Anda di halaman 1dari 58

NASKAH AKADEMIS

RUU TENTANG
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
(PENYEMPURNAAN UU NO 5 TAHUN 1990 TENTANG
KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA)

DISUSUN OLEH
TIM KAJIAN KEBIJAKAN KONSERVASI TAHAP II
KERJASAMA KEMENTERIAN KEHUTANAN
DENGAN DEWAN KEHUTANAN NASIONAL

JAKARTA, OKTOBER 2010


i

PENGANTAR
 
 
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga Naskah Akademis RUU tentang Konservasi Keanekaragaman
Hayati (Penyempurnaan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
hayati dan Ekosistemnya) dapat diselesaikan pada waktunya.
Derasnya perubahan lingkungan strategis yang terjadi dalam 20 tahun terakhir
telah menyebabkan penyelenggaraan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistemnya (KSDAHE) di Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 5
Tahun 1990 berjalan kurang efektif, oleh karena itu perlu segera dilakukan
penyempurnaan. Memperhatikan kondisi di atas, Kementerian Kehutanan dan
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah bersepakat untuk melakukan kajian
perubahan UU No. 5 Tahun 1990, dengan terlebih dahulu menyusun naskah akademis
(NA).
Guna memudahkan pelaksanaan kajian dimaksud, DKN membentuk Tim Ad-
hoc Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II, beranggotakan perwakilan kamar yang ada
di DKN. Mereka adalah para praktisi dan penggiat kegiatan konservasi SDA&E, serta
para penyusun kebijakan perundangan di Kementerian Kehutanan.
Tim ad-hoc telah bekerja efektif sejak Januari 2010. Kajian dilakukan melalui
pertemuan focus group discussion (FGD), studi pustaka, kunjungan lapangan, maupun
konsultasi publik dengan para pihak. NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan
mampu mendorong segera direalisasikannya naskah UU konservasi yang baru, yang
mampu menjawab tantangan terkini serta tantangan 20 tahun ke depan di bidang
konservasi.
Akhirnya kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
Direktorat Jendral PHKA dan Biro Hukum SetJen Kementerian Kehutanan, WWF
Indonesia dan Orangutan Conservation Service Program (OCSP) yang telah
memberikan dukungan dalam proses pelaksanaan kegiatan. Demikian pula ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang telah berperan serta dalam
mensukseskan penyusunan NA perubahan UU No. 5 Tahun 1990. Semoga Tuhan
memberkati.

Jakarta, 11 Oktober 2010


a/n Dewan Kehutanan Nasional

I Made Subadia Gelgel


Ketua Tim Ad-hoc
Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II
ii

Daftar Nama Anggota Tim Kajian Kebijakan Konservasi Tahap II


 
 
No. Nama Asal Instansi

1. Tim Pengarah (SC)


Hariadi Kartodihardjo DKN/IPB
Hadi S Pasaribu Staf Ahli Menteri Kehutanan
Darori Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan
Wahyudi Wardoyo TNC
Andi Novianto Kemenko Perekonomian
Nana Suparna Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia
Dian Achmad Kosasih WWF Indonesia
Jamartin Sihite OCSP
Bambang Suharsono DKN

2. Tim Ad-hoc
I. Made Subadia Gelgel Kementerian Kehutanan
Wiratno Kementerian Kehutanan
Bambang Eko Prayitno Kementerian Kehutanan
Eppy Agusfin Kementerian Kehutanan
Samedi KEHATI
Fathi Hanif WWF Indonesia
Arbi Valentinus OCSP
Andiko HUMA
Hedar Laudjeng DKN
Harry Alexander WCS
Harri Purnomo DKN
iii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II. LANDASAN UMUM ................................................................................ 3


A. Landasan Filosofis ................................................................................................ 3
B. Landasan Yuridis .................................................................................................. 3
C. Landasan Sosial .................................................................................................15

BAB III. PERUBAHAN PARADIGMA ............................................................... 16


A. Kondisi Lingkungan Strategis ...........................................................................16
B. Masalah Konservasi ...........................................................................................17

BAB IV. MATERI MUATAN .............................................................................. 29


I Ketentuan Umum ................................................................................................29
II Perlindungan Keanekaragaman Hayati ..........................................................31
III Pengawetan Keanekaragaman Hayati ............................................................39
IV Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati ..........................................................41
V Pemulihan Ekosistem dan Populasi Spesies .................................................43
VI Kelembagaan ......................................................................................................44
VII Partisipasi Pengelolaan Kehati .........................................................................47
VIII Pengamanan dan Penyidikan ...........................................................................50
IX Larangan dan Sanksi .........................................................................................51

BAB V. KESIMPULAN .................................................................................................54


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang
berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. SDAH ini merupakan sumberdaya
strategis, dikuasai negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang
tinggi, dicerminkan oleh keanekaragaman jenis satwa dan flora Indonesia. Dalam
tataran global, walau luas daratan Indonesia hanya 1% dari luas daratan dunia,
keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi tiga besar bersama dengan Brazil
dan Zaire (Republik Demokrat Kongo). Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia
(12% dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptilia (7,3% dari seluruh reptil dunia),
1.531 jenis burung (17% dari jumlah burung dunia) dan terdapat sekitar 38.000 jenis
tumbuhan berbunga.
Sumberdaya alam tersebut jumlahnya tidak tak terbatas, dan walaupun
mempunyai sifat yang dapat memperbaharui diri atau dapat diperbaharui (renewable),
SDAH mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila
dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam
keberadaan sumberdaya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat
memusnahkan keberadaannya.
Guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara
berkelanjutan, perlu diatur bahwa sebagian dari SDAH tersebut harus dilindungi secara
ketat, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan secara proporsional dan
berkelanjutan. Konservasi SDAH merupakan keseimbangan antara perlindungan ketat
dan pemanfaatan yang berkelanjutan tersebut sehingga keberadaannya tetap bisa
dipertahankan dan dapat dimanfaatkan secara lestari bagi kemakmuran masyarakat
baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Pengaturan konservasi SDAH melalui peraturan perundangan diharapkan akan
mampu menjamin adanya kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan
SDAnya, terjaminnya pemenuhan hak hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan
SDA, serta terjaminnya distribusi manfaat SDAH secara adil dan berkelanjutan.
Dewasa ini telah ada UU yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-
undang ini telah berumur hampir 20 tahun, dan selama masa tersebut telah terjadi
banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem
politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun
perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional
dalam kegiatan konservasi, sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil konvensi yang
terkait dengan keanekaragaman hayati, atau hasil-hasil kesepakatan baik bilateral,
regional maupun multilateral.
2

Belakangan ini telah terjadi kecendrungan semakin meningkatnya kerusakan


lingkungan, dimana sebagian besar sumberdaya alam kita mengalami degradasi,
termasuk di dalamnya kawasan hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh negera
sebagai wilayah konservasi ekosistem, maupun konservasi jenis dan genetik.
Meningkatnya laju degradasi kawasan konservasi serta degradasi populasi jenis
tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah dan endemik, erat kaitannya dengan
kurang efektifnya kebijakan/perundangan di bidang konservasi dan pelaksanaannya.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tentang konservasi belum mampu menjamin
terwujudnya kelestarian ekosistem (kawasan), jenis dan genetik; terbukti dengan terus
meningkatnya laju degradasi, serta belum mampu menjamin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
wilayah konservasi.
Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 48 juta masyarakat yang hidup di
dalam/di sekitar hutan, dan sebagian dari mereka hidup dalam keadaan miskin dan
tidak berdaya (CIFOR 2006). Dalam banyak kasus, masyarakat lokal merasa tidak
dilibatkan dan tidak menerima manfaat dari pengelolaan kawasan konservasi,
sehingga tidak berminat untuk ikut berpartisipasi, atau cenderung menolak kehadiran
kawasan konservasi.
Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya
tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi, meningkatnya jumlah penduduk -
yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor- memerlukan legislasi
nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati
secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang
perlu untuk melakukan perubahan UU 5 Tahun 1990 tentang konservasi.

B. Tujuan
Kajian perubahan UU No. 5 Tahun 1990 diharapkan akan menghasilkan sebuah
UU konservasi yang mampu menjamin konservasi pada tingkat genetik, tingkat jenis,
dan tingkat ekosistem dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif,
transparan, partisipatif dan akuntabel, sehingga tujuan konservasi dapat diwujudkan
dengan lebih efektif.
3

BAB II
LANDASAN UMUM

A. Landasan Filosofis
1. Bahwa sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai
kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang
Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa
depan.
2. Bahwa sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam strategis yang
dikuasai oleh negara serta merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat
hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian
nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal terwujudnya
kelestarian sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan rakyat.
3. Bahwa pembangunan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada
hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang
berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.
4. Bahwa unsur-unsur sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya
saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi
sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat
terganggunya ekosistem.
5. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumberdaya alam hayati dapat
berlangsung dengan secara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah
konservasi sehingga sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selalu
terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan
pembangunan itu sendiri.
6. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum
menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sesuai dengan perkembangan
sosial, politik, ekonomi dan budaya nasional, serta kerjasama atau hubungan
internasional.

B. Landasan Yuridis
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan
sebagian dari undang–undang di sektor kehutanan yang mempunyai materi muatan
pengurusan konservasi di Indonesia. Disamping itu tercatat ada beberapa
perundangan sektor lain maupun UU ratifikasi konvensi internasional, yang mempunyai
materi yang berhubungan dengan pengurusan konservasi. Undang–undang tersebut
adalah:
4

1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3) dan (4)

Sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara
untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pengurusan
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tugas dan kewajiban
pemerintah.

2. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan “United Nations


Convention the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut)”

Bagi Bangsa Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk
pertama kalinya asas Negara Kepulauan (archipelagic state) yang selama dua
puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, berhasil
memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut antara lain memuat
ketentuan tentang:
a. Kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut
Teritorial.
b. Ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut
dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang
Hukum Laut, kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah
kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini
dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu
negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of
its land teritory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria
jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar Laut
Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil
laut tersebut.
c. Sebagian melahirkan rezim-rezim hukum baru, seperti asas Negara
Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut
Internasional.

Dalam penjelasan undang-undang ini juga menyebutkan bahwa konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini juga mengatur mengenai
konservasi kekayaan alam hayati yang terdapat dalam Laut Teritorial, Zona
Tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif, mengatur masalah konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut Lepas yang dahulu diatur dalam
Konvensi Jenewa 1958 tentang perikanan dan konservasi sumber kekayaan
hayati di Laut Lepas.
Dalam undang-undang ini juga menyebutkan konvensi ini menganjurkan antara
lain agar negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup/setengah tertutup
mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber kekayaan
alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut, dan juga
mengatur mengenai konservasi dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan laut
dalam rangka pengembangan dan alih teknologi.
5

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB


mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological
Diversity)

Undang-undang ini terdiri dari 2 pasal mengenai Konvensi Keanekaragaman


Hayati. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara, kepala
pemerintahan atau wakil negara di Rio de Janeiro, Brazil.
Dalam penjelasan undang-undang ini menyebutkan mengenai tindakan umum
bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan yang terdapat dalam
batang tubuh naskah konvensi dan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia
dengan diratifikasinya konvensi ini yaitu pengembangan kerja sama internasional
untuk peningkatan kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati.
Pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j dikatakan bahwa:
”menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi
dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup
berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara
berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara
lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan. Inovasi-
inovasi dan praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil
keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunan pengetahuan, inovasi-inovasi
dan praktik-praktik semacam itu”. Pasal 15 butir 4 dikatakan: akses atas sumber
daya hayati bila diberikan, harus atas dasar persetujuan bersama (terutama
pemilik atas sumberdaya).
Meratifikasi konvensi ini, tidak berarti negera kehilangan kedaulatan atas
sumberdaya alam keanekaragaman hayati yang kita miliki karena konvensi ini
tetap mengakui bahwa negara-negara, sesuai dengan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat
untuk memanfaatkan sumberdaya alam keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan sejalan dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan
pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak merusak
lingkungan.

4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran


Negara Tahun 1996 No. 73)

Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 terdiri dari 7 bab dengan 27 pasal antara lain
wilayah perairan Indonesia, hak lintas kapal-kapal asing (hal lintas damai, hak
lintas alur kepulauan, hak lintas transit dan hak akses dan komunikasi),
pemanfaatan pengelolaan perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan,
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia,
Bab IV Pasal 23 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemanfaatan, pengelolaan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum
internasional
6

5. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran


Negara Tahun 2003)

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 terdiri dari 11 bab dan 39 pasal. Undang-
undang ini mengatur mengenai kekuasan negara terhadap pengelolaan
keuangan negara yang meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, hak dan kewajiban negara,
penerimaan dan pengeluaran negara dan juga daerah, ketentuan mengenai
penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah
dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan
badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Pasal 9 antara lain menetapkan: menteri/pimpinan lembaga mempunyai tugas
melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan
menyetorkannya ke kas negara.

6. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,


Perikanan, dan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2006 No. 92)

Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 terdiri dari 13 bab dan 41 pasal. Undang-
undang ini mengatur tentang upaya revitalisasi pertanian, perikanan dan
kehutanan. Revitalisasi akan berhasil jika didukung antara lain oleh adanya
sistem dan lembaga penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sistem
penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan perundang-undangan
yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum
serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh.
Undang-undang ini memerintahkan dibentuknya lembaga penyuluhan di tingkat
pusat, propinsi maupun daerah, dengan demikian upaya pemberdayaan
masyarakat di bidang konservasi dapat diharapkan akan semakin efektif
pelaksanaannya, karena dilaksanakan oleh satu kesatuan lembaga yang
didukung oleh sistem penyuluhan yang memadai.

7. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84)

Undang-undang ini terdiri dari 19 bab dan 80 pasal, antara lain berisi: proses
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian, penelitian dan pengembangan, pendidikan
pelatihan dan penyuluhan, kewenangan, mitigasi bencana, hak kewajiban dan
peran serta masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penyelesaian sengketa,
gugatan perwakilan, penyidikan, sanksi administratif, ketentuan pidana.
Undang-undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah
daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut
7

sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
ke arah perairan kepulauan.
Dalam ketentuan umum undang-undang ini yang dimaksud dengan kawasan
adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya dan kawasan pemanfaatan
umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi
berbagai sektor kegiatan. Selain itu dalam juga disebutkan mengenai rencana
zonasi yaitu rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada
kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan
sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Pasal 7 Ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tertentu dalam wilayahnya. Pasal 10 butir a menyebutkan bahwa Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas pengalokasian
ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan
Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Pasal 22 menyebutkan bahwa hak
pengusahaan Perairan Pesisir tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi,
suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Pasal
23 ayat (2) mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a. Konservasi;
b. Pendidikan dan pelatihan;
c. Penelitian dan pengembangan;
d. Budidaya laut;
e. Pariwisata;
f. Usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan lestari;
g. Pertanian organik; dan/atau Peternakan.

Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib
(Pasal 23 Ayat 3):
a. Memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. Memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta
c. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
8

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang
mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah
sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya.
Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk
memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar
dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk
kemakmuran masyarakat.
Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak
pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian
sumberdayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke
dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana
pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan
pengaturan yang terdiri dari:
a. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP-3).
b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan
budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur
secara tersendiri.
c. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
d. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau
kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi,
dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau
induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

8. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Tahun 2007 No. 68).

Undang-undang ini terdiri dari 13 bab dan 80 pasal. Dalam Pasal 2 disebutkan
bahwa dalam rangka kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan
ruang diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan,
keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum,
kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang sedangkan pemanfaatannya berupaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang
melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya sehingga
menciptakan pengendalian pemanfaatan ruang yang tertib tata ruang.
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,
wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Penataan
9

ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan
nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak: mengetahui rencana tata ruang;
menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; memperoleh
penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; mengajukan keberatan
kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya; mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang; dan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah
dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Setiap orang wajib: menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan
peran masyarakat.
Undang–undang juga mengatur bahwa ruang dapat dibedakan menjadi fungsi
lindung dan fungsi budidaya. Fungsi lindung meliputi hutan lindung, kawasan
suaka alam (KSA), serta kawasan pelestarian alam (KPA). Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali setiap lima tahun sekali, dengan demikian
klasifikasi wilayah konservasi masih harus mengacu kepada kriteria KPA dan
KSA.

9. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara


Tahun 2009 No. 11)

UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disahkan pada tanggal 16


Januari 2009 terdiri dari 17 bab dan 70 pasal. Kepariwisataan adalah
keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi
serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan
negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Usaha Pariwisata
adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Kawasan Strategis
Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki
potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting
dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, social dan budaya,
pemberdayaan SDA, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan.
UU ini memiliki 11 asas, seperti salah satunya partisipatif dan kemandirian
dengan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual
setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan
10

pendapatan negara untuk kesejahteraan masyarakat. Melestarikan alam,


lingkungan dan sumber daya merupakan salah satu dari 10 tujuan yang terlampir
dalam UU ini.
Pembangunan kepariwisataan meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi
pariwisata; c. pemasaran, dan; d. kelembagaan kepariwisataan. Pembangunan
kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan
kepariwisataan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka
panjang nasional. Pemerintah dan Pemda mendorong penanaman modal dalam
negeri maupun asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk
kepariwisataan tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan
beberapa aspek, termasuk (i) sumber daya pariwisata alam dan budaya yang
potensial menjadi daya tarik aspek, (ii) potensi pasar, (iii) lokasi strategis dalam
menjaga persatuan dan kesatuan, (iv) perlindungan terhadap lokasi tertentu yang
mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup, (v) lokasi strategis dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset
budaya, (vi) kesiapan dan dukungan masyarakat, dan (vii) kekhususan wilayah.
Usaha Pariwisata terdiri dari daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa
transportasi wisata, penyelenggaran kegiatan hiburan dan rekreasi, wisata tirta
dan spa yang merupakan bagian dari usaha pariwisata. Pemerintah dan Pemda
wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi dalam bidang pariwisata dengan cara membuat kebijakan pencadangan
usaha pariwisata dan memfasilitasi kemitraan dengan usaha skala besar.
Terkait kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pemerintah
diantaranya memiliki kewenangan untuk (i) menyusun dan menetapkan rencana
induk pembangunan kepariwisataan nasional, (ii) mengkoordinasikan
pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi, (iii)
menyelenggaraan kerjasama internasional di bidang kepariwisataan, (iv)
menetapkan daya tarik wisata nasional, dan (v) menetapkan destinasi pariwisata
nasional. Sementara itu, kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi beberapa
hal, diantaranya mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor
dan kabupaten/kota, menetapkan destinasi pariwisata provinsi dan daya tarik
wisata provinsi, melakukan dan memfasilitasi promosi wisata provinsi serta
memelihara aset wisata tingkat provinsi. Kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota meliputi beberapa hal, termasuk menyusun dan menetapkan
rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota, melakukan
pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, mengatur
penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya dan
menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata. Setiap perseorangan
/lembaga pemerintah/organisasi pariwisata serta badan usaha yang berprestasi
luar biasa dalam partisipasi pembangunan kepariwisataan yang dibuktikan
dengan fakta nyata maka diberikan penghargaan dalam bentuk pemberian
piagam, uang atau bentuk lainnya yang bermanfaat.
11

Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,


Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat dengan prinsip keadilan,
efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. Pemda mengalokasikan sebagian
pendapatan pariwisata untuk kegiatan pelesatarian alam dan budaya.

10. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 140)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal. Undang-
undang ini mengatur mengenai pentingnya lingkungan hidup dimana lingkungan
hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan
budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan
kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara
taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam
harus serasi, selaras, seimbang dengan fungsi lingkungan hidup, dan upaya
preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu
dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan
dan perizinan.
Dalam undang-undang ini mengatur mengenai bahwa proses dan kegiatan yang
hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya terdapat pada pasal 23. Pasal 43 Ayat (2)
undang undang ini juga mengatur mengenai instrumen pendanaan lingkungan
hidup dimana terdapat dana amanah/bantuan untuk konservasi. Pemeliharaan
lingkungan hidup yang terkait dengan konservasi terdapat pada Pasal 57 Ayat
(1), (2), dan (5) yang menyebutkan bahwa pemeliharaan lingkungan hidup
dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber
daya alam dan/atau pelestarian fungsi atmosfer dimana konservasi sumber daya
alam yang dimaksud meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam,
pengawetan sumber daya alam dan pemanfaatan sumber daya alam.
Selain itu, undang-undang ini juga mengatur:
a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup.
b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah.
c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup.
d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup
strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan
hidup.
12

e. Perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis


lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian.
g. Pendayagunaan pendekatan ekosistem.
h. Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan
global.
i. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
j. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas.
k. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih efektif dan responsif.
l. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

11. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 32 tahun 2004 terdiri dari 16 bab dan 240 pasal. Pemerintahan daerah
dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi
daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan
wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan
tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut,
daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Penjelasan UU ini, antara lain menyatakan bahwa: penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah
dengan Pemerintah Daerah. Pembagian tersebut meliputi: urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, yaitu urusan yang menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, serta
urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan yang dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah atas dasar kriteria
externalitas, akuntabilitas dan efesiensi dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan pengelolaan urusan pemerintah.
Selain itu penjelasan undang-undang ini juga menyatakan antara lain bahwa:
“Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional misalnya: kawasan cagar budaya, taman nasional,
pengembangan industri strategis dan seterusnya”.
13

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa: "Desa berdasarkan


undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di
kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945".
Memperhatikan hal di atas, yang kemudian telah ditetapkan pula dalam
Peraturan Pemerintah No. 38, konservasi adalah urusan yang bersifat khusus
sehingga pembentukan dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah, serta
penyelenggaran urusannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.

12. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

UU No. 7 Tahun 2004 memberikan pengertian, bahwa air adalah semua air yang
terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut. UU ini juga
mengatur pengelolaan sumber daya air, rencana pengelolaan, hak guna usaha
air, serta konservasi sumber daya air. Dengan demikian UU konservasi yang
akan dibentuk harus sinkron dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU
No. 7 tersebut.

13. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana atau yang sering
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, disingkat dengan
KUHAP

Penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP termuat dalam Bab IV Bagian Kesatu
dan Ketiga, sedang tata cara implementasi dari kewenangan, termuat dalam Bab
V sampai dengan Bab VII, Bab XIV dan Bab XV, mengatur bahwa:
(1) Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
(2) Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
(3) Penyidik, adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
(4) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan barang bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
14

Berdasarkan pengertian penyelidik dan penyelidikan tersebut di atas, berarti


bahwa penyelidik merupakan bagian dari upaya para penegak hukum untuk
membuat pelaku tindak pidana mempertanggungjawabkan perilakunya menurut
hukum yang berlaku di depan hakim.
Agar penyelidik dapat melaksanakan tugas-tugas penyelidikan seperti yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang, maka penyelidik harus benar-benar
memahami tentang dasar pemikiran pembentuk undang-undang mengenai
pembentukan KUHAP dan undang-undang yang melarang suatu perbuatan.
Larangan perbuatan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, tidak tercantum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), demikian juga ancaman
hukumannya. Misal, tindak pidana pencurian (Pasal 362-367 KUHP), dalam
undang-undang konservasi pencurian dibatasi hanya untuk jenis tumbuhan atau
satwa dan wilayah tertentu yang dilakukan upaya konservasi ekosistem.

Pasal 6 KUHAP menetapkan Penyidik adalah:


a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 (Pasal 2) tentang


Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menetapkan:
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b diangkat oleh
Menteri atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai tersebuit.
Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar
pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 7 Ayat (2) KUHAP menetapkan bahwa:


(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut Pasal 6 Ayat (1)
huruf a.

Koordinasi dan pengawasan sebagaiana dalam penjelasan Peraturan


Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 39 (3)
mengamanatkan bahwa:
(3) Penyidik POLRI dalam melaksanakan koordinasi dengan dan
pengawasan terhadap PPNS, tidak membawahi PPNS, akan tetapi
bersifat pembinaan. Penyidik POLRI baik diminta atau tidak diminta wajib
memberikan pembinaan kepada PPNS.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan:


a. Mengingat konservasi adalah ilmu pengetahuan yang terus berkembang,
maka dituntut tersedianya PPNS yang mampu meningkatkan/
mengembangkan pengetahuan, dan pemahanannya di bidang konservasi
sesuai dengan kondisi terkini.
15

b. Posisi PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik, bukan berarti


PPNS adalah bawahan penyidik POLRI, dengan demikian sudah
seharusnya dalam perubahan UU mendatang PPNS Kehutanan harus
diberi fleksibilitas dalam pelaksanaan tugasnya, tidak harus melapor
sebagai bawahan kepada penyidik POLRI tetapi cukup berkoordinasi
dalam arti cukup menyampaikan pemberitahuan setiap proses
pelaksanaan tugas yang bersangkutan.

C. Landasan Sosial
UUD 1945, Pasal 27 sampai Pasal 34 menjamin bahwa setiap warga negara RI
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal ini hak untuk
memanfaatkan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta kewajiban untuk
menjaga, melindungi dan melestarikannya. Hak dan kewajiban ini dilaksanakan secara
seimbang bagi kelestarian dan kesejahteraan bangsa.
Tujuan pembangunan adalah mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang
merata materiil spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam wadah NKRI.
Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai negera dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.

Memperhatikan hal di atas, landasan sosial konservasi SDAH, ke depan adalah:


1. Penguasaan sumberdaya alam hayati oleh negara diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di masa sekarang
maupun masa yang akan datang.
2. Penyelenggaraan konservasi SDAH dilaksanakan dengan tetap menjamin
sepenuhnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sehingga menunjang upaya-
upaya perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara materil dan
spiritual, dengan menghormati keberadaan wilayah desa-desa setempat berikut
hak asal usul yang dimilikinya.
3. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dengan tetap menjaga daya dukung
lingkungan serta penetapan wilayah keterwakilan ekosistem di Indonesia, baik di
wilayah pegunungan, maupun di wilayah dataran rendah; serta penetapan
perlindungan/pengawetan serta pengendalian pemanfaatan terhadap satwa/
tumbuhan liar yang menjadi kekayaan Indonesia.
4. Perkembangan pembangunan wilayah yang menimbulkan wilayah administrasi
baru (pemekaran) di kawasan konservasi dan munculnya/meningkatnya berbagai
kepentingan non konservasi di kawasan konservasi.
16

BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA

A. Kondisi Lingkungan Strategis


Dewasa ini dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar, dimana
kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan sumberdaya alam semakin
menguat sejalan meningkatkan upaya untuk mencapai sasaran pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), tujuan pembangunan milenium (MDGs),
serta menguatnya pengaruh isu pemanasan global, perdagangan bebas (free trade),
monopoli sumberdaya alam yang tidak terbarukan oleh negara-negara maju,
perubahan politik di tingkat nasional (desentralisasi, demokratisasi, isu HAM,
pemekaran wilayah dan pemerintahan daerah, isu tata kepemerintahan yang baik dan
reformasi birokrasi), konflik antar sektor terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan lahan, seperti pengembangan tanaman kelapa sawit, pertambangan dan Hutan
Tanaman Industri.
Pembangunan berkelanjutan dengan tiga pilarnya yaitu keberlanjutan ekonomi,
sosial dan lingkungan telah mendorong negara-negara di dunia ini untuk
mengharmoniskan ketiga pilar tersebut dalam setiap pembangunan, termasuk di dalam
pembangunan sumberdaya alam yang berpegang pada prinsip bahwa pembangunan
ekonomi tidak berdampak pada rusaknya tatanan sosial serta memburuknya
lingkungan, atau sebaliknya.
Kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya kesehatan anak/ibu serta
perbaikan kondisi lingkungan, adalah beberapa target perbaikan yang harus dibangun
oleh setiap negara berkembang, karena kondisi tersebut apabila dibiarkan akan dapat
mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia. Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) sangat relevan dengan upaya konservasi
sumberdaya alam karena masalah konservasi sering berhimpitan dengan masalah
kemiskinan, kependudukan dan lingkungan.
Isu pemanasan global juga telah mendorong negara-negara di dunia untuk
segera menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), meningkatkan rosot karbon
(carbon stock), dengan berbagai langkah seperti menanam kembali hutan yang gundul,
mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, disamping mengurangi penggunaan
energi berbahan dasar hidrokarbon dan menggantinya dengan energi yang ramah
lingkungan.
Pada tingkat internasional, melalui konvensi mengenai keanekaragaman hayati,
konservasi keanekaragaman hayati pada saat ini telah menjadi salah satu dari 3 pilar
pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu: (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari
(berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan genetik dan unsur
keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah
dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh IUCN pada tahun
1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990, yang mendasarkan konservasi pada
3P (Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan
Pemanfaatan berkelanjutan). Di tingkat internasional, 3P tersebut telah dijabarkan
lebih lanjut menjadi: (1) Pengelolaan keanekaragaman hayati (yang diatur melalui
17

Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD), (2) Pencegahan penggurunan dan degradasi


lahan (yang diatur melalui Konvensi Pencegahan Pengurunan/UNCCD), serta (3)
Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (yang diatur melalui UNFCCC).
Berubahnya lingkungan strategis internasional di atas telah mendorong
dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip
pertumbuhan hijau (green growth) atau dikenal juga dengan green economy yaitu
pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, serta
terbangunnya program ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan
/konservasi lahan gambut dan hutan alam, perluasan penanaman, restorasi kawasan,
konservasi jenis/genetik, dll.
Secara nasional, perubahan lingkungan strategis yang paling menonjol adalah
berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan
perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk
pembangunan yang berkaitan dengan sumberdaya alam telah ditetapkan menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah
ditetapkan prinsip concurency dengan memperhatikan externalitas, dampak serta
efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara
tegas memang masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat); sedang kegiatan
lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi
kewenangan daerah. Pada tingkat Pemerintah (pusat), pembagian kewenangan antar
sektor juga menjadi isu yang strategis, terutama dengan diberlakukannya beberapa
undang-undang sektoral baru yang nampaknya justru melemahkan upaya konservasi.
Namun demikian pembagian kewenangan dalam urusan konservasi tidak disertai
dengan meningkatnya keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri, sehingga perlu
pengaturan yang lebih tegas di tingkat undang-undang.
Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di
tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik,
pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan
masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran NGO dalam
mendorong arah pembangunan ke depan.
Perubahan strategis ini mendorong perlunya peningkatan peran para pihak, dan
masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan
konservasi di Indonesia tanpa mengorbankan konservasi sumberdaya alam itu sendiri.

B. Masalah Konservasi
Selama ini akibat berbagai kondisi dan pelaksanaan upaya konservasi di
lapangan, telah menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa peraturan perundangan
konservasi yang berlaku saat ini belum mampu mendorong terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Konservasi masih dipandang sebagai pelarangan dan pembatasan hak
masyarakat. Kondisi ini menyebabkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas
konservasi lemah. Kondisi ini menjadi penyebab memburuknya kondisi kawasan
konservasi, demikian pula tingkat kelangkaan tumbuhan dan satwa liar semakin
meningkat.
18

Negatifnya persepsi masyarakat dipengaruhi oleh banyak sebab, diantaranya adalah


lemahnya kebijakan bidang konservasi serta implementasinya. Beberapa kelemahan
peraturan-perundangan yang telah ada, diantaranya meliputi:
1. Kurangnya keberpihakan kebijakan terhadap hak-hak masyarakat, baik itu hak
sosial ekonomi masyarakat sekitar, maupun hak masyarakat adat.
a. Hak sosial ekonomi
Perundang-undangan bidang konservasi yang saat ini ada sangat membatasi
hak sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; hampir tidak
ada ruang bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi dari sebuah
kawasan konservasi. Situasi ini kurang sejalan dengan Konvensi HAM yang
telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, Kovenan Hak Ekososbud (ICESCR/
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dengan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.
Hak atas perlindungan bagi keluarga (Pasal 10), hak atas standar hidup yang
layak, termasuk hak atas pangan, pakaian dan tempat tinggal (Pasal 11),
Konvensi mengatur bahwa, negara tidak boleh melakukan hal-hal yang
mengakibatkan tercegahnya akses hak bersangkutan/mencegah melakukan
sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber
daya alam materil yang tersedia, serta mengharuskan negara untuk
melakukan tindak proaktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat
atas sumber-sumber daya. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang
menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga terjamin hak setiap
orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi
melalui usaha sendiri. Disamping kewajiban dasar negara di atas, negara
diatur untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan
hak tercapai (positive rights). Oleh karena itu, pelanggaran hak ekososbud
dapat berupa pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran)
maupun by commission (dengan sengaja melakukan tindakan itu sendiri).
Maastrich Guideline memberi sejumlah tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran by commission, beberapa di antaranya meniadakan
aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekososbud, adanya
perlakuan-perlakuan diskriminatif.
Memperhatikan konvensi di atas, wajib hukumnya bagi negara untuk
membangun perundangan bidang konservasi yang menjamin terpenuhinya
hak ekonomi dan sosial budaya masyarakat, tidak diskriminatif;
perundangan yang mengatur secara jelas keberpihakannya kepada
masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
b. Hak masyarakat hukum adat
Di Indonesia, paradigma pengakuan terhadap hak masyarakat adat ini
sejatinya sudah lama ada. Namun demikian dalam perkembangan
pembentukan hukum sektoral, maupun UU konservasi ini, esensi pengakuan
hak masyarakat adat ini hampir hilang.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya meletakkan pentingnya konservasi dengan alasan
19

diantaranya: (1) unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling
mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan
berakibat terganggunya ekosistem, dan (2) untuk menjaga agar pemanfaatan
sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya,
maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.
Undang-undang ini mengatur tentang konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya (KSDAHE) yang diartikan sebagai pengelolaan sumber
daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Titik tekan undang-undang ini adalah kegiatan teknis (KSDAHE) yang


bertumpu pada tiga kegiatan utama yaitu:
(1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
(2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
(3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan
ekosistemnya.

Dalam kegiatan-kegiatan konservasi, karena UU hanya mengatur teknis


KSDAHE, keberadaan masyarakat-masyarakat atau pemukiman-pemukiman
yang ada dalam kawasan konservasi tidak diatur secara baik. Di lapangan
ditemui banyak perkampungan-perkampungan, desa-desa yang ditinggali
oleh masyarakat berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum kawasan tersebut
ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Paling tidak ada tiga pasal yang
menyentuh posisi masyarakat dalam kawasan maupun kegiatan konservasi
ini, pasal tersebut adalah Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 37.
Pasal 3 menyebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.”; dan Pasal 4 menyebutkan: “Konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban
Pemerintah serta masyarakat.”

Pada Bab IX mengatur khusus tentang peran serta rakyat dalam kegiatan
konservasi. Pasal 37 menyebutkan:
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar
20

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan


rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada tahun 2009, Kementrian Kehutanan melakukan sebuah penelitian


mengenai desa-desa yang ada dalam kawasan hutan, termasuk di dalam
kawasan konservasi. Penelitian ini menghasilkan laporan resmi, terdapat
kurang lebih 1631 desa dalam kawasan konservasi di 17 provinsi yang diteliti
(Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan Tahun 2008, Departemen
Kehutanan).
Sejumlah masyarakat yang hidup di kawasan konservasi di atas, tunduk
kepada ketentuan Bab IX yang mengatur khusus tentang peran serta rakyat
dalam kegiatan konservasi, khususnya diatur dalam kegiatan-kegiatan yang
dicantumkan pada Pasal 37. Namun sayang, pengaturan ini dalam
implementasinya, tidak cukup memberikan perlindungan kepada hak-hak
masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi tersebut, apalagi
peraturan pemerintah sebagai turunan pasal ini tidak pernah dibuat sampai
hari ini.
Pada dasarnya, masyarakat tidaklah anti terhadap kegiatan konservasi. Di
tingkat mereka, terutama masyarakat adat, memiliki pengaturan-pengaturan
ruang kehidupan yang diantaranya juga diatur mengenai kawasan-kawasan
yang berfungsi konservasi yang dijaga secara adat. Model ini terutama hidup
dan berkembang pada masyarakat-masyarakat adat. Bahkan lebih jauh,
akibat penetapan-penetapan fungsi hutan, seringkali kawasan yang berfungsi
konservasi ini, berada pada kawasan produksi, bahkan kawasan produksi
konversi. Akibatnya mereka tidak dapat mempertahankan kawasan tersebut
dari konversi-konversi untuk kepentingan non konservasi.
Dalam konteks masyarakat yang hidup dalam kawasan konservasi, UU ini
tidak memberikan ruang yang cukup bagi mereka untuk meng-
implementasikan model konservasi yang sudah lama mereka kenal. Model
konservasi yang sah adalah semata model yang ditentukan oleh UU ini.
Dalam konteks wilayah konservasi masyarakat yang berada di luar kawasan
konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah, UU ini tidak memberikan
proteksi yang cukup agar kawasan tersebut dapat dijaga fungsi dan
kelestariannya.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam konteks konservasi,
selama ini didekati dengan pendekatan formal UU No. 41 Tahun 1999 (UU
tentang Kehutanan); karena UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur masalah
ini dengan jelas. Untuk memberikan landasan berpikir kepada pembentukan
UU konservasi baru yang lebih akomodatif terhadap masyarakat, khususnya
masyarakat adat.
Penjelasan mengenai istilah ‘masyarakat hukum adat’ pun tidak cukup
memadai. Dalam bagian Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 dikatakan bahwa
21

masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya


memenuhi unsur antara lain:
(1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeen-
schap).
(2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
(3) Ada wilayah hukum adat yang jelas.
(4) Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati.
(5) Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Ada beberapa persoalan timbul ketika mencermati kelima kriteria tersebut.


Pertama, mengenai bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap). Dalam
konteks ini yang menjadi penting untuk diperiksa adalah kriteria-kriteria yang
digunakan oleh masyarakat tersebut untuk mendefinisikan diri dan sejauh
mana syarat-syarat tersebut masih dipenuhi. Sementara di sisi lain perlu juga
memeriksa syarat-syarat pengakuan yang hendak didorong oleh Negara.
Hal ini penting bahkan sangat penting karena dari perspektif historis,
terminologi ‘masyarakat hukum adat’ adalah sebuah istilah yang diciptakan
oleh para ahli hukum kolonial untuk memberi identitas sekaligus ruang politik
bagi kelompok-kelompok masyarakat pribumi yang memiliki sistem sosial
politik dan tradisi hukum yang berbeda sekaligus untuk membedakannya
dengan kelompok yang menggunakan sistem dan tradisi hukum Eropa dan
Timur lainnya (Rikardo Simarmata dalam makalah berjudul “Menyongsong
Berakhirnya Abad Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarat”).
Pemeriksaan kriteria-kriteria yang digunakan oleh masyarakat maupun syarat
pengakuan yang didorong oleh Negara menjadi penting karena dua alasan.
Pertama, situasi sosial politik sekarang sudah berubah dengan masa
kolonial, dan kedua masyarakat berkembang menurut dinamika tantangan
internal dan eksternal yang dihadapinya. Dengan dua alasan ini dapat
dibayangkan bahwa sistem sosial politik dan tradisi hukum dalam sebuah
masyarakat juga mengalami perkembangan. Hal itu akan tercermin dalam
bagaimana mereka mengidentifikasi diri dan menempatkan diri dalam
perhadapan dengan Negara.

Kedua, syarat adanya hukum adat, peradilan adat yang masih ditaati dan
kelembagaan adat yang berkaitan dengan itu. Logika yang digunakan dalam
Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 adalah masyarakat tidak pernah diberi
otonomi untuk mengurus dirinya sendiri, dan sementara itu masyarakat
diminta untuk membuktikan keberadaan dirinya dengan menunjukkan bahwa
mereka otonomi, baik dalam sistem hukum, pengurusan, kelembagaan, dan
sistem sosial budayanya. Tidak diakuinya otonomi komunitas masyarakat
hukum adat juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa UU No. 41 Tahun 1999
tidak memberi ruang bagi prinsip yang disebut dengan self-identification.
Pengakuan yang diberikan oleh Negara atas keberadaan sebuah komuntias
masyarakat hukum adat ditentukan oleh prosedur dan substansi yang diatur
oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah-lah yang mempunyai otoritas
22

membentuk tim identifikasi dan memberikan pengukuhan. Sekali lagi hal ini
membuktikan tidak konsistennya penyelenggaraan sistem hukum di
Indonesia.

Ketiga, meskipun UU No. 41 Tahun 1999 tidak secara eksplisit menyebutkan


kelima kriteria tersebut kumulatif atau tidak, namun berdasarkan interpretasi
atas penggunaan kata ‘dan’ maka disimpulkan bahwa kelima kriteria tersebut
bersifat kumulatif. Artinya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan
sehingga jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka tidak akan mendapatkan
pengakuan. Dengan demikian, pertanyaan utama untuk kriteria keberadaan
masyarakat adat adalah apakah cukup kriteria tersebut ada secara
konseptual ataukah ia juga harus sudah efektif dalam pelaksanaannya.
Kelemahan kriteria dalam penjelasan tentang masyarakat hukum adat
adalah: kesimpulan tentang ada atau tidaknya masyarakat (hukum) adat
dikonsepsikan untuk ditarik dari sejumlah kesimpulan (yaitu kriteria-kriteria
dalam Penjelasan Pasal 67) yang belum dibuktikan kebenarannya.
Pengaturan mengenai hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan oleh
masyarakat adat dalam UU No. 41 Tahun 1999 dilatari oleh pernyataan
bahwa pelaksanaan hak menguasai negara (HMN) tidak akan meniadakan
hak-hak masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
Karena itu penitikberatan dilakukan dengan urut-urutan sebagai berikut: [1]
pengaturan mengenai syarat dan prosedur pengukuhan keberadaan
masyarakat hukum adat; [2] hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat yang
telah ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat. Dengan hanya mencakup
kedua hal di atas, UU No. 41 Tahun 1999 memilih untuk melupakan cakupan
atau materi lain yang terbilang amat penting. Materi yang dilupakan tersebut
adalah syarat dan prosedur pemberian hak atau izin kepada masyarakat
hukum adat. Apakah masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat dan
mengikuti prosedur yang sama dengan subyek hukum yang lain dalam
mendapatkan hak atau izin. Pada tingkatan empirik, ketentuan yang
mengharuskan masyarakat setempat untuk terlebih dahulu mendapatkan izin
pemanfaatan hutan dari pejabat apabila hendak melakukan kegiatan
pemanfaatan hutan, telah mendatangkan hambatan.

Perhatian terhadap peran masyarakat seharusnya semakin meningkat


terutama setelah Kongres Konservasi Dunia pada sidangnya yang ke-4 di
Barcelona, Spanyol, 5-14 Oktober 2008. Kongres telah menghimbau anggota
IUCN (Indonesia), agar:
(1) Mengakui sepenuhnya wilayah konservasi masyarakat adat berupa
lanskap/lanskap laut dan tempat-tempat suci, yang pengelolaannya
diatur dan dikelola oleh masyarakat adat.
(2) Mereformasi perundang-undangan nasional, kebijakan dan praktek
sehingga relevan dengan: Durban Accord, CBD Program Kerja pada
kawasan lindung, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat
Adat.
23

(3) Memastikan bahwa kawasan lindung yang mempengaruhi atau dapat


mempengaruhi tanah masyarakat adat, wilayah, sumber daya alam dan
budaya, tidak diubah secara bebas, tanpa persetujuan masyarakat adat
sebelumnya. Masyarakat berhak mendapatkan informasi untuk
memastikan pengakuan terhadap hak-haknya, dalam hal ini termasuk
hak-hak kepemilikan sumber daya akses.
(4) Mendorong instansi pemerintah terkait, pelaku swasta, bisnis dan aktor-
aktor masyarakat sipil untuk memantau dampak kegiatan konservasi
terhadap hak asasi manusia sebagai bagian dari pendekatan berbasis
hak;
(5) Mendorong dan membentuk mekanisme untuk memastikan bahwa
sektor swasta sepenuhnya menghormati semua hak asasi manusia,
termasuk hak-hak masyarakat adat, dan mengambil tanggung jawab
karena untuk kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka
menimbulkan dalam kegiatan mereka, dan
(6) Meningkatkan pemahaman tentang tanggung jawab dan sinergi antara
hak asasi manusia dan konservasi;

Memperhatikan hal di atas ada indikasi keberpihakan kepada masyarakat


lokal maupun masyarakat adat dalam memenuhi kesejahteraannya masih
sangat terbatas, hal ini apabila tidak dilakukan perubahan dikhawatirkan
konflik pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat/lokal akan terus
terjadi sehingga kegiatan konservasi tidak dapat mencapai tujuan seperti
yang diharapkan.
Pengelolaan KSDAHE ke depan harus mampu melindungi dan mengakui
hak-hak masyarakat adat/lokal yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan
konservasi, mampu menumbuh kembangkan partisipasi dalam pengelolaan
konservasi, serta menjamin distribusi manfaat secara adil.

2. Lemahnya pengaturan mengenai penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukum ada kaitannya dengan lemahnya penyidikan dan


penyelidikan, hal ini berkaitan dengan kewenangan PPNS serta wilayah kerjanya
serta lemahnya pengaturan tentang sanksi.

a. Penyelidikan dan penyidikan


Penyelidikan dan penyidikan adalah tugas dan kewenangan pejabat tertentu
di bidang kehutanan, hal ini sejalan dengan:
(1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I,
mengatur bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian
Negara R.I yang dibantu oleh: kepolisian khusus (yang dimaksud
dengan ”kepolisian khusus” ialah instansi atau badan pemerintah yang
oleh kuasa undang-undang/peraturan perundang-udangan diberi
wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya
24

masing-masing) serta penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan/atau


serta bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud di atas dapat
dipahami sebagai melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang mejadi dasar hukumnya masing-
masing, untuk melakukan penyelidikan secara langsung maupun
tidak langsung terhadap ancaman: kehidupan masyarakat/
keselamatan umum, kelangkaan jenis manfaat jenis bagi kehidupan
manusia, kerentanan terhadap perubahan ekosistem dan sebab-
sebab lain yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Dengan pemahaman di atas, jelas UU No.
2 Tahun 2002 memungkinkan adanya aparatur yang diberi wewenang
untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang konservasi, yaitu
wewenang penyelidikan kepada Polisi Khusus Kehutanan.

(2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 6 (1) b.,
mengatur pegawai negeri sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Dalam prakteknya pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana kehutanan, termasuk keanekaragaman hayati
(kehati), tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena adanya
perintah UU yakni penjelasan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang mensyaratkan berkoordinasi dengan penyidik POLRI.
Hal ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Kehakiman R.I No.
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
BAB I. Huruf A. Angka 4.d. POLRI sebagai penyidik utama wajib
mengkoordinasikan penyidik pegawai negeri sipil dengan memberikan
pengawasan, petunjuk dan bantuan. Koordinasi di sini dalam praktek
lapangan dipahami sebagai bentuk hubungan atasan-bawahan,
dimana PPNS/Polhut harus melaporkan setiap kasus yang akan
ditangani kepada penyidik utama (POLRI).
Karena sifatnya yang spesifik, sering kali koordinasi dalam rangka
mambangun kesepahaman antara PPNS dan POLRI memakan waktu
yang cukup lama. PPNS harus menjelaskan hal-hal yang bersifat
teknis di bidang konservasi jenis dan ekosistem dengan aparatur
kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain barang bukti peristiwa pidana
biasanya mudah rusak/mati, dan memerlukan biaya perawatan yang
cukup besar apabila tidak segera dikembalikan ke alam atau dititipkan
di lembaga konservasi. Disamping itu tindak pidana konservasi
merupakan kejahatan yang bersifat transnasinal, maka dimungkinkan
wilayah hukum penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi tidak
terbatas hanya dalam satu wilayah propinsi. Situasi ini menyebabkan
proses penegakan hukum belum berjalan sebagaimana diharapkan.
25

Kondisi di atas lebih diperburuk lagi oleh adanya kenyataan UU No. 5


Tahun 1990 tidak mengatur secara kongkrit mengenai peran/tupoksi
polisi khusus/PPNS dalam penegakan hukum kehati; hal ini sering
menimbulkan kendala kewenangan di lapangan.

b. Sanksi
Sanksi pidana bagi setiap tindakan melawan hukum, sesuai dengan Buku
Kesatu KUHP, Pasal 10, ada 7 (tujuh) jenis hukuman/sanksi; 4(empat) jenis
hukuman utama dan 3 (tiga) jenis hukuman tambahan, yakni: hukuman mati;
hukuman penjara; hukuman kurungan; hukuman denda; pencabutan hak
tertentu; serta perampasan barang yang tertentu. Dengan demikian agar
diperoleh efek jera disamping sanksi hukuman harus mempertimbangkan
dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Terhadap kejahatan
konservasi dikenakan juga pidana denda, sebagai bagian dari tanggung
jawab terhadap lingkungan (konservasi jenis dan kawasan), serta sanksi
pembiaran (guilt of omission).
Sanksi bagi tindak pidana konservasi seyogyanya minimal lima tahun, karena
tindak pidana tersebut dapat membahayakan keamanan umum. Kondisi ini
sejalan dengan UU PPLH yang telah mengatur adanya ancaman pidana
minimum, serta Buku Kedua KUHP, Pasal 187-208, menyatakan antara lain,
bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan
atau banjir, yang menimbulkan bahaya umum bagi barang atau nyawa orang
lain, ancaman hukuman paling rendah 5 (lima) tahun atau seumur hidup”.
Tindak pidana konservasi biasanya sangat kompleks karena disamping
dampaknya luas, juga karena konservasi pada kenyataannya meliputi pula
kegiatan pemanfaatan lestari yang dilakukan oleh pihak ketiga; oleh karena
itu perlu ada pemisahan saksi secara jelas yaitu kelompok tindak pidana
pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Disamping itu perlu juga diatur
pengenaan sanksi administrasi. Sanksi administrasi dimaksudkan untuk
menegakan hak dan kewajiban bagi para pihak yang diberi izin oleh
pemerintah untuk terlibat dalam pelaksanaan perizinan di bidang konservasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menggolongkan tindak pidana
ada dua, yaitu tindak pidana yang masuk dalam golongan kejahatan atau
“misdrijven” (Buku II) serta tindak pidana yang masuk dalam golongan
pelanggaran atau “overtredingen” (buku III). Wirjino Projodikoro (19…),
dalam Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (halaman 35), menyatakan
bahwa sesuai dengan kenyataan bahwa terdapat beberapa perbedaan
prinsip yang termuat dalam KUHP yang hanya berlaku bagi pelanggaran atau
berlaku secara berlainan, misal: (1) Perbuatan percobaan (poging) dan
pembantuan (medelplictheid) untuk pelanggaran pada umumnya tidak
merupakan tindak pidana; (2) Tenggang waktu daluwarsa untuk kejahatan
lebih panjang dari pada pelanggaran; (3) Kemungkinan keharusan adanya
pengaduan untuk penuntutan dimuka hakim, hanya ada pada kejahatan,
sedang terhadap pelanggaran tidak ada.
26

Sistem perundang-undangan yang akan dibangun seharusnya akan


memperkuat penyidikan dan penyelidikan, dengan meningkatkan
kewenangan PPNS termasuk wilayah kerjanya serta lebih merinci norma
larangan dan mengefektifkan ancaman sanksi pidana.

c. Pengaturan tentang penanganan barang bukti hasil sitaan dan rampasan


Barang bukti dalam tindak kejahatan ini biasanya terdiri dari benda mati/tidak
bergerak dan benda hidup. Selama ini khususnya dalam hal barang bukti
spesies satwa yang masih hidup, aparat penegak hukum kesulitan
penanganan karena keterbatasan tempat. Hal ini mengakibatkan seringkali
satwa sakit atau bahkan mati sebelum kasusnya selesai diputus lembaga
peradilan. Barang bukti hasil rampasan/sitaan sering menjadi sumber
perdagangan ilegal. Pengaturan tentang barang bukti hasil rampasan, sitaan
dan temuan masih bersifat umum dan tidak spesifik sesuai dengan tahapan-
tahapan yang berbeda. Pemusnahan barang bukti yang membahayakan
kesehatan masyarakat, tumbuhan dan satwa belum dilakukan pengaturan.

3. Kelemahan dalam penetapan kawasan konservasi.


IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai: “Suatu ruang yang dibatasi
secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek
hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam
jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya
yang terkait.”

IUCN membedakan aneka macam kawasan konservasi ke dalam enam kategori,


yakni:
• Kategori Ia - Strict Nature Reserve
Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki
keistimewaan atau merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau
fisiologis, dan/atau spesies tertentu, yang penting bagi ilmu pengetahuan
atau pemantauan lingkungan.
• Kategori Ib - Wilderness Area
Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang
masih memiliki atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya,
tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan dilindungi dan dikelola
untuk mempertahankan kondisi alaminya.
• Kategori II - National Park
Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i)
melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di
dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii)
menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi
yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii)
menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah,
pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus selaras secara
lingkungan dan budaya.
27

• Kategori III - Natural Monument


Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam
atau budaya yang merupakan nilai yang unik atau luar biasa yang
disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan, atau kualitas estetika atau
nilai penting budaya yang dipunyainya.
• Kategori IV - Habitat/Species Management Area
Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk
memelihara fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies
tertentu.
• Kategori V - Protected Landscape/Seascape
Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana
interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun
telah membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-
nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-
balik yang tradisional ini bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan
evolusi wilayah termaksud.
• Kategori VI - Protected area with sustainable use of natural resources
Kategori VI melestarikan kawasan lindung ekosistem dan habitat, bersama
dengan nilai-nilai budaya terkait dan sistem pengelolaan sumberdaya alam
tradisional. Kawasan ini umumnya besar, dengan sebagian besar daerah
tersebut dalam kondisi alami, di mana proporsi yang berada di bawah
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan industri yang rendah
dalam menggunakan sumberdaya alam, kegiatan produksi yang sejalan
dengan konservasi alam dipandang sebagai salah satu tujuan utama dari
kawasan ini.

Kategori pengelolaan kawasan konservasi ke depan selain disesuaikan dengan


kategorisasi oleh IUCN (6 kategori) di atas, sebaiknya juga mengakomodir
kategori berdasar tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola yang
disepakati dalam pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona yaitu:
a. Governance by government (kawasan konservasi sepenuhnya dikelola
oleh pemerintah).
b. Shared governance (kawasan konservasi yang dikelola secara bersama-
sama oleh pemerintah dan kelompok non pemerintah).
c. Private governance (kawasan konservasi yang dikelola individu,
perusahaan, organisasi non pemerintah/lsm).
d. Governance by indigenous peoples and local communities (pengelolaan
oleh masyarakat lokal/masyarakat asli setempat), termasuk dalam
kelompok ini adalah Community Conserved Areas (CCAs)

Penyesuaian Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dengan kategorisasi dan tata


kelola di atas diharapkan mampu menghilangkan kelemahan perundangan di
bidang konservasi yang berkaitan dengan: (a) Kategorisasi kawasan konservasi,
(b) Kriteria dan mekanisme penetapan kawasan konservasi, (c) Pengaturan
ekosistem esensial termasuk lahan basah, HCVF di luar hutan konservasi, (d)
28

Kerja sama internasional dalam konservasi, dan (e) Efektivitas pengelolaan


kawasan dan pengelolaan kolaboratif.
Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dengan kawasan
penyangga yang berada diluarnya. Kawasan penyangga dapat berupa kawasan
hutan maupun kawasan non hutan. Kawasan penyangga selama ini tidak
mendaptatkan pengaturan secara komprehensif, dari sisi hak dan kewajiban
penanggung jawab kawasan dan system pengelolaan terintegrasi dengan
pengelolaan kawasan konservasi.

4. Kelemahan pengaturan lainnya


Selain ketiga hal yang sudah disampaikan di atas, isu penting lain yang juga
merupakan kelemahan dalam pelaksanaan konservasi selama ini yang perlu
mendapatkan perhatian dalam penyusunan undang-undang KSDAHE ke depan,
meliputi:
a. Pengaturan spesies migrasi yang belum dilindungi.
b. Spesimen dilindungi yang pada saat didapatkan/dimiliki belum dilindungi.
c. Pemanfaatan spesimen jenis seperti pertukaran, peragaan, perdagangan.
d. Pengaturan medis konservasi.
e. Pengaturan tentang konservasi sumberdaya genetik (termasuk akses dan
pembagian keuntungan yang adil).
f. Pengaturan pendanaan konservasi/pendapatan negara.
g. Pengaturan dan pembagian peran Pemerintah serta Pemerintah Daerah.
h. Kerjasama pengelolaan serta penggunaan kawasan konservasi untuk
pembangunan sarana strategis.
i. Pengelolaan kawasan konservasi oleh pihak ketiga.
j. Pengaturan pemulihan dan perubahan fungsi kawasan.
29

BAB IV
MATERI MUATAN

I. KETENTUAN UMUM

A. Ruang Lingkup

Ruang lingkup perubahan undang-undang ini meliputi:


1. Konservasi keanekaragaman hayati, dalam hal sumberdaya alam
genetik, jenis dan ekosistem termasuk jasa ekosistem.
2. Ruang lingkup konservasi yang dikecualikan dari ruang lingkup butir
satu di atas adalah:
a. Konservasi energi
b. Konservasi sumberdaya alam non hayati
c. Konservasi tanah dan air
d. Konservasi cagar budaya(situs-situs purbakala)

3. Konservasi keanekaragaman hayati mencakup yurisdiksi NKRI baik


berupa daratan dan perairan, termasuk di dalamnya ZEE dan Landas
Kontinental.
4. Perlindungan terhadap spesies dan genetik yang diatur oleh konvensi
internasional, berasal dari luar negeri dan berada di dalam wilayah
yurisdiksi NKRI.

B. Asas

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan


kelestarian, keseimbangan, keserasian, kemanfaatan yang berkelanjutan,
keterpaduan, tranparansi dan akuntabilitas.
1. Asas lestari merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada
masa mendatang.
2. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan
negara.
3. Asas manfaat berkelanjutan adalah dimaksudkan agar
penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dapat
memberikan manfaat bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan
rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan
bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan
kelestarian sumberdaya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya tidak
30

melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi


substitusi sumberdaya nonhayati.
4. Asas keterpaduan adalah mengintegrasikan kebijakan dengan
perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan
secara vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan
mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan
masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
membantu proses pengambilan putusan dalam konservasi sumberdaya
alam hayati.
5. Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dari tahap perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara. Dengan demikian masyarakat di sekitar dan di dalam
kawasan hutan mempunyai kesempatan untuk berperan serta, baik
dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan
penegakan hukum.
6. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan kawasan
konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggungjawabkan.
7. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan
budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
8. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang- undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

C. Prinsip

Konservasi keanekaragaman hayati diselenggarakan dengan prinsip:


1. Keterpaduan, sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dengan tujuan
terjaminnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat.
2. Penguatan fungsi sosial, lingkungan dan ekonomi, yang diwujudkan
dan diselenggarakan oleh pemerintah sesuai dengan daya dukungnya.
3. Memperhatikan serta mengakui hak masyarakat hukum adat, hak
masyarakat lokal atas sumberdaya alam yang ada dan diatur sampai
batas tidak membahayakan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri
sejalan dengan prinsip free and prior informed consent (FPIC).
31

4. Pelaksanaannya oleh pemerintah bersama masyarakat, melalui


kegiatan:
a. Perlindungan kehati, meliputi usaha-usaha perlindungan terhadap
genetik, spesies dan ekosistem melalui penetapan status
perlindungan.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Pengawetan merupakan usaha dan tindakan
konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi
penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan
agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar
senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia.
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Kegiatan ini pada hakikatnya merupakan usaha
pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat
dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

II. PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Perlindungan keanekaragaman hayati dilaksanakan oleh pemerintah, dan/atau


masyarakat; dilaksanakan melalui penetapan kawasan konservasi, penetapan
status perlindungan spesis dan genetik.

Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi:


1. Perlindungan genetik.
2. Perlindungan spesies.
3. Perlindungan ekosistem.

A. Perlindungan Genetik
Penetapan jenis target bagi perlindungan genetik ditetapkan oleh pemerintah
cq menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas
keilmuan”. Ruang lingkup perlindungan sumberdaya genetik: Sumberdaya
genetik hutan dan yang beasal dari spesies-spesies liar, termasuk jasad renik
(micro organism).

a. Kategorisasi jenis target:


(1) Jenis yang terancam punah sehingga unsur-unsur genetiknya perlu
dilindungi untuk kepentingan pemulihan populasi spesies itu sendiri
maupun untuk kepentingan lainnya, seperti budidaya;
(2) Jenis yang secara langsung mempunyai nilai komersial sehingga
keragaman genetiknya perlu dijaga agar tidak mengalami
penurunan karena masalah-masalah seperti kepunahan lokal;
32

(3) Jenis untuk mendukung budidaya pertanian (peternakan, tanaman


pangan dan hortikultura) harus dilakukan perlindungan genetik
untuk menjaga keanekaragamannya sehingga peluang-peluang
untuk menciptakan varitas unggul tetap tinggi.

b. Kriteria jenis target:


(1) Terancam punah
a. Jenis yang populasi di alamnya telah terancam punah dan
dilindungi mutlak (KATEGORI I).
b. Jenis-jenis yang endemik.
(2) Mempunyai nilai komersial
a. Jenis yang secara langsung dieksploitasi dan/atau jenis yang
unsur-unsur genetiknya dimanfaatkan secara tradisional
(asosiated traditional knowledge).
b. Jenis yang unsur-unsur genetiknya merupakan public domain
(publicly accessible).
(3) Mendukung budidaya
a. Jenis yang saat ini diketahui digunakan untuk meningkatkan
keunggulan mutu genetik tanaman pertanian pangan dan
hortikultura atau hewan domestik dan budidaya
b. Memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup manusia,
termasuk untuk pengembangan obat-obatan dan mendukung
ketahanan pangan (virus flu burung, human patogen, genetik
yang penting dibawah konvensi internasional)

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam PP.

d. Norma dan larangan:


(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
kerusakan dan/atau hilangnya sumber daya genetik. Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan kemerosotan,
kerusakan dan/atau hilangnya genetik yang hampir punah dan
endemik.
(2) Setiap orang dilarang mengambil sumberdaya genetik tanpa ijin,
dan melakukan akses terhadap sumberdaya genetik dengan tidak
memenuhi syarat-syarat PIC (prior informed consent) dan MAT
(mutual agreed terms).
(3) Setiap orang dilarang membawa sumberdaya genetik keluar negeri
tanpa adanya MTA (material transfer agreement).
(4) Setiap orang dilarang melepaskan varitas hasil rekayasa genetik ke
habitat alam.
(5) Setiap orang dilarang mengawin-silangkan satwa KATEGORI I
yang berlainan jenis (spesies) tanpa ijin Menteri.
33

B. Perlindungan Spesies
Penetapan kategori perlindungan spesies dilakukan oleh pemerintah cq
menteri teknis dengan memperhatikan rekomendasi dari lembaga “otoritas
keilmuan”.
a. Kategori perlindungan spesies:
(1) Kategori I yaitu spesies yang harus dilindungi mutlak.
(2) Kategori II meliputi spsesies yang dikontrol pemanfaatannya.
(3) Kategori III yang merupakan spesies yang pemanfaatannya wajib
dipantau.

b. Kriteria penetapan kategorisasi spesies:


(1) Dilindungi mutlak (CITES Appendix I, dan IUCN Endangered dan
Critically Endangered):
a. Spesies yang punah dialam liar (masih ada di lingkungan ex
situ).
b. Spesies yang terancam punah di wilayah RI.
c. Spesies yang endemik.
(2) Dikontrol (CITES Appendix II, III, IUCN Vulnerable atau IUCN
Endangered):
a. Spesies rentan (yang dimanfaatkan melalui perdagangan atau
dimanfaatkan secara tradisional, atau akibat bencana alam).
b. Spesies yang saat ini belum terancam punah di wilayah RI
tetapi akan dapat menjadi terancam punah bila tidak dilakukan
kontrol pemanfaatan atau perdagangannya.
c. Spesies kategori I hasil perkembangbiakan satwa atau hasil
perbanyakan buatan tumbuhan untuk tujuan komersial.
d. Spesies yang di negara lain dilindungi (e.g. CITES Appendix
III).
(3) Wajib dipantau
Spesies yang populasinya masih melimpah tetapi merupakan
public domain (publicly accesible) dan dimanfaatkan atau
diperdagangkan.

c. Tata cara penetapan: diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

d. Norma dan larangan:


(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
kemerosotan, kerusakan dan/atau hilangnya sumberdaya spesies.
(2) Terhadap tumbuhan yang dilindungi mutlak (KATEGORI I:
spesimen hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya),
setiap orang dilarang untuk:
a. Mengambil, menebang, memindahkan, merusak, atau
memusnahkan tumbuhan yang berasal dari tanah negara.
b. Mengangkut atau membawa.
c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan.
34

d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau


menerima tukaran, atau menerima titipan.
e. Mengeluarkan spesimen tumbuhan ke luar negeri (ekspor)
dan/atau memasukkan spesimen tumbuhan dari luar negeri
(impor) ke wilayah Republik Indonesia.
(3) Terhadap satwa yang dilindungi mutlak (KATEGORI I: spesimen
hidup maupun mati, bagian-bagiannya atau turunannya), setiap
orang dilarang untuk:
a. Mengambil, menangkap, melukai, membunuh, memiliki,
menguasai, memelihara, memasang jerat, memburu, atau
memusnahkan satwa.
b. Mengangkut, membawa, atau memindahkan.
c. Menjual, membeli, atau memperdagangkan.
d. Menghadiahkan atau menerima hadiah, menukar atau
menerima tukaran, atau menerima titipan.
e. Mengeluarkan spesimen satwa ke luar negeri (ekspor)
dan/atau memasukkan spesimen satwa dari luar negeri (impor)
ke wilayah Republik Indonesia.
f. Melakukan tindakan yang dapat merusak sebagian atau
seluruh habitat termasuk mengganggu pola makan, pola
berkembang biak, serta pola jelajah.

(4) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas


(KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara ketat
setiap orang dilarang melakukan aktivitas sebagaimana butir (2)
tanpa izin terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi
terbatas (KATEGORI II) yang pemanfaatannya dikendalikan secara
ketat. Setiap orang tanpa izin dilarang untuk:
a. Mengambil, menebang, memiliki, menguasai, menerima titipan,
memusnahkan, memelihara, mengangkut, menjual atau
membeli, memperdagangkan, menghadiahkan atau menerima
hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen
hidup tumbuhan.
b. Menangkap, mengambil, melukai, membunuh, memiliki,
menguasai, memelihara, mengangkut, menjual, membeli,
memperdagangkan, menghadiahkan, menerima hadiah,
dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen hidup
satwa liar.
c. Mengeluarkan dari wilayah Indonesia ke luar negeri (ekspor)
atau memasukkan dari luar negeri ke wilayah Indonesia (impor)
spesimen tumbuhan dan/atau satwa liar.
d. Menyimpan, memiliki, menguasai, mengangkut, menjual,
membeli, memperdagangkan, menghadiahkan, menerima
hadiah, dan/atau menukar atau menerima tukaran spesimen
mati tumbuhan dan/atau satwa liar.
35

(5) Terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terbatas yang
pemanfaatannya dipantau (KATEGORI III), setiap orang tanpa izin
dilarang untuk memperdagangkan atau mengeluarkan spesimen
tumbuhan dan/atau satwa liar ke luar negeri (ekspor) dan
memasukkan ke dalam wilayah Indonesia (impor).
(6) Terhadap spesimen tumbuhan dan satwa liar yang telah dan
sedang dimanfaatkan sebelum ditetapkannya spesies itu didalam
status perlindungan perlu diatur mekanismenya dalam aturan
peralihan (spesimen pra perlindungan).

Pengecualian dari larangan KATEGORI I tersebut di atas hanya dapat


dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatan
jenis populasi atau individu suatu jenis tumbuhan dan satwa liar,
peminjaman dalam rangka penyelamatan atau pemulihan populasi satwa
liar di dalam atau ke luar negeri, pemusnahan untuk menghindari bahaya
yang lebih besar terhadap lingkungan maupun manusia, dan/atau
pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri yang aslinya
berasal dari Indonesia untuk kepentingan reintroduksi.
Pengecualian dari larangan menangkap, melukai dan membunuh satwa
liar KATEGORI I dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu
sebab satwa liar KATEGORI I tersebut membahayakan kehidupan
manusia dan kehidupan populasi satwa liar, atau bagi satwa liar yang
dikelola sebagai satwa buru untuk kepentingan olahraga berburu.
Pengecualian dari larangan spesies KATEGORI I di atas dapat dilakukan
bagi spesimen yang telah dibuktikan merupakan hasil
pengembangbiakan satwa liar dan/atau spesimen hasil perbanyakan
tumbuhan di dalam kondisi atau lingkungan yang terkontrol, yang dalam
hal ini secara otomatis masuk ke dalam spesimen dari spesies
KATEGORI II.
Kekecualian sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi beberapa
jenis yang prestisius untuk dikomersialkan keluar negeri kecuali hanya
dengan peminjaman atau dengan izin presiden.
Pengecualian dari larangan memiliki, memelihara dan menguasai dapat
dilakukan bagi spesimen yang dapat dibuktikan diperoleh secara sah
sebelum jenis bersangkutan dinyatakan sebagai jenis KATEGORI I (yang
dilindungi mutlak).

C. Perlindungan Ekosistem
Perlindungan ekosistem dilakukan melalui penetapan keterwakilan-
keterwakilan ekosistem di dalam jaringan kawasan konservasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah cq. Menteri teknis dengan memperhatikan
rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan usulan masyarakat atau lembaga
ilmiah, termasuk perguruan tinggi melalui proses konsultasi publik.
Masyarakat dapat mengusulkan suatu wilayah tertentu untuk ditetapkan
sebagai ekosistem yang dilindungi.
36

Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberikan pengakuan terhadap


sistem perlindungan ekosistem yang dilakukan oleh masyarakat adat.
a. Kategori kawasan perlindungan ekosistem:
(1) Kawasan konservasi meliputi kawasan konservasi yang dilindungi
secara maksimal. Kawasan ini meliputi dan sesuai dengan kriteria
penetapan KPA dan KSA yang saat ini ada, yaitu kawasan
konservasi dengan kategori I, II, III dan IV IUCN.
(2) Kawasan ekosistem esensial. Kawasan ini meliputi ekosistem-
ekosistem yang mempunyai nilai konservasi tinggi, namun masih
belum “clear and clean” sehingga belum dapat ditetapkan menjadi
kawasan konservasi. Kawasan ini diantaranya adalah: koridor
satwa, buffer zones, Kawasan dengan nilai konservasi tinggi
(HCVA), ekosistem gambut, sebagian lahan basah, karst, dll.
(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/ daerah. Kawasan ini
meliputi hutan lindung, hutan produksi yang dikelola untuk
kepentingan konservasi (e.g. restorasi ekosistem hutan produksi),
sempadan sungai/laut, mata air, danau, dll.
(4) Kawasan perlindungan ekosistem oleh masyarakat (community
conserved areas/ CCA).
b. Kategorisasi kawasan konservasi dan kriterianya:
(1) Kawasan konservasi dengan kategori I (Suaka Alam), kategori II
(Taman Nasional), kategori III (Suaka Margasatwa dan Taman
Buru), kategori IV (Taman Wisata Alam/bentang alam yang
dilindungi); sesuai kriteria I-IV IUCN.
(2) Kawasan ekosistem esensial yaitu kawasan-kawasan dengan nilai
konservasi keanekaragaman hayati yang tinggi namun masih ada
kegiatan produksi secara terbatas, terutama oleh masyarakat lokal;
kawasan konservasi dengan kategori V dan VI IUCN.
(3) Kawasan yang dilindungi secara nasional/daerah (sesuai kriteria
penetapan hutan lindung, hutan produksi yang berfungsi juga untuk
konservasi seperti restorasi hutan produksi dan kawasan lindung
lainnya).
(4) Kawasan perlindungan oleh masyarakat (wilayah kelola konservasi
masyarakat adat/lokal).

c. Tata cara penetapan:


Kategorisasi kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem
dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Perubahan dari satu
kategori ke kategori lainnya dapat dilakukan apabila kriteria tujuan
pengelolaannya sudah tidak dapat dipenuhi (downgraded) atau apabila
persyaratannya dipenuhi (upgraded). Tata cara penetapan
perlindungan ekosistem diatur lebih lanjut dalam PP.
37

d. Norma dan larangan:


(1) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I (Cagar Alam) dan
KATEGORI III (Suaka Margasatwa dan Taman Buru), setiap orang
dilarang:
a. Mengambil atau memindahkan benda apapun baik hidup
maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan.
b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu
satwa liar dengan cara dan alat apapun, dan/atau merusak
sarang-sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke
luar kawasan.
c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak
membawanya ke luar kawasan.
d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang
bukan merupakan jenis yang secara alami hidup atau pernah
hidup di dalam kawasan.
e. Mengubah bentang alam, bentuk lahan atau kontur lahan yang
dapat berakibat kerusakan dan/atau hilangnya fungsi
ekosistem.
f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan
yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.
g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau
perubahan pada unsur-unsur non-hayati.
h. Menduduki, mengerjakan, menguasai, menjual, atau membeli
lahan kawasan.
i. Memindahkan, merusak, atau menghilangkan tanda batas
kawasan.
(2) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI I dan KATEGORI III,
setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap
dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas, diantaranya:
a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah.
b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,
menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan
atau mengangkut tumbuhan, satwa liar dan/atau benda-benda
lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 tidak
termasuk:
a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan
penyelamatan populasi satwa liar di dalam suaka margasatwa.
b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan budidaya.
c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan
kawasan.
38

(4) Kekecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1


dan 2 dapat dilakukan bagi masyarakat hukum adat, masyarakat
lokal yang secara nyata kehidupannya bergantung hanya pada
sumberdaya alam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen
sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(6) Di dalam Kawasan Konservasi KATEGORI II (Taman Nasional) dan
Kategori IV (Taman Wisata Alam), setiap orang dilarang:
a. Mengambil dan/atau memindahkan benda apapun baik hidup
maupun mati yang secara alami berada di dalam kawasan.
b. Menangkap, membunuh, melukai, mencederai, menganggu
satwa liar dengan cara apapun, dan/atau merusak sarang-
sarang satwa liar, dengan atau tidak membawanya ke luar
kawasan.
c. Menebang pohon atau tumbuhan, dengan atau tidak
membawanya ke luar kawasan.
d. Memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang
bukan asli.
e. Mengubah kontur, bentang atau bentuk lahan.
f. Melakukan kegiatan baik di luar maupun di dalam kawasan
yang menimbulkan pencemaran di dalam kawasan.
g. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau
perubahan pada unsur-unsur non-hayati.
h. Menduduki, menguasai, atau merambah lahan kawasan.
i. Memotong, memindahkan, merusak, atau menghilangkan
tanda batas kawasan.
(7) Di dalam Kawasan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam,
setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat dianggap
dan/atau patut diduga sebagai tindakan permulaan melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam butir 6, diantaranya:
a. Memasuki kawasan tanpa izin yang sah.
b. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,
menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan,
dan/atau mengangkut tumbuhan, satwa liar, dan/atau benda-
benda lainnya dari dan/atau ke dalam kawasan.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 6 dan 7 tidak
termasuk:
a. Kegiatan pembinaan habitat, pembinaan populasi, dan
penyelamatan populasi di zona-zona selain zona inti Taman
Nasional.
b. Pengambilan spesimen untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan budidaya.
39

c. Kegiatan dalam rangka penyediaan sarana pengelolaan


kawasan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilan spesimen
sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf b diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

III. PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pengawetan keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui pengelolaan genetik,


jenis dan ekosistem sesuai dengan kategorisasi perlindungannya.

A. Pengawetan Genetik
Ruang lingkup pengawetan genetik adalah bagi jenis-jenis liar dengan
kategorisasi sesuai dengan jenis target. Pengawetan genetik dilaksanakan
melalui pengelolaan genetik bagi spesies-spesies target yaitu spesies
terancam punah, spesies yang bernilai komersial, dan spesies untuk
mendukung budidaya, sebagai berikut:
1. Bagi spesies-spesies target wajib dilakukan inventarisasi dan
pengembangan basis data genetiknya.
2. Pengelolaan genetik bagi spesies terancam punah dilaksanakan secara
insitu dan eksitu untuk tujuan mengembalikan keanekaragaman genetik
di tingkat spesies untuk kepentingan pemulihan populasi maupun untuk
pemanfaatan.
3. Pengelolaan genetik bagi spesies yang bernilai komersial dilakukan
secara insitu maupun eksitu untuk tujuan menjaga keanekaragaman dan
kemurnian genetik bagi spesies-spesies yang diperdagangkan.
4. Pengelolaan genetik bagi spesies untuk mendukung budidaya dilakukan
secara insitu maupun eksitu dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
genetik spesies-spesies budidaya dan menciptakan varitas atau baru
yang unggul dari segi budidaya.
5. Pengaturan dan kontrol bagi spesies-spesies yang mengalami perlakuan
rekayasa genetik atau pemuliaan agar tidak dikembalikan ke habitat
alam.
6. Pengaturan dibedakan antara pengembangbiakan atau perbanyakan
buatan dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik spesies liar
dengan kegiatan budidaya yang di dalamnya ada rekayasa genetik
karena untuk menciptakan varitas atau kultivar baru sehingga kemurnian
genetik bukan menjadi tujuan.

B. Pengawetan Spesies
Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan sesuai dengan
kategorisasi perlindungan spesies yaitu kategori I, kategori II dan kategori III.
40

Pengawetan spesies kategori I:


1. Spesies kategori I dilarang untuk ditangkap, diburu, dipelihara,
diperdagangkan. Kekecualian hanya dari hasil pengembangbiakan
dan/atau perbanyakan tumbuhan buatan.
2. Spesies kategori I dikelola secara insitu maupun eksitu. Pengelolaan
insitu ditujukan untuk memulihkan populasi spesies di habitat alamnya.
Pengelolaan eksitu ditujukan untuk mendukung pemulihan populasi insitu
di habitat alamnya.
3. Pelanggaran dan kejahatan terhadap ketentuan ini dihukum penjara dan
didenda.

Pengawetan spesies kategori II:


1. Spesies kategori II dikelola untuk mendukung pemanfaatan yang
berkelanjutan sehingga pemanfaatan spesies kategori II diatur melalui
pembatasan-pembatasan baik insitu maupun eksitu.
2. Pelanggaran dan kejahatan terhadap pengaturan pembatasan-
pembatasan tersebut dihukum penjara dan didenda.
3. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan untuk menetapkan tingkat
pemanfaatan yang tidak merusak populasi di alam.
4. Pengelolaan spesies kategori II dilakukan secara insitu untuk
meningkatkan populasi dan mengendalikan pemanfaatan langsung dari
habitat alam.
5. Pengelolaan spesies kategori II eksitu dilakukan untuk menurunkan
tekanan bagi populasi di alam akibat pemanfaatan.
6. Pelanggaran terhadap ketentuan spesies kategori II dihukum pidana dan
denda.

Pengawetan spesies kategori III:


1. Spesies kategori III dikelola dengan pemantauan populasi di habitat alam
dan pemantauan serta pengaturan terhadap pemanfaatannya.
2. Pelanggaran terhadap pengaturan pemanfaatan spesies kategori III
dihukum denda.

C. Pengawetan Ekosistem
1. Pengawetan ekosistem bertujuan untuk melindungi dan mengelola
keterwakilan ekosistem baik di darat maupun di perairan di dalam
jaringan kawasan-kawasan konservasi;
2. Pengawetan ekosistem dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan
setiap kategori kawasan konservasi secara efektif;
3. Keefektifan pengelolaan kawasan konservasi diukur melalui perubahan-
perubahan 6 unsur pengelolaan kawasan konservasi secara efektif
(pedoman IUCN), yaitu: Konteks (kondisi keanekaragaman hayati,
tekanan dan ancaman, sistem legislasi); Perencanaan (kondisi yang
diinginkan); Input (sumberdaya yang dialokasikan untuk mencapai tujuan
di dalam perencanaan); Proses (pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
41

rencana dan input yang ada); Output (hal-hal yang dicapai dalam
pelaksanaan); dan Outcome (dampak yang terjadi).
4. Pelanggaran dan kejahatan terhadap aturan-aturan yang ada (dalam
sistem legislasi) dihukum penjara dan didenda.

IV. PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak melebihi daya dukungnya.


Pemanfaatan dilakukan melalui perijinan dan pengembangan sistem kontrol
pemanfaatan kecuali untuk spesies yang masuk kategori dipantau. Ijin diterbitkan
oleh menteri teknis dan/atau pejabat kepala daerah; khusus untuk pemanfaatan
genetik dan spesies serta bagian-bagiannya diberikan dengan memperhatikan
rekomendasi “otoritas keilmuan”.
A. Pemanfaatan Genetik
Pemanfaatan sumberdaya genetik dilakukan dengan memperhatikan hak
kepemilikan atas sumberdaya genetik, akses terhadap sumberdaya genetik,
hak kepemilikan intelektual atas hasil rekayasa genetik, keamanan hayati
atas hasil rekayasa genetik, kaidah-kaidah etika dan agama dalam rekayasa
genetik.
Pemanfaatan sumberdaya genetik digunakan untuk tujuan penelitian dan
pengembangan, mendukung budidaya, koleksi tukar menukar, bioprospeksi,
pelestarian dan tujuan lain (pertanian, farmasi/obat-obatan).
Pemanfaatan sumberdaya genetik harus memperhatikan ijin akses dan
pembagian keuntungan yang adil (access to genetic resources and equitable
benefit sharing).
Pemanfaatan sumberdaya genetik sebagaimana yang dimaksud di atas
harus didahului dengan FPIC/PADIATAPA (free and prior informed
consent/persetujuan yang harus diinformasikan di awal) dan MAT (Mutual
Agreed Terms).
Pemanfaatan sumberdaya genetik yang menghasilkan produk yang
dipatenkan: penemuan-penemuan berbasis sumberdaya genetik dapat
diajukan untuk mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Pengajuan paten harus mengajukan asal usul sumberdaya genetik.
Tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya genetik diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundangan-undangan.

B. Pemanfaatan Spesies
Pemanfaatan sumberdaya spesies digunakan untuk tujuan pengkajian,
penelitian dan pengembangan, perdagangan, perburuan terkendali,
peragaan (lembaga konservasi), tukar-menukar, pemeliharaan untuk
kesenangan, budidaya dan keperluan tradisional.
Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori I ditujukan untuk
penelitian, peragaan, mendukung budidaya dan sumber benih serta untuk
42

kepentingan religi. Pemanfaatan dapat bersumber dari populasi yang berada


di habitat alam maupun dari hasil pengelolaan eksitu, seperti
pengembangbiakan (captive breeding) dan artificial propagation (tumbuhan).
Pemanfaatan spesimen untuk sumberdaya spesies kategori II dan kategori III
ditujukan untuk penelitian, pengembangan, pengkajian, peragaan,
mendukung budidaya, perburuan, tukar menukar, kesenangan, keperluan
tradisional.
Pemanfaatan untuk sumberdaya spesies kategori II dapat bersumber dari
pengelolaan eksitu, termasuk pembesaran, pengelolaan populasi di habitat
alam.
Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori III dapat bersumber dari alam
liar.
Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori I dilaksanakan melalui perijinan
oleh menteri teknis atas rekomendasi “otoritas keilmuan”.
Pemanfaatan spesimen dari spesies kategori II dan III dilaksanakan melalui
perijinan oleh menteri teknis.
Pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati dikenakan iuran dan pungutan.
Selain iuran dan pungutan, pemanfaatan atas sumberdaya alam hayati
tertentu dikenakan pungutan dari breeding loan (terutama untuk spesies
kategori I) dan dana konservasi.
Tata cara pengenaan pungutan dari breeding loan dan dana konservasi serta
tata cara permohonan ijin pemanfaatan sumberdaya spesies diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

C. Pemanfaatan Ekosistem
Pemanfaatan ekosistem digunakan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan
pengembangan, perburuan terkendali, pemanfaatan jasa wisata alam, air,
karbon, geothermal dan jasa lingkungan lainnya, penunjang budidaya,
budidaya tradisional, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat.
Penggunaan kawasan konservasi untuk kepentingan yang tidak sesuai
dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi seperti sarana
telekomunikasi komersial, jalur listrik tegangan tinggi, dll hanya dapat
dilakukan secara terbatas melalui keputusan menteri, setelah mendapatkan
rekomendasi dari otoritas ilmiah.
Tata cara permohonan ijin pemanfaatan ekosistem diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
43

V. PEMULIHAN EKOSISTEM DAN POPULASI SPESIES

Terhadap ekosistem yang mengalami degradasi maupun spesies yang terancam


bahaya kepunahan, maka perlu dilakukan pemulihan. Pemulihan dilakukan baik
melalui rehabilitasi maupun restorasi.

A. Rehabilitasi

B. Restorasi

1. Restorasi Spesies
Restorasi spesies ditujukan untuk memulihkan populasi (recovery)
spesies-spesies terancam punah agar kembali pada tingkat populasi
yang lestari dalam jangka panjang (viable), aman dari bahaya
kepunahan.

Restorasi spesies dilakukan melalui usaha-usaha seperti:


a. Reintroduksi spesimen dari spesies-spesies terancam punah baik
yang bersumber dari spesimen hasil tangkapan di alam (wild
caught) dan telah dipelihara manusia setelah melalui upaya
rehabilitasi, maupun dari hasil pengembangbiakan yang
dikembalikan ke habitat alam.
b. Penyelamatan populasi atau individu melalui relokasi individu
maupun populasi yang tidak viable, terisolasi untuk digabungkan
dengan populasi lain di habitat yang aman sehingga populasinya
dapat berkembang secara alami
c. Restorasi habitat dengan perbaikan sumber pakan dan tempat-
tempat kritis bagi perkembangbiakan, seperti: daerah sarang,
daerah perlindungan, daerah breeding dan daerah feeding.
Restorasi spesies dilaksanakan dengan:
a. Restorasi spesies dilaksanakan oleh Pemerintah dan dapat
bekerja sama dengan masyarakat.
b. Restorasi spesies dilaksanakan di habitat alaminya baik di dalam
kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi.
c. Restorasi spesies wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada
kaidah-kaidah ilmiah dan kesehatan hewan untuk menghindari
penurunan mutu dan keanekaragaman genetik serta penularan
penyakit dari hewan yang dikembalikan ke alam kepada hewan
penghuni.
d. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara
pelaksanaan restorasi spesies.

2. Restorasi Ekosistem
Restorasi ekosistem dilakukan guna memperbaiki kawasan
perlindungan ekosistem yang mengalami degradasi atau rusak untuk
dikembalikan seperti aslinya sehingga dapat dimanfaatkan kembali
sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.
44

Restorasi ekosistem dilakukan melalui:


a. Menjaga, memelihara, mengembangbiakan, pengkayaan spesies
yang secara alami telah atau pernah ada, baik tumbuhan maupun
hewan (termasuk hewan pakan bagi satwa predator), yang
bersumber dari alam maupun hasil pengembangbiakan eksitu.
b. Memanfaatkan secara lestari jasa ekosistem dan hasil lainnya
sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya.
c. Kawasan Cagar Alam (kawasan perlindungan ekosistem
KATEGORI I) yang mengalami degradasi luar biasa sehingga
tidak memenuhi syarat ditetapkan sebagai Cagar Alam tidak
dapat dilakukan kegiatan restorasi, tetapi dievaluasi dan
ditetapkan menjadi kawasan dengan kategori di luar kategori 1
sesuai dengan hasil penelitian oleh tim terpadu.
d. Pemerintah menetapkan pedoman restorasi ekosistem
berdasarkan kajian ilmiah, termasuk kriteria status degradasi luar
biasa pada kawasan perlindungan ekosistem KATEGORI I.

VI. KELEMBAGAAN

Konservasi keanekaragaman hayati menjadi tanggung jawab seluruh Warga


Negara Indonesia, dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.

A. Penyelenggaraan Urusan Konservasi


1. Penyelenggaraan konservasi kehati di kawasan hutan negara, baik
terestrial maupun perairan, dilaksanakan oleh Pemerintah.
2. Konservasi spesies dan genetik di luar kawasan hutan negara
diselenggarakan oleh Pemerintah bersama Pemerintah Daerah sesuai
dengan prinsip konkurensi.
3. Pemerintah atau Pemerintah Daerah, bersama para pihak dan
masyarakat setempat menetapkan zonasi, koridor spesies, dalam
penyelenggaraan konservasi ekosistem dan penyelenggaraan
pembinaan habitat/perlindungan spesies di luar kawasan konservasi.
4. Penyelenggaraan konservasi ekosistem di luar hutan negara, baik
terestrial maupun perairan, termasuk daerah penyangga kawasan
konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah propinsi dan/atau
kabupaten/kota.
5. Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat membentuk lembaga
khusus yang menyelenggarakan urusan konservasi kehati.
6. Konservasi kehati dalam wilayah hak milik dilakukan oleh pemegang
hak, dalam hal ini Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat memberikan
fasilitasi.
45

7. Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi kehati


kepada pemerintah propinsi, atau kepada pemerintah kabupaten/kota
atau pemerintah desa.
8. Pemerintah propinsi dapat melimpahkan penyelenggaraan konservasi
ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah kabupaten/kota atau
pemerintah desa.
9. Pemerintah kabupaten/kota dapat melimpahkan penyelenggaraan
konservasi ekosistem di luar hutan negara kepada pemerintah desa.
10. Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengakui keberadaan lembaga
yang menyelenggarakan pengelolaan kawasan konservasi masyarakat
(Community Conserved Areas/CCA)
11. Pemerintah mengatur tata cara pelimpahan dan pengakuan
penyelenggaraan konservasi.

B. Kerjasama Pengelolaan Konservasi.


1. Pemerintah melaksanakan kerjasama internasional sesuai dengan
prinsip politik bebas aktif dengan negara, orang/kelompok, organisasi
internasional, lembaga/organisasi non-pemerintah asing, perusahaan
asing, dalam rangka penyelenggaraan konservasi kehati.
2. Kerjasama internasional meliputi kerjasama teknik, maupun kerjasama
pengelolaan.
3. Pemerintah membentuk lembaga multipihak dalam rangka kerjasama
internasional.
4. Pemerintah/Pemerintah Daerah sebagai pengelola kawasan sesuai
dengan tujuan pengelolaan kawasani, dapat melakukan kerjasama
pengelolaan dengan:
a. Organisasi non pemerintah (internasional, lokal)
b. Masyarakat
c. Sektor swasta (BUMS, BUMN, BUMD)
d. Perorangan
5. Kerjasama pengelolaan dapat meliputi kerjasama pengelolaan seluruh
wilayah atau sebagian wilayah kawasan konservasi.
6. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan prinsip pembagian
kewenangan, peran, tanggung jawab dan manfaat/keuntungan.
7. Kerjasama pengelolaan dilaksanakan dengan tujuan peningkatan
kapasitas masyarakat dan/atau efektifitas pengelolaan kawasan.

C. Pemulihan Ekosistem
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan rehabilitasi
kawasan konservasi yang mengalami degradasi.
2. Pemerintah, Pemerintah Daerah serta BUMS/BUMN/BUMD melakukan
kegiatan restorasi ekosistem dan/atau spesies di dalam kawasan
konservasi maupun kawasan hutan.
46

3. Restorasi oleh pihak selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah


dilakukan melalui pemberian ijin.
4. Restorasi ekosistem wajib dilaksanakan berpedoman pada kaidah-
kaidah ilmiah guna menghindari penurunan mutu dan keanekaragaman
ekosistem.
5. Pemerintah dapat memberikan hak pengelolaan pada sebagian atau
satu kesatuan unit kawasan konservasi yang terdegradasi dan/atau
daerah terpencil/aksesibilitas rendah dimana kapasitas pemerintah
belum mampu menjangkaunya.
6. Pemerintah menetapkan peraturan perundangan tentang tata cara
pelaksanaan restorasi ekosistem.

D. Penegakan Hukum
1. Untuk melaksanakan/ keberhasilan penegakan hukum wilayah Negara
RI dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya, dengan mempehatikan luas wilayah, jumlah
penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi
Khusus/PPNS.
2. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun berjenjang dan
komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan dalam
rangka pengamanan kekayaan negara.
3. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik, ditentukan secara fleksibel,
karena kejahatan kehutanan sangat dinamis dan terkadang melibatkan
jaringan internasional.
4. Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia.
5. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana merupakan
kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum
penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah
kepabeanan.
6. Guna menyelesaikan konflik akibat “keterlanjuran pemanfaatan ruang
untuk kepentingan non konservasi” dimana pemanfaatan tersebut telah
ada sebelum kawasan konservasi ditetapkan, maka pemerintah
membentuk lembaga khusus penanganan konflik. Lembaga adhoc
khusus dapat terdiri dari unsur-unsur lintas sektor dan dibentuk melalui
Keputusan Presiden.
Yang termasuk kepentingan non-konservasi adalah:
a. Kepentingan komersial: semua yang menghasilkan keuntungan
ekonomi (BTS, sutet, pipa gas/minyak, geotermal, tambang
mineral)
b. Kepentingan non komersial: sarana ibadah, jalan.
Penyelesaian keterlanjuran dapat berupa:
a. Mengembalikan status dan fungsi kawasan konservasi; Kegiatan
non-konservasi dikeluarkan.
47

b. Melepas kawasan.
c. Menetapkan sebagai zona “khusus”.
d. Restorasi fungsi.
e. Penetapan wilayah khusus transmigrasi lokal.
E. Penyelesaian Sengketa
1. Penyelesaian sengketa di bidang konservasi kehati didorong untuk
diselesaikan melalui musyawarah.
2. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan upaya-upaya pilihan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa negosiasi,
mediasi dan rekonsiliasi.
4. Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan
dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action),
gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen
sue).

VII. PARTISIPASI PENGELOLAAN KEHATI

Dewasa ini, sejalan dengan rumusan pertemuan IUCN (WCC 2008) di Barcelona,
dikenal beberapa tipe pengelolaan kawasan berdasarkan tata kelola, hal ini
mendorong adanya perubahan paradigma penyelenggaraan konservasi ke
depan, yaitu konservasi tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah tetapi juga
dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah dengan
masyarakat, serta pemerintah dengan swasta.
Memperhatikan perubahan paradigma di atas, ke depan pengaturan mengenai
partisipasi masyarakat serta kerjasama pengelolaan konservasi harus diatur
secara lebih tegas, dalam berbagai bentuk partisipasi masyarakat, yaitu:
1. Partisipasi pasif dalam pengelolaan konservasi yang tanggung jawab utama
berada di tangan pemerintah ( konservasi berbasiskan pemerintah).
2. Partisipasi aktif dimana penyelenggaraan konservasi dilakukan secara
bersama antara pemerintah dan masyarakat (konservasi berbasiskan
masyarakat, swasta).

1. Partisipasi pada konservasi berbasiskan pemerintah


Konservasi berbasiskan pemerintah yang dimaksudkan pada bagian ini
adalah konservasi yang tanggung jawab pengelolaannya sepenuhnya
berada di tangan pemerintah. Konservasi jenis ini adalah satu-satunya
konservasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990. Dalam perjalanannya,
hubungan pemerintah sebagai penyelenggara konservasi ini dengan
masyarakat seringkali mengalami ketegangan-ketegangan. Karena itu ke
depan, diperlukan perubahan pengaturan hubungan pemerintah dengan
masyarakat, terutama masyarakat adat yang hidup di kawasan konservasi
tersebut. Hal-hal yang berkenaan dengan peran pemerintah dalam
48

meningkatkan kapasitas masyarakat, serta pengakuan desa atau


masyarakat dalam kawasan konservasi perlu diatur secara jelas.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan pemerintah,
pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, antara
lain meliputi:
• Pengakuan
• Fasilitasi
• Insentif
• Kompensasi
• Rehabilitasi
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat diberikan oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah sepanjang kenyataannya masih ada.
Keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan melalui wilayah hukum.
Pengakuan terhadap kegiatan dan wilayah konservasi yang dilakukan oleh
masyarakat adat diberikan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, Pemerintah/
Pemerintah Daerah wajib melakukan fasilitasi pengembangan kegiatan
masyarakat hukum adat serta kegiatan konservasi oleh masyarakat lokal.
Pemerintah wajib memberikan insentif kepada masyarakat yang telah
melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati, memberikan
kompensasi kepada masyarakat yang dirugikan/terkena dampak penetapan
kawasan konservasi ekosistem dan konservasi spesies, melakukan
rehabilitasi terhadap hak-hak masyarakat hukum adat tertentu yang
terlanggar dan/atau tercabut oleh penetapan kawasan konservasi dilakukan
oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Undang-undang konservasi kehati ke depan perlu dilakukan pelimpahan
kewenangan dalam pengaturan konservasi dan pengakuan masyarakat
lokal/adat.
Partisipasi masyarakat dalam membangun konservasi pada kondisi ini
antara lain dapat berupa :
• Pemberian saran dan mengusulkan perlindungan jenis/genetik
/ekosistem, kepada Pemerintah melalui Pemerintah Daerah setempat.
• Berkolaborasi dalam pengelolaan ekosistem/jenis. Kolaborasi meliputi
pembagian peran, kewenangan tertentu, tanggung jawab serta
pembagian keuntungan dan manfaat (benefit).
• Melaksanakan perlindungan dan pengawetan kehati dan melaporkan
kejadian yang berhubungan dengan kehati (melaporkan kejadian,
menjaga kelestarian jenis dan genetik, ikut dalam unit pengamanan
seperti wildlife crime unit/WCU, RPU, dst).
• Gugatan perwakilan (class action). Masyarakat berhak melakukan
gugatan perdata melalui gugatan perwakilan.
• Hak gugat LSM (legal standing). Organisasi non pemerintah/LSM
dapat melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem
/spesies/genetik
49

• Hak gugat warga negara (citizen sue). Warga negara Indonesia dapat
melakukan gugatan perdata mewakili kepentingan ekosistem/spesies
/genetik.

2. Partisipasi aktif konservasi berbasiskan masyarakat


Konservasi berbasiskan masyarakat dalam konteks pembahasan UU
konservasi ke depan adalah menyangkut kawasan-kawasan yang secara
adat ataupun pengelolaan sehari-hari telah dilakukan oleh masyarakat,
difungsikan sebagai kawasan-kawasan yang dijaga (termasuk Community
Conserved Areas).
Berdasarkan kriteria IUCN, setidaknya ada 3 (tiga) indikator yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan ini yaitu :
• Komunitas erat hubungannya dengan ekosistem (atau untuk suatu
spesies dan habitatnya), budaya dan/atau karena ketergantungan
untuk kelangsungan hidup dan mata pencaharian;
• Keputusan-keputusan manajemen masyarakat dan upayanya
terhadap ekosistem tersebut mengarah pada konservasi habitat
ekosistem itu, spesies, ekologis dan terkait erat dengan nilai-nilai adat
dan budaya mereka.
• Masyarakat adalah pemain utama dalam pengambilan keputusan
(governance) dan implementasi tentang manajemen situs,
menyiratkan bahwa lembaga-lembaga masyarakat memiliki
kemampuan untuk menegakkan peraturan. Dalam banyak situasi
mungkin ada pemangku kepentingan lain dalam kerjasama atau
kemitraan, tapi dasar pembuatan keputusan terletak pada masyarakat
yang peduli terhadap konservasi tersebut.

Kawasan ini seringkali tidak berada pada kawasan yang ditetapkan


pemerintah sebagai kawasan konservasi sehingga terancam karena
kegiatan-kegiatan konversi kehutanan maupun non kehutanan, dan
kawasan semacam ini banyak ditemui di Indonesia.
Dalam konteks ini, UU konservasi ke depan mesti mengatur hak-hak
masyarakat untuk memiliki, mengatur dan mengelola kawasan-kawasan
konservasi mereka sendiri. Sehingga dalam konteks ini pemerintah harus
memberikan:
• Pengakuan dan perlindungan hukum.
• Pemberian fasilitas pembiayaan dan peningkatan sumberdaya
manusia.
• Memfasilitasi untuk berkerjasama dengan pihak ketiga.
50

VIII. PENGAMANAN DAN PENYIDIKAN

Pengamanan konservasi keanekaragaman hayati dilaksanakan melalui berbagai


upaya, meliputi: pencegahan, penindakan (termasuk penyelidikan, penyuluhan),
serta penyidikan.
Pengamanan dilakukan untuk menjaga terjaminnya kelestarian sumberdaya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya, dan hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan terhadap sumberdaya alam dan dalam upaya-upaya konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemmnya. Petugas yang bertindak sebagai
ujung tombak pengamanan maka terhadap pejabat tertentu diberi wewenang
kepolisian khusus (policing) atau khusus sebagai penyidik.

Polisi Khusus
Tugas kepolisian khusus yang diemban oleh pejabat pemerintah, antara lain
pencegahan dan penyelidikan.
Pencegahan yaitu upaya untuk merintangi/mengikhtiarkan agar seseorang tidak
melakukan atau melakukan perbuatan yang dilarang ditetapkan oleh undang-
undang, antara lain meliputi:
1. Penyuluhan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
2. Melakukan monitoring, patroli/perondaan di dalam areal yang ditetapkan
sebagai kawasan konservasi atau wilayah hukumnya.
3. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan konservasi dan lain-lain.

Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk


mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan
penyidikan.

Penyelidikan sebagai suatu keseluruhan upaya untuk membuat terang apakah


suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana sehingga pelaku tindak pidana
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut hukum atau bukan,
antara lain :
1. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
tumbuhan atau satwa wilayah hukumnya.
2. Menerima, membuat dan menandatangani laporan tentang telah terjadinya
tindak pidana yang menyangkut konservasi SDAH.
3. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut konservasi SDAH.
4. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan
kepada yang berwenang.
5. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut konservasi SDAH.
6. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
7. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
51

8. Melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya tindak


pidana KSDAH.
9. Atas perintah PPNS Kehutanan dapat melakukan tindakan berupa:
a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan.
b. pemeriksaan dan penyitaan surat.
c. membawa dan menghadapkan seseorang kepada PPNS.
d. memberi tanda pengamanan dan mengamankan barang bukti.

e. melakukan pengamatan secara tertutup terhadap dugaan adanya


tindak pidana kehutanan.
Kewenangan melakukan tindakan penyelidikan yaitu kewenangan untuk
mencegah tindak pidana atau mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana
Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, yang dalam hal ini adalah
penangaman di bidang konservasi, dimana organisasi pengamanan meliputi
struktur dan wilayah kerja. Organisasi Polisi Kehutanan (POLHUT) disusun
berjenjang dan komando, hal ini untuk menghindarkan intervensi kepentingan
dalam rangka pengamanan kekayaan negara.
Untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, wilayah
Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan
pelaksanaan tugas dan wewenagnya dengan memperhatikan luas wilayah,
jumlah penduduk, potensi sumber daya alam hayati, dan kemampuan Polisi
Khusus.

Penyidik
Wilayah hukum Penyelidik dan Penyidik, perlu diperjelas dan diperluas karena
bentuk kejahatan yg dinamis dan terkadang melibatkan jaringan internasional.
Wilayah hukum penyelidik dan penyidik konservasi adalah seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia. Mengingat sifatnya yang spesifik dan tindak pidana
merupakan kejahatan yang transnasional, maka dimungkinkan wilayah hukum
penyelidik dan penyidik tindak pidana konservasi meliputi wilayah kepabeanan.
Perlu adanya peluang yang memungkinkan PPNS melakukan gelar perkara di
hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tembusan kepada Penyidik
POLRI, dalam rangka koordinasi pengawasan.

IX. LARANGAN DAN SANKSI

Tindakan yang secara sah melanggar ketentuan hukum sebagaimana diatur


dalam Bab III diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administrasi.
52

Sanksi Pidana
Sanksi pidana berupa hukuman penjara, hukuman denda, pencabutan hak
perdata tertentu dan perampasan barang.
Besarnya sanksi pidana ditetapkan berupa sanksi minimal dan sanksi maksimal
untuk setiap tindak pelanggaran dengan mempertimbangkan :
a. Kategori jenis/ekosistem, semakin tinggi kategorinya maka ancaman sanksi
semakin berat, dan/atau;
b. Dampak yang ditimbulkan terhadap manusia dan kelestarian jenis/spesies.
Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diperberat dalam hal:
1. Pengurus, direksi, anggota atau pegawai suatu badan hukum yang
memperoleh ijin yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati.
2. Penyelenggara negara, pegawai negeri, yang diberi kewenangan untuk
melakukan pengamanan.
3. Anggota, pengurus organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang
konservasi keanekaragaman hayati.
4. Seseorang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan
keahliannya.

Ketentuan pidana ini juga menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi


(coorporate liability).

Besarnya sanksi pidana penjara dengan sanksi minimal 6 (enam) bulan sampai
dengan maksimal seumur hidup/hukuman mati.

Sanksi denda diberikan kepada terpidana yang mengakumulasikan terhadap


hukuman penjara. Banyaknya denda paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak 50 milyar rupiah.

Sanksi pencabutan hak perdata adalah satu larangan yang diberikan lembaga
peradilan kepada terpidana dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan
konservasi dan kehutanan. Beberapa bentuk pencabutan hak perdata antara
lain:
a. Larangan kepada perorangan untuk menjabat dalam badan usaha yang
berhubungan dengan kehutanan.
b. Larangan kepada badan usaha untuk melakukan aktivitas pada periode
tertentu (“bank beku operasi”).

Sanksi perampasan barang dikenakan berupa penyitaan barang bukti yang


dipakai dan/atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana, baik berupa spesies dan
spesimennya, alat yang dipergunakan maupun barang yang dihasilkan [termasuk
uang/rekening].
Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas
untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-
lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali
apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga
dinilai lebih baik dimusnahkan.
53

Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran yang dilakukan pemegang
ijin terhadap kewajiban administrasi. Pengaturan mengenai sanksi administrasi
diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

Pengecualian
Sanksi pidana dan sanksi administrasi tidak berlaku atau dikecualikan terhadap
perbuatan:
a. Untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Termasuk kegiatan penyelamatan
spesies dapat berupa pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa
kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
b. Perbuatan guna melindungi kehidupan manusia yang terancam nyawanya
oleh satwa yang dilindungi.

Ketentuan tata cara, persyaratan dan lain-lain mengenai pengecualian diatur


dengan Peraturan Perundangan.
54

BAB V
KESIMPULAN

Memperhatikan pesatnya perubahan lingkungan strategis, Undang-Undang No.


5 Tahun 1990 sudah tidak mampu menjawab tantangan dan masalah konservasi
terkini, maka dari itu perlu dilakukan percepatan perubahan dengan memperhatikan
perubahan paradigma yang terjadi masa kini dan yang akan datang.
Beberapa pengaturan harus dibuat baru atau diperkuat, seperti ruang lingkup
konservasi ke depan yang meliputi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan
secara lestari keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, termasuk dalam hal ini
pengaturan konservasi genetik.
Mengingat sistim penyangga kehidupan mempunyai materi yang luas dan
menyangkut oleh berbagai sektor serta telah tercantum dalam undang-undang sektor
tersebut, antara lain sektor kehutanan, pertanian, kelautan, perkebunan, kesehatan
dan lingkungan hidup serta perkembangan paradigma konservasi terkini yang fokus
pada konservasi keanekaragaman hayati, maka perlindungan sistem penyangga
kehidupan tidak menjadi bagian dari pengaturan RUU Konservasi Keanekaragaman
Hayati ke depan.
Tujuan konservasi harus sejalan dengan pembangunan bagi kesejahteraan
masyarakat saat ini maupun masa akan datang. Guna mewujudkan tujuan
penyelenggaraan konservasi tersebut perlu diatur secara tegas pengaturan mengenai:
kelembagaan, partisipasi masyarakat, kerjasama pengelolaan kawasan oleh
masyarakat, kerjasama internasional, serta penguatan bidang penegakan hukum.

Anda mungkin juga menyukai