Waktu-waktu Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ق اللَّي ِْل َوقُرْ َءانَ ْالفَجْ ِر إِ َّن قُرْ َءانَ ْالفَجْ ِر َّ أَقِ ِم ال
ِ ُصالَةَ لِ ُدل
ِ وك ال َّش ْم
ِ س إِلَى َغ َس
َكانَ َم ْشهُودًا
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang
dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
ُصالَة َ َ أَيُّ ْال َع َم ِل أَ َحبُّ إِلَى هللاِ؟ ق:ي صلى هللا عليه وسلم
َّ ال:ال ُ َسأ َ ْل
َّ ِت النَّب
ْال ِجهَا ُد فِي: ثُ َّم أَيُّ ؟ قَا َل: قَا َل. بِرُّ ْال َوالِ َدي ِْن:ال
َ َ ثُ َّم أَيُّ ؟ ق:ال
َ َ ق.َعلَى َو ْقتِهَا
َِسبِي ِْل هللا
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka
ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri
rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus,
saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat
anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang
masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di
masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun
shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no.
530)
ُّ صالَ ِة
ُالظه ِْر ِح ْينَ تَ ُزوْ ُل ال َّش ْمس َ ت ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،صالَ ِة أَ َّوالً َوآ ِخرًا َّ إِ َّن لِل
َصالَ ِة ْال َعصْ ِر ِح ْينَ ت ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،ت ْال َعصْ ِر ُ َوآ ِخ ُر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ْد ُخ ُل َو ْق
ِ ت ْال َم ْغ ِر
ب ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق، ُآخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ تَصْ فَرُّ ال َّش ْمس
ِ يَ ْد ُخ ُل َو ْقتَهَا َوإِ َّن
ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،ق
ت ُ ُآخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ِغيْبُ اأْل ُف
ِ ِح ْينَ تَ ْغرُبُ ال َّش ْمسُ َوإِ َّن
َوإِ َّن،ُصبُ اللَّ ْيل ُ ُْال ِع َشا ِء اآْل ِخ َر ِة ِح ْينَ يَ ِغيْبُ اأْل ُف
ِ َق َوإِ َّن آ ِخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ْنت
ْ طلُ ُع ْالفَجْ ُر َوإِ َّن آ ِخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ ت
َُطلُ ُع ال َّش ْمس ْ َت ْالفَجْ ِر ِح ْينَ ي ِ أَ َّو َل َو ْق
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu
shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya
adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika
masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal
waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir
waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk
tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu
shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari
terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani
rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas
syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm,
namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini
mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam
hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari
hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-
Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah
no. 1696)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari
shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat
zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
2. Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya.
(‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3. Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ْم ْال َخ ْيطُ ْاألَ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخي ِْط ْاألَ ْس َو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih
dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5. Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan
datang setelahnya.
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas,
bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar
masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha:
صالَةَ ْالفَجْ ِرَ ت يَ ْشهَ ْدنَ َم َع َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ِ ُكنَّا نِ َسا ُء ْال ُم ْؤ ِمنَا
ْرفُه َُّن
ِ صالَةَ الَ يَع ِ ثُ َّم يَ ْنقَلِ ْبنَ إِلَى بُيُوْ تِ ِه َّن ِح ْينَ يَ ْق،ت بِ ُمرُوْ ِط ِه َّن
َّ ض ْينَ ال ٍ ُمتَ َعلِّفَا
ِ َأَ َح ٌد ِمنَ ْال َغل
س
“Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal
itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-
Taghlis li Shalatish Shubhi)4
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali
lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau
setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal,
beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu
isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
َو َم ْن،ك الصُّ ْب َح ْ َم ْن أَ ْد َركَ ِمنَ الصُّ بْح َر ْك َعةً قَب َْل أَ ْن ت
َ َطلُ َع ال َّش ْمسُ فَقَ ْد أَ ْد َر ِ
ك ْال َعصْ َر
َ ُب ال َّش ْمسُ فَق ْد أ ْد َر َ أَ ْد َركَ َر ْك َعةً ِمنَ ْال َعصْ ِر قَب َْل أَ ْن تَ ْغر
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka
sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati
satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah
mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no.
1373)
Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu
malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti
sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab,
‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku
yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring
tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun
ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai
Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan
kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku
kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُ ْم فَأ َ ِّذ ْن،ُ يَا بِالَل، َور َّدهَا َعلَ ْي ُك ْم ِح ْينَ َشا َء،ض أَرْ َوا َح ُك ْم ِح ْينَ َشا َء َ َإِ َّن هللاَ قَب
صلَّى ْ ت ال َّش ْمسُ َوا ْبيَاض
َ ََّت قا َ َم ف ِ فَلَ َّما ارْ تَفَ َع،َ فَت ََوضَّأ.صالَ ِة ِ َّبِالن
َّ اس بِال
صالَةَ َحتَّىَّ ص ِّل ال َ ُ إِنَّ َما التَّ ْف ِر ْيطُ َعلَى َم ْن لَ ْم ي،ٌْس فِي النَّوْ ِم تَ ْف ِريْطَ أَ َما إِنَّهُ لَي
َ فَ َم ْن يَ ْف َعلْ َذلِكَ فَ ْلي،صالَ ِة اأْل ُ ْخ َرى
ُصلِّهَا ِح ْينَ تَنَبَّهَ لَهَا ُ يَ ِج ْي َء َو ْق
َّ ت ال
َّ أَقِ ِم ال:ال
ْصالَةَ لِ ِذ ْك ِري َ صالَةَ فَ ْلي
َ َ فَإ ِ َّن هللاَ ق،ُصلِّهَا إِ َذا َذ َك َرهَا َّ َم ْن نَ ِس َي ال
1. Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua
yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan
melintang di ufuk.
2. Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan
Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir
waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu
berkata:
َس َج ْدنَا َعلَى،خَلفَ َرسُوْ ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم بِالظَّهَائِ ِر
ْ صلَّ ْينَا َ ُكنَّا إِ َذا
ِّثِيَابِنَا اتِّقَا َء ْال َحر
“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam
rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-
Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu
menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari
sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat
zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu
yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ِ َو َكانَ ِظلُّ ال َّر ُج ِل َكطُوْ لِ ِه َما لَ ْم يَحْ ض، ُت ال َّش ْمس
ُر ُّ ت
ِ َالظه ِْر إِ َذا زَال ُ َو ْق
ْال َعصْ ُر
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya
ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu
ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya
ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185
cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya
Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-
Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj
(1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus
Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103,
dan beberapa kitab yang lainnya.
Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya
ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin
‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
ُّ صالَ ِة
ُالظه ِْر ِح ْينَ تَ ُزوْ ُل ال َّش ْمس َ ت ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،صالَ ِة أَ َّوالً َوآ ِخرًا َّ إِ َّن لِل
َصالَ ِة ْال َعصْ ِر ِح ْينَ ت ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،ت ْال َعصْ ِر ُ َوآ ِخ ُر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ْد ُخ ُل َو ْق
ِ ت ْال َم ْغ ِر
ب ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق، ُآخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ تَصْ فَرُّ ال َّش ْمس
ِ يَ ْد ُخ ُل َو ْقتُهَا َوإِ َّن
ِ َوإِ َّن أَ َّو َل َو ْق،ق
ت ُ ُآخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ِغيْبُ اأْل ُف
ِ ِح ْينَ تَ ْغرُبُ ال َّش ْمسُ َوإِ َّن
َوإِ َّن،ُصبُ اللَ ْيل ُ ُْال ِع َشا ِء اآْل ِخ َر ِة ِح ْينَ يَ ِغيْبُ اأْل ُف
ِ َق َوإِ َّن آ ِخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ يَ ْنت
ْ طلُ ُع ْالفَجْ ُر َوإِ َّن آ ِخ َر َو ْقتِهَا ِح ْينَ ت
َُطلُ ُع ال َّش ْمس ْ َت ْالفَجْ ِر ِح ْينَ ي ِ أَ َّو َل َو ْق
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu
shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya
adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika
masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal
waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir
waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk
tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu
shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari
terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no.
1696)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah
pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ثُ َّم،صلَّى
َ ف اللَّي ِْل ثُ َّم ِ ْصالَةَ ْال ِع َشا ِء إِلَى نِص َ أَ َّخ َر النَّبِ ُّي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ أَ َّما إِنَّ ُك ْم فِي،صلَّى النَّاسُ َونَا ُموْ ا
صالَ ٍة َما ا ْنتَظَرْ تُ ُموْ هَا َ قَ ْد:ال َ َق
ِ ُق َعلَى أُ َّمتِي أَل َ َمرْ تُهُ ْم أَ ْن يُؤَ ِّخرُوا ْال ِع َشا َء إِلَى ثُل
ْث اللَّ ْي ِل أَو َّ لَوْ الَ أَ ْن أَ ُش
نِصْ فِ ِه
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu
Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul
Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir
lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq
dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang
Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan
yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq
menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
نَا َم،ُصالَة َّ ال:ُصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ْال ِع َشا ِء َحتَّى نَادَاهُ ُع َمر
َ ِأَ ْعتَ َم َرسُو ُل هللا
.ض َغ ْي ُر ُك ْم ِ ْ َما يَ ْنت َِظ ُرهَا أَ َح ٌد ِم ْن أَ ْه ِل اأْل َر:خَر َج فَقَا َل ُ َالنِّ َسا ُء َوالصِّ ْبي
َ َ ف.ان
َ ُصلُّوْ نَ ِف ْي َما بَ ْينَ أَ ْن يَ ِغي
ْب َ َوكاَنُوْ ا ي،صلَّى يَوْ َمئِ ٍذ إِالَّ بِ ْال َم ِد ْينَ ِة َ ُ َوالَ ي:ال َ َق
ث اللَّي ِْل اأْل َ َّو ِل
ِ ُق إِلَى ثُل
ُ َال َّشف
Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya
sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?”
Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu,
adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib
(bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi
tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul
Mumti’ 2/116, 117)
Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam,
maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini
dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat
penyebutannya di atas:
صلَّى ثُ َّم
َ ف اللَّي ِْل ثُ َّم ِ ْصالَةَ ْال ِع َشا ِء إِلَى نِص َ أَ َّخ َر النَّبِ ُّي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ أَ َّما إِنَّ ُك ْم فِي،صلَّى النَّاسُ َونَا ُموْ ا
صالَ ٍة َما ا ْنتَظَرْ تُ ُموْ هَا َ قَ ْد:ال َ َق
ُ َو َكانَ يَ ْك َره،صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْستَ ِحبُّ أَ ْن يُؤَ ِّخ َر ْال ِع َشا َء َ هللاِ َكانَ َرسُوْ ُل
َ النَّوْ َم قَ ْبلَهَا َو ْال َح ِدي
ْث بَ ْع َدهَا
Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja
melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga
jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan
shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti
shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)
فَأ َ َّخ َرهَا َحتَّى َرقَ ْدنَا فِي،ًصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُش ِغ َل َع ْنهَا لَ ْيلَة َ ِأَ َّن َرسُوْ َل هللا
ُصلَّى هللاَ خَر َج َعلَ ْينَا النَّبِ ُّيَ ظنَا ثُ َّم ْ َظنَا ثُ َّم َرقَ ْدنَا ثُ َّم ا ْستَ ْيق
ْ َْج ِد ثُ َّم ا ْستَ ْيق
ِ ْال َمس
َ َو َكان.صالَةَ َغ ْي ُر ُك ْم ِ ْْس أَ َح ٌد ِم ْن أَ ْه ِل اأْل َر
َّ ض يَ ْنت َِظ ُر ال َ لَي:َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ثُ َّم قَا َل
إِ َذا َكانَ الَ يَ ْخ َشى أَ ْن يَ ْغلِبَهَا النَّوْ ُم ع َْن،اب ُْن ُع َم َر الَ يُبَالِي أَقَ َّد َمهَا أَوْ أَ ََّخ َرهَا
َو ْقتِهَا َو َكانَ يَرْ قُ ُد قَ ْبلَهَا
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan
bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan
shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul
Bari, 2/68)
Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin
bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau
bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)
صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْس ُم ُر َم َع أَبِي بَ ْك ٍر فِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن أَ ْم ِرَ هللاِ َكانَ َرسُوْ ُل
ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َوأَنَا َم َعهُ َما
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair
dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka
berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu
sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya
ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi
keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga
ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya
(yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka
masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat
keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam
Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul
Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)
4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya
orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian
(jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa
mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke
tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin
Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami
menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk
bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul
Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)
إِنَّ َما يَ ْد ُعوْ نَهَا ْال َعتَ َمةَ إِل ِ ْعتَا ِم ِه ْم بِاإْل ِ بِ ِل
Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang
terdapat dalam Ash-Shahihain:
ْح َو ْال َعتَ َم ِة أَل َتَوْ هُ َما َولَوْ َح ْب ًوا
ِ َولَوْ يَ ْعلَ ُموْ نَ َما فِي الصُّ ب
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan
dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.)
niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini
sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah.
Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang
menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya
tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah
secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu
isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah
mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut
‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.
Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah
yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan
orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan
lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini,
terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang
mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)