I. Pendahuluan
*)
Dr. Said Zainal Abidin adalah Staf Ahli Menteri Negara Pembinaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Bidang
Kebijakan Publik – red.
1. Bahwa UU No.5/74 sudah " …tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah dan perkembangan keadaan". Dengan kata lain bahwa sistem
penyelenggaraan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.5/74 itu sudah tidak
dapat memenuhi kebutuhan perkembangan keadaan kearah demokrasi.
Aspek lain yang secara langsung berhubungan dengan ketiga azas tersebut,
antara lain adalah tentang pengertian otonomi daerah. Dalam UU No.5/74 dikatakan
bahwa otonomi daerah adalah "wewenang dan 'kewajiban' daerah untuk 'mengatur'
rumah tangga sendiri 'dengan' peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sementara
dalam UU No.22/99 disebutkan sebagai "wewenang untuk mengatur dan mengurus
'kepentingan masyarakat setempat' menurut 'prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat' 'sesuai' dengan perundang-undangan". Ini jelas mencerminkan nuansa yang
berbeda dari aplikasi azas-azas tersebut diatas.
Wujud pemerintahan daerah dalam era reformasi seperti yang tercantum dalam
UU No. 22/1999 adalah otonomi. Seperti sudah disebutkan diatas, wujud pemerintahan
yang demikian adalah kewenangan dan tanggung jawab penyelenggraan pemerintahan
ada pada daerah. Sebab itu, ada dua tantangan yang segera timbul, yang perlu dijawab
oleh daerah-daerah: Pertama, bagaimana bentuk organisasi pemerintahan yang otonom,
kedua bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai pemerintahan tersebut ?
Hakekat dari bentuk pemerintahan daerah otonom, seharusnya tergantung pada masing-
masing daerah. Artinya, sekalipun dalam UU No.22/1999 tidak disebutkan adanya
keragaman bentuk dari perangkat pemerintahan, namun daerah-daerah sebenarnya
mempunyai kewenangan untuk membuat variasi yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan daerah. Dalam pasal 65 UU No. 22/99 hanya disebutkan "Di daerah dapat
dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah." Sekalipun dalam pasal ini
dibatasi pada "lembaga teknis", namun karena wujud pemerintahan daerah adalah
spatial sifatnya, yakni tergantung pada "ruang dan waktu", maka pengertian dari
lembaga teknis disini dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan daerah, tetapi dengan
tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan demikian maka bentuk dan
jenis organisasi pemerintah daerah perlu diaktualisasikan. Di daerah-daerah yang tidak
ada hutan, tidak perlu diadakan dinas kehutanan, di daerah-daerah yang tidak ada
pertambangan tentu saja tidak perlu dinas pertambangan dan sebagainya. Besarnya
organisasi yang ada juga perlu disesuaikan dengan jenis dan banyak urusan yang
diperlukan. Disamping itu daerah perlu mengindahkan prinsip-prinsip tertentu dalam
penataan organisasi, antara lain prinsip kesederhanaan (simplicity), mudah dan murah
(efficiency), kesamaan fungsi (semilarity) dan koordinasi (coordination). Hal ini
dikemukakan karena ada daerah-daerah yang untuk kesederhanaan misalnya,
menggabungkan Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Kebersihan, atau Dinas
Pemadam Kebakaran dengan PDAM dan sebagainya. Alasan yang dipakai mungkin
karena pada Dinas Kebersihan juga ada pendapatan daerah berupa retribusi kebersihan.
Alasan ini tentu saja bertentangan dengan tugas pokok pemerintah adalah memberi
pelayanan kepada masyarakat. Termasuk pengadaan kebersihan, keamanan dan lain-
lain. Prinsip yang dipakai dalam retribusi berbeda sekali dengan prinsip pemungutan
pajak atau penerimaan dari penjualan jasa pemerintah lainnya.
Tantangan kedua untuk merealisasikan otonomi daerah adalah biaya. Baik untuk
keperluan rutin maupun untuk pembangunan. Dengan diserahkannya semua urusan
Dari penelitian yang dilakukan Sri Mulyono menunjukkan bahwa dilihat dari
segi potensi ekonomi yang ada berdasarkan kedua UU No. 22/1999 dan UU No. 25/
1999, dari 350 daerah kabupaten dan kota yang ada di 26 propinsi, hanya 20 % atau 40
buah kabupaten dan kota saja yang siap menghadapi penerapan otonomi daerah. Di
samping itu seperti yang dikemukakan oleh Hariri Hady bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan yang diberikan atas dasar haknya daerah, bukan karena kemampuan
ekonomi yang dipunyainya. Sebab itu, ketidakmampuan daerah dalam membiayai
dirinya tidak dapat menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk mencabut otonomi dari
daerah tersebut. Sedangkan kemampuan yang dimaksud lebih terkait dengan
kemampuan politik dan sosial ekonomi. Sementara dari segi ekonomi, harus dibantu
oleh pemerintah pusat. Bagi Hariri Hady, otonomi bukan saja dari segi penerimaan, tapi
juga dari segi pengeluaran. Jadi meskipun sebuah daerah sudah mendapat hak otonomi,
dia tetap dapat memperoleh grant dari pemerintah pusat. Dari data yang ada (Tabel 1)
dapat ditunjukkan, bahwa lebih dari 50% dari bagian penerimaan pemerintah lokal
dinegara-negara Belgia, Denmark, Irlandia dan Inggeris berasal dari grant yang
diberikan pemerintah pusatnya (Lihat, Otonomi (daerah) Bukan Otomoney, Perlu
Reformasi, Harian Ekonomi Neraca, Rabu, 24 Meri 2000).
V. Revisi
Dari segi asal usul otonomi, model otonomi yang dikemukakan oleh UU
No.22/1999 dianggap orang terbalik dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Dalam
UU tersebut, otonomi seolah-olah berasal dari daerah, bukan dari pusat. Sehingga yang
dibatasi bukan kewenangan daerah, tetapi adalah kewenangan pusat (lihat pasal 7 ayat 1
UU No. 22/1999). Pendapat ini berdasarkan pada pertimbangan, bahwa Negara
Indonesia berbentuk kesatuan. Atas dasar pendapat ini timbul anggapan bahwa sistem
pemerintahan yang cocok untuk negara kesatuan adalah seragam dan sentralistis.
Dalam Era Orde Baru, sesungguhnya ada waktu yang cukup baik untuk
meninjau ulang yang dipesankan pasal peralihan dari UUD ’45 itu, akan tetapi karena
sistem pemerintahan yang sentralistis itu justru dirasakan lebih menguntungkan pihak-
pihak yang berkuasa, maka pemikiran untuk melakukan evaluasi itu malahan dianggap
sebagai pikiran yang “murtad” atau “makar”, yang harus dibasmi. Dalam era tersebut,
penataan pemerintahan daerah dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan
(security approach). Yang diperhitungkan bukan bagaimana mengembangkan
kemampuan daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri dan bagaimana
memberdayakan rakyat daerah untuk mampu mengawasi pemerintahan, tetapi
bagaimana menekan “ancaman disintegrasi” dari daerah-daerah, karena daerah
dianggap selalu mempunyai niat untuk melepaskan diri dari pusat. Atas dasar
pertimbangan tersebut, tuntutan otonomi dipandang sebagai tuntutan “merdeka” yang
harus diperangi. Karena itu, daerah tidak boleh mempunyai kekuatan besar yang dapat
mengancam kekuatan pemerintah pusat. Konsekwensi dari itu, otonomi hanya dapat
dibenarkan pada tingkat II saja. Dengan pertimbangan, jika timbul upaya untuk
melepaskan diri dari pemerintah pusat, dengan mudah dapat dipadamkan.
Wewenang daerah atas wilayah laut yang ditentukan sejauh 12 mil untuk
propinsi, dan wilayah daerah kabupaten dan kota sepertiga dari batas laut daerah
propinsi (pasal 3 dan pasal 10 ayat 3), merupakan topik yang sering dibicarakan dewasa
ini. Ketentuan ini dipandang dapat menimbulkan kesulitan, bahkan bisa berkembang
menjadi konflik diantara para nelayan yang berlayar tanpa menyadari telah melewati
Keadaan ini disebabkan karena pada waktu yang lalu kepala daerah adalah
Penguasa Tunggal di Daerah yang mempunyai kekuasaan untuk “memutih-hitamkan”
daerah. Kedudukan DPRD berada dibawah dan tergantung kepada kepala daerah. Kalau
ada anggota DPRD yang dipandang “membangkang”, kepala daerah mempunyai
keuasaan untuk meminta kepada partai politik untuk menarik anggota tersebut dari
DPRD. Sekalipun kekuasaan itu tidak dicantumkan secara tertulis, namun tidak ada
Pimpinan Partai yang berani membuat “persoalan” dengan pemerintah. Pemerintah
adalah “orang yang berhak memberi perintah”. Ini tidak hanya berlaku terhadap Golkar
sebagai partai pemrintah, tetapi juga terhadap semua partai politik pada waktu itu (PPP
dan PDI). Keadaan seperti ini, mengakibatkan kepala daerah dalam era reformasi
merasa canggung, begitu ada ketentuan bahwa DPRD mempunyai kewenangan untuk
meminta pertanggungjawaban dari kepala daerah. Apalagi kewenangan untuk
mengusulkan pemberhentiannya, bilamana DPRD tidak menerima pertanggungjawaban
itu. Sesuatu yang tidak pernah termimpikan pada waktu yang lampau, dan tak ada dalam
kamus pemerintahan Orde Baru dan Orde Lama.
Sementara itu DPRD juga belum terbiasa dengan hak yang baru ini. Apalagi
dengan sistem kepartaian yang baru, yang malalui pemilihan umum yang ‘jurdil’
kemarin itu, banyak anggota DPRD yang terpilih berasal dari mereka yang masih
“sangat hijau dengan urusan-urusan yang demikian”. Akibatnya Pertanggungjawaban
Tahunan dari kepala daerah diperlakukan sebagai “Sidang Pengadilan” dan kesemptan
untuk melepaskan segala “uneg-uneg” yang sudah lama terpendam.
Formula pembagian hasil dari sumber alam yang ada di daerah antara
pemerintah pusat dan daerah juga merupakan aspek yang diperdebatkan dan dituntut
untuk ditinjau kembali. Disatu sisi timbul tuntutan dari beberapa daerah yang kaya
sumber alam untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang diatur dalam
UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Ada empat daerah yang secara nyaring menuntut
bagian yang lebih besar itu, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian. Tuntutan ini
cukup beralasan mengingat selama puluhan tahun pusat telah mengeksploitasi hasil
alam daerah tersebut tanpa mngembalikan hasilnya secara berarti kepada mereka.
Sehingga tidak heran kalau daerah-daerah penghasil sumberalam terbesar itu justeru
berada dalam jajaran daerah-daerah termiskin di Indonesia.
VI. Penutup
1. Pengelolaan pemerintahan daerah dalam Era Reformasi yang diatur dengan UU No.
22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mencerminkan adanya iktikat untuk
mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, baik dalam hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun dalam tatanan pemerintahan
daerah itu sendiri. Sebab itu beberapa rumusan tentang otonomi yang diatur dalam
UU tersebut terdapat perbedaan dengan apa yang ada dalam kedua UU sebelumnya,
yakni UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa.