Anda di halaman 1dari 8

BANJIR

Di kota Jakarta

Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir


timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering. Banjir pada
umumnya disebabkan oleh air sungai yang meluap ke lingkungan sekitarnya
sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Kekuatan banjir mampu merusak
rumah dan menyapu fondasinya. Air banjir juga membawa lumpur berbau
yang dapat menutup segalanya setelah air surut. Setiap tahun pasti datang.
Banjir, sebenarnya merupakan fenomena kejadian alam "biasa" yang sering
terjadi dan dihadapi hampir di seluruh negara-negara di dunia, termasuk
Indonesia. Banjir sudah temasuk dalam urutan bencana besar meminta .
Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering)
karena volume air yang meningkat
Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat
akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai.

Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan


air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk
menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara
tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air.
Penyebab Terjadinya Banjir

Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut.

• Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,


• Pendangkalan sungai,
• Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai
mapupun gotong royong,
• Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
• Pembuatan tanggul yang kurang baik,
• Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan.

Dampak Dari Banjir

Banjir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup berupa:[1]

1. Rusaknya areal pemukiman penduduk,


2. Sulitnya mendapatkan air bersih, dan
3. Rusaknya sarana dan prasarana penduduk.
4. Rusaknya areal pertanian
5. Timbulnya penyakit-penyakit
6. Menghambat transportasi darat

Faktor-faktor banjir:

Faktor alam penyebab terjadinya banjir adalah:


Badai juga dapat menyebabkan banjir melalui beberapa cara, di antaranya
melalui ombak besar yang tingginya bisa mencapai 8 meter. Selain itu badai
juga adanya presipitasi yang dikaitkan dengan peristiwa badai. Mata badai
mempunyai tekanan yang sangat rendah, jadi ketinggian laut dapat naik
beberapa meter pada mata guntur
Tanah Longsor

Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi
yang terjadi karena pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe
dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Secara
umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong
dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah
faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun
penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang mempengaruhi suatu
lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut
berpengaruh:

• erosi yang disebabkan sungai-sungai atau gelombang laut yang


menciptakan lereng-lereng yang terlalu curam
• lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang
diakibatkan hujan lebat
• gempa bumi menyebabkan tekanan yang mengakibatkan longsornya
lereng-lereng yang lemah
• gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat
dan aliran debu-debu
• getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan
bahkan petir
• berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau
salju
TANAH LONGSOR

Paduan Faktor Alam Akibatkan Longsor Bandung

Kamis, 04 Maret 2010

Curah hujan tinggi, kondisi lereng yang curam, serta tanah yang rapuh
menjadi penyebab tanah longsor di Desa Tenjolaya, Ciwidey, Bandung.
Meski demikian tak berarti kegiatan alih fungsi lahan bisa diabaikan.

Dalam sepekan belakangan ini, nama Desa Tenjolaya mendadak po pu ler.


Penyebabnya de sa yang terletak di Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat, itu terkena musibah tanah longsor.

Longsoran tanah telah menimbun banyak warga beserta tempat tinggal


mereka. Tidak hanya itu, kantor perusahaan pengelola perkebunan teh yang
beroperasi di wilayah itu juga ikut tertimbun.

Kejadian mengenaskan pada 24 Februari 2010 itu menewaskan sekitar 30


jiwa, sementara puluhan orang lainnya yang tertimbun belum jelas nasibnya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya desa yang sebagian lahan nya


ditanami teh itu akan tertimpa musibah tanah longsor.

Pada saat kejadian, ibarat bubur tanah dalam jumlah besar, material tanah
meluncur dengan kecepatan tinggi mengikuti alur celah-celah perbukitan
area konservasi Gunung Tilu.

Longsoran tanah menghantam apa pun yang dilaluinya sebelum akhirnya


menghantam permukiman penduduk yang juga karyawan perkebunan teh
milik PT Cakra.

Daya rusak bubur tanah tersebut terbilang tinggi, mampu menimbun puluhan
rumah yang berada di bagian bawah bukit.

Musibah itu memicu para ahli untuk meneliti apa sebenarnya faktor
penyebab tanah di Desa Tenjolaya itu longsor.

Secara sederhana, tanah longsor diartikan sebagai peristiwa runtuhan tanah


atau pergerakan tanah atau bebatuan dalam jumlah besar di daerah yang
terjal dan tidak stabil (rapuh). Proses pergerakan tersebut bisa terjadi secara
tiba-tiba, bisa pula secara berangsur-angsur.

Jika dilihat dari faktor pemicunya, longsoran tanah bisa diakibatkan oleh
beberapa hal. Namun, umumnya tanah longsor timbul sebagai akumulasi
dari pelbagai faktor, antara lain curah hujan, kondisi geologi atau batuan,
serta kemiringan lereng.

Dalam kasus tanah longsor di Desa Tenjolaya, Kepala Peneliti dari Badan
Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) Iwan G Tejakusuma
menyatakan penyebab utama peristiwa tersebut ialah intensitas curah hujan
yang tinggi serta kondisi litologi daerah longsoran.

Hal tersebut, menurut Iwan, bisa dianalisis dari material longsoran tanah
yang begitu jenuh air sehingga menyerupai bubur. Akibatnya, bubur tanah
tersebut meluncur dengan leluasa menyapu apa pun yang dilaluinya.

“Dari keterangan warga dan kondisi di lapangan, luncuran tanah sangat


cepat, seperti bubur yang mengalir.

Hal itu mengindikasi material tanah longsoran tersebut sangat jenuh air.
Material tanah itu bisa berbelok-belok mengikuti celah-celah lembah seperti
air,” papar Iwan.

Sebelum longsor terjadi, curah hujan di kawasan tersebut memang sudah


melebihi batas normal. Sejak 1 sampai 23 Februari 2010–satu hari sebelum
terjadi musibah tanah longsor–intensitas curah hujan di kawasan Desa
Tenjolaya memang meningkat tajam, hingga 480 persen.

Normalnya, kondisi curah hujan pada Februari sekitar 200 mm, namun pada
beberapa hari sebelum kejadian longsor tersebut, curah hujan mencapai 960
mm.

Curah hujan yang sangat tinggi itu kemudian menimbulkan beban pada
lereng yang curam yang memang kondisinya sudah rapuh karena mengalami
pelapukan. Kemiringan lereng titik longsor mencapai 70 hingga 100 persen.

“Padahal, kemiringan lereng di atas 45 persen saja dinilai cukup


membahayakan dan berpotensi long sor, terutama jika kondisi tanah rapuh,”
kata Iwan. Kondisinya semakin parah karena tubuh tanah begitu tebal dan
berpasir.

Tanah dengan jenis berpasir dan berbutir kasar dalam kondisi kering akan
menyebabkan butiranbutiran itu merapat. Namun, jenis tanah itu cepat jenuh
karena tanah begitu mudah menyerap air, terlebih ketika curah hujan tinggi.

Tanah Jenuh Air Berdasarkan peta perkiraan potensi terjadinya gerakan


tanah pada Februari 2010 di Jawa Barat yang dikeluarkan Badan Geologi,
Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi, daerah yang termasuk
hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) itu dikategorikan sebagai zona yang
berpotensi memiliki gerakan tanah menengah sampai tinggi.

Peluang tanah untuk bergerak akan semakin besar manakala curah hujan
berada di atas normal. “Pergeseran-pergeseran, retakan- retakan yang terjadi
sebelumnya, semakin mempercepat dan mempermudah proses penyerapan
masuknya air ke dalam tanah.

Air juga bisa masuk ke daerahdaerah yang kedap air sehingga tanah menjadi
begitu jenuh air,” ujar Iwan.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika pada pagi hari sebelum terjadi longsor,
mata air di wilayah tersebut terlihat keruh.
Hal itu diakibatkan adanya erosi atau mata air baru yang muncul akibat
tanah sudah begitu jenuh air.

Kombinasi antara curah hujan yang tinggi, kondisi ketebalan tanah, dan jenis
tanah yang mudah menyerap air menyebabkan beban yang berupa air dan
tanah tebal menjadi begitu berat.

Di sisi lain, kejenuhan air yang sudah tidak mampu lagi menembus wilayah
kedap air juga menimbulkan tekanan pada pori-pori air yang disebut dengan
gaya angkat atau porewaterpreasure.

Perpaduan antara gaya angkat ke atas akibat tekanan pori-pori dan berat air
serta tanah menyebabkan tanah dan air meluncur ke wilayah yang lebih
rendah.

Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT Sutopo Purwo Nugroho


juga menyepakati bahwa penyebab utama tanah longsor di Desa Tenjolaya
itu ialah curah hujan yang ekstrem.

“Sebagian besar longsor di Indonesia itu akibat hujan yang ekstrem,”


katanya. Kendati demikian, lanjut Sutopo, bukan berarti musibah itu
menisbikan faktor-faktor lain, seperti kondisi geologi, termasuk kontur
lereng pegunungan itu.

Berdasarkan hasil analisis Sutopo dan timnya satu hari pascabencana,


melalui pengamatan mahkota longsor di Desa Tenjolaya, diketahui bahwa
tanah longsor tersebut tidak ada kaitannya dengan pembalakan liar atau alih
fungsi lahan di wilayah tersebut.

Lebih lanjut Sutopo menyatakan potensi terjadinya longsor susulan di


wilayah tersebut masih sangat besar. Hal itu mengingat material tanah di
wilayah tersebut belum kompak.

Terlebih jika dilihat dari bentang lahannya, wilayah itu memang termasuk
wilayah yang rawan longsor.

Bahkan, dia meyakini, pada zaman dahulu, bencana longsor serupa pernah
terjadi di kawasan yang 95 persennya berupa area hutan konservasi.
“Bentang lahannya krowak (membentuk cekungan atau lengkungan).
Jadi, pernah ada longsor tetapi kita tidak tahu kapan itu terjadi,” katanya.
Menurut Sutopo, secara umum, pada masa mendatang peluang terjadinya
bencana tanah longsor di Indonesia semakin besar, mengingat adanya
perubahan pola hujan yang terjadi saat ini. Perubahan pola tersebut
menyangkut intensitas hujan yang tinggi.

Selain perubahan pola hujan, faktor seperti alih fungsi lahan serta
antropojenik, yakni kegiatan penduduk yang merambah kawasankawasan
long sor, memperbesar peluang terjadinya bencana. Sekitar 154 kabupaten
maupun kota di Indonesia terkategorikan sebagai wilayah yang rawan
bahaya bencana longsor.

Anda mungkin juga menyukai