RUU TENTANG
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
(PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA)
DISUSUN OLEH
TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II
KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN
DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga Naskah Akademis RUU tentang Konservasi Keanekaragaman
Hayati (Penyempurnaan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
hayati dan Ekosistemnya) dapat diselesaikan pada waktunya.
Derasnya perubahan lingkungan strategis yang terjadi dalam 20 tahun terakhir
telah menyebabkan penyelenggaraan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistemnya (KSDAHE) di Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 5
Tahun 1990 berjalan kurang efektif, oleh karena itu perlu segera dilakukan
penyempurnaan. Memperhatikan kondisi di atas, Kementerian Kehutanan dan
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah bersepakat untuk melakukan kajian
perubahan UU No. 5 Tahun 1990, dengan terlebih dahulu menyusun naskah akademis
(NA).
Guna memudahkan pelaksanaan kajian dimaksud, DKN membentuk Tim Ad-
hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II, beranggotakan perwakilan kamar yang ada
di DKN. Mereka adalah para praktisi dan penggiat kegiatan konservasi SDA&E, serta
para penyusun kebijakan perundangan di Kementerian Kehutanan.
Tim ad-hoc telah bekerja efektif sejak Januari 2010. Kajian dilakukan melalui
pertemuan focus group discussion (FGD), studi pustaka, kunjungan lapangan, maupun
konsultasi publik dengan para pihak. NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan
mampu mendorong segera direalisasikannya naskah UU konservasi yang baru, yang
mampu menjawab tantangan terkini serta tantangan 20 tahun ke depan di bidang
konservasi.
Akhirnya kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
Direktorat Jendral PHKA dan Biro Hukum SetJen Kementerian Kehutanan, WWF
Indonesia dan Orangutan Conservation Service Program (OCSP) yang telah
memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Demikian pula ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang telah berperan serta dalam
mensukseskan penyusunan NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990. Semoga Tuhan
memberkati.
2. Tim Ad-hoc
I. Made Subadia Gelgel Kementerian Kehutanan
Wiratno Kementerian Kehutanan
Bambang Eko Prayitno Kementerian Kehutanan
Eppy Agusfin Kementerian Kehutanan
Samedi KEHATI
Fathi Hanif WWF Indonesia
Arbi Valentinus OCSP
Andiko HUMA
Hedar Laudjeng DKN
Harry Alexander WCS
Harri Purnomo DKN
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang
berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. SDAH ini merupakan sumberdaya
strategis, dikuasai negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang
tinggi, dicerminkan oleh keanekaragaman jenis satwa dan flora Indonesia. Dalam
tataran global, walau luas daratan Indonesia hanya 1% dari luas daratan dunia,
keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi tiga besar bersama dengan Brazil
dan Zaire (Republik Demokrat Kongo). Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia
(12% dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia),
1.531 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis
tumbuhan berbunga.
Sumberdaya alam tersebut jumlahnya tidak tak terbatas, dan walaupun
mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable),
SDAH mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila
dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam
keberadaan sumberdaya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat
memusnahkan keberadaannya.
Guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara
berkelanjutan, perlu diatur bahwa sebagian dari SDAH tersebut harus dilindungi secara
ketat, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan secara proporsional dan
berkelanjutan. Konservasi SDAH merupakan keseimbangan antara perlindungan ketat
dan pemanfaatan yang berkelanjutan tersebut sehingga keberadaannya tetap bisa
dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran masyarakat
baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Pengaturan konservasi SDAH melalui peraturan perundangan diharapkan akan
mampu menjamin adanya kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan
SDAnya, terjaminnya pemenuhan hak hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan
SDA, serta terjaminnya distribusi manfaat SDAH secara adil dan berkelanjutan.
Dewasa ini telah ada UU yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-
undang ini telah berumur hampir 20 tahun, dan selama masa tersebut telah terjadi
banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem
politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun
perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional
dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil konvensi yang
terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil kesepakatan baik bilateral,
regional maupun multilateral.
2
B. Tujuan
Kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan akan menghasilkan sebuah
UU konservasi yang mampu menjamin konservasi pada tingkat genetik, tingkat jenis,
dan tingkat ekosistem dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif,
transparan, partisipatif dan akuntabel, sehingga tujuan konservasi dapat diwujudkan
dengan lebih efektif.
3
BAB II
LANDASAN UMUM
A. Landasan Filosofis
1. Bahwa sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai
kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang
Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa
depan.
2. Bahwa sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam strategis yang
dikuasai oleh negara serta merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat
hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian
nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal terwujudnya
kelestarian sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan rakyat.
3. Bahwa pembangunan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada
hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang
berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.
4. Bahwa unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya
saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi
sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat
terganggunya ekosistem.
5. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat
berlangsung dengan secara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah
konservasi sehingga sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selalu
terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan
pembangunan itu sendiri.
6. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum
menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sesuai dengan perkembangan
sosial, politik, ekonomi dan budaya nasional, serta kerjasama atau hubungan
internasional.
B. Landasan Yuridis
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan
sebagian dari undang–undang di sektor kehutanan yang mempunyai materi muatan
pengurusan konservasi di Indonesia. Disamping itu tercatat ada beberapa
perundangan sektor lain maupun UU ratifikasi konvensi internasional, yang mempunyai
materi yang berhubungan dengan pengurusan konservasi. Undang–undang tersebut
adalah:
4
Sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara
untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pengurusan
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tugas dan kewajiban
pemerintah.
Bagi Bangsa Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk
pertama kalinya asas Negara Kepulauan (archipelagic state) yang selama dua
puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, berhasil
memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut antara lain memuat
ketentuan tentang:
a. Kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut
Teritorial.
b. Ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut
dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang
Hukum Laut, kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah
kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini
dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu
negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of
its land teritory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria
jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar Laut
Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut.
c. Sebagian melahirkan rezim-rezim hukum baru, seperti asas Negara
Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut
Internasional.
Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 terdiri dari 7 bab dengan 27 pasal antara lain
wilayah perairan Indonesia, hak lintas kapal-kapal asing (hal lintas damai, hak
lintas alur kepulauan, hak lintas transit dan hak akses dan komunikasi),
pemanfaatan pengelolaan perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan,
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,
Bab IV Pasal 23 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemanfaatan, pengelolaan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum
internasional
6
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terdiri dari 11 bab dan 39 pasal. Undang-
undang ini mengatur mengenai kekuasan negara terhadap pengelolaan
keuangan negara yang meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, hak dan kewajiban negara,
penerimaan dan pengeluaran negara dan juga daerah, ketentuan mengenai
penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah
dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan
badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Pasal 9 antara lain menetapkan: menteri/pimpinan lembaga mempunyai tugas
melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan
menyetorkannya ke kas negara.
Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 terdiri dari 13 bab dan 41 pasal. Undang-
undang ini mengatur tentang upaya revitalisasi pertanian, perikanan dan
kehutanan. Revitalisasi akan berhasil jika didukung antara lain oleh adanya
sistem dan lembaga penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sistem
penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan perundang-undangan
yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum
serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh.
Undang-undang ini memerintahkan dibentuknya lembaga penyuluhan di tingkat
pusat, propinsi maupun daerah, dengan demikian upaya pemberdayaan
masyarakat di bidang konservasi dapat diharapkan akan semakin efektif
pelaksanaannya, karena dilaksanakan oleh satu kesatuan lembaga yang
didukung oleh sistem penyuluhan yang memadai.
Undang-undang ini terdiri dari 19 bab dan 80 pasal, antara lain berisi: proses
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian, penelitian dan pengembangan, pendidikan
pelatihan dan penyuluhan, kewenangan, mitigasi bencana, hak kewajiban dan
peran serta masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penyelesaian sengketa,
gugatan perwakilan, penyidikan, sanksi administratif, ketentuan pidana.
Undang-undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah
daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut
7
sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
ke arah perairan kepulauan.
Dalam ketentuan umum undang-undang ini yang dimaksud dengan kawasan
adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya dan kawasan pemanfaatan
umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi
berbagai sektor kegiatan. Selain itu dalam juga disebutkan mengenai rencana
zonasi yaitu rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada
kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan
sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Pasal 7 Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tertentu dalam wilayahnya. Pasal 10 butir a menyebutkan bahwa Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas pengalokasian
ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan
Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Pasal 22 menyebutkan bahwa hak
pengusahaan Perairan Pesisir tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi,
suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Pasal
23 ayat (2) mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a. Konservasi;
b. Pendidikan dan pelatihan;
c. Penelitian dan pengembangan;
d. Budidaya laut;
e. Pariwisata;
f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan lestari;
g. Pertanian organik; dan/atau Peternakan.
Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib
(Pasal 23 Ayat 3):
a. Memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. Memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
c. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
8
Undang-undang ini terdiri dari 13 bab dan 80 pasal. Dalam Pasal 2 disebutkan
bahwa dalam rangka kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan
ruang diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan,
keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum,
kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang sedangkan pemanfaatannya berupaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang
melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya sehingga
menciptakan pengendalian pemanfaatan ruang yang tertib tata ruang.
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,
wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan
9
ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan
nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak: mengetahui rencana tata ruang;
menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; memperoleh
penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; mengajukan keberatan
kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya; mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang; dan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah
dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Setiap orang wajib: menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan
peran masyarakat.
Undang–undang juga mengatur bahwa ruang dapat dibedakan menjadi fungsi
lindung dan fungsi budidaya. Fungsi lindung meliputi hutan lindung, kawasan
suaka alam (KSA), serta kawasan pelestarian alam (KPA). Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali setiap lima tahun sekali, dengan demikian
klasifikasi wilayah konservasi masih harus mengacu kepada kriteria KPA dan
KSA.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal. Undang-
undang ini mengatur mengenai pentingnya lingkungan hidup dimana lingkungan
hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan
budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan
kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara
taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam
harus serasi, selaras, seimbang dengan fungsi lingkungan hidup, dan upaya
preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu
dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan
dan perizinan.
Dalam undang-undang ini mengatur mengenai bahwa proses dan kegiatan yang
hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya terdapat pada pasal 23. Pasal 43 Ayat (2)
undang undang ini juga mengatur mengenai instrumen pendanaan lingkungan
hidup dimana terdapat dana amanah/bantuan untuk konservasi. Pemeliharaan
lingkungan hidup yang terkait dengan konservasi terdapat pada Pasal 57 Ayat
(1), (2), dan (5) yang menyebutkan bahwa pemeliharaan lingkungan hidup
dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber
daya alam dan/atau pelestarian fungsi atmosfer dimana konservasi sumber daya
alam yang dimaksud meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam,
pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam.
Selain itu, undang-undang ini juga mengatur:
a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup.
b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah.
c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup.
d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup
strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan
hidup.
12
UU No. 32 tahun 2004 terdiri dari 16 bab dan 240 pasal. Pemerintahan daerah
dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi
daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan
wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan
tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut,
daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Penjelasan UU ini, antara lain menyatakan bahwa: penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah. Pembagian tersebut meliputi: urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, yaitu urusan yang menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, serta
urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan yang dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah atas dasar kriteria
externalitas, akuntabilitas dan efesiensi dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan pengelolaan urusan pemerintah.
Selain itu penjelasan undang-undang ini juga menyatakan antara lain bahwa:
“Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional misalnya: kawasan cagar budaya, taman nasional,
pengembangan industri strategis dan seterusnya”.
13
UU No. 7 Tahun 2004 memberikan pengertian, bahwa air adalah semua air yang
terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut. UU ini juga
mengatur pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan, hak guna usaha
air, serta konservasi sumber daya air. Dengan demikian UU konservasi yang
akan dibentuk harus sinkron dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU
No. 7 tersebut.
13. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana atau yang sering
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disingkat dengan
KUHAP
Penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP termuat dalam Bab IV Bagian Kesatu
dan Ketiga, sedang tata cara implementasi dari kewenangan, termuat dalam Bab
V sampai dengan Bab VII, Bab XIV dan Bab XV, mengatur bahwa:
(1) Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
(2) Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
(3) Penyidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
(4) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
14
C. Landasan Sosial
UUD 1945, Pasal 27 sampai Pasal 34 menjamin bahwa setiap warga negara RI
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal ini hak untuk
memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta kewajiban untuk
menjaga, melindungi dan melestarikannya. Hak dan kewajiban ini dilaksanakan secara
seimbang bagi kelestarian dan kesejahteraan bangsa.
Tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang
merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam wadah NKRI.
Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai negera dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.
BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA
B. Masalah Konservasi
Selama ini akibat berbagai kondisi dan pelaksanaan upaya konservasi di
lapangan, telah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa peraturan perundangan
konservasi yang berlaku saat ini belum mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Konservasi masih dipandang sebagai pelarangan dan pembatasan hak
masyarakat. Kondisi ini menyebabkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas
konservasi lemah. Kondisi ini menjadi penyebab memburuknya kondisi kawasan
konservasi, demikian pula tingkat kelangkaan tumbuhan dan satwa liar semakin
meningkat.
18
Pada Bab IX mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan
konservasi. Pasal 37 menyebutkan:
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar
20
Kedua, syarat adanya hukum adat, peradilan adat yang masih ditaati dan
kelembagaan adat yang berkaitan dengan itu. Logika yang digunakan dalam
Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 adalah masyarakat tidak pernah diberi
otonomi untuk mengurus dirinya sendiri, dan sementara itu masyarakat
diminta untuk membuktikan keberadaan dirinya dengan menunjukkan bahwa
mereka otonomi, baik dalam sistem hukum, pengurusan, kelembagaan, dan
sistem sosial budayanya. Tidak diakuinya otonomi komunitas masyarakat
hukum adat juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa UU No. 41 Tahun 1999
tidak memberi ruang bagi prinsip yang disebut dengan self-identification.
Pengakuan yang diberikan oleh Negara atas keberadaan sebuah komuntias
masyarakat hukum adat ditentukan oleh prosedur dan substansi yang diatur
oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah-lah yang mempunyai otoritas
22
membentuk tim identifikasi dan memberikan pengukuhan. Sekali lagi hal ini
membuktikan tidak konsistennya penyelenggaraan sistem hukum di
Indonesia.
(2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 6 (1) b.,
mengatur pegawai negeri sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Dalam prakteknya pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana kehutanan, termasuk keanekaragaman hayati
(kehati), tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena adanya
perintah UU yakni penjelasan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang mensyaratkan berkoordinasi dengan penyidik POLRI.
Hal ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Kehakiman R.I No.
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
BAB I. Huruf A. Angka 4.d. POLRI sebagai penyidik utama wajib
mengkoordinasikan penyidik pegawai negeri sipil dengan memberikan
pengawasan, petunjuk dan bantuan. Koordinasi di sini dalam praktek
lapangan dipahami sebagai bentuk hubungan atasan-bawahan,
dimana PPNS/Polhut harus melaporkan setiap kasus yang akan
ditangani kepada penyidik utama (POLRI).
Karena sifatnya yang spesifik, sering kali koordinasi dalam rangka
mambangun kesepahaman antara PPNS dan POLRI memakan waktu
yang cukup lama. PPNS harus menjelaskan hal-hal yang bersifat
teknis di bidang konservasi jenis dan ekosistem dengan aparatur
kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain barang bukti peristiwa pidana
biasanya mudah rusak/mati, dan memerlukan biaya perawatan yang
cukup besar apabila tidak segera dikembalikan ke alam atau dititipkan
di lembaga konservasi. Disamping itu tindak pidana konservasi
merupakan kejahatan yang bersifat transnasinal, maka dimungkinkan
wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi tidak
terbatas hanya dalam satu wilayah propinsi. Situasi ini menyebabkan
proses penegakan hukum belum berjalan sebagaimana diharapkan.
25
b. Sanksi
Sanksi pidana bagi setiap tindakan melawan hukum, sesuai dengan Buku
Kesatu KUHP, Pasal 10, ada 7 (tujuh) jenis hukuman/sanksi; 4(empat) jenis
hukuman utama dan 3 (tiga) jenis hukuman tambahan, yakni: hukuman mati;
hukuman penjara; hukuman kurungan; hukuman denda; pencabutan hak
tertentu; serta perampasan barang yang tertentu. Dengan demikian agar
diperoleh efek jera disamping sanksi hukuman harus mempertimbangkan
dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Terhadap kejahatan
konservasi dikenakan juga pidana denda, sebagai bagian dari tanggung
jawab terhadap lingkungan (konservasi jenis dan kawasan), serta sanksi
pembiaran (guilt of omission).
Sanksi bagi tindak pidana konservasi seyogyanya minimal lima tahun, karena
tindak pidana tersebut dapat membahayakan keamanan umum. Kondisi ini
sejalan dengan UU PPLH yang telah mengatur adanya ancaman pidana
minimum, serta Buku Kedua KUHP, Pasal 187-208, menyatakan antara lain,
bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan
atau banjir, yang menimbulkan bahaya umum bagi barang atau nyawa orang
lain, ancaman hukuman paling rendah 5 (lima) tahun atau seumur hidup”.
Tindak pidana konservasi biasanya sangat kompleks karena disamping
dampaknya luas, juga karena konservasi pada kenyataannya meliputi pula
kegiatan pemanfaatan lestari yang dilakukan oleh pihak ketiga; oleh karena
itu perlu ada pemisahan saksi secara jelas yaitu kelompok tindak pidana
pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Disamping itu perlu juga diatur
pengenaan sanksi administrasi. Sanksi administrasi dimaksudkan untuk
menegakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang diberi izin oleh
pemerintah untuk terlibat dalam pelaksanaan perizinan di bidang konservasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menggolongkan tindak pidana
ada dua, yaitu tindak pidana yang masuk dalam golongan kejahatan atau
“misdrijven” (Buku II) serta tindak pidana yang masuk dalam golongan
pelanggaran atau “overtredingen” (buku III). Wirjino Projodikoro (19…),
dalam Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (halaman 35), menyatakan
bahwa sesuai dengan kenyataan bahwa terdapat beberapa perbedaan
prinsip yang termuat dalam KUHP yang hanya berlaku bagi pelanggaran atau
berlaku secara berlainan, misal: (1) Perbuatan percobaan (poging) dan
pembantuan (medelplictheid) untuk pelanggaran pada umumnya tidak
merupakan tindak pidana; (2) Tenggang waktu daluwarsa untuk kejahatan
lebih panjang dari pada pelanggaran; (3) Kemungkinan keharusan adanya
pengaduan untuk penuntutan dimuka hakim, hanya ada pada kejahatan,
sedang terhadap pelanggaran tidak ada.
26
BAB IV
MATERI MUATAN
I. KETENTUAN UMUM
A. Ruang Lingkup
B. Asas
C. Prinsip
A. Perlindungan Genetik
Penetapan jenis target bagi perlindungan genetik ditetapkan oleh pemerintah
cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas
keilmuan”. Ruang lingkup perlindungan sumberdaya genetik: Sumberdaya
genetik hutan dan yang beasal dari spesies-spesies liar, termasuk jasad renik
(micro organism).
B. Perlindungan Spesies
Penetapan kategori perlindungan spesies dilakukan oleh pemerintah cq
menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas
keilmuan”.
a. Kategori perlindungan spesies:
(1) Kategori I yaitu spesies yang harus dilindungi mutlak.
(2) Kategori II meliputi spsesies yang dikontrol pemanfaatannya.
(3) Kategori III yang merupakan spesies yang pemanfaatannya wajib
dipantau.
(5) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang
pemanfaatannya dipantau (KATEGORI III), setiap orang tanpa izin
dilarang untuk memperdagangkan atau mengeluarkan spesimen
tumbuhan dan/atau satwa liar ke luar negeri (ekspor) dan
memasukkan ke dalam wilayah Indonesia (impor).
(6) Terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar yang telah dan
sedang dimanfaatkan sebelum ditetapkannya spesies itu didalam
status perlindungan perlu diatur mekanismenya dalam aturan
peralihan (spesimen pra perlindungan).
C. Perlindungan Ekosistem
Perlindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan keterwakilan-
keterwakilan ekosistem di dalam jaringan kawasan konservasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah cq. Menteri teknis dengan memperhatikan
rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan usulan masyarakat atau lembaga
ilmiah, termasuk perguruan tinggi melalui proses konsultasi publik.
Masyarakat dapat mengusulkan suatu wilayah tertentu untuk ditetapkan
sebagai ekosistem yang dilindungi.
36
A. Pengawetan Genetik
Ruang lingkup pengawetan genetik adalah bagi jenis-jenis liar dengan
kategorisasi sesuai dengan jenis target. Pengawetan genetik dilaksanakan
melalui pengelolaan genetik bagi spesies-spesies target yaitu spesies
terancam punah, spesies yang bernilai komersial, dan spesies untuk
mendukung budidaya, sebagai berikut:
1. Bagi spesies-spesies target wajib dilakukan inventarisasi dan
pengembangan basis data genetiknya.
2. Pengelolaan genetik bagi spesies terancam punah dilaksanakan secara
insitu dan eksitu untuk tujuan mengembalikan keanekaragaman genetik
di tingkat spesies untuk kepentingan pemulihan populasi maupun untuk
pemanfaatan.
3. Pengelolaan genetik bagi spesies yang bernilai komersial dilakukan
secara insitu maupun eksitu untuk tujuan menjaga keanekaragaman dan
kemurnian genetik bagi spesies-spesies yang diperdagangkan.
4. Pengelolaan genetik bagi spesies untuk mendukung budidaya dilakukan
secara insitu maupun eksitu dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
genetik spesies-spesies budidaya dan menciptakan varitas atau baru
yang unggul dari segi budidaya.
5. Pengaturan dan kontrol bagi spesies-spesies yang mengalami perlakuan
rekayasa genetik atau pemuliaan agar tidak dikembalikan ke habitat
alam.
6. Pengaturan dibedakan antara pengembangbiakan atau perbanyakan
buatan dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik spesies liar
dengan kegiatan budidaya yang di dalamnya ada rekayasa genetik
karena untuk menciptakan varitas atau kultivar baru sehingga kemurnian
genetik bukan menjadi tujuan.
B. Pengawetan Spesies
Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan sesuai dengan
kategorisasi perlindungan spesies yaitu kategori I, kategori II dan kategori III.
40
C. Pengawetan Ekosistem
1. Pengawetan ekosistem bertujuan untuk melindungi dan mengelola
keterwakilan ekosistem baik di darat maupun di perairan di dalam
jaringan kawasan-kawasan konservasi;
2. Pengawetan ekosistem dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan
setiap kategori kawasan konservasi secara efektif;
3. Keefektifan pengelolaan kawasan konservasi diukur melalui perubahan-
perubahan 6 unsur pengelolaan kawasan konservasi secara efektif
(pedoman IUCN), yaitu: Konteks (kondisi keanekaragaman hayati,
tekanan dan ancaman, sistem legislasi); Perencanaan (kondisi yang
diinginkan); Input (sumberdaya yang dialokasikan untuk mencapai tujuan
di dalam perencanaan); Proses (pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
41
rencana dan input yang ada); Output (hal-hal yang dicapai dalam
pelaksanaan); dan Outcome (dampak yang terjadi).
4. Pelanggaran dan kejahatan terhadap aturan-aturan yang ada (dalam
sistem legislasi) dihukum penjara dan didenda.
B. Pemanfaatan Spesies
Pemanfaatan sumberdaya spesies digunakan untuk tujuan pengkajian,
penelitian dan pengembangan, perdagangan, perburuan terkendali,
peragaan (lembaga konservasi), tukar-menukar, pemeliharaan untuk
kesenangan, budidaya dan keperluan tradisional.
Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori I ditujukan untuk
penelitian, peragaan, mendukung budidaya dan sumber benih serta untuk
42
C. Pemanfaatan Ekosistem
Pemanfaatan ekosistem digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan
pengembangan, perburuan terkendali, pemanfaatan jasa wisata alam, air,
karbon, geothermal dan jasa lingkungan lainnya, penunjang budidaya,
budidaya tradisional, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat.
Penggunaan kawasan konservasi untuk kepentingan yang tidak sesuai
dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi seperti sarana
telekomunikasi komersial, jalur listrik tegangan tinggi, dll hanya dapat
dilakukan secara terbatas melalui keputusan menteri, setelah mendapatkan
rekomendasi dari otoritas ilmiah.
Tata cara permohonan ijin pemanfaatan ekosistem diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
43
A. Rehabilitasi
B. Restorasi
1. Restorasi Spesies
Restorasi spesies ditujukan untuk memulihkan populasi (recovery)
spesies-spesies terancam punah agar kembali pada tingkat populasi
yang lestari dalam jangka panjang (viable), aman dari bahaya
kepunahan.
2. Restorasi Ekosistem
Restorasi ekosistem dilakukan guna memperbaiki kawasan
perlindungan ekosistem yang mengalami degradasi atau rusak untuk
dikembalikan seperti aslinya sehingga dapat dimanfaatkan kembali
sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.
44
VI. KELEMBAGAAN
C. Pemulihan Ekosistem
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan rehabilitasi
kawasan konservasi yang mengalami degradasi.
2. Pemerintah, Pemerintah Daerah serta BUMS/BUMN/BUMD melakukan
kegiatan restorasi ekosistem dan/atau spesies di dalam kawasan
konservasi maupun kawasan hutan.
46
D. Penegakan Hukum
1. Untuk melaksanakan/ keberhasilan penegakan hukum wilayah Negara
RI dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya, dengan mempehatikan luas wilayah, jumlah
penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi
Khusus/PPNS.
2. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan
komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam
rangka pengamanan kekayaan negara.
3. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik, ditentukan secara fleksibel,
karena kejahatan kehutanan sangat dinamis dan terkadang melibatkan
jaringan internasional.
4. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia.
5. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan
kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum
penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah
kepabeanan.
6. Guna menyelesaikan konflik akibat “keterlanjuran pemanfaatan ruang
untuk kepentingan non konservasi” dimana pemanfaatan tersebut telah
ada sebelum kawasan konservasi ditetapkan, maka pemerintah
membentuk lembaga khusus penanganan konflik. Lembaga adhoc
khusus dapat terdiri dari unsur-unsur lintas sektor dan dibentuk melalui
Keputusan Presiden.
Yang termasuk kepentingan non-konservasi adalah:
a. Kepentingan komersial: semua yang menghasilkan keuntungan
ekonomi (BTS, sutet, pipa gas/minyak, geotermal, tambang
mineral)
b. Kepentingan non komersial: sarana ibadah, jalan.
Penyelesaian keterlanjuran dapat berupa:
a. Mengembalikan status dan fungsi kawasan konservasi; Kegiatan
non-konservasi dikeluarkan.
47
b. Melepas kawasan.
c. Menetapkan sebagai zona “khusus”.
d. Restorasi fungsi.
e. Penetapan wilayah khusus transmigrasi lokal.
E. Penyelesaian Sengketa
1. Penyelesaian sengketa di bidang konservasi kehati didorong untuk
diselesaikan melalui musyawarah.
2. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan upaya-upaya pilihan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa negosiasi,
mediasi dan rekonsiliasi.
4. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan
dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action),
gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen
sue).
Dewasa ini, sejalan dengan rumusan pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona,
dikenal beberapa tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola, hal ini
mendorong adanya perubahan paradigma penyelenggaraan konservasi ke
depan, yaitu konservasi tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah tetapi juga
dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan
masyarakat, serta pemerintah dengan swasta.
Memperhatikan perubahan paradigma di atas, ke depan pengaturan mengenai
partisipasi masyarakat serta kerjasama pengelolaan konservasi harus diatur
secara lebih tegas, dalam berbagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:
1. Partisipasi pasif dalam pengelolaan konservasi yang tanggung jawab utama
berada di tangan pemerintah ( konservasi berbasiskan pemerintah).
2. Partisipasi aktif dimana penyelenggaraan konservasi dilakukan secara
bersama antara pemerintah dan masyarakat (konservasi berbasiskan
masyarakat, swasta).
• Hak gugat warga negara (citizen sue). Warga negara Indonesia dapat
melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem/spesies
/genetik.
Polisi Khusus
Tugas kepolisian khusus yang diemban oleh pejabat pemerintah, antara lain
pencegahan dan penyelidikan.
Pencegahan yaitu upaya untuk merintangi/mengikhtiarkan agar seseorang tidak
melakukan atau melakukan perbuatan yang dilarang ditetapkan oleh undang-
undang, antara lain meliputi:
1. Penyuluhan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
2. Melakukan monitoring, patroli/perondaan di dalam areal yang ditetapkan
sebagai kawasan konservasi atau wilayah hukumnya.
3. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan konservasi dan lain-lain.
Penyidik
Wilayah hukum Penyelidik dan Penyidik, perlu diperjelas dan diperluas karena
bentuk kejahatan yg dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional.
Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana
merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum
penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.
Perlu adanya peluang yang memungkinkan PPNS melakukan gelar perkara di
hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tembusan kepada Penyidik
POLRI, dalam rangka koordinasi pengawasan.
Sanksi Pidana
Sanksi pidana berupa hukuman penjara, hukuman denda, pencabutan hak
perdata tertentu dan perampasan barang.
Besarnya sanksi pidana ditetapkan berupa sanksi minimal dan sanksi maksimal
untuk setiap tindak pelanggaran dengan mempertimbangkan :
a. Kategori jenis/ekosistem, semakin tinggi kategorinya maka ancaman sanksi
semakin berat, dan/atau;
b. Dampak yang ditimbulkan terhadap manusia dan kelestarian jenis/spesies.
Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diperberat dalam hal:
1. Pengurus, direksi, anggota atau pegawai suatu badan hukum yang
memperoleh ijin yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati.
2. Penyelenggara negara, pegawai negeri, yang diberi kewenangan untuk
melakukan pengamanan.
3. Anggota, pengurus organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang
konservasi keanekaragaman hayati.
4. Seseorang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan
keahliannya.
Besarnya sanksi pidana penjara dengan sanksi minimal 6 (enam) bulan sampai
dengan maksimal seumur hidup/hukuman mati.
Sanksi pencabutan hak perdata adalah satu larangan yang diberikan lembaga
peradilan kepada terpidana dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan
konservasi dan kehutanan. Beberapa bentuk pencabutan hak perdata antara
lain:
a. Larangan kepada perorangan untuk menjabat dalam badan usaha yang
berhubungan dengan kehutanan.
b. Larangan kepada badan usaha untuk melakukan aktivitas pada periode
tertentu (“bank beku operasi”).
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemegang
ijin terhadap kewajiban administrasi. Pengaturan mengenai sanksi administrasi
diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.
Pengecualian
Sanksi pidana dan sanksi administrasi tidak berlaku atau dikecualikan terhadap
perbuatan:
a. Untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Termasuk kegiatan penyelamatan
spesies dapat berupa pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa
kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
b. Perbuatan guna melindungi kehidupan manusia yang terancam nyawanya
oleh satwa yang dilindungi.
BAB V
KESIMPULAN