Anda di halaman 1dari 6

Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia

Ditulis oleh : AM Adhy Trisnanto

Setidaknya itulah kesimpulanku setelah mendengar penjelasan Menteri Hukum dan HAM saat Dialog
Kewarganegaraan dan Persatuan di ruang Semeru Gedung Pusat Niaga Arena Pekan Raya Jakarta, 23
Januari.

Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang disahkan pada 1 Agustus 2006 mencantumkan, "Yang menjadi Warga Negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara."

Lalu siapakah orang-orang bangsa Indonesia asli ? Dalam penjelasan atas UU tersebut dinyatakan, ''Yang
dimaksud dengan 'orang-orang bangsa Indonesia asli' adalah orang Indonesia yang menjadi warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain atas kehendak
sendiri."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut Undang-undang Kewarganegaraan tersebut sebagai


"sebuah karya monumental anak bangsa yang mengubah paradigma perilaku." Betapa tidak, sekarang
keaslian seorang bangsa Indonesia tidak lagi ditandai oleh ciri-ciri fisiknya yang menjadi bawaan garis
etniknya.

Sekarang, keaslian seorang Indonesia ditandai oleh status hukumnya. Tidak berlebihan ketika Menteri
Hukum dan HAM Hamid Awaludin menyatakan esensi UU Nomor 12/2006 mencuci cara pandang kita
tentang kewarganegaraan Indonesia dan bahwa UU Nomor 12 telah menihilkan ras diskriminasi etnik.

* Diskriminasi Ras Etnik

Bahwa ada masa ketika istilah SARA demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung (sekurang-
kurangnya) ada masa dimana terjadi diskriminasi ras-etnik di negeri ini. Dalam praktik, pemenuhan hak-
hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik
inipun masih terjadi diskriminasi. Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan
keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh praktik
diskriminasi ras.

Atas praktik semacam itu, Hamid Awaludin dalam acara Dialog


Kewarganegaraan dan Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak usah mendebat (pejabat
imigrasi yang bersangkutan). Catat namanya dan laporkan kepada saya."

Diskriminasi ras-etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi kisah
panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik, bahasa, praktik kepercayaan, bahkan ciri-ciri
fisikpun dipermasalahkan.

Sebagian orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi hubungan
antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi ruang gerak suku
Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut dengan arus "pulang" ke Tiangkok.
Sudah terjadi pula imbauan untuk mengganti nama tiga suku dengan ''nama Indonesia''. Sudah terjadi
pembatasan pilihan pekerjaan/profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga pembatasan masuk universitas-
universitas negeri.

* Keleluasaan tradisi

Di era pemerintahannya yang singkat, Gus Dur mencabut peraturan yang melarang orang Tionghoa
menjalankan tradisinya secara terbuka. Keputusan itu telah memulihkan hak asasi orang Tionghoa
Indonesia untuk menjalankan tradisi, adat istiadat, dan budayanya. Imlek dinyatakan sebagai libur
nasional.

Pertanyaan kritis yang muncul saat itu adalah adakah jaminan bahwa perlakuan demikian akan lestari
atau jangan jangan ketikai rezim penguasa berganti, perlakuan terhadap orang Tionghoa juga akan
berubah. UU Nomor 12/2006 telah mematahkan keraguan itu, dengan memberi landasan hukum yang
kuat terhadap paham kebangsaan dan kewarganegaraan. Dan, berangkat dari paham tersebut,
(seharusnya) berakhirlah semua bentuk dan praktik diskriminasi berdasarkan ras dan etnik. "Orang-
orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak
kelahirannya."

Logikanya, kalau sudah dinyatakan asli berarti hak dan kewajibannya sama. Juga tidak boleh terjadi lagi
pembedaan perlakuan dalam hal akte kelahiran, bukti kewarganegaraan, ganti nama, KTP, urusan
imigrasi, dan lain-lain. Kali ini, Tionghoa Indonesia (dan orang-orang bangsa Indonesia asli dari bangsa
lain seperti Arab, India, dan Belanda) boleh bernafas lega karena mendapat perlindungan hukum yang
kuat atas status kewarganegaraannya. Lebih dari itu, mereka dinyatakan sebagai bangsa Indonesia asli.

* Suku Tionghoa

Dengan tegas Menteri Hukum dan HAM mengatakan, UU 12/2006 menjadikan orang Tionghoa
Indonesia menjadi suku Tionghoa Indonesia. Suku itu memang berbeda dari suku-suku lain yang sangat
dipengaruhi secara geografis. Suku Jawa umumnya tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Suku Sunda umumnya tinggal di Jawa Barat, demikian seterusnya.

Akan tetapi tempat tinggal suku Tionghoa Indonesia terserak di berbagai pelosok tanah air. Pengakuan
sebagai suku itu menjadikan budaya Tionghoa Indonesia diakui pula sebagai bagian dari budaya
Indonesia. Alur pikir demikian menjadikan ikon-ikon seni dan budaya Tionghoa Indonesia, seperti
barongsai.
Barongsai memang sangat popular. Tetapi ikon budaya Tionghoa Indonesia tidak berhenti hanya pada
barongsai. Ada khasanah budaya lain yang tak kalah tinggi nilainya, sehingga bisa memberi sumbangan
kepada pemerkayaan budaya Indonesia, misalnya seni tari, seni musik, seni peran, seni busana, seni
sastra, seni kaligrafi, seni lukis, seni bela diri, seni kuliner, dan seni arsitektur. Demikian pula fengshui,
gwamia, pekjie, dan juga pecinan. Semuanya bisa memberi sumbangsih kepada budaya Indonesia.

* Imlek Semawis

Dalam suasana seperti itu tibalah Imlek. Sebuah ritual tradisi atau adat istiadat yang mengambarkan
kegembiraan dan syukur menyambut musim semi. Mereka yang berusia 50 tahun ke atas bisa
bernostalgia tentang Imlek di masa kecil.

Dua minggu penuh dengan luapan kegembiraan (duniawi) dan syukur (rohani). Pasar malam, bersih-
bersih altar dan rumah, jalan yang ramai dengan kelompok-kelompok keluarga saling berkunjung. Suara
mercon, semarak lampion, berkumpulnya sanak keluarga dari jauh, penghormatan kepada orang tua,
kepada leluhur, dan kepada Tuhan. Dan, yang sekarang terasa hilang juga adalah masuknya budaya lokal
dalam perayaan Imlek: musik khas tanjidor, penabuh gender berkeliling.

Dalam buku ''Riwajat Semarang'' karya Liem Thian Joe, dikisahkan tentang perayaan Capgomeh di
Betawi. Pesta penutup perayaan Imlek itu disebutkan menjadi arena mencari jodoh di antara orang
muda. Hal semacam itu sudah tidak lagi ada pada pertengahan abad ke-20.

Kini, awal abad ke-21, gaya perayaan Imlek juga menjadi lain, lebih terasa sepi, seakan kehilangan
ruhnya. Pasar Semawis di Semarang yang sudah digelar beberapa kali, mengambil ide dari pasar malam
Semarang tempo dulu. Panitia berusaha mati-matian menghidupkan kembali suasana Imlek. Tapi, usaha
itu tetap saja belum mampu memulihkan ritual Imlek yang terasa lebih kuat mempengaruhi jiwa
sebagaimana terjadi sekitar lima dekade lewat.

Inilah dampak panjang ikhtiar pemusnahan budaya Tionghoa Indonesia oleh para penguasa waktu itu.
Sebuah kepentingan politik yang diberi label gagah nasionalisme.
Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia
Ditulis oleh : AM Adhy Trisnanto

Setidaknya itulah kesimpulanku setelah mendengar penjelasan Menteri Hukum dan HAM saat Dialog
Kewarganegaraan dan Persatuan di ruang Semeru Gedung Pusat Niaga Arena Pekan Raya Jakarta, 23
Januari.

Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang disahkan pada 1 Agustus 2006 mencantumkan, "Yang menjadi Warga Negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara."

Lalu siapakah orang-orang bangsa Indonesia asli ? Dalam penjelasan atas UU tersebut dinyatakan, ''Yang
dimaksud dengan 'orang-orang bangsa Indonesia asli' adalah orang Indonesia yang menjadi warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain atas kehendak
sendiri."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut Undang-undang Kewarganegaraan tersebut sebagai


"sebuah karya monumental anak bangsa yang mengubah paradigma perilaku." Betapa tidak, sekarang
keaslian seorang bangsa Indonesia tidak lagi ditandai oleh ciri-ciri fisiknya yang menjadi bawaan garis
etniknya.

Sekarang, keaslian seorang Indonesia ditandai oleh status hukumnya. Tidak berlebihan ketika Menteri
Hukum dan HAM Hamid Awaludin menyatakan esensi UU Nomor 12/2006 mencuci cara pandang kita
tentang kewarganegaraan Indonesia dan bahwa UU Nomor 12 telah menihilkan ras diskriminasi etnik.

* Diskriminasi Ras Etnik

Bahwa ada masa ketika istilah SARA demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung (sekurang-
kurangnya) ada masa dimana terjadi diskriminasi ras-etnik di negeri ini. Dalam praktik, pemenuhan hak-
hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik
inipun masih terjadi diskriminasi. Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan
keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh praktik
diskriminasi ras.

Atas praktik semacam itu, Hamid Awaludin dalam acara Dialog


Kewarganegaraan dan Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak usah mendebat (pejabat
imigrasi yang bersangkutan). Catat namanya dan laporkan kepada saya."

Diskriminasi ras-etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi kisah
panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa terhadap segala sesuatu yang
berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik, bahasa, praktik kepercayaan, bahkan ciri-ciri
fisikpun dipermasalahkan.

Sebagian orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi hubungan
antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi ruang gerak suku
Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut dengan arus "pulang" ke Tiangkok.
Sudah terjadi pula imbauan untuk mengganti nama tiga suku dengan ''nama Indonesia''. Sudah terjadi
pembatasan pilihan pekerjaan/profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga pembatasan masuk universitas-
universitas negeri.

* Keleluasaan tradisi

Di era pemerintahannya yang singkat, Gus Dur mencabut peraturan yang melarang orang Tionghoa
menjalankan tradisinya secara terbuka. Keputusan itu telah memulihkan hak asasi orang Tionghoa
Indonesia untuk menjalankan tradisi, adat istiadat, dan budayanya. Imlek dinyatakan sebagai libur
nasional.

Pertanyaan kritis yang muncul saat itu adalah adakah jaminan bahwa perlakuan demikian akan lestari
atau jangan jangan ketikai rezim penguasa berganti, perlakuan terhadap orang Tionghoa juga akan
berubah. UU Nomor 12/2006 telah mematahkan keraguan itu, dengan memberi landasan hukum yang
kuat terhadap paham kebangsaan dan kewarganegaraan. Dan, berangkat dari paham tersebut,
(seharusnya) berakhirlah semua bentuk dan praktik diskriminasi berdasarkan ras dan etnik. "Orang-
orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak
kelahirannya."

Logikanya, kalau sudah dinyatakan asli berarti hak dan kewajibannya sama. Juga tidak boleh terjadi lagi
pembedaan perlakuan dalam hal akte kelahiran, bukti kewarganegaraan, ganti nama, KTP, urusan
imigrasi, dan lain-lain. Kali ini, Tionghoa Indonesia (dan orang-orang bangsa Indonesia asli dari bangsa
lain seperti Arab, India, dan Belanda) boleh bernafas lega karena mendapat perlindungan hukum yang
kuat atas status kewarganegaraannya. Lebih dari itu, mereka dinyatakan sebagai bangsa Indonesia asli.

* Suku Tionghoa

Dengan tegas Menteri Hukum dan HAM mengatakan, UU 12/2006 menjadikan orang Tionghoa
Indonesia menjadi suku Tionghoa Indonesia. Suku itu memang berbeda dari suku-suku lain yang sangat
dipengaruhi secara geografis. Suku Jawa umumnya tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Suku Sunda umumnya tinggal di Jawa Barat, demikian seterusnya.

Akan tetapi tempat tinggal suku Tionghoa Indonesia terserak di berbagai pelosok tanah air. Pengakuan
sebagai suku itu menjadikan budaya Tionghoa Indonesia diakui pula sebagai bagian dari budaya
Indonesia. Alur pikir demikian menjadikan ikon-ikon seni dan budaya Tionghoa Indonesia, seperti
barongsai.
Barongsai memang sangat popular. Tetapi ikon budaya Tionghoa Indonesia tidak berhenti hanya pada
barongsai. Ada khasanah budaya lain yang tak kalah tinggi nilainya, sehingga bisa memberi sumbangan
kepada pemerkayaan budaya Indonesia, misalnya seni tari, seni musik, seni peran, seni busana, seni
sastra, seni kaligrafi, seni lukis, seni bela diri, seni kuliner, dan seni arsitektur. Demikian pula fengshui,
gwamia, pekjie, dan juga pecinan. Semuanya bisa memberi sumbangsih kepada budaya Indonesia.

* Imlek Semawis

Dalam suasana seperti itu tibalah Imlek. Sebuah ritual tradisi atau adat istiadat yang mengambarkan
kegembiraan dan syukur menyambut musim semi. Mereka yang berusia 50 tahun ke atas bisa
bernostalgia tentang Imlek di masa kecil.

Dua minggu penuh dengan luapan kegembiraan (duniawi) dan syukur (rohani). Pasar malam, bersih-
bersih altar dan rumah, jalan yang ramai dengan kelompok-kelompok keluarga saling berkunjung. Suara
mercon, semarak lampion, berkumpulnya sanak keluarga dari jauh, penghormatan kepada orang tua,
kepada leluhur, dan kepada Tuhan. Dan, yang sekarang terasa hilang juga adalah masuknya budaya lokal
dalam perayaan Imlek: musik khas tanjidor, penabuh gender berkeliling.

Dalam buku ''Riwajat Semarang'' karya Liem Thian Joe, dikisahkan tentang perayaan Capgomeh di
Betawi. Pesta penutup perayaan Imlek itu disebutkan menjadi arena mencari jodoh di antara orang
muda. Hal semacam itu sudah tidak lagi ada pada pertengahan abad ke-20.

Kini, awal abad ke-21, gaya perayaan Imlek juga menjadi lain, lebih terasa sepi, seakan kehilangan
ruhnya. Pasar Semawis di Semarang yang sudah digelar beberapa kali, mengambil ide dari pasar malam
Semarang tempo dulu. Panitia berusaha mati-matian menghidupkan kembali suasana Imlek. Tapi, usaha
itu tetap saja belum mampu memulihkan ritual Imlek yang terasa lebih kuat mempengaruhi jiwa
sebagaimana terjadi sekitar lima dekade lewat.

Inilah dampak panjang ikhtiar pemusnahan budaya Tionghoa Indonesia oleh para penguasa waktu itu.
Sebuah kepentingan politik yang diberi label gagah nasionalisme.

Anda mungkin juga menyukai