Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Secara biologis, wanita dan laki-laki berbeda. Perbedaan itu menunjukkan pada jenis

kelamin mereka (sex) yang kodrati. Namun secara historis masyarakat memiliki stereotypes
terhadap prasangka-prasangka psikologis terhadap perbedaan kodrati itu. Bahwa berdasarkan
citi-ciri fisik biologis pada wanita dan laki-laki, ditentukan bahwa peran utama wanita ialah
bekerja di dalam rumah (ranah domestik) seperti merawat anak, memasak, dan membereskan
pekerjaan rumah, sedangkan peran pria ialah sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah
utama keluarga di luar rumah (ranah publik). Sehingga scara langsung atau tidak langsung
terciptalah ketergantungan ekonomi istri terhadap suami (ketimpangan gender).
Berbagai bentuk persoalan ini seringkali dipandang sebagai sebuah persoalan yang lebih
banyak dimunculkan oleh adanya budaya patriarki yang mengharuskan perempuan tunduk
dan patuh pada suami. Di samping itu perempuan menjadi tergantung secara ekonomi kepada
suami. Ketergantungan inilah yang dipandang telah meletakkan perempuan pada posisi yang
sulit di hadapan suami. Perempuan menjadi tidak bisa melawan pada saat menerima perlakuan
kekerasan karena secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya.
Bagi mereka persoalan perempuan di sektor domestik timbul, karena secara ekonomi
perempuan dalam posisi lemah. Mereka menganggap jika secara ekonomi seorang perempuan
tergantung kepada suaminya, maka ketika menerima kekerasan atau perlakuan yang dirasakan
tidak sebagaimana mestinya dari suaminya, perempuan tidak berani bereaksi atau bertindak
lantaran takut kehilangan suami yang menjadi tumpuan hidupnya secara ekonomi.
Tetapi dengan seiring waktu perempuan yang hanya berkutat di sektor domestik dalam
perspektif feminisme liberal dianggap sudah bukan masanya lagi, perspektif ini sesungguhnya
muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal umumnya yang menjunjung tinggi nilai
otonomi, persamaan dan nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama
dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum
perempuan, mereka tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok permasalahan. Asumsi
dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan sekualitas berakar
pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan umum. Kerangka feminisme liberal
dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak
yang sama sebagai individu termasuk di dalamnya hak kesempatan kaum perempuan. Dan
berdasarkan perspektif ini bisa-bisa dinilai sebagai penolakan terhadap kelanggengan
ketertindasan perempuan di bawah laki-laki. yang menjadikan para perempuan tidak bisa

tinggal diam, dan memilih untuk bekerja memasuki sektor publik untuk dapat membantu
menafkahi keluarganya.
Contohnya seperti penelitian wanita pedagang di Pasar Cik Puan, yang di mana pada
kenyataan suami tidak selalu dapat melaksanakan peran dan fungsinya tersebut, wanita pun
telah masuk ke ranah publik, berperan sebagai pencari nafkah utama sebagai pedagang di
Pasar Cik Puan.
II.
KONSEP KELUARGA DAN MATRIFOKAL
Keluarga merupakan suatu bentuk dari awalnya tercipta hubungan sosial, yang di mana
hubungan sosial itu berawal dari hubungan suami dan istri yang membentuk suatu jalinan
kekeluargaan yang besar dari pihak sang suami maupun sang istri dan juga membentuk suatu
institusi sosial yang baru melalui keturunan mereka. Seperti yang diutarakan oleh
G.P.Murdock berdasarkan penelitiannya pada kurang lebih 250 kebudayaan di dunia
menunjukkan bahwa susunan keluarga dapat berbentuk keluarga besar (extended family) dan
keluarga batih (nuclear family) yang terjelma akibat hubungan perkawinan antara lelaki dan
wanita (Budhisantoso, 1990). Namun keluarga batih lebih universal penyebarannya. Untuk
melihat pengaruh keluarga batih kepada tatanan ruang maka sebaiknya dilihat juga adanya
struktur keluarga yang lebih mendalam. Antara lain, terdapat beberapa jenis hubungan sosial
di dalam keluarga batih yang mempunyai fungsi khusus dan amat penting di dalam mengatur
hubungan seks, kerjasama ekonomi, dalam memperbanyak keturunan dan penyelenggaraan
pendidikan anak. Pola tersebut, antara lain pola hubungan antara ayah dan ibu, ayah dan anak
laki-laki, ayah dan anak perempuan, ibu dan anak laki-laki, ibu dan anak perempuan,
hubungan kakak beradik laki-laki, hubungan kakak beradik perempuan, hubungan kakak
beradik lelaki dan perempuan.
Dalam perkembangannya pada keluarga batih dikenal juga adanya penyimpangan yang
dimana kehadiran suami ayah tidak teratur maka timbullah gejala matrifokal. Menurut Peter
Kunstadter (1963) pola ini menunjukkan bahwa istri-ibu lebih besar pengaruh dan tanggung
jawabnya terhadap keluarga dibandingkan dengan suami-ayah. Pola ini dikenal pada
masyarakat Negro di kepulauan Karibia dan Minangkabau di Sumatra Barat. Struktur
kekerabatan ini menunjukkan adanya peranan yang cukup besar dari perempuan dalam
struktur sosial suatu keluarga. Dalam perkembangan lebih lanjut pada masyarakat saat ini
terjadi sistem kekerabatan antara laki-laki dan perempuan yang lebih egaliter (persamaan
derajat) kekuasaannya.

Matrifokalitas adalah suatu sistem kekerabatan yang menempatkan peran ibu secara
struktutral, kultural, dan afektif dalam

posisi yang sangat penting dan justru mendapat

legitimasi. Hal semacam ini menurut Tanner terdapat dalam masyarakat yang hubungan jenis
sifat egaliter dan secara ekonomis dan sosial para laki-laki dan perempuan memiliki peran
yang penting. (Tanner, 1974: 131).
Matrifokal merupakan ciri budaya yang sangat mempengaruhi tingginya posisi kaum
perempuan mencakup sistem kekeluargaan bilateral, penekanan pada sifat saling melengkapi
daripada pertentangan dalam relasi gender, dan hierarki, terutama berdasarkan umur dan
status sosial. Pada saat perkawinan ketika kaum pria membayar mas kawin, pola budaya
setempat cenderung berpusat pada ibu (matrifokal), dan jaringan di antara kaum perempuan
yang berkerabat sering merupakan basis pembentukan suatu kelompok masyarakat. Di bidang
ekonomi, kaum perempuan biasanya menguasai uang belanja rumah tangga dan berpartisipasi
dalam kegiatan pertanian, perdagangan, dan profesi lainnya.
Posisi perempuan di sini mempunyai peranan yang cukup penting dalam sistem keluarga.
Karena dalam keluarga matrifokal peran perempuan memiliki peran penguasa dalam sumber
daya suatu keluarga, sehingga ia dapat memiliki andil di dalam mengambil keputusan untuk
keluarganya, biasanya faktor ini terjadi akibat dari peran perempuan juga bekerja keluar di
ranah publik.
2.1 . Kodrat Perempuan di Dalam Struktur Keluarga
Kodrati perempuan di dalam masyarakat pada umumnya bahwa peran utama seorang
perempuan adalah merawat anak karena sudah memiliki kodrat alam hanya wanita yang bisa
melahirkan, selain itu pekerjaan wanita hanya berada di dalam kegiatan rumah tangga (ranah
domestik); seperti memasak, membersihkan rumah, dan menghabiskan sebagian besar
waktunya didalam rumah. Sedangkan peran laki-laki adalah sebagai kepala keluarga yang
kerja mencari nafkah utama keluarga di luar rumah (ranah publik).
Kodrati perempuan selalu dikait-kaitkan dengan hal psikologisnya. Bahwa mengapa peran
perempuan selalu berada di ranah domestik karena perempuan memang makhluk yang pasif
dan permisif yang pada dirinya melekat perasan penuh kasih saying, atau memiliki sifat
keibuan. Berdasarkan teori tentang sifat-sifat keibuan (mothering) pada perempuan
menunjukkan unsur psikolois internalnya yang membuatnya dengan sukarela melestarikan
kepercayaan masyarakat tentang peranan perempuan yang lebih banyak mencurahkan
kemampuan dan tanaganya dalam rumah tangga. Dengankata lain bahwa posisi dan aktivitas

perempuan dalam rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang alamiah (natural), karena
melekat pada emosi diri perempuan itu sendiri; sebaliknya dengan laki-laki yang tidak
memiliki sifat seperi itu membuat dirinya akan banyak bergerak di domain publik
(Chocodrow, 1983).
Tetapi di dalam kodratinya perempuan memiliki peran penting di dalam struktur keluarga
salah satunya seperti sistem keluarga tradisional Jawa didasarkan pada keluarga inti. Setelah
menikah, pasangan mungkin hidup dengan baik suami atau keluarga istri (biasanya keluarga
istri), tetapi mereka hidup sendiri segera setelah mereka dapat mendukung diri mereka
sendiri. Kekerabatan organisasi keturunan diperhitungkan sama melalui ayah dan ibu. Suami
adalah kepala keluarga, dan istri adalah manajer rumah tangga, yang bertanggung jawab
untuk kegiatan rumah tangga sehari-hari.
Sementara perdebatan tentang kodrat umumnya dilakukan dalam kerangka kemampuan
dan praktik berdasarkan gender, sebuah benang merah dalam pustaka etnografi menyoroti
keunikan masing-masing individu. Ide ini berasal dari kaitannya nasib dalam agama Islam.
Arti nasib dalam Islam, yang disertai kemampuan unik pada setiap orang. Nasib menentukan
kepribadian dan pilihan individu, menakdirkan kekasih dan perkawinan (jodoh), waktu dan
cara kematian, dan, yang paling relevan dengan pembahasan saya di sini adalah, nasib
ekonomi setiap orang atau rezeki. Suatu konsep yang mirip (rejeki) juga ditemukan
dipegunungan Meratus, sebuah kawasan yang tersisih (tetapi bukan berarti tidak terpengaruh)
oleh Islam: Seperti dikatakan oleh Tsing, dalam konteks daerah Meratus, orang tua dan sanak
keluarga lainnya tidak memiliki banyak cara untuk menumpuk sumber daya dan
mewariskannya kepada seorang anak. Yang berbeda bagi setiap individu adalah praktik
melakukan mata pencaharian dan mendapatkan rejeki . Rejeki seseorang dapat diperoleh
melalui kerja sama dengan orang lain: dengan kelompok umbun atau perladangan berpindah
(biasanya sepasang suami-isteri), dan dalam kelompok yang lebih besar yang mencari
keberuntungan besar secara kolektif melalui ritual-ritual masyarakat. Pada saat yang sama,
pembicaraan mengenai rejeki menjelaskan mengapa manusia, bahkan sanak keluarga,
menempuh jalan hidup mereka sendiri-sendiri (1984:491). Sebagai individu-individu yang
unik, manusia diharapkan mengungkapkan keinginan-keinginan pribadinya, dan mencari cara
untuk mewujudkan keberuntungan mereka sendiri. Meskipun mereka biasa hidup dan bekerja
bersama orang lain, bentuk hubungan mereka umumnya bersifat sukarela dan sementara,
karena nasib mereka pada akhirnya berada di tangan mereka sendiri. Ditingkat pemisahan ini,

kaum pria dan kaum wanita di Asia Tenggara sama-sama memiliki kodrat yang lengkap. Yang
menjadi isu di Asia Tenggara bukanlah perbedaan konsep kodrat kaum wanita/kaum pria,
tetapi bagaimana keunikan spiritual manusia terungkap secara berbeda antara kaum wanita
dan kaum pria, dan tidak dengan katakata atau ucapan, tetapi dalam konteks operasional
pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Para peneliti feminis berusaha mencari letak perbedaan yang membuat berbeda posisi
kaum wanita di Asia Tenggara, hal tersebut sulit dipahami bahwa wanita yang ikut andil
dalam memberikan kekuasaan dan martabat yang lebih besar kepada kaum pria (Atkinson
1990:90). Keuntungan kaum pria tidak terdapat dalam konsep kodrat saja: Errington menulis
bahwa di sebagian besar kawasan di Asia Tengara laki-laki dan perempuan dipandang
sebagai makhluk yang sama, yaitu, makhluk yang memiliki jiwa dan fungsi sangat mirip atau
setara (1990:39).
Dan sebaliknya, dalam teori lokal, akses yang berbeda pada kekuasaan bagi laki-laki dan
perempuan cenderung tidak berada pada tingkat ciri-ciri gender 'seseorang' atau analogi
anatomi, tetapi dalam kenyataan kaum wanita dan kaum pria pada dasarnya sama, tetapi
karena keterlibatan atau ketidakberhasilan wanita untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas
tertentu, mereka cenderung menjadi tidak menonjol dan berkuasa (1990:40; Atkinson 1990;
Tsing 1990:124). Kunci martabat kaum pria yang lebih besar muncul dalam hal-hal praktis
tempat mereka terlibat. Errington (1990:7) membantah bahwa kesibukan kaum wanita dalam
masalah-masalah ekonomi dan perhatian mereka terhadap uang bukan merupakan tanda-tanda
kekuasaan (sebagaimana dipahami oleh orang Barat), tetapi justru menunjukkan kelemahan.
Menurut Atkinson (1990) kaum wanita Wana di pedalaman Sulawesi tidak dilarang
mencari tahu dan memperoleh kekuatan spiritual dan berperan sebagai dukun namun karena
mereka terikat dengan siklus pekerjaan tahunan di ladang dan katanya tidak memiliki cukup
keberanian, mereka jarang melakukan perjalanan ke dalam hutan dan tempat-tempat yang
jauh tempat kekuatan spiritual dapat diperoleh. Begitu juga di Kalimantan, Tsing (1984, 1990)
mengamati bahwa kaum pria Meratus dalam pembagian kerja menurut gender (persiapan
lahan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan, dan perjalanan untuk melakukan perdagangan
di berbagai pasar yang jaraknya jauh) mendapat status khusus. Selain itu, dalam kondisikondisi yang tidak mendukung hirearki yang dilembagakan dan kepemimpinan formal,
martabat dan pengalaman yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas ini yang memberi peluang
pada kaum pria untuk menampilkan diri mereka dalam forum politik, yang dihadiri kaum pria

dan kaum wanita dan sebagian besar bersuara, tetapi hanya suara kaum pria tertentu yang
didengarkan.
2.2 Otonomi Perempuan di Dalam Keluarga
Secara hakiki kaum perempuan dengan kepribadian yang khas mempunyai peranan yang
sama penting dengan laki-laki. Dengan begitu dalam rangka pembangunan nasional pun
perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama untuk mengaktualisasikan diri.
Hal yang membedakan mereka adalah bentuk kodrati yang membawa pada konsekuensi yang
berbeda, misalnya perempuan mempunyai kekuatan fisik yang lebih lemah dari pada pria,
maka perempuan tidak diberi beban tugas fisik yang lebih berat daripada laki-laki. Menjadi
jelas bahwa perempuan dan laki-laki berbeda tetapi saling membutuhkan, sehingga mereka
harus saling tolong-menolong, saling mengisi kekurangan masing-masing (saling melengkapi)
karena masing-masing dari mereka mempunyai hakikatnya (Fauzie Ridjal, dkk., 1993; 29).
Dengan demikian tidak perlu diperdebatkan secara mendasar antara perempuan dan lakilaki,
karena masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam mengisi pembangunan
dalam bidang apapun, sepanjang tidak menyimpang dari kodrat masing-masing. Di samping
itu perempuan terus berupaya menemukan hakikat dirinya yang khas untuk disumbangkan
bagi kesejahteraan manusia, termasuk kelebihan dan kelainannya.
Menemukan jati diri sebagai kaum perempuan bukan harus diujudkan dalam
keberhasilannya dalam jabatan-jabatan tertentu yang menunjukkan persamaan derajat dengan
laki-laki, namun lebih melihat pada aspek otonomi dirinya dalam melaksanakan tugas
kemanusiaan dan keperempuannnya sesuai dengan hati nurani yang tulus. Perempuan tidak
harus tampil di depan mempimpin kaum laki-laki. kaum laki-laki. semua itu pada hakikatnya
lebih berkaitan dengan otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan tindakannya,
karena selama ini nyaris perempuan dengan predikat sukses tidak membedakan realitas
kodrati.
Keterlibatan wanita disektor publik membawa dampak terhadap peranan wanita dalam
kehidupan keluarga. Di satu pihak, wanita bekerja dapat berperan membantu ekonomi
keluarga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, disisi lain peranannya dalam
urusan rumah tangga (domestik) menjadi berkurang karena lamanya waktu yang digunakan
untuk aktivitas di luar rumah tangga (publik).

Di Asia Tenggara telah lama dikenal sebagai daerah di mana perempuan memiliki status
yang tinggi. Banyak literatur yang telah mendokumentasikan posisi menguntungkan
perempuan Jawa. (Hull, 1982) mencatat bahwa status perempuan di Jawa tampaknya berada
di depan itu di negara-negara Asia lainnya. Di ranah domestik, otonomi perempuan juga telah
diakui secara luas. Orang Jawa percaya bahwa suami dan istri harus bekerja sama sebagai
sebuah tim. Saat itu istri, misalnya, yang memiliki kontrol keuangan keluarga, dan karenanya
membuat banyak keputusan keluarga. Di sebuah kota di Jawa Tengah, (Hull, 1982)
menemukan bahwa dalam setiap kategori pendapatan dan kelas sosial, 80% wanita menikah
mengklaim bahwa itu adalah mereka yang memelihara pendapatan rumah tangga. (Geertz,
1961) mengamati bahwa istri membuat sebagian besar keputusan rumah tangga. Mereka
biasanya berdiskusi dengan suami mereka hanya hal-hal utama. "Laki-laki kuat berkemauan
keras mungkin memiliki hubungan kemitraan yang setara dengan istri mereka, tetapi keluarga
sebenarnya didominasi oleh orang yang sangat langka."(Geertz 1961, 45) Sebuah jaringan
yang kuat dari hubungan antara perempuan Jawa terkait menghasilkan "matrilineal" sistem
kekerabatan. Seperti dijelaskan oleh Geertz: Wanita memiliki kewenangan lebih, pengaruh,
dan tanggung jawab dari suaminya, dan pada saat yang sama menerima kasih sayang lebih
dan loyalitas. Konsentrasi kedua fitur tersebut dalam peran perempuan meninggalkan laki-laki
relatif functionless dalam urusan internal keluarga inti. (1961, 79)
Selanjutnya, warisan yang sama dan kontrol perempuan aset memberikan dia kekuatan tawar
yang cukup dalam keluarga. Status relatif tinggi dan kemandirian perempuan dapat
dihubungkan dengan sistem pertanian di Indonesia. Winzeler (1982) hipotesis bahwa ketika
laki-laki dan wanita keduanya sama-sama terlibat dalam pertanian, status perempuan
cenderung menguntungkan.
2.3 Peran Pedangan Wanita Pedagang di Pasar Cik Puan
Di dalam penelitiannya Rahim (1996) menjelaskan bahwa wanita pedagang di Pasar Cik
Puan, yang di mana pada kenyataan suami tidak selalu dapat melaksanakan peran dan
fungsinya tersebut, wanita pun telah masuk ke ranah publik, berperan sebagai pencari nafkah
utama sebagai pedagang di Pasar Cik Puan. Keadaan ini diperkirakan berdampak kepada
kehidupan keluarga dan masyarakat. Meskipun pandangan dikotomi pada sebagian
masyarakat mengenai ranah domestik dari ranah publik masih kuat, dari hasil studi, ternyata

bahwa keberadaan wanita di perdagangan (ranah publik) diterima secara terbuka oleh
masyarakat, karena kemampuan kontribusi ekonominya kepada keluarga.
Meskipun mereka mempunyai keterbatasan dalam hal akses modal formal (bank,
koperasi) dan pranata sosial yang 'bias gender', namun wanita pedagang berkemampuan untuk
mengembangkan usaha dagangnya dari berdagang barang barang yang tidak berdaya tahan
lama yang diperoleh dengan modal kecil dan keuntungannya juga Kecil ke usaha dagang
barang-barang yang berdaya tahan lama dengan modal dan keuntungan yang juga relatif lebih
besar. Keberhasil mereka di ranah publik adalah atas adanya usaha sendiri dari modal awal,
modal kerja dari julo-julo uang, mobilitas dan jaringan kerja yang semakin meningkat.
Keberhasilan wanita pedagang di Pasar Cik Puan telah menempatkan posisi sosialnya pada
posisi yang 'dihormati' baik di ranah domestik maupun di ranah publik.
Kuasa wanita dalam pasar tradisional mendeskrontruksi pemahaman mengenai wacana
domestik-publik. Persepsi selama ini wanita hanya terbatas dalam ruang domestik. Artinya
peran perempuan sebatas sebagai ibu rumah tangga. Namun kenyataan di pasar tradisional
meluluhkan persepsi itu. Jika dilihat dari sudut ideologi produksi, wanita sebenarnya juga
berproduksi di ruang sosial (publik). Artinya ia juga mampu menghasilkan materi
sebagaimana laki-laki. Dalam paham materialisme pun demikian. Dalam pembagian kerja
sosial, wanita juga menempati kedudukan sebagai sebagai produsen sekaligus non produsen
walau dalam peran yang berbeda dengan laki-laki. Dalam pasar tradisional, wanita berada
dalam perspektif publik. Sebab mereka mampu berproduksi dalam ranah sosial. Pasar
tradisional menjadi lakon dalam mempersepsi ulang kuasa wanita. Wanita berada dalam ruang
domestik dan publik sekaligus.
Dengan kata lain, dominasi kaum wanita dalam pasar tradisional adalah karena para
pedagang kebanyakan adalah perempuan itu sendiri. Wanita memliki otoritas sebab
dilegimitasi oleh kaumnya yang juga menjadi pedagang. Namun jika kita menelisik lebih
dalam, maka sesungguhnya wanita memiliki peran yang besar. Kekuasaan kaum laki-laki
hanya terhenti dalam wacana dan ideologi. Ketika dihadapkan dalam keadaan faktual, maka
dominasi laki-laki hanya sebatas mitos. Dengan kata lain, dominasi wanita adalah dominasi
nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang sebenarnya dan hidup, meski dalam
ranah ideologi seringkali kalah.
2.4 Masyarakat Matrifokal di Karibia

Kawasan Karibia yang yang merupakan kawasan budak yang berasal dari warisan
masyarakat Afrika. Beberapa penulis telah menganggap jenis tertentu dari organisasi keluarga
sebagai bentuk modifikasi dari kelangsungan hidup budaya Afrika. Berdasarkan studi-studi
sistematis pertama dari organisasi keluarga, di masyarakat tertentu di Karibia, adalah yang
dilakukan oleh RT Smith di British Guyana dan oleh E. Clarke dalam Jamaica. Keduanya
memiiki

atribut

prevalensi

matrifocality,

yaitu

rumah

tangga

yang

dikepalai

perempuan, dengan kondisi sosial dan ekonomi saat ini yang membuat untuk ketidakamanan
ekonomi dan status sosial yang rendah akibatnya laki-laki yang pada gilirannya merusak
peran mereka secara sosial diharapkan sebagai suami dan ayah.
Studi lapangan RT Smith terhadap tiga masyarakat pedesaan, ditemukan korelasi antara
stabilitas ekonomi dan frekuensi perkawinan hukum. Clarke mencari penjelasannya dalam
faktor-faktor ekonomi sosial intrinsik terhadap masyarakat yang dipelajarinya, Smith
berpendapat bahwa kerja tiga komunitas Guianese yang ia selidiki bahwa 'sistem matrilineal
hubungan domestik dan kelompok rumah tangga dapat dianggap sebagai bagian depan dari
sifat marjinal. Marjinalitas peran suami-ayah ini dari laki-laki ditentukan oleh sifat tatanan
sosial Guianese yang RT Smith mendefinisikan sebagai warna sistem kelas. Pada kedua ujung
status hirarki sosial pada dasarnya ascriptive dan akibatnya statis, pada dasarnya ditentukan
oleh kriteria rasial status rendah ras-cum-sosial menyiratkan status pekerjaan yang sama
rendah. Sebagai hasil dari imobilitas sosial dan ekonomi, peran ayah suami sebagai kepala
ekonomi keluarga dan statusnya-menentukan fungsi dibatalkan. Akibatnya ia hanya kepala
keluarga selama istri benar-benar tergantung pada dia untuk subsistennya, yaitu sementara
anak-anak, tetap menjadi terpinggirkan secara bertahap sepanjang siklus perkembangan
keluarga, sehingga fungsi dasar ayah kemudian diambil alih oleh istri-ibu.
Keluarga 'matrilineal' didefinisikan dalam hal pembagian kewenangan, daripada tidak
adanya fisik yang sebenarnya dari seorang ayah suami. Dan yang paling penting, keluarga
matrifokal tidak disusun sebagai suatu pilihan alternatif keluarga 'patrifocal', tetapi sebagai
bentuk yang berkembang dari yang terakhir dalam proses perkembangan yang kebanyakan
keluarga menjalani. Pria memulai dengan niat baik untuk membentuk keluarga yang stabil,
namun karena faktor-faktor sosio-ekonomi yang kemudian terhalang dari memenuhi
tujuannya. Sebaliknya MG Smith, mendefinisikan keluarga matrilineal sebagai satu unit
sering timbul justru dari tidak adanya niat untuk membentuk sebuah keluarga yang stabil. Dia
menganggap berbagai bentuk organisasi keluarga sebagai alternatif mungkin ditentukan oleh

jenis kawin terpaksa. Sistem perkawinan adalah prinsip formatif sentral dari struktur
keluarga. Perkawinan dan pergundikan adalah dua pilihan yang berbeda memproduksi dua
jenis yang berbeda secara formal organisasi keluarga. Meskipun pergundikan dapat
berkembang menjadi pernikahan, dua bentuk perkawinan juga mungkin merupakan
pengaturan alternatif. Hal ini penting di sini bahwa RT Smith menolak segala perbedaan
normatif antara pernikahan dan pergundikan. Mengambil tempat tinggal sebagai fitur penting
dari keluarga, ia tidak memiliki tempat dalam siklus perkembangan untuk apa istilah MG
Smith kawin ekstra-perumahan dan konsekuensinya dalam bentuk organisasi keluarga.
Dengan demikian dalam faktor-faktor sosiologis yang berasal dari jenis tatanan sosial
yang berlaku di masa kolonial, di mana kelas bawah karena etnis, ekonomi dan status sosial
mereka lebih rendah seksual terpinggirkan oleh sektor dominan, bahwa seseorang harus
mencari alasan untuk mendapatkan bentuk keluarga dalam periode pasca-kolonial, dan tidak
begitu banyak dalam hubungan kerja karakteristik dari sistem perkebunan produktif
marjinalitas ekonomi atau ketidakhadiran laki-laki, dan jauh lebih sedikit bahkan dalam
'budaya kemiskinan' salah satu ciri-ciri yang akan sifat informal dan tidak stabil serikat
suami-istri tersebut, akan mengakibatkan matrifocality.
III.

ANALISIS

Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya wanita memiliki peran yang sangat besar.
Kekuasaan kaum laki-laki hanya terhenti dalam wacana dan ideologi. Ketika dihadapkan
dalam keadaan faktual, maka dominasi laki-laki hanya sebatas mitos. Dengan kata lain,
dominasi wanita adalah dominasi nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang
sebenarnya dan hidup, meski dalam ranah ideologi seringkali kalah.
Berdasarkan faktor-faktor sosial budaya yang mendukung aktifitas wanita di perdagangan
antara lain: Budaya merantau (mobilitas dan jaringan kerjanya). Begitu Pula sifat matrifokal
Minang dan kedudukan sentralnya dalam keluarga (matrilineal) berperan terhadap
'bargaining power' dalam rumah tangga dan dalam transaksi dagang.
Gejala matrifokal mucul disaat peran istri-ibu lebih besar pengaruh dan tanggung
jawabnya terhadap keluarga dibandingkan dengan suami-ayah karena di saat suami tidak
selalu dapat melaksanakan peran dan fungsinya, peran istri menggantikannya sebagai pencari
nafkah utama keluarga, memperkokoh posisi sosialnya dalam rumah tangga (ranah domestik),
karena mendapat dukungan dari anggota keluarga.

Hasil penelitian dari Rahim (1996) bahwa kontribusi ekonomi wanita pedagang dalam
keluarga memperkuat 'bargaining power'/'bargaining position-nya terhadap suami.
Kemampuan wanita pedagang dalam keluarga terlihat dari akses, dan kontrolnya terhadap
hasil pendapatan. Memotivasi anak-anak perempuan untuk masuk ke ranah publik dan
mencapai pendidikan tertinggi (Universitas).
Di dalam kesimpulannya Rahim (1996) menjelaskan bahwa keberhasilan wanita pedagang
di Pasar Cik Puan telah menempatkan posisi sosialnya pada posisi yang 'dihormati' baik di
ranah domestik maupun di ranah publik. Karena atas dukungan sosial itu terjadinya
keseimbangan dalam proses pertukaran antara suami istri. Keseimbangan pertukaran dapat
dilihat melalui pengambilan keputusan dimana baik istri maupun suami dalam mengambil
keputusan dilakukan atas dasar kesepakatan bersama. Hal ini dilakukan oleh hampir sebagian
besar respondennya dalam membuat keputusan yang menyangkut masalah alokasi dana,
reproduksi, kekerabatan.
Berdasarkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat adalah semakin banyaknya wanita
yang berperan membantu atau menggantikan peran suami dalam mencari atau membantu
tambahan untuk menafkahi kelurga, selain karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga,
wanita semakin dapat mengekspresikan dirinya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.
Hal ini mempunyai dampak kepada sikap dan cara berpikir masyarakat baik di desa maupun
di kota, yang mulai berbeda dari masa lampau, dimana kebutuhan materi cenderung menjadi
tujuan. Akibatnya dimana ada lowongan dan kesempatan untuk bekerja akan mereka lakukan
demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya Perubahan-perubahan sikap dan cara berpikir
demikian dipengaruhi juga oleh kemajuan lptek, seperti alat transportasi, komunikasi, serta
arus globalisasi yang semakin cepat.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Li, Tania, 2003. Bekerja terpisah tetapi Makan bersama: Kodrat, Kekayaan, dan
Kekuasaan dalam Hubungan Perkawinan. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 8 No.2 Oktober.
Bandung. Yayasan Akatiga.

2.

Budiman, Arief, 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta. Gramedia

3.

Rajab, Budi, 2009. Perempuan Dalam Modernisme dan Postmodernisme. Jurnal


Sosiohumaniora Vol. 11, No. 3, November. Bandung. UNPAD.

4.

Rahim, Marleyli, 1996. Thesis: Wanita Pedagang di Pasar Cik Puan: Posisi Sosialnya
Di Ranah Domestik dan Di Ranah Publik. Jakarta. UI.

5.

Alier, Verena Martinez, 1974. Marriage, Class And Colour In NineteenthCentury Cuba. United States of America. Cambridge University Press.

6.

Megawangi, Ratna, 1997. Gender Perspectives In Early Childhood Care and


Development In Indonesia. Washington D.C. The Consultative Group on ECCD.

DAFTAR ISI

I.

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

II.

KONSEP KELUARGA DAN MATRIFOKAL


II.1 Kodrat Perempuan di Dalam Struktur Keluarga
II.2 Otonomi Perempuan di Dalam Keluarga
II.3 Peran Pedangan Wanita Pedagang di Pasar Cik Puan
II.4 Masyarakat Matrifokal di Karibia

III.

ANALISIS

DAFTAR PUSTAKA

GEJALA MATRIFOKALITAS PADA MASYARAKAT


PERKOTAAN

Winda Anoem
170510080045

Jurusan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
2011

Anda mungkin juga menyukai