ADAT
dalam Dinamika Politik
ACEH
Adat
dalam
Dinamika
Politik
Aceh
ADAT
dalam Dinamika Politik
ACEH
Editor:
Leena Avonius & Sehat Ihsan Shadiqin
Banda Aceh
2010
Diterbitkan pertama kali pada November 2010,
hasil dari proyek penelitian pertama ICAIOS
‘Adat dalam Dinamika Politik Aceh’
yang dilakukan sepanjang tahun 2009-2010
Editor:
Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin.
Proofreader:
Husaini Nurdin
Editor Bahasa:
T. Murdani dan Lukman Emha
© 2010, ICAIOS.
Gedung PT ISB
Universitas Syiah Kuala
Jl. T. Nyak Arief, Darussalam
Banda Aceh. 23111. Indonesia
Diterbitkan oleh
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
bekerjasama dengan
Aceh Research Training Institute (ARTI)
Tataletak dan sampul dirancang dengan huruf Lucida oleh Khairul Umami.
Foto sampul milik Sehat Ihsan Shadiqin
LEENA AVONIUS
Leena Avonius menerima gelar doktornya pada jurusan
Antropologi dari Universitas Leiden pada tahun 2004. Setelah
menyelesaikan penelitian pascadoktoralnya di Renvall Institute
Universitas Helsinki dalam tahun 2008, dia mulai bekerja di
International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)
sebagai Direktur Internasional.
NUR LAILA
Nurlaila adalah dosen di Fakultas Ushuluddin. Alumni Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aktif di Lembaga
Jaringan Masyarakat Adat Aceh Besar (JKMA). Banyak penelitian
yang dilakukan berkaitan dengan adat, di antaranya Adat Pantang
Blang dan Pergeserannya di Aceh Besar. Enumerator untuk
beberapa penelitian di antaranya Peran Perempuan dalam Proses
Penyelesaian Masalah oleh Perangkat Adat di Gampong. Penelitian
dengan lembaga ACARP tentang Gampong Bangkit dan Gampong
tidak Bangkit Setelah Tsunami di Calang. Enumerator untuk
penelitian MDF tentang Keterlibatan Masyarakat Lemah dalam
Pengambilan Keputusan di Tingkat Gampong, juga pernah terlibat
dalam penelitian Perempuan dan Proses Perdamaian di Aceh.
Dapat dihubungi di: laila_lamsie@yahoo.com
vi KONTRIBUTOR
ZULKARNAINI
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku
Umar Meulaboh. Menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di
Universitas Kebangsaan Malaysia dalam bidang Theology of
Philosophy. Pernah meneliti tentang Respon dan Tanggapan
Siswa beserta Guru terhadap Keberadaan Universitas Teuku Umar
(2007), Pengarusutamaan Gender di Kecamatan Meureubo, Aceh
Barat (2007). Zulkarnaini Muslim dapat dihubungi lewat email:
zulkarnaini_ma@yahoo.co.id atau metazul@ymail.com
Buku ini adalah hasil dari proyek penelitian pertama ICAIOS ‘Adat
dalam Dinamika Politik Aceh’ yang dilakukan sepanjang tahun 2009-
2010 dengan dana bantuan BRR yang memungkinkan pekerjaan
ICAIOS dalam bulan-bulan awal. Tiga peneliti yang terlibat dalam
proyek penelitian pendek ini ingin mendekati istilah adat dari
perspektif yang baru dan menganalisis bagaimana posisi lembaga
adat dan tradisi-tradisi adat berperan dalam perkembangan politis
di daerah-daerah Aceh dalam masa transformasi ini. Apakah Aceh
mengalami revitalisasi adat yang cukup kuat sebagaimana daerah
lain di Indonesia sejak Orde Baru dan proses desentralisasi? Hasil
viii PRAKATA DARI ICAIOS DAN TIM PENELITI
investigasi mereka bisa kita membaca dalam buku ini. Kami harap
buku ini bisa berfungsi sebagai alat pembuka diskusi tentang
posisi adat dan lembaganya di Aceh, dan menginspirasi peneliti-
peneliti yang lain untuk mengeksplorasi isu ini secara lebih lanjut
dan dalam.
September 2010
The University of New South Wales, Australia
Daftar Singkatan
dan Istilah
Kontributor v
Pengantar
Minako Sakai ix
Daftar Isi xv
Lampiran
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 169
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 187
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2006 215
Indeks 225
Pendahuluan:
Revitalisasi Adat di Indonesia
dan Aceh
oleh: Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin
1
Istilah adatrecht sendiri pertama kali disebutkan oleh C. Snouck Hurgronje
dalam bukunya "De Atjehers" (1908) untuk memberi nama pada satu sistem
pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
PENDAHULUAN: REVITALISASI ADAT DI INDONESIA DAN ACEH 5
4
Dasarnya keistimewaan Aceh meletak dalam perjanjian perdamaian
setelah konflik Darul Islam pada tahun 1959.
14 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
6
Tigabelas lembaga tersebut adalah: 1) Majelis Adat Aceh, 2) imum mukim
atau nama lain, 3) imum chiek atau nama lain, 4) keuchik atau nama lain, 5)
tuha peut atau nama lain, 6) tuha lapan atau nama lain, 7) imum meunasah
atau nama lain, 8) keujruen blang atau nama lain, 9) panglima laot atau nama
lain, 10) pawang glee atau nama lain, 11) peutua seuneubok atau nama lain,
12) haria peukan atau nama lain, dan 13) syahbanda atau nama lain. (UU-
PA, Pasal 98(3))
16 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
7
Akhir Agustus 2010 para petinggi mantan GAM telah memilih Malik
Mahmud, Perdana Menteri GAM di masa konflik, menggantikan Hasan
Tiro sebagai Wali Nanggroe (Modus Aceh Edisi 6-12 September 2010, hlm
14-15: ’Dari Mentroe ke Wali Nanggroe’)
18 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
8
Pemilihan lokasi ini tidak dimaksudkan bahwa pembatasan kabupaten
selalu mirip pembatasan daerah-daerah adat di Aceh. Tetapi karena dalam
buku ini kami memfokuskan meneliti hubungan antara pemerintah
kabupaten dengan lembaga-lembaga adat, maka kami memilih mencocokkan
daerah penelitian dengan daerah administrasi kabupaten
20 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Peradilan Adat
Dalam kehidupan sehari-hari di gampong-gampong di Aceh,
lembaga adat masih sering dipakai dalam penyelesaian
sengketa-sengketa. Kalau ada masalah yang ternyata tidak
dapat diselesaikan di antara dua belah pihak paling sering
masyarakat di gampong minta bantuan dari keuchik untuk
menyelesaikannya. Prosedur penyelesaian sengketa di gampong
lebih mirip rekonsiliasi daripada proses hukum formal. Tetapi
harus diakui juga, seperti dikemukakan oleh Nurlaila di Aceh
Besar, bahwa belum pasti semua orang di gampong ingin
menggunakan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus
22 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
ACEH BESAR
Awalnya Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri
dari tiga kewedanan yaitu kewedanan Seulimum, Lhok Nga
dan Sabang. Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah
otonom melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1956 dengan ibu
kota di Banda Aceh. Pada 29 Agustus 1983 Kabupaten Aceh Besar
resmi dipindahkan ke Kota Jantho sebagai ibukota. Kabupaten
Aceh Besar memiliki luas wilayah 2.974,12 km, 23 kecamatan,
68 mukim dan 604 desa/kelurahan. Jumlah penduduk 309.512
jiwa (laki-laki 159.721 jiwa dan perempuan 149.791 jiwa)
dengan kepadatan 116 jiwa/km. Secara geografis terletak
pada 5,2’ – 5,8’ LU dan 95,0’ – 95,8’ BT. Keadaan alam terbagi
dalam daratan landai, tanah berbukit atau bergelombang serta
tanah pegunungan yang curam. Kondisi tersebut menyebabkan
sebagian wilayahnya berada pada pesisir pantai dan pada
bagian yang lain berada di pedalaman. Secara demografi
penduduk yang mendiami Aceh Besar adalah termasuk etnis
Aceh (ureung Aceh) dan juga di Aceh banyak sekali suku-suku
yang lain sebagai pendatang seperti Arab, Batak, India dan dan
belakangan ini banyak suku Jawa yang berdatangan khususnya
pada masa Belanda juga juga pada masa Orde Baru dengan
program transmigrasi khususnya di daerah Jantho dan Saree,
kedua daerah ini pembauran budaya cukup kentara.
26 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Kata-kata ‘NGO gender’ ini penulis kutip dari kutipan langsung pada saat
2
puteh ngen mata hitam (adat dan hukum tidak boleh bercerai
seperti zat dan sifat, seperti mata hitam dengan mata putih).
Kalaulah adagium di atas mengatakan bahwa hukum dengan
adat seperti zat dan sifat, lantas sekarang ada dua bentuk
peradilan yaitu peradilan adat dan peradilan agama.
Dalam artikel ini penulis tidak melakukan perbandingan
antara peradilan agama dengan peradilan adat, namun
berdasarkan latar belakang di atas artikel ini memfokuskan
untuk mengkaji sejauh mana revitalisasi lembaga peradilan
adat dalam menyelesaikan berbagai kasus dalam masyarakat.
Mengingat pemberdayaan peradilan adat merupakan salah
satu agenda penting dalam pemberdayaan lembaga adat di
Aceh, terutama di Aceh Besar
Revitalisasi lembaga adat sekarang terus direspon oleh
berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam
berbagai bidang termasuk peradilan adat. Majelis Adat Aceh
(MAA) sebagai lembaga bentukan pemerintah yang mengurusi
masalah adat Aceh, menjadikan program pembentukan dan
pemberdayaan peradilan adat sebagai program utama mereka
dalam dua tahun terakhir ini. Sehingga semestinya peradilan
adat terutama di Aceh Besar akan menjadi sebuah lembaga
adat yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga adat
lainnya. Mengingat letak Aceh Besar yang dekat dengan ibu kota
Provinsi Aceh, sehingga bila ada pemberdayaan oleh berbagai
pihak Aceh Besar menjadi daerah pertama atau menjadi daerah
pilot proyek untuk berbagai pemberdayaan.
Untuk keperluan menjelaskan masalah di atas, penulis
melakukan studi lapangan di beberapa kecamatan di Aceh Besar
selama Juni 2009 hingga Maret 2010. Penulis mewawancarai
30 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
masyarakat biasa, dan juga para tokoh adat dan pekerja LSM
yang melakukan program berkaitan dengan adat Aceh. Selain
itu penulis juga terlibat dalam beberapa kegiatan adat di Aceh
Besar, termasuk mengikuti beberapa proses peradilan adat
yang dilaksanakan selama melakukan studi lapangan. Penulis
juga mengikuti beberapa workshop berkaitan dengan adat,
baik yang diadakan oleh pemerintah Aceh Besar melalui MAA
atau yang dilaksanakan oleh LSM lokal dan internasional yang
bekerja di Aceh Besar.
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
3. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Mukim dalam Provinsi NAD. Dan Qanun Nomor 5 tahun
2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi
Nanggroe Aceh.
4. Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat.
5. Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Gampong dan Qanun Aceh Besar Nomor 10
tahun 2007 tentang Tuha Peut Gampong.
6. Keputusan bersama antara kepolisian, gubernur, MAA, IAIN
Ar-Raniry, Balai Syura dan Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) tahun 2008. Dalam MoU tersebut menyebutkan:
”Adakalanya proses pendekatan permasalahan kamtibmas
dan kejahatan untuk mencari pemecahan masalah melalui
upaya memahami masalah, analisa masalah, mengusulkan
alternatif solusi dalam rangka menciptakan rasa aman,
bukan berdasarkan hukum pidana tapi juga hukum-hukum
adat.”4
4
Keputusan ini memang tidak mempunyai efek hukum secara langsung,
tapi bisa juga dilihat sebagai suatu pacuan untuk pelaksanaan peradilan adat
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 39
5
Peusijuek adalah suatu serimoni untuk berdamai yang dalam serimoni
tersebut ada ketan kuning satu nampan, daun seunijuek, satu jenis rumput
on naleung sambo, on manek mano (sejenis daun yang ada bunga kecil-kecil
putih), beras, padi dan sedikit tepung. Dalam acara tersebut sebagai tanda
perdamaian kedua belah pihak yang bermasalah didudukkan dalam satu
tikar berdampingan kemudian kedua orang ini dipeusijuek oleh petua adat
dan keduanya disulangkan nasi ketan tadi dan akhirnya keduanya berjabat
tangan tanda damai
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 41
Wawancara dengan ketua Forum Duek Pakat Imum Mukim Aceh Rayeuk,
6
Desember 2009
52 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Nasihat
Keputusan ini bukan berupa sebuah denda yang diberikan
kepada pelaku, namun hanya kata-kata nasihat atau wejengan
yang diberikan oleh tokoh adat kepada si pelaku atau yang
melakukan kesalahan. Keputusan nasihat diberikan dalam
kasus-kasus ringan, misalnya adanya permasalahan fitnah dan
gosip yang tidak ada buktinya atau pertengkaran mulut antar
warga karena masalah kecil.
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 53
Teguran
Hampir sama dengan nesehat, teguran diberikan oleh
pihak yang mengadili kepada yang bersalah. Namun sifat dari
teguran ini bisa saja berupa peringatan dan bahkan sudah
termasuk pada suatu ancaman. Misalnya seorang warga yang
tidak mau ikut bergotong royong dua kali di desa. Ia akan
diberikan teguran bahwa ia akan didenda pada kali ketiga.
Ancaman denda bisa berupa tidak diberikan raskin (beras
untuk orang miskin) kepadanya.
Permintaan Maaf
Keputusan permintaan maaf sangat tergantung kepada
kasus. Dalam kasus yang bersifat pribadi, permintaan maaf juga
dilakukan oleh seorang yang bersalah kepada korbanya secara
langsung secara pribadi. Namun adakalanya permintaan maaf
dilakukan secara umum karena melanggar ketertiban umum.
Misalnya, orang yang berkhalwat di suatu desa, menurut warga
desa ia telah mengkotori desanya, maka ia harus minta maaf
di depan umum.
Diyat
Dalam sanksi ini, pelaku membayar denda kepada korban
sesuai dengan kasus atau masalah yang terjadi. Dalam kasus
yang menyebabkan keluarnya darah atau meninggal dunia,
maka hukuman dan denda dinamakan dengan diyat, atau
dalam bahasa Aceh dinamakan diet. Diyat dilakukan dengan
membayar uang atau tergantung keputusan ureung tuha
gampong, dan tergantung masalah. Dalam pengertian budaya
Aceh ini dikenal dengan luka ta sipat, darah ta sukat (luka
54 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Denda
Hukuman denda juga dijatuhkan sesuai dengan kasus yang
terjadi. Denda bisa berupa harta, atau uang. Tetapi orang yang
bersalah bisa juga didenda dengan cara dia tidak mendapatkan
pelayanan dari perangkat desa selama waktu yang tertentu.
Biasanya denda diberikan dalam kasus kesalahan yang
menyebabkan kerugian harta benda dengan menggantikannya
dengan barang lain yang memiliki fungsi yang sama.
Ganti Rugi
Hampir sama dengan denda, ganti rugi biasanya
dijatuhkan pada kasus pencurian dan atau tabrakan. Seorang
pencuri yang sudah ketahuan mencuri disuruh menggantikan
seluruh barang yang pernah dicurinya. Jumlah totalnya akan
ditentukan melalui keputusan adat. Demikian juga seorang
seorang yang menabrak harus memberikan ganti rugi sesuai
dengan kerugian yang diderita oleh korbannya.
Dikucilkan
Hukuman bisa juga diberikan oleh warga desa kepada
seseorang yang sering membuat masalah di suatu desa. Seorang
yang tidak pernah ikut gotong royong, tidak pernah ikut rapat,
tidak pernah ikut dalam kegiatan orang meninggal dan pesta
perkawinan di desa, saja dikucilkan. Artinya, jika ada masalah
REVITALISASI PERADILAN ADAT DI ACEH BESAR 55
Toep Meunalee
Sanksi ini dikenakan kepada seseorang yang menuduh
56 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pelatihan
Banyak lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah
melakukan beragam pelatihan yang menyangkut peradilan adat
di Aceh Besar. Mulai awal bulan November sampai pertengahan
Desember tahun 2009, UNDP bersama MAA telah melakukan
pelatihan peradilan adat bagi 604 keuchik di seluruh gampong
di Aceh Besar. Pelatihan ini mengajarkan keuchik tentang
tatacara dan mekanisme sistem peradilan adat yang baik.
Di samping itu juga ada beberapa lembaga yang melakukan
pelatihan yang berkaitan dengan peradilan adat, yang diikuti
oleh tokoh-tokoh adat.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa kenyataan yang terdapat di lapangan,
revitalisasi peradilan adat di Aceh Besar ternyata tidak begitu
berperan. Ada beberapa alasan untuk ini yang disimpulkan di
berikut ini.
Tidak kuatnya lembaga mukim sebagai banding perkara
dari gampong. Peradilan adat di tingkat mukim belum dibentuk
karena faktor sejarah: lembaga mukim sudah lama tidak aktif.
Sebenarnya lembaga mukim kalau kita lihat dari landasan
hukumnya sudah sangat kuat karena qanun nomor 4 tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim. Namun implementasinya
qanun ini hanya sampai ke imum mukim, dan dalam beberapa
tempat sudah ada sekretaris mukim, sedangkan struktur
lembaga mukim yang lain belum ada. Faktor lain adalah juga
karena sumber daya manusia mukim masih kurang, seperti
64 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Sumber: struktur pengurus MAA Aceh Besar dan hasil wawancara dengan
11
NAGAN RAYA
Kabupaten Nagan Raya secara geografis terletak pada lokasi
03º40 - 04º38’ Lintang Utara dan 96º11’ - 96º48’ Bujur Timur
dengan luas wilayahnya 3.363,72 Km² (336.372 hektar).
Kabupaten Nagan Raya berbatasan dengan Kabupaten Aceh
Barat dan Aceh Tengah di sebelah Utara, Kabupaten Gayo Lues
dan Aceh Barat Daya di sebelah Timur, Kabupaten Aceh Barat
di sebelah Barat dan di bagian Selatan berbatasan dengan
Samudera Indonesia. Pada tahun 2007 terdapat penduduk
dengan klasifikasi keluarga prasejahtera sebanyak 9.142 KK
(28,31 %), keluarga sejahtera I sebanyak 8.555 KK (26,49 %),
keluarga sejahtera II sebanyak 8.548 KK (26,47 %), keluarga
sejahtera III sebanyak 4.130 KK (12,79 %) dan keluarga sejahtera
plus sebanyak 1.917 KK (5,94 %). Penduduknya beragama
Islam, terdiri dari petani, peternak, nelayan, pedagang, PNS
dan TNI/Polri. Terdiri dari suku Aceh, Jawa, Padang, Batak.
Nagan Raya adalah kabupaten baru dari pemekaran kabupaten
induknya Aceh Barat. Pemekaran kabupaten ini terbentuk
pada tanggal 2 Juli 2002. Pada tahun 2007 Nagan Raya telah
mengalami pemekaran wilayah kecamatan yaitu dari 5 (lima)
kecamatan menjadi 8 (delapan) kecamatan. Saat ini Nagan
Raya memiliki 27 mukim dan 223 gampong.
70 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Sejarah Peuleukung
Kedatangan orang Arab ke kepulauan Nusantara sebahagian
dengan tujuan berdagang. Akan tetapi mereka datang tidak
hanya membawa barang-barang dagangan, melainkan juga
membawa agama Islam. Di Hadramaut (Yaman Selatan), para
pedagang ini dikenal berpengetahuan luas, pedagang dan
72 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
1
Samaran dari nama tokoh agama, pengikut setia Abu Habib Muda
Seunagan.
74 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Stratifikasi Sosial
Di daerah Nagan Raya menurut perjalanan sejarah terdapat
pelapisan sosial (golongan-golongan) pada masyarakat,
terutama pada masa yang lalu (saat masih berdirinya kerajaan
kecil). Pelapisan sosial itu terbentuk berdasarkan keturunan dan
mempunyai kedudukan tersendiri di dalam masyarakat saat
itu. Pelapisan sosial pada masa lalu dalam masyarakat Nagan
Raya dapat dibagi dalam; golongan ulee balang yang memegang
tampuk pemerintahan (raja) beserta keluarganya; golongan ulee
76 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
2
Arti reusam apabila ditafsirkan sesuai maksud isi reusam itu sendiri
adalah adab, karena maksud reusam terkandung tiga unsur yaitu diplomasi,
keprotokolan dan etika. Dalam ketiga unsur itulah terkandung adab, karena
yang berperan sebagai pelaksana reusam itu ada dua: Laksamana dan
Bintara.
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 77
bahwa agama dan adat “lagee zat ngon sifeut” (seperti zat
dengan sifat), artinya perintah agama dijadikan petunjuk dan
kebiasaan adat oleh masyarakat. Tergambar dari keterangan
gambar logo dari Kabupaten Nagan Raya di poin ke 5 berbunyi:
“Dalong (dulang), cawan dan perangkat alat untuk peusijuek,
melambangkan adat budaya memuliakan tamu yang sudah
menjadi turun-temurun dalam masyarakat Kabupaten Nagan
Raya.”
Ada banyak jenis upacara adat yang ada di Nagan Raya.
Namun sebagian dari tradisi adat ini telah hilang seperti diakui
oleh beberapa tokoh masyarakat. Sherwin3 dan Shilin4 misalnya
mengemukakan, dalam penjualan tanah, dulu ada kenduri bu
leukat (nasi ketan), sehingga semua saksi dalam hal jual beli
ini datang. Demikian juga dalam pembagian harta warisan,
dulunya setelah selesai pembagian selalu diadakan kenduri dan
dipanggil seluruh ahli famili sebagai bentuk syukuran. Dalam
kenduri perkawinanpun ada sebagian tata cara adat yang telah
ditiadakan seperti menaikkan pengantin ke atas tandu, atau
pengajaran oleh penganjo (pendamping pengantin) dalam hal
tata cara bersuami istri dan sebagainya. Namun ada banyak
upacara adat yang masih dilaksanakan secara besar-besaran di
Nagan Raya sampai saat ini. Di bawah ini ada beberapa upacara
adat yang membedakan adat Nagan Raya dari daerah Aceh
yang lain.
Nama samaran dari tokoh masyarakat salah satu gampong di Nagan Raya.
3
4
Nama samaran dari salah seorang keuchik di salah satu gampong dalam
kawasan Nagan Raya.
80 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Kenduri Perkawinan
Secara garis besarnya upacara adat di Nagan Raya bisa
dikelompokkan kepada dua jenis kenduri; keureuja udep (kerja
hidup) dan keureuja mate (kerja mati). Pelaksanakan upacara
adat di Nagan Raya masih sangat kental nuansa adatnya, hal
ini tergambar dari keureuja udep dan keureuja mate tersebut.
Masyarakat tidak main-main dalam menjalankan adat istiadat
ini. Contohnya, untuk keureuja udep upacara perkawinan;
mulai dari proses peminangan sampai dengan upacara pesta
perkawinan dilangsungkan, ada tahapan-tahapan yang harus
dilewati, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kedua belah keluarga mempelai; mulai dari membawa ranup
meuh (sirih emas) saat acara pelamaran, bu meudalong (nasi
dulang) saat peresmian dan sebagainya. Bu meudalong itu harus
dibawa dan saling berbalas. Kalau bu bit (nasi biasa) dibalas
dengan bu leukat (Nasi Ketan). Apabila tidak dipenuhi biasanya
akan terjadi perselisihan/ pertengkaran antar dua keluarga dan
berakibat ditundanya upacara perkawinan sampai dipenuhinya
aturan adat gampong tersebut.
Dalam pelaksanaan adat istiadat perkawinan, selalu diawali
oleh adanya kesepakatan dua insan (agam ngon dara/laki
dengan perempuan) yang disambut baik oleh kedua orang tua.
Namun, kebiasaan di Nagan Raya secara tradisi kesepakatan
awal terjadi antar hubungan kedua belah pihak orang tua
agam dengan dara atau pihak ketiga (wali) yang merencanakan
untuk mengikat hubungan persaudaraan dengan menjodohkan
putra-putri saudara mereka (para orang tua atau wali calon
mempelai). Langkah berikutnya adalah mengawali usaha
perjodohan ini dengan pemanggilan tuha gampong (tetua
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 81
Kenduri Kematian
Berkenaan keureuja mate (kenduri orang meninggal)
oleh keluarga dekat, dan juga oleh keluarga dari pertalian
perkawinan membawa tilam gulong yang disesuaikan menurut
kemampuan. Menurut Jimali,5 tilam gulong adalah adat khas
Nagan Raya yang tidak ditemukan di daerah lain. Seorang
narasumber saya, Bapak Jamaluluddin, tilam gulong ini wajib
dalam adat disediakan oleh menantu perempuan kepada pihak
mertua laki-laki sebagai pertanda anak almarhum adalah laki-
laki dan akan menyusul adat berikutnya dari pihak besan
selama tujuh hari berturut-turut misalnya membawakan
kambing, sayur, kelapa, minyak dan lain-lain sesuai dengan
Kenduri Laot
Sebagian masyarakat Aceh percaya bahwa makhluk-
makhluk halus yang jahat mendiami tempat-tempat yang
angker seperti hutan, laut, lubuk yang dalam, kuala, rawa-rawa,
pohon-pohon besar dan sebagainya. Makhluk-makhluk ini
dianggap mengganggu masyarakat. Untuk menolak gangguan
tersebut mereka mengadakan berbagai jenis upacara. Upacara
ini dilakukan dengan berbagai cara atau bentuk. Ada yang
melakukannya dengan mengadakan kenduri di tempat-tempat
yang dihuni oleh makhluk halus tersebut, seperti di bawah
pohon besar, kenduri laut dan sebagainya (Rusdi Sufi dan Agus
Budi Wibowo 2007: 63), namun ada pula yang melakukannya
di rumah atau masjid/mushalla dengan diniatkan untuk
keselamatan bersama.
Khusus bagi masyarakat nelayan dalam wilayah Nagan Raya
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 87
7
Musim Timur merupakan musim banyaknya nelayan turun ke laut karena
ombak lautnya tidak besar seperti musim Barat.
Nama samaran salah satu unsur pimpinan dalam Lembaga Adat Laot
8
Kenduri Blang
Kenduri Blang sebenarnya juga dilaksanakan di hampir
semua tempat di Aceh, tetapi untuk kenduri secara besar-besaran
jarang dilakukan di tempat lain. Upacara adat ini dilakukan
menjelang petani turun ke sawah sebagaimana hasil keputusan
rapat pada tingkat kecamatan. Dalam pertemuan penentuan
tersebut pihak kecamatan mengundang imum mukim,
keujruen chik (keujruen tingkat kecamatan), hop keujruen
(keujruen di tingkat mukim), keujruen gampong, dan para ahli
pham gampong (cerdik pandai) untuk bermusyawarah terlebih
dahulu dengan tibanya masa turun ke sawah. Biasanya mereka
terlebih dahulu membentuk panitia kenduri, menetapkan
lokasi, dan memastikan berapa biaya yang diperlukan. Kenduri
ini untuk tingkat kecamatan dilaksanakan dengan memotong
kerbau atau kambing dan mengundang orang-orang luar yang
dianggap penting dan seluruh masyarakat dalam kecamatan
tersebut.
Nama samaran dari salah satu tokoh masyarakat di Nagan Raya yang
15
Nama samaran.
17
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 95
TRK adalah adik kandung Bupati Nagan Raya saat ini. Berita ini dimuat
18
pada Harian Serambi Indonesia 22 Agustus 2009 “Soal Politisasi Acara Zikir
di Nagan”.
Harian Serambi tanggal 23 Agustus 2009.
19
CM adalah adik ipar Bupati Nagan Raya saat ini, yang Khusus mendatangi
20
ketika lokasi pesantren ini diserang aparat keamanan pada saat konflik Aceh
berlangsung.
Liputan Harian Serambi Indonesia yang dimuat pada tanggal
24
15
September 2009, halaman 10.
100 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Puasa tumpang adalah berbuka pada siang hari atau sore hari di bulan
25
Nama samaran dari tokoh salah satu aliran yang berbeda dengan ajaran
26
REVITALISASI LEMBAGA ADAT DI NAGAN RAYA 105
Peuleukung.
Nama samaran dari seorang aktivis perempuan.
28
merupakan nama kecil beliau yang saat ini sebagai Bupati Nagan Raya.
108 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Nagan Raya lembaga adat ini sudah lama hilang sejak zaman
Jepang yang memang sengaja dihilangkan fungsinya. Namun
hal ini tidak menyebabkan adat istiadat di Nagan Raya
mengikut hilang, bahkan masih begitu terjaga kelestariannya.
Salah satu tokoh adat Teungku Muhammad,30 mengatakan
hal ini terlihat dari praktek adat institusi keluarga dan para
pengikut Abu Peuleukung.
Diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh berkonsekuensi pada diberikannya
kedudukan hukum yang kuat terhadap pemerintahan mukim
dan gampong dalam sistem pemerintahan Aceh. UU tersebut juga
mengatur bahwa setiap kabupaten berwajib membuat qanun
mukim sendiri untuk mengatur secara teknis posisi dan fungsi
lembaga adat tersebut. Ternyata di Nagan Raya qanun tentang
mukim belum ada. Draf penjelasan atas Qanun Kabupaten Nagan
Raya Tentang Pemerintahan Mukim ini, saya dapatkan ketika
berkunjung yang kedua ke kantor Jaringan Komunitas Masyarakat
Adat Bumi Teuku Umar (JKMA BTU). Menurut penjelasan dari
Sekretaris Pelaksana JKMA BTU draf ini telah diserahterimakan
ke Bupati Nagan Raya pada bulan Maret 2009, beserta dengan
Qanun Kabupaten Nagan Raya Tentang Pemerintahan Mukim,
namun belum ada pengesahannya sehingga belum dinomorkan.
Meskipun Pemerintah Daerah Nagan Raya belum
mengeluarkan qanun mukim ini tidak berarti ketidakpedulian
terhadap lembaga-lembaga adat. Pemerintah Nagan Raya telah
menyediakan beberapa insentif setiap bulannya kepada para
Nama samaran dari salah satu unsur ketua dalam lembaga MAA
30
Kesimpulan
Dari apa yang telah saya kemukakan di atas tampak bahwa
praktek adat di Nagan Raya terkait erat dengan kuasa
Peuleukung di samping kebanggaan masyarakatnya dalam
mempertahankan sebutan Rameune Nagan. Kondisi ini
menyebabkan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan
daerah melalui otonomi khusus, termasuk dengan lahirnya
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) tahun 2006, tidak
memberikan pengaruh signifikan dalam revitalisasi lembaga
adat di Nagan Raya. Besarnya adat belum disertai dengan upaya
revitalisasi terhadap lembaga adat itu sendiri sehingga peran
dari lembaga adat tidak berpengaruh besar terhadap eksistensi
adat dalam masyarakat. Namun figur Peuleukung selalu
menjadi acuan bagi sebagian masyarakat dalam pelaksanaan
adat, termasuk di dalamnya lembaga adat dan pemerintahan.
Wacana dan Peran
“Orang Adat” dalam
Revitalisasi Adat Gayo
oleh: Sehat Ihsan Shadiqin
BENER MERIAH
Bener Meriah merupakan salah satu daerah kabupaten hasil
pemekaran dari Aceh Tengah pada tahun 2004 yang mayoritas
(80%) dihuni oleh suku Gayo. Selain Gayo, di Bener Meriah
ada juga suku Aceh, Jawa dan Minang. Suku Aceh umumnya
mendiami daerah bisnis, seperti Simpang Balek dan Pondok
Baru. Suku Jawa merupakan pendatang yang dibawa Belanda
pada masa penjajahan dan melalui program transmigrasi
pada masa Orde Baru. Sementara suku Minang merupakan
minoritas yang membuka warung makan di berbagai daerah
di Bener Meriah. Suku Gayo juga ada di Aceh Tengah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara dan satu kecamatan di Aceh Timur.
Secara administratif Bener Meriah dibagi dalam 7 kecamatan,
14 kemukiman dan 232 gampong. Dengan jumlah penduduk
118.660 orang, sementara luas wilayah mencapai 1.888,70
km2, maka tingkat kepadatan penduduk di Bener Meriah hanya
63 orang/km. Dari sisi pekerjaan, penduduk Bener Meriah
adalah petani, terutama petani kopi dan sayuran. Dua jenis
kopi yang ada di sana adalah robusta (Coffea robusta L) dan
arabika (Coffea arabica L). Pada tahun 2007 yang lalu Bener
Meriah memproduksi 142.430 ton sayuran yang dipasarkan ke
berbagai kota di Aceh dan Sumatera Utara. Pertanian banyak
digeluti oleh masyarakat suku Gayo dan Jawa. Sedangkan
perdagangan umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Aceh
dan Minang di pusat-pusat pasar.
112 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
1
Saya melakukan kunjungan ke Bener Meriah selama beberapa kali
sepanjang Juli-Desember 2010 dan tinggal dengan sebuah keluarga Gayo.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Keluarga besar Bapak Santa di
Kampong Kenawat yang memperlakukan saya laiknya anggota keluarga.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 115
2
Usianya 70 th, seorang pensiunan Guru SMP. Saya mewawancarainya
pada 14 Juni 2009 di rumahnya.
3
Nama aslinya Jafaruddin (78 tahun). Ada sebuah tradisi di dalam
masyarakat Gayo untuk memanggil seseorang dengan nama anaknya tertua
yang diawali dengan ‘aman’. Guntur adalah nama anak Bapak Jafaruddin
tertua, sehingga ia dipanggil dengan nama Aman Guntur. Nama ini jauh lebih
dikenal dalam masyarakat daripada nama aslinya. Saya mewawancarainya
pada 10 Juni 2009 di rumahnya, Gampong Delong Tuwe.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 119
4
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al
Maaidah:38). Ayat ini dipahami sangat beragam oleh ulama, terutama
mengenai batas harta yang dicuri dan kondisi sosial ekonomi si pencuri. Para
ulama juga membedakan antara mencuri dengan pencuri. Hanya seorang
pencuri harta dalam kadar tertentu saja yang akan dipotong tangannya.
5
Usianya 83 tahun. Ia mengaku pernah menjadi mukim selama 39
tahun (1969-2008). Saya mewawancarainya pada tanggal 13 Juni 2009, di
rumahnya.
120 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Bagian ini akan saya jelaskan lebih lengkap dalam bagian berikutnya.
6
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 121
7
Belah adalah klasifikasi sosial masyarakat di Gayo yang didasari pada
keturunan besar inti di masa lalu sehingga antar anggota belah dianggap
memiliki hubungan darah sehingga tidak boleh saling menikah. Dari sisi
sejarah belah berasal dari gampong Kenawat dan Kebayakan di Aceh Tengah
yang kemudian menyebar ke berbagai daerah lain. Oleh sebab itu klasifikasi
sosial dalam bentuk belah hanya ada dalam gampong yang memiliki asal-
muasal dari kedua daerah itu saja. Gampong yang tidak memiliki belah
maka gampong itu sendiri adalah sebuah “belah”, sehingga hukum adat yang
berkaitan dengan belah diterapkan pada satu gampong. Misalnya sebuah
gampong yang memiliki dua belah, maka orang bisa menikah dengan orang
satu gampong itu asalkan dari belah yang berbeda. Sementara jika satu
gampong tidak memiliki belah, maka orang yang ada di gampong itu tidak
dibenarkan saling menikah. Di sisi lain seseorang yang memiliki belah yang
sama, meskipun dari daerah administratif yang berbeda tetap tidak boleh
menikah karena masih dianggap saudara sedarah (Wawancara dengan
Fakhruddin, Direktur Redelong Institute Bener Meriah, 26 Juli 2009). Untuk
mempererat kesatuan belah, setiap tahun diadakan pertemuan belah di
tempat yang disepakati seraya dijelaskan kembali asal muasal belah yang
bersangkutan kepada anggotanya. Wawancara Aman Guntur, 27 Juli 2009.
Sebuah penelitian mengenai belah pernah dilakukan oleh Mukhlis (1977).
122 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
8
Sofyan adalah seorang mukim. Saya wawancarai pada 12 Juni 2009 di
lapak jual ikan miliknya. Ia mengaku baru delapan bulan dilantik menjadi
mukim dan “baru dua” sengketa yang diselesaikannya. Sebelumnya ia
pernah menjadi keuchiek selama dua periode.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 123
9
Tidak menikah dengan saudara dekat sering salah satu alat ukur sebuah
kekerabatan di Gayo. Seseorang asing yang sudah dianggap menjadi saudara
maka tidak dibenarkan lagi menikah dengan keluarga tersebut. Hal ini dapat
dilihat dalam tradisi tari saman antar gampong yang ada dalam masyarakat
Gayo Lues. Hampir setiap tahun sekelompok penari saman diundang ke satu
daerah lain. Saat tiba di gampong tujuan, penari saman yang diundang akan
diperkenalkan kepada sebuah keluarga. Di sana ia tinggal selama ia mengikuti
pementasan sama (yang kadang sampai satu minggu). Ketika sang empunya
rumah datang ke gampong tamunya kelak, untuk membalas kunjungan
saman ini, maka ia juga akan menginap di rumah saudara barunya itu.
Dari sini terjalan kekerabatan yang dekat anatara keduanya. Setelah sangat
dekat maka mereka sepakat untuk tidak saling menikahkan antara keluarga
mereka. (Wawancara dengan Bapak Santa, pengawas sekolah Departeman
Agama dan petani kopi yang tinggal di Gampong Kenawat, Bener Meriah).
124 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
kopi Redelong.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 127
12
Kasus ini masih berlaku di Aceh Besar hingga saat ini meskipun jumlah
jamaah lebih dari 40 orang. Di beberapa daerah lain di Aceh hampir setiap
desa memiliki sebuah masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Jika jumlah
jamaah tidak mencukupi 40 orang mereka melaksanakan shalat i’adah zuhur,
artinya mereka tetap melaksanakan shalat zuhur setelah shalat Jum’at. Dalam
bahasa lokal dikenal dengan seumayang ireng (shalat pengiring).
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 129
13
Hal yang sama juga terjadi di Aceh Besar. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Teuku Djuned (2003: 38)., dkk, Pemerintahan Mukim
Masa Kini menyebutkan, pada tahun 70-an saat dikeluarkannya UU
sistem Pemerintahan Desa oleh Orde Baru yang menyebabkan hilangnya
kelembagaan mukim, namun secara tidak langsung masyarakat tetap
mempertahankannya dengan melibatkan mukim dalam berbagai kegiatan
dan menjadikan mukim sebagai pihak yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa antar gampong.
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 133
Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa memang sudah menjadi tugas kepala
mukim sejak ia pertama kali muncul pada masa pemerintahan
kerajaan di Aceh. Hal ini pula yang ditetapkan dalam Qanun No.
9 tentang kelembagaan adat yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Aceh. Kepala mukim memiliki wewenang untuk menyelesaikan
masalah yang ada dalam masyarakat dengan melibatkan
masyarakat sendiri. Penyelesaian masalah oleh kepala mukim
lebih banyak mengarah pada usaha mendamaikan kedua pihak
yang bertikai dari pada mencari yang menang atau yang salah.
Hal ini dipandang perlu untuk menghindari munculnya masalah
136 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
hal itu tidak sesuai lagi. Sebab sebuah masalah yang terjadi
di gampong bukan hanya masalah pada dua orang atau dua
kelompok yang bertikai, namun juga keluarga dan masyarakat
secara umum. Jika seseorang bertikai dengan seseorang yang
lain, keluarga dari kedua belah pihakpun akan ikut-ikutan,
meskipun hanya dalam perasaan. Ini adalah potensi konflik
baru yang dapat muncul dalam waktu lain jika mendapat
stimulus yang tepat. Oleh sebab itu, penyelesaian dengan adat
adalah penyelesaian yang komprehensif dan menyeluruh.
Sebab dalam proses penyelesaiannya menghadirkan keluarga
dari kedua belah pihak dan kedua belah pihak tersebut pada
akhir sidang perkara bersalam-salaman dan saling memaafkan.
sendiri sejak kecil. Lebih jauh hal ini juga diharapkan dapat
berdampak pada tumbuhnya kebanggaan pada seorang anak
untuk mencintai budayanya.
Hal lain yang muncul dalam pandangan narasumber
saya adalah bangunan. Saat ini bangunan yang muncul di
Bener Meriah tidak memiliki sifat khusus sebagai bangunan
bernuansa adat. Hal ini menjadikan bangunan-bangunan yang
ada tidak dapat menunjukkan kalau ia adalah khas suatu
daerah tertentu (Gayo). Hal ini terjadi karena mereka yang
terlibat dalam perancangan dan pembangunan sebuah gedung
tidak mengerti masalah adat dan tidak mencoba berkonsultasi
dengan orang yang paham dengan bidang itu.
ideal yang ada pada masa lalu, pada masa kerajaan sehingga
tidak banyak orang yang memahaminya.
“Orang adat” yang saya jumpai mengaku memahami
adat bukan melalui pendidikan formal. Sebab tidak ada mata
pelajaran adat yang diajarkan di sekolah-sekolah. Mereka
mengaku mewarisi adat dari orang tua mereka sendiri dengan
cara meneladani dan diajarkan oleh orang tua mereka.
Ajaran itulah yang kemudian mereka kembangkan dengan
mewawancarai orang tua lain dan hasilnya adalah seperti apa
yang mereka pahami saat ini. Mereka juga orang yang memiliki
peran kepemimpinan adat dalam masyarakat. Mereka menjadi
mukim baik sejak sebelum keluar UU. No. 5 tahun 1979 tetang
Pemerintahan Desa dan sesudah timbulnya UU. Otonomi
khusus. Bahkan dalam masa di mana mukim dianggap bukan
bagian dari pemerintahan mesyarakat tetap memanggilnya
dengan sebutan “bapak mukim”.
Terbangunnya anggapan demikian menyebabkan terjadi
sentralisasi kekuasan adat pada individu tertentu yang ada
di Bener Meriah. Seorang narasumber saya yang dianggap
oleh banyak orang (bahkan sejak dari Banda Aceh) sebagai
orang yang mengerti adat menjadi pusat “jabatan” yang
berkaitan dengan adat. Di gampong di mana ia tinggal ia
menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui
mengenai adat istiadat. Di tingkat kecamatan dan kabupaten
ia menjadi ketua asosiasi mukim Bener Meriah. Selain itu ia
depercayakan menjabat sebagai ketua MAA Bener Meriah. Di
luar pemerintahan ia adalah ketua sebuah LSM yang fokus
pada masalah-masalah adat. Dengan posisi ini ia menjadi orang
yang selalu mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemateri
152 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Komentar Penutup
Revitalisasi adat menjadi sebuah gerakan masif di berbagai
daerah di Indonesia setelah pemerintah pusat membuka kran
otonomi daerah. Di Aceh usaha ini dimulai sedikit terlambat
dibandingkan dengan daerah lain karena adanya konflik
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia (RI) di Aceh yang menjadikan usaha-usaha
konsolidasi sosial dalam sebuah gerakan tidak dimungkinkan.
Baru pada masa setelah perjanjian damai disepakati di Helsinki
pada 2005 usaha ini dapat dirintis. Peluang paling besar
usaha revitalisasi adat di Aceh adalah dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) pada tahun 2006
yang diikuti oleh keluarnya qanun-qanun yang berkaitan
dengan adat Aceh. Dengan kekuatan hukum formal tersebut
WACANA DAN PERAN “ORANG ADAT” DALAM REVITALISASI ADAT GAYO 153
Lukman Munir (ed), (2003): Hukom dan Adat Aceh, Banda Aceh:
Yayasan Rumpun Bambu.
Rusdi Sufi dan Agus Wibowo, (2007): Rajah dan Ajimat Pada
Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Badan Perpusatakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sakai, Minako, Banks, Glenn dan Walker, John, (2009): The Politics
of the Periphery in Indonesia: Geographical and Social
Perspectives. Singapore: National University of Singapore
Press.
Syarif, Sanusi M., (2003): Leun Pukat dan Panglima Laot, Banda
Aceh: Yayasan Rumpun Bambu Indonesia.
Qanun Aceh No. 3 Tahun 2004 Tentang Tata Kerja Majelis Adat
Aceh.
TENTANG
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
b.
bahwa pembinaan, pengembangan dan
pelestarian Adat dan Adat Istiadat perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan dari
generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat
memahami nilai-nilai adat dan budaya yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh;
dan
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam qanun ini yang dimaksudkan dengan :
1. Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
172 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
BAB II
RUANG LINGKUP PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pembinaan dan pengembangan kehidupan
adat dan adat istiadat meliputi segenap kegiatan kehidupan
bermasyarakat.
(2) Pembinaan, pengembangan, pelestarian, dan perlindungan
terhadap adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada nilai-nilai Islami.
BAB III
ASAS, MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 3
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
berasaskan:
a. keislaman;
b. keadilan;
c. kebenaran;
d. kemanusiaan;
e. keharmonisan;
f. ketertiban dan keamanan;
g. ketentraman;
h. kekeluargaan;
i. kemanfaatan;
j. kegotongroyongan;
174 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
k. kedamaian;
l. permusyawaratan; dan
m. kemaslahatan umum.
Pasal 4
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan
masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh
Allah SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia
dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya.
(2) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan
adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat istiadat dalam
menata kehidupan bermasyarakat.
Pasal 5
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
bertujuan untuk:
(1) menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis;
(2) tersedianya pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat;
(3) membina tatanan masyarakat adat yang kuat dan bermartabat;
(4) memelihara, melestarikan dan melindungi khasanah-khasanah
adat, budaya, bahasa-bahasa daerah dan pusaka adat;
(5) merevitalisasi adat, seni budaya dan bahasa yang hidup dan
berkembang di Aceh; dan
(6) menciptakan kreativitas yang dapat memberi manfaat
ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB DALAM PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT
Pasal 6
Wali Nanggroe bertanggungjawab dalam memelihara,
mengembangkan, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat,
adat istiadat, dan budaya masyarakat.
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 175
Pasal 7
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan dengan
menumbuhkembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Pasal 8
Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya melakukan
pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat
yang sesuai dengan syariat Islam.
BAB V
PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT
Pasal 9
(1) Kehidupan adat dan adat istiadat dilaksanakan oleh Pemerintah
Aceh/pemerintah kab/kota dan segenap lapisan masyarakat.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kehidupan
adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. lingkungan keluarga;
b. jalur pendidikan;
c. lingkungan masyarakat;
d. lingkungan kerja; dan
e. organisasi sosial kemasyarakatan.
Pasal 10
(1) Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat
istiadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dilakukan
dengan:
a. maklumat Pemerintah Aceh/pemerintah kab/kota;
b. keteladanan;
c. penyuluhan, sosialisasi, diskusi dan simulasi;
176 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 11
Lembaga adat wajib menjalin kerjasama dengan semua pihak untuk
menggali kembali kaidah-kaidah adat dan adat istiadat.
Pasal 12
(1) Pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat dan adat
istiadat meliputi:
a. tatanan adat dan adat istiadat;
b. arsitektur Aceh;
c. ukiran-ukiran bermotif Aceh;
d. cagar budaya;
e. alat persenjataan tradisional;
f. karya tulis ulama, cendikiawan dan seniman;
g. bahasa-bahasa yang ada di Aceh;
h. kesenian tradisional Aceh;
i. adat perkawinan;
j. adat pergaulan;
k. adat bertamu dan menerima tamu;
l. adat peutamat darueh (Khatam Al Qur’an);
m. adat mita raseuki (berusaha);
n. pakaian adat;
o. makanan/ pangan tradisional Aceh;
p. perhiasan-perhiasan bermotif Aceh;
q. kerajinan-kerajinan bermotif Aceh;
r. piasan tradisional Aceh; dan
s. upacara-upacara adat lainnya.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 177
BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA/PERSELISIHAN
Pasal 13
(1) Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a. perselisihan dalam rumah tangga;
b. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. perselisihan antar warga;
d. khalwat meusum;
e. perselisihan tentang hak milik;
f. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i. pencurian ternak peliharaan;
j. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k. persengketaan di laut;
l. persengketaan di pasar;
m. penganiayaan ringan;
n. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan
komunitas adat);
o. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. pencemaran lingkungan (skala ringan);
q. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan
adat istiadat.
(2) Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara
bertahap.
(3) Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat
di Gampong atau nama lain.
178 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 14
(1) Penyelesaian secara adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) meliputi penyelesaian secara adat di Gampong atau
nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan penyelesaian
secara adat di Laot.
(2) Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-
tokoh adat yang terdiri atas:
a. Keuchik atau nama lain;
b. imum meunasah atau nama lain;
c. tuha peut atau nama lain;
d. sekretaris gampong atau nama lain; dan
e. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong
atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri
atas:
a. imum mukim atau nama lain;
b. imum chik atau nama lain
c. tuha peut atau nama lain;
d. sekretaris mukim; dan
e. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim
yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(4) Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan
dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat
Gampong atau nama lain dan di Masjid pada tingkat Mukim
atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama
lain dan Imum Mukim atau nama lain.
(5) Penyelesaian secara adat di Laot sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a. panglima laot atau nama lain;
b. wakil panglima laot atau nama lain;
c. 3 orang staf panglima laot atau nama lain; dan
d. sekretaris panglima laot atau nama lain.
(6) Dalam hal penyelesaian secara adat di Laot Lhok atau nama lain
tidak bisa menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antara dua
atau lebih panglima laot lhok atau nama lain, maka sengketa/
perselisihan tersebut dilaksanakan melalui penyelesaian secara
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 179
Pasal 15
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/
persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat
setempat.
BAB VII
BENTUK-BENTUK SANKSI ADAT
Pasal 16
(1) Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian
sengketa adat sebagai berikut:
a. nasihat;
b. teguran;
c. pernyataan maaf;
d. sayam;
e. diyat;
f. denda;
g. ganti kerugian;
h. dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain;
i. dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain;
j. pencabutan gelar adat; dan
k. bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.
(1) Keluarga pelanggar adat ikut bertanggung jawab atas
180 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 17
Dana pembinaan dan pengembangan adat dan adat istiadat
diperoleh melalui:
a. bantuan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan kemampuan daerah; dan
b. sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Segala ketentuan yang ada tentang pembinaan dan pengembangan
adat dan adat istiadat, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Qanun ini.
Pasal 19
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai
peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dinyatakan
dicabut.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 181
Pasal 21
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Aceh.
IRWANDI YUSUF
SEKRETARIS DAERAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
PENJELASAN
ATAS
QANUN ACEH
NOMOR 9 TAHUN 2008
TENTANG
I. UMUM
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan
kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 99 Undang-Undang tersebut memerintahkan
untuk melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat
dengan membentuk suatu Qanun Aceh. Bahwa Adat dan Adat
Istiadat yang sejalan dengan Syariat Islam merupakan kekayaan
budaya menunjukkan identitas bangsa yang perlu dibina,
dikembangkan dan dilindungi keberadaannya.
Adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam
memiliki keragaman sesuai dengan sub-sub etnis yang hidup di
Aceh. Keragaman tersebut merupakan kekayaan dan khasanah
budaya yang pluralistis. Oleh karena itu pembinaan kehidupan
adat dan adat istiadat harus diarahkan kepada pembinaan dan
pengembangan adat dan adat istiadat setempat.
Adat dan adat istiadat telah menjadi perekat dan pemersatu
di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi modal
dalam pembangunan. Oleh karena itu nilai-nilai adat dan adat
istiadat tersebut perlu dibina dan dikembangkan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Yang dimaksud dengan sesuai dengan ajaran Islam adalah
untuk menjamin agar pelaksanaan adat dan adat istiadat tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud secara bertahap adalah sengketa/perselisihan
yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu dalam keluarga,
apabila tidak dapat diselesaikan maka akan dibawa pada
penyelesaian secara adat di gampong.
184 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan sayam adalah perdamaian
persengketaan/perselisihan yang mengakibatkan
keluar darah (roe darah) yang diformulasikan dalam
wujud ganti rugi berupa penyembelihan hewan ternak
dalam sebuah acara adat.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 185
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
TENTANG
LEMBAGA ADAT
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
2. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
3. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
190 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
BAB II
FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA ADAT
Pasal 2
(1) Lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah
sosial kemasyarakatan.
(2) Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imum mukim atau nama lain;
c. imum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imum meunasah atau nama lain;
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 193
BAB III
SIFAT DAN WEWENANG LEMBAGA ADAT
Pasal 3
Lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai mitra
Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
tingkatannya.
Pasal 4
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a. menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat;
b. membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c. mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d. menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak
bertentangan
e. dengan syariat Islam;
f. menerapkan ketentuan adat;
g. menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
h. mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
i. menegakkan hukum adat.
Pasal 5
Setiap lembaga adat berhak atas pendapatan yang bentuk dan
besarnya disepakati berdasarkan musyawarah masyarakat adat.
Pasal 6
194 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
BAB IV
ORGANISASI, KELENGKAPAN, DAN TUGAS LEMBAGA ADAT
Bagian Kesatu
Majelis Adat Aceh
Pasal 7
(1) Majelis Adat Aceh bertugas membantu Wali Nanggroe dalam
membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf
m.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk susunan organisasi dan tata kerja Majelis
Adat Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh.
Bagian Kedua
Imum Mukim atau Nama Lain
Pasal 8
Imum mukim atau nama lain bertugas:
a. melakukan pembinaan masyarakat;
b melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c. menyelesaikan sengketa;
d. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f. membantu pelaksanaan pembangunan.
Pasal 9
(1) Imum Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah mukim.
(2) Imum Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 195
Pasal 10
Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian Imum
Mukim atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
Bagian Ketiga
Imum Chik atau Nama Lain
Pasal 11
Imum Chik atau nama lain bertugas:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan peningkatan
peribadatan serta pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan
masyarakat;
b. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan
yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran
masjid; dan
c. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Pasal 12
(1) Imum Chik atau nama lain dipilih dalam musyawarah mukim
yang dihadiri oleh Imum Mukim atau nama lain, Tuha Peut
Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain,
Pemangku Adat, Keuchik atau nama lain, Imum Masjid atau
nama lain dan Imum Meunasah atau nama lain dalam mukim.
(2) Syarat dan tata cara pemilihan Imum Chik atau nama lain
ditentukan oleh musyawarah mukim.
Pasal 13
Imum Chik atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh Bupati
atas usul Imum Mukim atau nama lain melalui Camat berdasarkan
hasil kesepakatan musyawarah mukim.
196 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 14
Imum Chik atau nama lain berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Imum Chik atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat Islam atau adat istiadat.
Bagian Keempat
Keuchik atau Nama Lain
Pasal 15
(1) Keuchik atau nama lain bertugas:
a. membina kehidupan beragama dan pelaksanaan syariat
Islam dalam masyarakat;
b. menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c. memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d. menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam membangun gampong;
e. membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
g. memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban
serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam
masyarakat;
h. mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha Peut
Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
i. mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja
gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk
mendapatkan persetujuan;
j. memimpin dan menyelesaikan masalah sosial
kemasyarakatan; dan
k. menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk
dalam gampong.
(2) Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf k dibantu oleh Imum Meunasah atau nama lain dan Tuha
Peut Gampong atau nama lain.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 197
Pasal 16
(1) Keuchik atau nama lain dipilih secara langsung oleh penduduk
gampong melalui pemilihan yang demokratis, bebas, umum,
rahasia, jujur dan adil.
(2) Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian
Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Qanun Aceh.
Bagian Kelima
Tuha Peut atau Nama Lain
Pasal 17
(1) Tuha Peut Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan
oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah
mukim.
(2) Tuha Peut Gampong atau nama lain diangkat dan diberhentikan
oleh Camat atas usulan Imum Mukim atau nama lain dari hasil
musyawarah masyarakat gampong.
(3) Tuha Peut atau nama lain dipimpin oleh seorang ketua dan
sekretaris yang merangkap sebagai anggota.
Pasal 18
Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
a. membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja
gampong atau nama lain;
b. membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
c. mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama
lain;
d. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong
atau nama lain;
e. merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama
Keuchik atau nama lain;
f. memberi nasihat dan pendapat kepada Keuchik atau nama
lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
g. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat.
198 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 19
Tuha Peut atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Tuha Peut atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan agama
atau adat istiadat.
Pasal 20
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b. merumuskan kebijakan Mukim bersama Imum Mukim atau
nama lain;
c. memberi nasihat dan pendapat kepada Imum Mukim atau
nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat.
Bagian Keenam
Tuha Lapan atau Nama Lain
Pasal 21
(1) Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat
dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan masyarakat.
(2) Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah
Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.
(3) Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut
atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian
sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau
Mukim.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama
lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah
gampong atau nama lain atau mukim.
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 199
Bagian Ketujuh
Imum Meunasah atau Nama Lain
Pasal 22
(1) Imum Meunasah atau nama lain dipilih dalam musyawarah
gampong atau nama lain.
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Imum Meunasah atau nama
lain dilakukan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Tata cara dan pemilihan, serta masa jabatan Imum Meunasah
atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah gampong atau
nama lain setiap 6 (enam) tahun sekali.
Pasal 23
Imum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:
a. memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan
serta pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat;
b. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan
yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran
meunasah atau nama lain;
c. memberi nasihat dan pendapat kepada Keuchik atau nama
lain baik diminta maupun tidak diminta;
d. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat; dan
e. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Bagian Kedelapan
Keujruen Blang atau Nama Lain
Pasal 24
(1) Keujruen Blang atau nama lain terdiri dari Keujruen Muda
atau nama lain dan Keujruen Chik atau nama lain.
(2) Pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan Keujruen
Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen
Blang atau nama lain setempat.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait
lainnya.
200 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 25
Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:
a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;
b. mengatur pembagian air ke sawah petani;
c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;
d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang
berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;
e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar
aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan
kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah
secara adat; dan
f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan
pelaksanaan usaha pertanian sawah.
Pasal 26
Keujruen Blang atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Keujruen Blang atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat dan adat istiadat.
Bagian Kesembilan
Panglima Laot atau Nama Lain
Paragraf 1
Susunan Organisasi
Pasal 27
(1) Panglima Laot atau nama lain terdiri dari :
a. Panglima Laot lhok atau nama lain;
b. Panglima Laot kabupaten/kota atau nama lain; dan
c. Panglima Laot Aceh atau nama lain.
(2) Panglima laot lhok atau nama lain, dipilih oleh pawang-pawang
boat lhok atau nama lain masing-masing melalui musyawarah.
(3) Panglima Laot kab/kota atau nama lain dipilih dalam
musyawarah panglima laot lhok atau nama lain.
(4) Panglima Laot Aceh atau nama lain dipilih dalam musyawarah
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 201
Paragraf 2
Wewenang, Tugas dan Fungsi
Pasal 28
(1) Panglima Laot atau nama lain berwenang :
a. menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang
termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang
melaut;
b. menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi
di kalangan nelayan;
c. menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar Panglima
Laot lhok atau nama lain; dan
d. mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot,
peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang
kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan
nelayan.
(2) Panglima Laot lhok atau nama lain mempunyai tugas :
a. melaksanakan, memel ihara dan mengawasi pelaksanaan
adat istiadat dan hukum adat laot ;
b. membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan
kelautan;
c. menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di
antara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;
d. menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan
pesisir dan laut;
e. memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat
nelayan; dan
f. mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal.
(3) Panglima Laot kab/kota atau nama lain mempunyai tugas:
a. melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang bersifat lintas lhok atau nama lain; dan
b. menyelesaikan sengketa antar Panglima Laot lhok atau
nama lain.
(4) Panglima Laot Aceh atau nama lain mempunyai tugas:
a. melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a yang bersifat lintas kab/kota;
202 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 29
Tatacara pemilihan dan persyaratan Panglima Laot atau nama lain
ditetapkan melalui musyawarah Panglima Laot atau nama lain.
Bagian Kesepuluh
Pawang Glee atau Nama Lain
Pasal 30
(1) Pawang Glee atau nama lain dipilih oleh masyarakat kawasan
hutan.
(2) Tatacara pemilihan dan persyaratan Pawang Glee atau nama
lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat kawasan
hutan setiap 6 (enam) tahun sekali.
Pasal 31
Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas sebagai berikut:
a. memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
b. membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;
c. menegakkan hukum adat tentang hutan;
d. mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan
dengan hutan; dan
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 203
Bagian Kesebelas
Peutua Seuneubok atau Nama Lain
Pasal 32
(1) Peutua Seuneubok atau nama lain dipilih oleh masyarakat
kawasan seuneubok atau nama lain.
(2) Tatacara pemilihan dan persyaratan Peutua Seuneubok
atau nama lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat
kawasan Seuneubok atau nama lain.
Pasal 33
(1) Petua Seuneubok atau nama lain mempunyai tugas:
a. mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam
kawasan Seuneubok atau nama lain;
b. membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan
kehutanan;
c. mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat
dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain; dan
e. melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait.
Bagian Keduabelas
Haria Peukan atau Nama Lain
Pasal 34
(1) Haria Peukan atau nama lain dapat dibentuk untuk pasar-pasar
tradisional.
(2) Pembentukan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pasar-pasar tradisional
yang belum ada petugas Pemerintah.
(3) Dalam hal Haria Peukan atau nama lain telah dibentuk, maka
204 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 35
Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Haria
Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(4) ditetapkan melalui musyawarah tokoh-tokoh pedagang dan
Keuchik atau nama lain setempat setiap 6 (enam) tahun sekali.
Pasal 36
Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas:
a. membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban,
keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;
b. menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai
aktifitas peukan;
c. menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain.
Pasal 37
Haria Peukan atau nama lain berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan sendiri;
c. melalaikan tugasnya sebagai Haria Peukan atau nama lain; dan
d. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan
syariat dan adat istiadat.
Bagian Ketigabelas
Syahbanda atau Nama Lain
Pasal 38
(1) Syahbanda atau nama lain dapat dibentuk untuk pelabuhan
rakyat.
(2) Pembentukan Syahbanda atau nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pelabuhan-pelabuhan
rakyat yang belum ada petugas Pemerintah.
(3) Dalam hal Syahbanda atau nama lain telah dibentuk, maka
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 205
Pasal 39
Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan Syahbanda
atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4)
ditetapkan melalui kesepakatan bersama antara unsur Pemerintah
dengan Panglima Laot atau nama lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Pasal 40
Syahbanda atau nama lain mempunyai tugas:
a. mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;
b. menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan rakyat;
c. menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan
rakyat; dan
d. mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
pemanfaatan pelabuhan.
BAB V
PEMANGKU ADAT
DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT
Pasal 41
(1) Pemangku Adat mengatur kebijakan dan tata cara pelaksanaan
adat dan adat istiadat sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga
adat masing-masing.
(2) Pemangku Adat berfungsi sebagai pendamai dalam
menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan sesuai dengan
bidangnya masing-masing.
Pasal 42
(1) Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) berada di bawah pembinaan Wali Nanggroe.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
206 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 43
(1) Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang administrasi dan
keuangan dilaksanakan oleh pemerintah Aceh, dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan
bantuan dana pembinaan Lembaga-lembaga Adat sesuai
dengan kemampuan daerah.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Sepanjang lembaga Wali Nanggroe belum terbentuk, maka tata cara
pembinaan lembaga-lembaga adat dilakukan oleh MAA.
Pasal 45
Segala ketentuan yang ada tentang lembaga adat, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat dinyatakan dicabut.
Pasal 47
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
IRWANDI YUSUF
SEKRETARIS DAERAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
PENJELASAN
ATAS
QANUN ACEH
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
LEMBAGA ADAT
I. UMUM
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan
kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pasal 98 Undang-Undang tersebut memerintahkan
untuk mengatur tugas, wewenang, hak dan kewajiban dalam
melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan
membentuk suatu Qanun Aceh.
Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai fungsi dan berperan
dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan
untuk mewujudkan keamanan, keharmonisasian, ketertiban,
ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh
sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama
sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk meningkatkan peran dan melestarikan lembaga
adat, sebagai salah satu wujud pelaksanaan kekhususan dan
keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu dilakukan
pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap
lembaga-lembaga adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan
perkembangan masyarakat Aceh.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain yang tersebut dalam ayat (2) ini, dikenal lembaga
adat yang mempunyai fungsi yang sama di daerah
kabupaten/kota dengan nama yang berbeda yang perlu
diakui keberadaannya.
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan musyawarah mukim adalah
musyawarah untuk pemilihan imum mukim atau nama
lain yang dihadiri oleh para Keuchik atau nama lain,
Imum Chik atau nama lain, Tuha Peut Mukim atau nama
lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, dan Ketua-ketua
Lembaga Adat dalam wilayah mukim.
Ayat (2)
Cukup jelas
210 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf K
Yang dimaksud pendamai adalah seseorang yang
berfungsi sebagai hakim perdamaian dalam hal
terjadinya sengketa/perselisihan.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 211
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.
Ayat (2)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.
Ayat (3)
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk
Imum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau
nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama
lain.
Pasal 23
Penyebutan Imum Meunasah atau nama lain termasuk Imum
Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain
yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
212 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
LAMPIRAN: QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 213
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 18B, dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan
Perubahan Peraturan Provinsi Sumatera Utara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1103);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3893);
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Sabang menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 525, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4054);
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 217
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
3. Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
4. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 219
BAB XII
LEMBAGA WALI NANGGROE
Pasal 96
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat
sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa,
dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan
di Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal
dan independen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata
cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan
protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut
Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 97
Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat
adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar
negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh.
222 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
BAB XIII
LEMBAGA ADAT
Pasal 98
(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat
ditempuh melalui lembaga adat.
(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imum mukim atau nama lain;
c. imum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imum meunasah atau nama lain;
h. keujruen blang atau nama lain;
i. panglima laot atau nama lain;
j. pawang glee atau nama lain;
k. peutua seuneubok atau nama lain;
l. haria peukan atau nama lain; dan
m. syahbanda atau nama lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan
kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 99
(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan
sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan
Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat Islam dan
dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.
(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada
masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan
pertimbangan Wali Nanggroe.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud
LAMPIRAN: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 223
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
ttd.
HAMID AWALUDIN
Abdal 105 134-5
Abdurrahman al-Habsyi 72 Aceh Timur 16, 111
Abu Adabusri 93 Adat Gayo 19, 111, 114, 117-8,
Abu Balee 73 120-2, 124-5, 127, 131, 140-1,
Abu Nagan 73 150, 153-4
Abu Peuleukung 19, 71, 73, 78, Adat Nagari 8
89, 101-2, 104-6, 108, 110 Adatisasi 112, 114, 116, 146,
Abu Qudrat 75, 87, 89, 93 149
Acciaioli 8, 12 Adatrecht 4, 30-1
Aceh 1-4, 8, 11-25, 27-30, 32-9, Agam 80
45, 47-9, 53, 58, 66, 69-70, Agus Budi Wibowo 86
72-5, 79, 86, 88, 90, 96-100, ALA 96
105, 107-8, 110-3, 115, 118, Alas 16
120, 123, 126, 128-35, 138, Ampon Bang 94, 107
142-4, 146, 152-3 Ampon 76
Aceh Barat Daya 69 Antropologi 11
Aceh Barat 69, 73, 100, Autad 105
Aceh Besar 19, 21, 25, 29-30, Avonius 1, 4, 12, 112
37-8, 41-2, 45, 47, 52, 57-60, A'ziyin 75
63, 65-6 B.J. Habibie 9
Aceh Selatan 73, 100 Badruzzaman 35-6, 66, 118
Aceh Tengah 69, 100,111, 132, Banda Aceh 23, 25, 91, 135,
151
226 ADAT DALAM DINAMIKA POLITIK ACEH
Bener Meriah 19, 20-1, 111, 131, 133, 143, 145-50, 153
114-7, 123, 132-6, 138, 140, Gelar adat 55
142, 144-53 Gender 27-8, 115
Beutong Ateuh 99 Geuwasiet guree 74
Biezeveld 5 Grassroots 113
Blang Ara 72, 76-7, Habib Ali 72
Boediono 95, 98 Habib Muda Seunagan 71-8,
Bourchier 7 83-7, 94-6, 98, 100-2, 104-7
Bowen 115-6 Habib Syaikhuna Quthub
Bu dalong 76-7, 107 Nasbah 72, 84
Bu leukat 79-80 Hadih maja 28, 36-9, 48, 78
Bu meubungong 82 Haria peukan 16, 42
Bu meudalong 80 Hasan Saleh 129
Budaya Aceh 47, 53 Hasan Tiro 17
Bushar Muhammad 30 Haul 102-3
Cap sikureung 75 Henley 11, 112
Cikoang 72 IAIN Ar-Raniry 38
Coffea arabica L 111 Idang 76
Coffea robusta L 111 Imem 131
Cornelis van Vollenhoven 4 Imum mukim 16, 22, 39, 42,
Cut Man 97 63-4, 88, 109, 129, 131-2
Daerah Operasi Militer 2-3 Irwandi 97
Dara pade 89 Iskandar Muda 33, 128
Dara 80 Jakarta 10
Darurat Sipil 3 Jantho 25-7, 45, 58, 61-2, 65
Darussalam 91 Jawa Tengah 72
Davidson 4, 11-2, 112 Jawa 25, 69, 106, 111, 123,
De facto 31, 66 130, 152
Didong 145-6 JKMA 11, 23, 108, 134-5
Diet 53-4 Kartika 11
Diyat 53 Keuchik 21-2, 26-7, 33, 39, 41-3,
Farak 121 59, 81, 109, 129, 137, 139
Fasseur 4 Keujruen blang 16, 42, 89, 109
Feodalisme 6 Keukarah 90, 103
Fieldwork 114, 133, 141, 147 Keumeukoh 89
G30S PKI 75 Keureuja mate 80, 82-3
GAM 12, 97, 112, 152 Keureuja udep 80, 82
Gautama 11 Khalwat 46, 55
Gayo 16, 115-8, 120, 122-8, Kluet 16
INDEKS 227
ACEH
Buku ini adalah hasil dari proyek penelitian pertama
ICAIOS ‘Adat dalam Dinamika Politik Aceh’ yang dilakukan
sepanjang tahun 2009-2010 dengan dana bantuan BRR
yang memungkinkan pekerjaan ICAIOS dalam bulan-bulan
awal. Empat peneliti yang terlibat dalam proyek penelitian
pendek ini ingin mendekati istilah adat dari perspektif yang
baru dan menganalisis bagaimana posisi lembaga adat dan
tradisi-tradisi adat berperan dalam perkembangan politis di
daerah-daerah Aceh dalam masa transformasi ini. Apakah
Aceh mengalami revitalisasi adat yang cukup kuat di berbagai
daerah di Indonesia sejak Orde Baru dan proses desentralisasi?
Hasil investigasi mereka bisa kita membaca dalam buku ini.
Kami harap buku ini bisa berfungsi sebagai alat pembuka
diskusi tentang posisi adat dan lembaganya di Aceh, dan
menginspirasi peneliti-peneliti yang lain untuk mengeksplorasi
isu ini secara lebih lanjut dan dalam.