Anda di halaman 1dari 5

Shalat Jamaah 5 Waktu, Wajib

ataukah Sunnah
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ’ala Rosulillah wa ’ala alihi wa shohbihi
wa sallam.

Saudaraku, yang semoga diberi taufik oleh Allah Ta’ala. Saat ini kita lihat di
mana masjid-masjid kaum muslimin tampak megah dan indah dengan berbagai
hiasan dan aksesoris di dalamnya. Namun sangat-sangat disayangkan masjid-
masjid tersebut sering kosong dari jama’ah. Ini sungguh sangat mengherankan,
kita kadang melihat masjid yang megah dan besar hanya dipenuhi satu shaf
padahal jumlah kaum muslimin di sekitar masjid itu amat banyak. Oleh karena itu,
sangat penting sekali untuk dijelaskan kepada saudara-saudara kita ini mengenai
hukum shalat jama’ah.

Diakui bahwa dalam hal ini terdapat perselisihan dikalangan para pakar fiqih
apakah shalat jama’ah itu fardhu ’ain (wajib bagi setiap muslim), sunnah, atau
fardhu kifayah (jika sebagian sudah menunaikannya maka gugur kewajiban yang
lain). Namun kami tegaskan bahwa dalam setiap masalah perselisihan agama yang
ada hendaklah kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah telah
berfirman,

ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا‬
‫ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬ َ ِ‫َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل َ ِخ ِر َذل‬

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah


ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 59). Itulah yang
seharusnya dilakukan seorang muslim.

Dalil dari Al Qur’an


Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf (shalat
dalam keadaan perang),

‫ك َو ْليَأْ ُخ ُذوا أَ ْسلِ َحتَهُ ْم فَإ ِ َذا َس َجدُوا فَ ْليَ ُكونُوا ِم ْن َو َرائِ ُك ْم‬
َ ‫صاَل ةَ فَ ْلتَقُ ْم طَائِفَةٌ ِم ْنهُ ْم َم َع‬
َّ ‫َوإِ َذا ُك ْنتَ فِي ِه ْم فَأَقَ ْمتَ لَهُ ُم ال‬
َ‫صلُّوا َم َعك‬ َ ُ‫صلُّوا فَ ْلي‬ ُ
َ ُ‫ت طَائِفَةٌ أ ْخ َرى لَ ْم ي‬ ْ
ِ ‫َو ْلتَأ‬

”Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu


hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at)
, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)
dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka
denganmu.” (QS. An Nisa’ [4] : 102)
Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah:

”Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah [dan hukum asal perintah
َ ‫)فَ ْلتَقُ ْم‬, ”perintahkan
adalah wajib[1] yaitu Allah berfirman: ( َ‫طائِفَةٌ ِم ْنهُ ْم َم َعك‬
segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”]. Kemudian Allah
mengulangi perintah-Nya lagi [dalam ayat ( َ‫صلُّوا َم َعك‬ َ ُ‫صلُّوا فَ ْلي‬ ِ ْ‫) َو ْلتَأ‬,
َ ُ‫ت طَائِفَةٌ أُ ْخ َرى لَ ْم ي‬
”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,perintahkan
mereka shalat bersamamu”]

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena
dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua
setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jama’ah itu
sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut.
Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayahmaka sudah cukup dilakukan
oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah
hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan
kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok
kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam
keadaan takut.”[2]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫اش َعةً أَ ْب‬


‫صا ُرهُ ْم تَرْ هَقُهُ ْم ِذلَّةٌ َوقَ ْد َكانُوا‬ ٍ ‫يَوْ َم يُ ْكشَفُ ع َْن َسا‬
ِ َ‫) خ‬42( َ‫ق َويُ ْدعَوْ نَ إِلَى ال ُّسجُو ِد فَاَل يَ ْستَ ِطيعُون‬
)43( َ‫يُ ْدعَوْ نَ إِلَى ال ُّسجُو ِد َوهُ ْم َسالِ ُمون‬

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka
mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi
mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru
untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera .” (QS. Al Qalam [68]: 42-
43)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menghukumi orang-orang tersebut


pada hari kiamat. Mereka tatkala itu tidak bisa sujud karena ketika di dunia
mereka diajak untuk bersujud (yaitu shalat jama’ah), mereka pun enggan. Jika
memang seperti ini, maka ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan
adalah dengan mendatangi masjid yaitu dengan melaksanakan shalat jama’ah,
bukan hanya melaksanakan shalat di rumah atau cuma shalat sendirian. Yang
dimaksud dengan memenuhi panggilan adzan (dengan menghadiri shalat jama’ah
di masjid), inilah yang ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits mengenai orang buta yang akan kami sebutkan nanti. [3]

Dalil dari As Sunnah


Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang meninggalkan
shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini
menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
‫والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب فيحطب ثم آمر بالصالة فيؤذن لها ثم آمر رجال فيؤم الناس ثم‬
‫أخالف إلى رجال فأحرق عليهم بيوتهم‬

”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan
orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan
mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku
memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang
yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.
[4]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,

ُ‫ص لَه‬َ ‫ أَ ْن ي َُر ِّخ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ فَ َسأ َ َل َرسُو َل هَّللا‬.‫ْس لِى قَائِ ٌد يَقُو ُدنِى ِإلَى ْال َم ْس ِج ِد‬ َ ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِنَّهُ لَي‬
ْ‫ال « فَأ َ ِجب‬ َّ ‫ص لَهُ فَلَ َّما َولَّى َدعَاهُ فَقَا َل « هَلْ تَ ْس َم ُع النِّدَا َء بِال‬
َ َ‫ ق‬.‫ فَقَا َل نَ َع ْم‬.» ‫صالَ ِة‬ َ ‫ُصلِّ َى فِى بَ ْيتِ ِه فَ َر َّخ‬ َ ‫» فَي‬.

”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi
saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah
untuk tidak shalat berjama'ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya.
Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki
itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya,“Apakah kamu
mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan
(adzan) itu.” [5]

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal
ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri
shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia
berkata:

َّ ‫ى َعلَى ال‬
‫صالَ ِة‬ َّ ‫ « أَتَ ْس َم ُع َح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ فَقَا َل النَّبِ ُّى‬.‫اع‬
ِ َ‫ َكثِي َرةُ ْالهَ َوا ِّم َوال ِّسب‬¢َ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِ َّن ْال َم ِدينَة‬
َ‫ى هَال‬ ِ َ‫ى َعلَى ْالفَال‬
َّ ‫ح فَ َح‬ َّ ‫» َح‬.

“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan
hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan
tersebut”.”[6]

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang
buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3]
banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia
mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun
punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan
shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada
udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!
Kesimpulan
Shalat jama’ah adalah wajib (fardhu ‘ain) sebagaimana hal ini adalah pendapat
‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al Awza’i, Abu Tsaur, Al
Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafi’i
dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i mengatakan:

‫وأما الجماعة فال ارخص في تركها إال من عذر‬

“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun
untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[7] Pendapat Imam Asy Syafi’i
ini sangat berbeda dengan ulama-ulama Syafi’iyah.

Menurut Hanafiyyah –yang benar dari pendapat mereka- dan ini juga adalah
pendapat mayoritas Malikiyah, juga pendapat Syafi’iyah bahwa shalat jama’ah 5
waktu adalah sunnah mu’akkad. Namun sunnah mu’akkad menurut Hanafiyyah
adalahhampir mirip dengan wajib yaitu nantinya akan mendapat dosa. Dan ada
sebagian mereka (Hanafiyyah) yang menegaskan bahwa hukum shalat jama’ah
adalah wajib.

Lalu pendapat yang paling kuat dari Syaf’iyah, shalat jama’ah 5 waktu adalah
fardhu kifayah. Pendapat ini juga adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah
semacam Al Karkhiy dan Ath Thohawiy.

Namun sebagian Malikiyah, mereka memberi rincian. Shalat jama’ah menurut


mereka adalah fardhu kifayah bagi suatu negeri. Jika di negeri tersebut tidak
ada yang melaksanakan shalat jama’ah, maka mereka harus diperangi. Namun
menurut mereka, hukum shalat jama’ah 5 waktu adalah sunnah di setiap masjid
yang ada dan merupakan keutamaan bagi para pria.

Namun menurut Hanabilah, juga salah satu pendapat Hanafiyyah dan Syafi’iyyah
bahwa shalat jama’ah adalah wajib, namunbukan syarat sah shalat.[8]

Itulah perselisihan ulama yang ada. Ada yang mengatakan shalat jama’ah 5 waktu
adalah fardhu ‘ain, ada pula yang mengatakan fardhu kifayah, dan ada pula yang
mengatakan sunnah mu’akkad. Namun, agar lebih-lebih hati-hati dan tidak sampai
terjerumus dalam dosa, maka pendapat yang lebih tepat kita pilih sebagaimana
dalil-dalil yang telah diutarakan di atas:shalat jama’ah 5 waktu adalah wajib,
fardhu ‘ain.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum shalat berjama’ah di masjid dari


Al Qur’an dan As Sunnah. Kami tegaskan bahwa untuk wanita, tidak diwajibkan
bagi mereka untuk shalat jama’ah di masjid berdasarkan kesepakatan (ijma’) para
ulama.[9]

Ya Allah dengan izin-Mu, berilah kami petunjuk kepada kebenaran atas semua
perkara yang dipersilisihkan. Amin Ya Mujibbas Sa’ilin. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****

Pangukan, Sleman, 6 Robi’ul Akhir 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

[1] Hal ini berdasarkan kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqih yaitu hukum asal perintah
adalah wajib.

[2] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, hal. 110, Dar Al
Imam Ahmad

[3] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 110

[4] HR. Bukhari dan Muslim. [Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 1-Bab
Wajibnya Shalat Jama’ah. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 43-Bab Keutamaan
Shalat Jama’ah dan Penjelasan Mengenai Hukuman Keras bagi Orang yang
Meninggalkannya]

[5] HR. Muslim [Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 44-Bab Wajib Mendatangi Masjid
bagi Siapa Saja yang Mendengar Adzan]

[6] HR. Abu Daud [Abu Daud: 2-Kitab Ash Sholah, 47-Bab Peringatan Keras
Karena Meninggalkan Shalat Jama’ah]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.

[7] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/165-167, Wizarotul


Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah-Al Kuwait

[9] Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/508, Al Maktabah At Taufiqiyah

Anda mungkin juga menyukai