatis.
…….
Ini dapat dimengerti lebih muda oleh semuanya bahwa segala
sesuatu adalah tanda dan nama Allah, kita katakan bahwa seluruh
alam adalah nama Allah. Tapi nama di sini berbeda dengan nama-
nama yang diberikan ke hal-hal yang umum. Sebagai contoh, jika
ingin menunjukkan lampu atau sepeda motos kepada seseorang,
kita menyebutkan namanya. Hal yang sama kita lakukan dalam
kasus manusia atau Zayd. Tapi, terbukti bahwa ini tidaklah
mungkin dalam konteks Wujud yang memiliki sifat-sifat yang
mahatinggi tiada terhingga.”

Nama memberikan berbagai esensi yang berbada kepada Wujud


Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai makna
konsepsional yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal.
Nama memberikan berbagai gradasi yang berbeda kepada Wujud
Yang MahaTunggal. Esensi, makna konsepsional maupun gradasi
diberikan dalam alam yang imajinatif atau subyektif. Imajinatif jika
dipandang relatif terhadap Wujud Yang Maha Mutlak. Kenapa?
Karena telah dibuktikan bahwa jika keberadaan dari Wujud Yang
Maha Mutlak obyektif, maka tidak mungkin semua selain dirinya
mempunyai keberadaan yang obyektif kecuali identik dengan
Wujud Yang Maha Mutlak itu sendiri. Karena jelas bahwa Wujud
Yang Maha Mutlak keberadaanya benar-benar obyektif, maka
segala sesuatu yang nampak “ghair” atau “Wujud Yang Maha
Mutlak ini hanya “ada” secara subyektif saja, bukan secara
obyektif. Artinya penciptaan semua di alam plural ini terjadi dalam
alam imajinasi, bukan alam nyata. Maha Suci Ia Yang Maha Nyata
dan tidak ada suatu apa pun yang Nyata kecuali Ia.
Qur’an mengatakan : Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi …(QS.
An-Nur 33). Tidak dikatakan bahwa langit dan bumi diberi
iluminasi oleh cahaya. Alasannya adalah bahwa langit dan bumi
adalah non-entitas (bukan sesuatu). Tidak ada apapun dalam
dunia kita yang mempunyai eksistensi independen. Tidak ada yang
maujud kecuali Allah, (Paragraf ini dicuplik dari penjelasan Imam
Khomeini dalam buku Light Within Me, hal 126-127)…
Dengan rahmatNya, dan petunjukNya serta berkah Nabi-Nya
Muhammad (S.A.W.W) dan para Imam Suci (a.s), penulis
mengajak seluruh pembaca sekalian untuk merenungi makna kata
imajinasi yang digunakan di sini. Imajinasi di sini bukanlah fantasi.
Imajinasi di sini adalah pemahaman. Seperti yang telah dikutip
oleh Prof. Henry Corbin dari Syaikh Al-Akbar ‘Ibnu ‘Arabi;

“This the world is pure representation (mutawahham), there is no


substantial existence; that is the meaning of Imagination…
Understand then who you are, understand what your selfhood is,
what your relation is with the Divine Being; understand whereby
you are He and whereby you are other than He, That is, the world,
or Whatever you may choose to call it. For it is in proportion to this
knowledge that the degrees of preeminence among Sages are
determined. “(Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
Henry Corbin, Princeton University Press, Princeton, N.J., 1969,
pp. 192).

Yang terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut;


“Jadi alam ini adalah representasi murni (mutawahham), tidak ada
keberadaan yang substansial; itulah makna Imajinasi…..
Pahamilah kemudian siapa Anda, pahamilah apa kedirian Anda,
apa hubungan Anda dengan Wujud Tuhan; pahami bahwa Anda
adalah Dia dan bahwa Anda adalah selain Dia. Itulah, alam, atau
apapun yang Anda pilih untuk menyebutnya. Karena derajat
keutamaan di antara orang-orang yang selamat, sebanding
dengan pengetahuan ini.”

Dalam Doa Kumayl Ibnu Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib (a.s)
merintih kepada Allah;
“Aturooka mu’adzidzibi binaarika ba’da tauhiidika
waba’da man thowaa ‘alaihi qolbii min ma’rifatika
walahijaabihhi lisaani min dzikrika
wa’taqadahuu dhomiiri min hubbik
wa ba’da shidqi’tiroofi wadu’aaii khoodi’an li rubuubiyyatik
Haihaata …
Anta akromu min an tudhoyyi an man robbaitah”

Yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut:

“Apakah Engkau akan menyiksaku dengan neraka-Mu,


setelah aku mentauhidkan-Mu
setelah hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu
setelah lidahku bergetar menyebut-Mu
setelah jantungku terikat dengan cinta-Mu
setelah segala ketulusan pengakuan dan permohonanku
seraya tunduk bersimpuh pada rububiyah-Mu?
Tidak………,
Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau
ayomi,”

Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi bersyair;


Engendered being is only imagination,
yet in truth it is the Real.
He who has understood this point
has grasped the mysteries of the Path
(Fusuus 159, Ibn ‘Arabi, diambil dari The Sufi Path of Knowledge,
William C. Chittick, State University of New York Press, Albany,
1989, pp. 143)
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
Bermacam-macam wujud hanyalah imajinasi,
tapi sebenarnya itu adalah Yang Nyata.
Ia yang telah mengetahui hal ini
telah memahami rahasia dari Jalan

Imajinasi di sini adalah Imajinasi Aktif, -yang tidak lain merupakan


suatu organ tajalli yang esensial karena ia adalah organ
penciptaan dan karena penciptaan tidak lain adalah tajalli. Wujud
Yang Maha Mutlak adalah Penciptaan karena Ia ingin mengenal
dirinya sendiri dalam wujud-wujud yang mengenal-Nya. Jadi
Imajinasi Aktif tidak dapat disifati sebagai ilusif, karena ia adalah
organ dan substansi penampakan yang mesti dan spontan ini.
Wujud manifestasi kita adalah Imajinasi uhan; dan Imajinasi kita
sendiri adalah Imajinasi dalam Imajinasi-Nya. (Paragraf ini disadur
juga dari Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry
Corbin, Princeton University Press, princeton, N.J, 1969, pp. 190)
Imajinasi teofani mempunyai dua fungsi; sebagai Imajinasi
penciptaan yang mengimajinasikan Penciptaan dan Imajinasi
Makhluk yang mengimajinasikan Penciptaan. Hati (al-qalb)
merupakan suatu “organ lembut” dalam diri manusia yang
mempunyai kemampuan menangkap visi-visi teofanik. Visi-visi
teofanik adalah pandangan-pandangan kepada berbagai tajalli
Tuhan yang ada dalam alam Imajinasi teofani.
Eksisitensi alam terbentang luas dalam alam Imajinasi. Untuk
memperjelas hal ini mari kita renungi sejenak tentang imajinasi
kita. Sifat-sifat imajinasi kita sama dengan sifat-sifat eksistensi
alam ini. Imajinasi kita, -seperti yang kita alami di alam mimpi-,
merupakan barzakh antara ruh dan jasad, sedang eksistensi alam
ini merupakan barzakh antara Wujud Mutlak dengan ketiadaan
Mutlak. Seperti alam yang kita lihat dalam mimpi adalah spiritual
dan material, bermakna dan berbentuk, demikian pula alam yang
dilihat oleh Tuhan dalam “mimpi”-Nya terbentuk dari Wujud dan
ketiadaan. Ketika kita angun tidak dan ingin memahami mimpi
kita, kita berusaha menginterpretasikan mimpi tersebut atau pergi
ke ahli tafsir mimpi untuk melakukannya bagi kita. Demikian juga,
ketika kita mati dan “bangun” ke mimpi kosmik Tuhan, kita akan
memperoleh interpretasi atau tafsir mimpi kita. (walaupun
kebangunan itu sendiri adalah tahap lain dalam mimpi kosmik).
Alam ini adalah Dia sekaligus bukan Dia (Huwa/Laa Huwa).
Argumentasi filosofisnya amat simpel, kalau alam ini bukan Dia
berarti ada sesuatu selain Dia. Padahal Dia adalah Keberadaan
Mutlak, sehingga selain Dia pasti adalah ketiadaan mutlak.
Sebaliknya kalau alam ini Dia, maka karena alam ini tersusun atas
beberapa entitas yang lebih kecil. Dia-pun tersusun (murakkab).
Dan Keberadaan Mutlak jelas tidak tersusun atas bagian-bagian
yang lebih kecil (Baca kemabli Renungan Kedua di buku ini
Renungan Tauhid). Renungan mendalam tentang eksistensi alam
ini menyadarkan kita akan adanya sifat dasar eksistensi yang
mendua (ambigu) ini.
Mungkin tidak ada frasa yang dapat demikian gamblang dan
simpel yang menjelaskan hal ini lebih dari Sabdar Amirul
Mukminim Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul-Balaghah;
“Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula
muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu
namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari
segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah
Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha
Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apa pun.
Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia
merasa terikat ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.” (Mutiara
Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung,
1990, hal. 22).

Atau juga seperti Sabda Beliau yang lain dalam Nahjul-Balaghah;


“Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “ada” di
sana. Dan tiada Ia berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut.
Ia “tidak ada” di sana.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid
Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 24).
Mengenai ketidak tersusunan (ketakterpilah-pilahan)-Nya, ini
dapat diketahui dengan merenungi Sabda Beliau berikut ini:
“Maka barangsiapa meletakkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja
dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan
barang siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah
menduakan-Nya. Dan barang siapa menduaka-Nya, maka ia telah
memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barang siapa memilah-
milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan
barang siapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukan
kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Dan
barang siapa berkata : “Di manakah Dia? , maka sesungguhnya ia
telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang
siapa berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah
mengosongkan sesuatu dari (kehadiran)-Nya.” (Mutiara Nahjul
Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990,
hal. 22).
Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi mengutip ayat Qur’an yang
menunjukkan kepada realitas Huwa/Laa Huwa dari alam ini Qur’an
mengatakan. “Bukan engkau yang melepar ketika engkau
melempar, tapi Tuhan yang melempar.” (QS 8 : 17). Ayat tersebut
menegaskan realitas individu dari Nabi, kemudian menegaskan
dengan mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan-lah yang berada di
balik permunculan tersebut. Syaikh Al-Akbar melanjutkan,
“But the clear formulation of this question is terribly difficult.
Verbal expression (‘ibaara) falls short of it and conceptualization
(tasawwur) cannot define it, because it quickly escapes and its
properties are contradictory. It is like His wordf, “You did not
throw, “so He negated “whwn you threw,” so He affirmed, “but
God threw, “so He negated the engendered existence (kwan) of
Muhammad and affirmed Himself as identical (‘ain) with
Muhammad, since He appointed for him the name “God”. (II
216.12) (The Sufi Path of knowledge, William C. Chitick, State
University of New York Press, Albany. 1989, pp. 115)

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;


“Tapi formulasi yang jelas mengenai pertanyaan ini amat sulit.
Ekspresi verbal (‘ibaara) tak bisa mengungkapkannya dan
konseptualisasi (tasawwur) tidak dapat mendefinisikannya, karena
ini akan lepas dengan segera dan sifat-sifatnya kontradiktif. Ini
adalah seperti firmanNya, “bukan engkau yang melempar, “maka
Ia menegasikan, “ketika engkau melempar”, maka Ia
menegaskan, “tapi Tuhan yang melempar, “maka Ia menegaskan
eksistensi (kawn) Muhammad dan menegaskan Diri-Nya identik
(‘ain) dengan Muhammad, karena Ia menunjuk baginya nama
“Tuhan.”

Kembali menurut Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi, realitas Huwa/Laa


Huwa menemukan ekspresinya yang terjelas dalam kosmos melalu
imajinasi (khayaal).Dalam mimpi, sebagai contoh, yang
merupakan sebuah fungsi imajinasi, seorang manusia melihat
benda-benda material yang tidak merupakan benda material.
Obyek-obyek yang dilihatnya mempunyai bentuk material, tapi
mereka tidak ada di dunia benda-benda material, tapi dalam alam
imajinasi/jiwa. Imajinasi dapat menangkap sebuah makna (ma’na)
tanpa bentuk luar apapun dan memberikannya kepada sebuah
bentuk sensorik tertentu.
Perlu penulis tekankan di sini bahwa kemenduaan (ambiguitas)
alam ini tidak melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Alam
sekaligus sebagai Huwa/Laa Huwa tidak kontradiktid. Kenapa?
Karena alam adalah Huwa di lihat dari satu sudut pandang, dan
alam adalah Laa Huwa ditinjau dari sudut pandang lain. Ditinjau
dari eksistensinya alam adalah Huwa. Sedang ditinjau dari
esensinya yang membuat alam ini nampak plural-, alam adalah
Laa Huwa. Di sini penulis kurang setuju dengan pendapat.
Mahaguru penulis YM. Syaik Al-Akbar Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh
William C. Chittick sebagai berikut;

“God posseses stregth because of the inaccessibility (‘izza) of


some, -or all- of the possible things, that is, the fact that they do
not accept opposites. One of the effects of strength is the creation
of the World of Imagination in order to make manifest within it the
fact that it bring together all opposites (al-jam’bayn al-addad). It
is impossible for snse perception or the rational faculty to bring
together opposites, but it is not impossible for imagination.” (The
Sufi Path of Knowledge, William C. Chittick, State University of
New York Press, Albany, 1989, pp. 115).

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;


“Tuhan mempunyai kekuatan karena ketaktercapaian (‘izza)
beberapa, -atau semua-, hal-hal yang mungkin, yaitu bahwa
mereka tidak menerima hal-hal yang berlawanan. Satu dari efek
kekuatan adalah penciptaan Dunia Imajinasi untuk membuat
manifestasi di dalamnya kenyataan bahwa ia membawa bersama
seluruh hal-hal yang berlawanan (al-jam’byan al-addaad). Adalah
tidak mungkin bagi persepsi inderawi ataupun fakultas rasional
untuk membawa bersama hal-hal yang berlawanan, tapi ini
mungkin untuk imajinasi.”

Perlu penulis sedikit garis bawahi di sini bahwa Syaikh Al-Akbar


berpendapat bahwa “penciptaan” telah menghasilkan watak
ambigu eksistensi alam. Selanjutnya, Beliau YM. Menafsirkan
ambiguitas eksistensi alam ini sebagai kontradiksi rasional,
sehingga fakultas rasional tidak akan bisa menerimanya. Sedang
kami, penulis yang mahanista dan mahadho’if ini sedikit ingin
mengungkapkan pendapat kami yang sedikit berbeda, yaitu;
ambiguitas eksistensi alam ini bukan kontradiksi rasional, sehingga
fakultas rasional bisa menerimanya. Tapi, penulis sepakat bahwa
hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis sepakat pula
dengan implikasi praktisnya bahwa hal ini bisa dimengerti oleh
imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya
bahwa dalam memahami alam ini diperlukan pada penggunaan
yang optimal fakultas imajinasi. Alih-alih mengatakan penciptaan
ini tidak rasional atau tidak logis penulis mengatakan bahwa
penciptaan ini rasional dan logis walaupun penjelasan secara
mendetail tentang penciptaan secara rasional murni sulit. Penulis
yakin bahwa penjelasan yang benar dari fakultas imajinatif
tentang penciptaan tidak pernah dan tidak akan pernah melanggar
prinsip non-kontradiksi logis. Tapi, penulis pun yakin bahwa kalau
pun kelihatannya ada sedikit perbedaan antara pendapat Syaikh
Al-Akbar dengan pendapat ini, perbedaan itu hanyalah karena
masalah pengungkapannya saja, dan tidak hakiki.
Meminjam istilah Imannuel Kant, memahami kosmologi
penciptaan dalam dan dengan Imajinasi Teofani adalah termasuk
dalam hal-hal yang supra-logis, yang jika dicoba dianalisis secara
rasional tapi kurang matang akan menjerumuskan kita pada hal-
hal yang nampaknya kontradiktif (biasanya disebut sebagai
paralogisme). Seperti halnya apakah bijak berusaha memahami
secara logis alunan “Air on G-String” dari komponis besar Johann
Sebastian Bach? Tentu tidak tepat. Makna yang disampaikan oleh
“Air on G-String” harus dipahami dengan rasa seni, tidak dengan
logika. Tapi ini bukan berarti bahwa “Air on G-String” itu tidak
logis. Karena tidak melanggar hukum logika manapun. Pernyataan
yang lebih tepat adalah “Air on G-String” semestinya tidak
dipahami dengan logika. Demikian pula hakikat pesan yang
hendak disampaikan oleh Syaikh Al-Akbar, pahamilah penciptaan
dengan Imajinasi Aktif, dengan Imajinasi Teofani. Hanya Imajinasi
dalam Imajinasi-Nya lah yang paling tepat untuk memahami
keseluruhan hakikat alam yang imajinatif ini. Mari kita renungi
sebuah cuplikan dari doa Ash-Shobah Imam ‘Ali bin Abi Thalib
(a.s) berikut ini;
“Yaa man qorba min khothorootizh-zhunuun
wa ba’uda al-lahazhootil ‘uyuun”
yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Wahai yang dekat dengan khatharaati azh-zhunuun (pikiran yang
melintas) dan jauh dari pandangan mata.”

Bagaimana kita bisa naik ke alam-alam kesadaran yang lebih


tinggi bangun dari satu impian masuk ke dalam impian lain yang
lebih nyata dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih
tinggi? Doa dan zikir baik yang nampak maupun yang khofiy,
disertai dengan tafakkur terus menerus tentang Tuhan mungkin
merupakan satu cara. Betapa rindunya kita akan suatu maqam
yang lebih di miliki oleh Pemimpin Para Wali Yang Mulia Amirul
Mukminim Imamul Muthadin ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) yang
diisyaratkan dalam Sabda Beliau berikut ini;
Seorang laki-laki bernama Dzi’lib Al-Yamani bertanya: “Dapatkah
Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir Al-Mukmini?” Jawab Imam Ali
a.s : “Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak kulihat?!”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanya orang itu lagi. Maka beliau
memberikan penjelasannya: “Dia (Allah) takkan tercapai oleh
penglihatan mata, tapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat
keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa
jarak. Berbicara tanpa harus berpikir. Berkehendak tanpa perlu
berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tetapi
tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak
bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.
Wajah-Wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa
bergetas karena ketakutan terhadap-Nya. (Mutiara Nahjul
Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990,
hal. 25).

Wallohu a’lam bish-showab. Walhamdulilahirobbil’alamin.


Washolallohu ‘ala sayyidun Muhammadin wa aalihith-thoohiriin.
Wa la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Renungan 8
Bersatu dalam Melodi Cinta

Dan Majnun pun terhenyak, tak kuasa ia menutup matanya


barang sekejap. Betapa sempurnanya lentik matanya, lesung pipit
yang senantiasa menghiasi senyum lembutnya. Semampai
sempurna tubuhnya, senantiasa tertunduk malu wajahnya. Dan
mengapa nafasnya dan desahnya seolah selalu tersipu? Ungu
kehijauan alami menghiasi bawah kelompak matanya. O….,
kesempurnaan keindahan yang mahacantik! O…, Laila! O,…Laila!
Tapi, geram permusuhan kesukuan ayah Laila mencampakkan
seluruh harapan dan getaran rasa. Gigi-gigi ayah Laila senantiasa
beradu menahan dengan mahadahsyat terhadap semua orang dari
Suku Majnun. Beliau menyaksikan dan mendnegar apa yang telah
dikatakan orang banyak “Majnun, -orang termulia dalam ilmu
maupun hartanya diantara seluruh pemuda kita-, telah jatuh cinta
pada Laila. Majnun telah gila oleh cintanya. Tak dilihatnya lagi
dendam turun temurun antara sukunya dan suku Laila. Majnun
telah benar-benar mencintai Laila. Siang dan malam, “Laila” saja
yang terucap pada siapapun. Kecantikannya. Keanggunannya.
Kesuciannnya. Ke…..nya, Ke….nya dan Ke…nya”. Ayah Laila
bertindak tegas, Laila dikurung dalam rumah, tak boleh keluar dari
pekarangan rumah, agar tiada satu pun Majnun dapat melihat
bahkan mendengar langkah Laila.
Ooo, rembulan telah tiga surya kulewati tanpa menatap wajah
Laila. Betapa gundah hati nan dipenuhi dengan gejolak asmara ini.
Betapa pilu relung-relung rindu nurani nan dibanjiri dengan
airmata cinta ini. Betapa mungkin kulewati dirimu dan surya tanpa
lentik matanya. Dan apatah arti Sang Waktu dan Hayat yang ada
di dalamnya tanpa tunduk malu Laila?
Dalam terang-reamangnya cahaya rembulan, pelahan ada satu
bintik keputih-putihan dari kandang domba di pekarangan Laila
mendekat dan mendekat. Semakin dekat semakin jelas. Sang
penggembala domba keluarga Laila pulang setelah usai tugasnya.
Duhai Majnun, apa gerangan yang engkau sedihkan ? Laila-
kah? Sungguh ia senantiasa menatapi domba-dombaku
ketika masuk kandan dari jendela kamarnya. Ia pun tampak
berduka dan sayu. Tampaknya cintanya padamu telha
membakar sari-sari hasratnya.
Terima kasih duhai gembala budiman. Esok hari kan kubeli
pakaian domba, dan akupun akan datang padamu dengan bulu
domba, kepala domba dan tanduk domba. Aku akan menjadi
domba mu. Aku rela menjadi domba mu. Dan, saat itulah yang
kuinginkan! Saat dimana Laila menatap ku dan aku pun makin
menyadari lentik sempurna bulu matanya, dan percik kemilau air
matanya. Aku lah domba Laila. Namaku Majnin. Namaku Majnun
domba Laila. (Musyawarah Brung, Fariduddin Attar Naishapur)
Demikian hembat Cinta telah mengubah Majnun, -idola
kesuksesan para pemuda di masanya-, menjadi seekor domba
Laila. Ia melewatkan malam-malamnya di kandang kumuh domba.
Meninggalkan kasur empuk dan aroma-aroma parfum wangi di
rumah megahnya. Demikian hebat Cinta telah mengubah Majnun,
-pemuda yang dikejar beribu wanita cantik-, sehingga Ia rela
hidup beserta binatang-binatang kotor yang kandangnya selalu
dihiasai denan bau tahi-tahi yang telah membusuk. Tiada lagi rasa
mual, tiada lagi rasa jijik, tiada lagi rasa segan, tiada lagi harga
diri, tiada lagi penghalang bagi Majnun untuk menatap sekilas
kilau wajah kekasihnya, Laila. Inilah Cinta!
Perlu dicatat kata-kata Cinta yang digunakan disin tidak identik
dengan Cinta Syahwat antara dua orang yang berlawanan jenis
kelaminnya. Tidak pula dengan Cinta akan hal-hal yang bersifat
fisikal saja. Kata Cinta dalam makalah ini diartikan sebagai Cinta
dalam arti luas, seperti Cinta seorang Ibu terhadap anaknya, Cinta
seorang anak terhadap kucingnya, Cinta seorang petualang
terhadap pemandangan, Cinta seorang dermawan terhadap
pengemis, Cinta manusia terhadap sesama dan lain-lain. Cinta
dalam arti luas lebih suci, bersih dari pamrih-pamrih material.
Tidak ada pamrin dalam Cinta kecuali pedihnya Cinta itu sendiri.
Mengapa sedih? Karena jika ada Cinta pasti ada kerinduan dan
ujung dari rindu adalah si Pecinta telah identik dengan yang
dicintainya, dan ini secara umum tidak mungkin. Jadi pedihnya
Cinta itu tiada ujung. Perhatikan seorang Ibu yang menikmati
kekhawatirannya saat anaknya terlambat pulang dari sekolah.
Cinta dapat membuat semua yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Kekuatan Cinta tersembunyi di relung-relung rahasia
semesta. Kekuatan ini muncul di berbagai zaman dengan berbagai
peristiwa pengorbanan besar dalam sejarah. Kekuatan ini muncul
di berbagai peristiwa dengan kejadian-kejadian mu’zizati. Mari kita
renungi kembali sajak Jalaluddin Rumi yang dikutip di awal
makalah ini.
Cinta adalah rahasia keharmonisan alam. Sesuatu yang mencintai
suatu obyek tertentu, akan menjadikan obyek itu ekstensi drai
eksistensinya sendiri. Sesuatu yang mencintai suatu obyek
tertentu, akan berusaha melakukan segala sesuatu yang
mendekatkan dirinya pada obyek tersebut betapapun sulitnya.
Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akab berusaha
melakukan segala sesuatu yang baik dan berguna bagi obyek yang
dicintainya. Jika dua obyek saling mencintai, maka maisng-masing
akan berusaha melakukan segala sesuatu yang baik bagi yang
lainnya. Inilah harmoni. Harmoni adalah kumpulan simetri-simetri
beberapa hal. Simetri itu indah. Simetri itu menunjukkan bahwa
suatu obyek identik dengan obyek lain, ditinjau dari suatu sudut
pandang tertentu. Cinta dengan segenap geraknya menuju suatu
harmoni pada puncaknya akan menghasilkan penyatuan
substansi antara pecinta dengan yang dicintainya. Gerakan
substansial antara pecinta dan yang dicintainya ini telah dibuktikan
secara filosofis oleh Filosof Besar asal Iran Mulla Shadra, dan telah
dibuktikan oleh beberapa eksperimen psikologi mutakhir. Evolusi
foto sebelum menikah sampai hari tua dari banyak pasangan
suami-istri menampakkan suatu fenomena umum bahwa bentuk
wajah mereka menjadi semakin mirip dengan bertambahnya usia
mereka. Ini salah satu bukti eksperimental yang sederhana tapu
jelas tentang gejala penyatuan antara pecinta dengan yang
dicintainya tersebut.
Para pecinta Tuhan, terserap ke dalam keagungan Tuhan setiap
saat. Maka ada suatu pertanyaan yang amat penting. Apakah
mungkin suatu saat ia benar-benar bersatu menjadi Tuhan,
ataukah ia tidak mungkin dan tidak pernah akan mungkin bersatu
dengan Tuhan? Menjawab pertanyaan ini ada dua golongan besar
‘arif sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Gazur I-
Ilahi;

“…kaum Sufi seperti Syaikh Syihabuddin Suhrawardi


mempertahankan bahwa dalam Fana, yang terbatas (Banda)
menjadi k’anahu hu (seperti Dia) dan buku Huu Huu (Dia, Dia),
seperti besi dalam api yang menjadi serupa api dan bukanlah api
itu sendiri; realitas besi adalah sama sekali berbeda dari api.
Dalam Nafhatu’l Una, 300 Wali adalah pengikut aliran ini, dan 300
lainnya adalah pengikut Syaikh-i-Akbar, yang mempertahankan
bahwa Banda menjadi Huu Huu.” (Ana Al-Haqq, Syaikh Ibrahim
Gazur I-Ilahi, terjemahan, Rajawali Pers, 1986, hal. 21).

Husein bin Manzhur Al-Hallaj adalah contoh pecinta Tuhan yang


bermazhabkan Huu Huu. Al-Hallaj terkenal dengan perkataannya
“Ana Ak-Haqq” (Akulah Al-Haqq/Akulah Tuhan). Ia di eksekusi di
Baghdad pada 26 Maret 922. Al-Hallaj menjadi simbol bagi pecinta
Tuhan yang menderita, dan bagi orang-orang yang percaya
tentang kesatuan pecinta dengan Tuhan, karena mabuk Cinta
Ilahi.
Penulis tidak ingin menganalisis lebih lanjut mana yang benar di
antara kedua mazhab ini. Ini benar-benar di luar jangkauan
penulis, tapi marilah kita renungi ungkapan doa dari Imam ‘Ali
Zainal ‘Abidin yang akurat menggambarkan beberapa hal tentang
Cinta Ilahi ini;

Untuk-Mu saja tercurah himmah (keinginan, hasrat, tekad,


semangat)-ku
kepada-Mu jua terpusat hasratku
Engkaulah hanya tempat kedambaanku-tidak yang lain
Karena-Mu saja aku tegak terjaga-tidak karena yang lain

Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku


Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku
Kepada-Mu kedambaanku
Pada cinta-Mu tumpuanku
Pada kasih-Mu gelora rinduku

Ridha-Mu tujuanku
Melihat-Mu keperluanku
Mengampingi-Mu keinginanku
Mendekati-Mu puncak permohonanmu
Menyeru-Mu damai dan tenteramku
Di sisi-Mu penawar deritaku
penyembah lukaku
penyejuk dukaku
penghilang sengsaraku

Birohmatika Yaa Arhamar-rohimiin


Washolalloohu ‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin.
Renungan 9
Kemiskinan Ruhaniah

Dalam salah satu magnum opusnya, “The Art of Loving”, Eric


Fromn menjelaskan tentang dua buah keadaan jiwa manusia,
being dan becoming. Terjemahan secara tepat kedua istilah ini ke
dalam peristilahan Indonesia secara akurat amat sulit.
Modus being merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah
merasa menjadi sesuatu. Misalnya, saya telah menjadi suami
dari Nur, saya telah menjadi pemilik mobil BMW, saya telah
menjadi orang shalih, saya telah menjadi orang dengan status
sosial cukup, dan lain-lain. Dengan pengertian lain yang telah
primodrial, modus being merupakana suatu keadaan dimana
seseorang telah merasa memiliki sesuatu. Misalnya, saya telah
memiliki Nur sebagai istriku, saya telah memiliki mobil BMW,
saya telah menjadi orang shalih, saya telah memiliki kedudukan
sosial yang cukup, dan lain-lain.
Modus being and becoming dapat diartikan secara ringkas sebagai
memiliki dan menjadi.
Jika seseorang berada dalam modus being, maka terhadap
sesuatu yang telah merasa dimilikinya akan timbul suatu perasaan
hambar dan bosan. Sedang jika ia berada dalam modus becoming,
maka terhadap suatu yang belum dimilikinya dan ingin
memilikinya, akan timbul suatu gairah yang berbanding lurus
dengan kuatnya keinginannya untuk memiliki hal itu. Sebagai
contoh, betapa besar dan indahnya perasaan seorang laki-laki
yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Manakala wanita
itu masih belum benar-benar menjadi istrinya, gairahnya menyala-
yala, sikapnya demikian lembut dan penuh kasih sayang.
Segalanya menjadi indah di mata laki-laki. Bahkan semua cacat-
cacat kecilnya pun bisa tampak dengan hiasan. Ini merupakan
modus becoming dari proses hubungan antara laki-laki dan wanita.
Namun begitu wanita tersebut menjadi istrinya, dan laki-laki itu
merasa memiliki istrinya secara penuh, sering terjadi bahwa
lambat laun sikap maupun gairahnya terhadap istrinya turun, dan
seperti yang kita lihat begitu banyak pasangan seolah-olah pada
modus becoming-nya amat ideal dan serasi, ternyata sering
kandas pada modus being-nya.
Modus becoming adalah memberikan dinamika dan kemajuan
terus tiada henti. Hal ini karena subyek pelaku modus ini selalu
merasa kurang, merasa miskin terhadap apa yang hendak
dicapainya. Dalam artian positifnya, ini akan menghasilkan suatu
ihtiar tiada henti yang menghasilkan begitu banyak intuisi,
kreatifitas dan berbagai kemampuan lain. Dalam istilah
keagamaan, dihadapan kesempurnaan Yang Maha Agung, manusia
harus merasa dirinya mahamiskin, mahafakir, tiada memiliki
kekuatan dan kemampuan apapun yang perlu dibanggakan. Ini
adalah pengejawantahan sifat rendah-hati sejati.
Modus being adalah kemujudan, kemandegan atau stagnasi. Hal
ini karena pelaku modus ini sudah merasa memiliki sesuatu,
merasa punya, merasa mempunyai kualitas-kualitas unggul
tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ini akan menghasilkan
suatu keadaan mandeg tanpa ihtiar untuk memperbaiki diri, dan
merupakan gunung hambatan yang amat dahsyat yang
menghalangi perkembangan seluruh potensi kemanusiaan kita.
Dalam istilah keagamaan, ini mencerminkan suatu sifat sombong
dan takabur, yang merupakan sifat-sifat yang dimurkai Yang Maha
Agung.
Karena itu pula dikatakan bahwa, “Kemiskinan ruhaniah (al-faqr)
merupakan awal dari kearifan.” Jika seseorang merasa miskin
amal, miskin ‘ilmu, miskin secara ruhaniah, dipenuhi dengan dosa
dan keburukan, pastilah ini akan merendah serendah-rendahnya
dihadapan Allah Yang Maha Agung. Ini seperti yang dirintihkan
oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Kumayl Ibnu Ziyad;

Wa ana’abdukadh-dho’ifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul
mustakiin.
Padahal aku hamba-Mu yang lemah, rendah, hina, malang
dan papa.

Semakin seorang hamba mengenal Allah, semakin sadar ia akan


kerendahan dirinya dan Keagungan Allah, semakin cepat pula Allah
menariknya mendekati diri-Nya. Semakin dekat hamba tersebut
pada Allah semakin ia merasa miskin, miskin sekali, tak punya
satu kualitas kebaikan apa-pun, sehingga pada puncaknya sang
hamba akan lenyap dalam keagungan Tuha. Seperti yang
dikatakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Ash-
Shobah.

Yaa man tawahhada bil ‘izzi wal baqaa


Waqoharo ‘ibaadahu bil mauti wal fanaa

Wahai yang Tunggal dalam Keagungan dan Baqa


(kekekalan)
Dan menaklukkan hambanya dengan kematian dan Fana
(kelenyapan)

Washolallohu ‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin


Walhamdulillah
Wallohu a’lam bishshowab
Renungan 10
Renungan Dalang

Bismillah. Alhamdulillah. Dengan Nama Allah, Segala Puji Bagi


Allah, Alam-alam ini semua adalah Nama Allah. Dan seluruh hal
dalam ribuan dunia dan akhirat ini senantiasa memuji Allah.
Alkisah, Pak Dalang datang ke kenduri memainkan wayang Petruk,
wayang Semar dan wayang Bagong, wayang kulit-wayang kulit.
Mati tapi hidup. Kulit-kulit berukir yang memiliki karakter. Pak
Dalang memberi kehidupan pada wayang Petruk, Pak Dalang
memberik karakter pada Petruk, Kalau Semar lagi mendem, yang
mendem adalah Pak Dalang, Kalau Semar lagi prihatin, Pak Dalang
lagi prihatin, Kalau dunia perwayangan lagi wingit, yang wingit yaa
Pak Dalang.
Wayang itu artinya bayangan, bahasa arab-nya al-ziil. Yang
ditonton bayangannya bukan kulitnya. Bayangan Yudistira, raja
kaum haq, bergerak-gerak dan berceramah. Aku itu punya jimat.
Jimat Pandawa yang tak terkalahkan. Jimat kalimusada (kalimat
syahadat). Pandawa manifestasi utama pesan Dalang tenang.
Karena jimat ini konon tak terkalahkan. Dan karena Pandawa
sudah ma’rifat, kalau jimat yang konon tak terkalahkan itu
sebenarnya bukan konon tak terkalahkan. Tapi pandawa sampun
makrifat kalau jimat ini mesti (niscaya) tak terkalahkan. Pandawa
sudah tapabrata mengenai ke-bayangananya (kewayangannya)
selama diasingkan di hutan. Sehingga Bima lebih sreg nyedot
karakter-karakter keperkasaan Dalang (al-qowiyyu) maupun
kegagahannya (al-qohhaaru). Arjuna lebih sreg diberi karakter-
karakter kinasih (ar-ro’uf), kecantikan (al-jamiil), kekesatriaan
(futuhaaf) dan batin-batin Sirr kosmis. Yudistira lambang kearifan
puncak. Manusia yang telah tercerahkan dan mengetahui hakikat-
hakikat, tapi juga turut serta dengan aktfi memimpin negara,
menyerap asma al-‘aruffu, al-hakimu, al-‘azizu, al-khobiiru dan
asma apa sak srege pak Dalang, Nakula, Sadewa disimpan khusus
pak Dalang keutamannya sebagai lambang-lambang yang tidak
mudah dipahami manfaat jelasnya dalam dunia “nyata”
perwayangan.
Wayang-wayang yang belum dipegang Pak Dalang tergelaetak.
Tersimpan tapi. Dan wayang tersebut tidak bisa muncul dan tidak
pernah akan muncul di layar tancap. Wayang-wayang gletakan
(tergeletak) seperti bakat-bakat yang berpotensi (a’yaanuts-
tsabiita) yang belum diberik keberadaan. Petruk, yoo bakate dadi.
Nek moro-moro dadi. Bimo yoo ora iso. Namung Petruk bisa
berbuat baik dan bisa berbuat salah dalam kePetrukannya. Dan
Petruk tidak pernah dikneal di dunia perwayangan sekiranya Pak
Dalang tidak mengangkatnya dan memainkannya. Petruk tidak
ada dan tidak pernah ada dalam dunia wayang jika tidak diangkat
Padak Dalang dan dimasukkannya ke dalam pentas. Tapi sopo sih
sing sajkane pentas? (Siapa yang sebenarnya pentas?) Bukan
Petruk kan? Tapi Pak Dalang. Sopo sih sing sak jane urip? (Siapa
yang sebenarnya hidup?) Yoo pak Dalang. Petruk tidak hidup di
dunia wayang dan sekaligus hidup dunia wayang. Petruk itu pak
Dalang tapi bukan pak Dalang. Karena pak Dalang bisa jadi Semar
dan bukan Petruk. Karena juga petruk yang ada di layar itu
sebenarnya pak Dalang yang bicara, pak Dalang yang bergerak
dan hanya pak Dalang yang hidup. Jadi Petruk itu pak Dalang
sekaligus bukan pak Dalang.
Sifat Semar itu sifat pak Dalang. Wayang kulit Semar. Wayangnya
mati. Tidak mempunyai kehidupan. Apalagi mempunyai sifat. Kan
sifat hanya dipunyai oleh sesuatu yang hidup. Padahal wayang
kulit semar mati, yang hidup hanya bayangannya di layar. Yang
hidup sebenarnya Pak Dalang. Jadi sifatnya Semar sebenarnya
sifat Pak Dalang. Dan juga laku (af’al) Semar itu juga laku pak
Dalang. Tapi sekaligus sifat dan laku Semar bukan sifat dan laku
pak Dalang. Kenapa? Karena pak Dalang itu juga Petruk, pak
Dalang itu juga Bagong. Sifat pak Dalang itu juga sifat Petruk dan
sifat pak Dalang dan lakunya itu juga sifa dan lakunnya Bagong.
Pak Dalang memang berjiwa besar. Terlalu besar untuk ditampung
satu wayang. Maka ada banyak wayang. Wayang-wayang hidup
sebagai bayangan di layar. Hanya bayangan. Dunia perwayangan
itu imajinasi/takhayyul. Yang sebenarnya ditonton hanya Pak
Dalang. Yang hidup sebenarnya hanya pak Dalang. Tapi Pak
Dalang berjiwa besar dan sempurna (kamal). Jadi Pak Dalang
membuat dunia perwayangan sebagai bayangan dari dirinya
sendiri. Di balik layar, Wayang-Wayang tampak hidup. Wayang–
wayang tampak bergerak. Wayang-wayang berbicara. Wayang-
wayang berkomunikasi. Wayang-wayang ada yang jahat, ada yang
baik, wayang-wayang ada yang diganjari surga dan neraka. Tapi
wayang-wayang semuanya bayangan. Bayangan pak Dalang.
Sesudah semuanya mati Pak Dalang nggrememeng, “Apik tenan
wayang iki, opo maneh si Yudistiro”.
Ya itu hakikat sholawat, Tuhan memuji dirinya sendiri lewat
bayangannya (Muhammad) di layar imajinasi. Yang dipuji
sebenarnya yaa Tuhan yaa Muhammad. Karena Seluruh alasan
penciptaan adalah Muhammad. Sifat-sifat Muhammad. Laku-laku
Muhamamd. Nama-nama Muhammad. Orang-orang yang
disekeliling Muhammad diciptakan untuk mengejawantahkan
percikan-percikan sifat, nama dan laku Muhammad yang terlalu
besar untuk dikandung dalam diri seorang baysar. Karena itu
dibuat selain Muhammad. Yaitu ‘Ali. Setelah itu Fathimah. Setelah
itu turunan-turunan suci Muhammad. Setealh itu para Nabi, para
malaikat al-muqorrobiin dan para wali. Setelah itu yang lain.
Setelah itu para Malaikat. Karena Ya itu hakikat penciptaan
tajalliyat perwayangan. Takhayyul. Dunia nyata ini takhayyul.
Khayalan. Ngimpi. Sebagaimana dikatakan oleh YM. Rasulullah
SAWW, “Manusia itu tidur, ketika mati ia terbangun.”

Renungan 11
Kethek Ogleng (kera gila)

Disaat berkaca kok tiba-tiba seperti terselip sebutir kacang dan


kulit pisang dalam mulut-mulut rahasia ke-dimitrian-ku. Lho. Apa
ini. Ada kacang goreng sisa kemarin yang kumakan kenapa ada di
hatiku dan kulit pisang itu lho kenapa kepelihara dalam pikiranku
apa sih kulit pisang?
Kata orang sih kalau mau makan pisang buang kulitnya dan
makan isinya jangan kulitnya ikut ditelen. Ntar keseretan nolak
bisa nafas dan mati di kalangan para kera. Dimitri juga
mengetahui logika itu, tapi sayangnya dimitri itu kera idiot yang
tidak tahu timur barat, tidak tahu pula kulit dan isi jadi dua-dua
nya ditelan saja.
Jadi alih-alih dapat mengenal mengecap enaknya rasa pisang, si
kera gila ini tidak pernah merasakan enaknya zat yang namanya
pisang, tapi hanya sepet-sepet kulitnya saja wah, kasihan yaa.
yaa, dimitri memang seekor kera gila, betapa tidak, tiap hari diberi
Tuhan rahmat-rahmat pisang-pisang spiritual, tapi hanya sibuk
dalam dunia perkulitan perpisangan, sholat yang semestinya
mikraj tapi dimitri hnayk tekuk badan dan baca-baca bacaan alif
bak yang pelo, makhrojnya tidak bener, alih-alih khusyu
memikirkan tuhan dimitri hanya khusyu’ memikirkan butiran-
butiran kacang yang akan dicerna organ yang namanya perut yang
besarnya na’udzubillah ini, alih-alih menikmati manisnya pisang-
pisang ilhai yang ada 17 biji sehari atau lebih itu malah dimitri
sibuk membersihkan kulit-kulitnya dan sembari mengulih diirnya
sendiri dasar kera gendheng, kera tidak punya otak, kera idiot.
yaa, dimitri memang seekor kethek ogleng, tubuhnya selalu
ogleng/miring-miring tidak seimbang, miring ke kanan ke para ahli
nujum, miring ke kiri ke pada tukang ramal, miring ke depan ke
para filosof, miring ke belakang ke mas wawan sufi, tapi kethek
ogleng sulit jalan, karena miring-miring terus kethek ogleng sulit
maji karena bingung terus, berputar-putar terus dalam berbagai
argumentasi ngeri kera, berspekulasi terus dengan bintang-
bintang astrologi bercinta terus dengan nafsu padahan mas wawan
sufi bercinta dengan tuhan, seperti gasing yang berputar-putar
pada tempatnya di awalnya nampak gagah dan kuat, lama-lama
sekrup-sekrup umurnya mulai menua, dan gasing pun berdoyong-
doyong perlahan-lahan sampai di tanah, nggeletak –tergeletak-.
kera gila menghabiskan usia dalam alam kebingunan dan
kebodohan, yaa habis idiot sih, dimitri tidak mengeluh pada tuhan,
karena tuhan tidak menciptakan kegilaannya, habis pikir punya
pikir, seperti halnya bangsa manusia, dimitri juga punya akal,
kalau tidak salah dulu juga dimitri diciptakan sebagai manusia,
walaupun sekarang sudah jadi kera gila, rasa-rasanya dimitri juga
punya pikiran sebagaimana meriam belina, atau dimitri juga punya
ketakutan sebagaimana ketakutan mas wawan sufi kepada tuhan,
hanya pikiran dimitri sudah dibanting pecah, pecah dan hancur
sekarang tinggal ditempel-tempel seperti kista-kista jamur atau
seperti benggolan-benggolan benalu atau jerawat yang tidak
sedap dipandang mata, juga rasa takut dimitri tidka diarahkan
pada tuhan, tapi pada hantu-hantu dan setan-setan yang banyak
terdapat di air, kata orang tua jaman doeloe setan itu banyak di
air, juga kata pak sanusi, tapi setan dari golongan manusia itu
banyak, ada di sumber-sumber penghidupan manusia seperti di
duit-duit dan lain-lain, kalau preman-preman kera dan gorilla pasti
ada di dekat pohon pisang, hanya kera gila lebih suka kulit
puisang, dan kepada tuhan, kegilaan ini memang pantas dan
masih teramat bagus disifatkan pada individu kerdil pencinta
kacang-kacang emas seperti saya.
bener ini lho, tapi awas sekarang kera gila pun termasuk binatang
langka coba saja kalau nggak percaya, walt disney kan ngarang
kartun kota bebek mungkin mereka mikir jaman sekarang orang
lebih banyak berkarakter bebek, amit-amit, dimitri yang kera gila
ini nggak mau jadi bebek habis kan haru mbebek terus, terus walt
disney juga ngarang lion king, cerita tentang kerajaan binatang
yang dipersonifikasikan, mungkin merak berfikir sekarang ini
secara maknawai mirip dengan dunia binatang, entah dalam hal
apanya, tapi kalau dimitri sih cuek, yang penting ada kulit pisang
dan kacang, beres. kan yang penting itu saja yaa?
tapi sekali lagi awas mumpung roda-roda usia belum ditamatkan
riwayatnya, kata para wali, ada orang yang kepalanya binatang,
na’udzubillah, aduh gimana yaa, kalau dimitri sih seneng sekiranya
dimitri ini kera gila, masih mending-mending, bagaimana kalau
jadi buaya darat yang menjijikan itu, senengnya mandi di air
kotor, air limbah, manusia buaya suka uang haram, apakah dari
barang haram atau dari korupsi atau dari apa saja, manusia
buaya, demi Allah, selalu makan kotoran-kotoran manusia dan
bangkai-bangkai kadal yang menjijikan, padahal dipandangan
mereka mungkin itu adalah sandwich burger, pizza, sop sarang
burung hoeekkkk, kera gila mau mutah-mutah, wahai manusia,
awas dengan barang harama, awas dengan dunia yang busuk-
busuk.... lebih enak kulit pisang dan kacang sederhana tapi persih,
dan indah selalu.
busuk-busuknya dunia menjijikan kera gila, jijik, juga jijik dengan
diri sendiri yang terkotori dengan busuk-busuknya dunia, menjadi
hasud ini, sombong dan setan-setan cakil yang menakutkan, oh,
kera gila takut berubah jadi seta, jangan yaa Allah, sumpah
jangan yaa Allah, kera masih lebih baik dari setan, sumpah,
jangan yaa Allah, tutuplah karirku di dunia perkeraan atau per-
apapuan dengan tangis airmata kasihmu yang abadi..... “. oooo
kera yang malang”, maghrifohmu saja yang kuharapkan dengan
berkah nabimu yang mulia saww.

Anda mungkin juga menyukai