AT-TA’DIB
Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam
Vol. I, No. 3, Desember 2009-Maret 2010
Pendekatan Komunikatif
Dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Adi Kasman
Diterbitkan Oleh
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TA´DIB
JURNAL ILMIAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ISSN: 2085-2525
Volume I Nomor 3 Desember 2009-Maret 2010
ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodipai_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah mengajarkan manusia melalui
firman-Nya. Selawat dan salam kita sampaikan kepangkuan alam Nabi Besar
Muhammad saw. yang telah mengubah pola pikir manusia ke arah yang benar.
Alhamdulillah, jurnal At-Ta’dib Vol. I No. 3, Desember 2009 – Maret 2010
bisa terbit sesuai waktunya. Jurnal ini menghadirkan beberapa tulisan mengenai
permasalahan yang aktual. At-Ta’dib salah satu jurnal bidang pendidikan memilih
menggunakan sistem penulisan dan referensi American Psychological Association
(APA) yang telah menjadi panduan jurnal terkemuka di dunia terutama dalam
bidang pendidikan dan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences).
Edisi kali ini menampilkan berbagai tulisan ilmiah seputar pendidikan yang
diawali oleh Syahrizal dengan tulisannya yang berjudul: Eksistensi Perguruan
Tinggi di Era Otonomi Daerah. Dalam tulisannya, penulis menguraikan tentang
perubahan-perubahan yang dapat ditempuh oleh perguruan tinggi dalam
membangun paradigma baru di era otonomi daerah. Dilanjutkan dengan tulisan
Saifullah mengangkat judul: Etika Mahasiswa Islam dalam Menyampaikan Aspirasi
di Depan Publik (Suatu Analisis Nilai-nilai Pendidikan Dalam Perspektif Alquran
dan Hadis).
Model pembelajaran merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu proses
KATA PENGANTAR
dto
Syamsuar Basyariah
Syahrizal
Guru Besar bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Saat ini
ia bertugas sebagai Pembantu Rektor IV (Bidang
Kerjasama) IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Abstract
Pendahuluan
Eksistensi perguruan tinggi dalam konteks ekonomi daerah di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dari momentum reformasi di Indonesia yang merupakan
bentuk kulminasi yang lahir akibat krisis multi dimensi seperti krisis moneter,
krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan
keprihatinan tentang meningkatnya drop out rate di kalangan mahasiswa,
tetapi juga semakin merosotnya efektifitas dan efisiensi perguruan tinggi dalam
menghasilkan lulusannya yang memiliki competitive advantage, memiliki daya
saing yang tangguh dalam zaman global yang penuh tantangan.
Menghadapi perubahan yang begitu cepat sebagai akibat reformasi, maka
perguruan tinggi sebagai institusi yang berkompeten menghasilkan sumber daya
manusia perlu melakukan re-interpretasi terhadap paradigma yang diacu selama
ini. Perubahan paradigma perguruan tinggi menjadi penting dilakukan mengingat
transisi sosial, ekonomi dan politik nasional secara global merupakan entitas yang
tidak dapat dihindari. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan kebijakan nasional yang menginginkan
daerah terlibat secara aktif mengurus dirinya demi meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat daerah.
Dalam pasal 1 ayat (h) UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan mengenai
kewenangan daerah diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya.
Pasal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa bidang pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan kepada daerah. Artinya, daerah
dapat melakukan berbagai upaya signifikan dalam rangka menjadikan dunia
pendidikan di daerah lebih independen dan akomodatif dengan kebutuhan
masyarakat daerah tanpa menafikan kemampuan menghadapi tantangan era
global. Oleh karena itu, perubahan paradigma perguruan tinggi di era otonomi
ilmu pengetahuan dengan keahlian tingkat tinggi, melalui mata kuliah yang terus
dirancang guna memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para peminat untuk
memperoleh pendidikan tinggi di sepanjang usia. Perguruan tinggi memiliki misi
dan fungsi memberikan kepada penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal
dan fleksibel untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada.
Perguruan tinggi harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu
dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan (citizenship).
Perguruan tinggi harus mampu memajukan, menciptakan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian
(expert) yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan
budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan
teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif. Perguruan tinggi juga
berfungsi untuk membantu, memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat,
mengembangkan dan menyebar luaskan budaya-budaya nasional, regional dan
internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
Akan tetapi yang penting dicatat disamping penekanan kuat pada fungsi-
fungsi perguruan tinggi vis-a-vis masyarakat pada umumnya, perguruan tinggi
juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai aktor utama dalam seluruh
kegiatannya. Para pengambil kebijakan perguruan tinggi pada tingkat nasional
dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat koncern dan
memandang mereka sebagai mitra utama dan merupakan stakeholders yang
paling penting dalam pembaharuan perguruan tinggi. Paradigma baru perguruan
tinggi dalam konteks ini adalah pelibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tingkat
pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum, bahkan dalam
perumusan kerangka kerja institusional perguruan tinggi.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan inti paradigma perguruan tinggi di era
otonomi daerah yang tertumpu pada tiga pilar utama yaitu: Pertama, kemandirian
lebih besar (greater autonomy) dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-
luasnya adalah otonomi bukan dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga
hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian perguruan
tinggi dengan dunia kerja berfungsi selain meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora,
tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan
pengembangan.
Dalam kerangka otonomisasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan
pemerintah (PP) No. 60/1999 yang memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada kepada perguruan tinggi untk mengembangkan dirinya. Pemerintah
juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum PP No. 60 Tahun 1999 merupakan
perubahan PP No. 30 Tahun 199o tentang Perguruan Tinggi yang dalam segi
tertentu seperti kategorisasi perguruan tinggi dalam bentuk universitas, institut,
sekolah tinggi politeknik dan akademi masih belum cukup reformis sehingga
belum banyak memungkinkan terciptanya iklim kondusif bagi implementasi
paradigma baru perguruan tinggi.
Dalam persoalan otonomi ini ada baiknya ditambahkan catatan yang
dikemukakan R. Berdhal. Menurutnya, dalam membahas otonomi sangat
bermanfaat membuat sebuah distingsi antara otonomi prosedural dan otonomi
substantif pada satu pihak dan kebebasan akademik (academic freedom) pada pihak
lain. Otonomi substantif adalah kekuasaan atau kewenangan perguruan tinggi
untuk menentukan tujuan dan program-program sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan otonomi prosedural adalah kekuasaan dan
atau kewenangan perguruan tinggi secara kelembagaan untuk menentukan cara-
cara guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada pihak lain, kebebasan akademis
adalah kebebasan dosen dan ilmuwan secara personal dalam pengajaran dan
penelitian untuk mencapai kebenaran tanpa khawatir atau takut kepada hukuman,
pemecatan dan sebagainya.
Masalah pengembangan otonomisasi lebih luas ini tentu saja harus dikaitkan
dengan tanggungjawab (responsibility) dan akuntabilitas (accountability). Harus
diakui, dalam hal tanggungjawab ini perguruan tinggi dituntut menggunakan
otonomi secara bertanggungjawab. Tetapi, pada pihak lain pemerintah yang
memberikan otonomi seharusnya pula tidak memberikan otonomi yang
ambiguous, seperti tercermin dalam bagian tertentu PP No. 60 Tahun 1999,
misalnya tentang pengangkatan dosen, pegawai dan lain-lain. Akibatnya,
perguruan tinggi tetap menghadapi banyak kendala yang sangat menyulitkan
dalam rangka mengaktualisasikan otonomi tersebut.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan paradigma
perguruan tinggi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan di era otonomi
daerah. Perubahan ini dimaksudkan agar perguruan tinggi mampu memberikan
kontribusi besar dalam rangka pembangunan masyarakat secara keseluruhan dan
berkelanjutan.
Bagi Provinsi Aceh dengan otonomi khususnya, perubahan paradigma
perguruan tinggi yang selaras dengan Syariat Islam merupakan problema besar
Daftar Pustaka
A. Malik Fajar. (t.t.). Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Jakarta, Dirjen Binbaga Islam.
Adi Kasman
Dosen bahasa Arab/Ketua Prodi Pendidikan Agama
Islam (PAI-Tarbiyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI)Teungku Dirundeng Meulaboh.
Abstract
Pendahuluan
Bahasa Arab merupakan bahasa Alquran sebagaimana ditegaskan Allah swt
dalam Surat Yusuf ayat 2 yang artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Alquran dengan Bahasa Arab, agar kamu memahaminya”. Selanjutnya
dalam Surat Thaha ayat 113, “Dan demikianlah Kami menurunkan Alquran
dalam Bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali
didalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertaqwa atau agar Alquran
itu menimbulkan pengajaran bagi mereka”.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. berpasang-pasangan, terdiri dari
laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling
mengenal satu sama lain sekaligus makhluk sosial tentu tidak dapat hidup sendiri
tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya maupun lingkungan
sekitarnya. Dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah Swt. Menyatakan, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal…”.
Sarana yang paling aktual dan efektif yang harus dimiliki dan dikuasai dalam
berkomunikasi dan berinteraksi adalah bahasa, baik dalam bentuk lisan, tulisan
maupun isyarat. Sebagai sebuah sarana, tentu bahasa dapat dipelajari, ditiru,
diajarkan bahkan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi kegenerasi
berikutnya. Dilandasi atas kebutuhan tersebut, tentu pengajaran dan pembelajaran
bahasa harus dilandasi dengan sikap kesadaran bahwa orang yang sedang dan akan
belajarlah yang sangat memerlukan bahasa dalam kehidupannya. Dilandasi nilai
kesadaran inilah sang pengajar, guru atau dosen dapat memilih salah satu dari
berbagai macam bentuk pendekatan (approach) yang harus disesuaikan dengan
tujuan dan kepentingan anak didik terhadap bahasa yang sedang dipelajari
termasuk bahasa Arab.
Perkembangan mahasiswa yang masuk keperguruan tinggi Islam baik negeri
maupun swasta pada umumnya menunjukkan bahwa mereka kurang memiliki
kemampuan dasar bahasa Arab baik dari MA, SMA maupun dayah. Mereka masih
minim menguasai mufradat atau vocabulary bahasa tersebut sehingga dalam proses
perkuliahan masih banyak didapati hambatan dan kesulitan dalam pembelajaran,
lebih-lebih bila ditinjau dari segi gramatikal atau kaidah nahwiyahnya (qawaid).
approach” yaitu pendekatan komunikatif. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
tersebut diharapkan kepada pengelola pendidikan baik sekolah, madrasah maupun
dayah harus benar-benar memperhatikan faktor-faktor tersebut.
Pertama, metode yang bersifat etik, dan yang kedua metode yang bersifat strategi.
Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar; sedangkan
metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih
guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar (Nata, 2001: 109).
Oleh karena itu diharapkan kepada semua guru sedapat mungkin menggunakan
metoda-metoda tersebut dalam melaksanakan atau menginternalisasikan materi
pelajaran kepada peserta didik, menentukan materi pelajaran yang sesuai,
menganjurkan memilih teman yang selalu berusaha untuk dapat memahami dan
selalu berusaha untuk berkomunikasi aktif agar dapat lebih cepat mencapai tujuan
yang telah dirumuskan.
Penutup
Pendekatan komunikatif dalam proses pembelajaran, terutama bahasa asing
termasuk didalamnya bahasa Arab sangat dituntut bagi seorang guru, karena
dengan interaksi komunikasi yang aktif dapat menumbuh kembangkan semangat
pembelajaran bagi peserta didik, lebih-lebih dalam bermuhadasah, sehingga
antara guru/dosen dalam proses pembelajaran dapat terjadi komunikasi yang aktif
meskipun dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana.
Penggunaan berbagai macam metode sangat perlu dikuasai oleh seorang
guru atau dosen dan diaplikasikan pada saat proses pembelajaran. Pengajar
yang profesional selalu berusaha untuk dapat memahami bagaimana keadaan
peserta didiknya, apakah mereka telah dapat memahami dan dapat dipraktekkan
sesamanya apa yang telah disampaikan, apakah mereka telah mengalami proses
belajar, apakah pelajaran sesuai dengan tingkat pemahaman para peserta didik.
Demikian juga dalam proses pembelajaran bahasa Arab, sejauh mana kemampuan
peserta didik dalam penguasan materi pembelajarannya. Di samping itu apakah
telah memenuhi prinsip-prinsip belajar, dimana manusia adalah orang seorang
yang memiliki pribadi/jiwa sendiri, sehingga dalam proses pembelajaran bahasa
Arab itu dapat terjadi interaksi komunikasi yang aktif dan progresif.
Daftar Pustaka
Daryanto. (2008). Evaluasi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dradjat, Zakiah et.al. (t.t.). Metodik khusus pengajaran agama Islam. Jakarta.
Mansyur, Moh. et.al. (1995). Materi pokok bahasa Arab I: Modul 2. Jakarta: Dirjen
Binbaga Islam Departemen Agama RI.
Muradi, Ahmad. (t.t.). Metode drill dalam pembelajaran bahasa Arab. Jurnal
Ilmiah, IAIN Antasari Banjarmasin.
Nata, Abuddin. (2001). Pemikiran para tokoh pendidikan Islam: Seri kajian filsafat
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
At-Ta’dib. Jurnal ilmiah prodi pendidikan agama Islam, Vol. I, No.I, 2009: 43.
Fithriani
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh, Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1)
dalam bidang bahasa Arab pada Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry, Tahun 1999. Kemudian melanjutkan
pendidikan Progam Magister (S2) Kosentrasi Pendidikan
Islam pada IAIN Ar-Raniry, selesai tahun 2006.
Abstract
Ibn Khaldun and Al-Abrasyi are the well-known scholars in Islamic education
with enormous influence in the development of Islamic education. This article is a
comparative study on concept of learning methodologies developed Ibn Khaldun
and Al-Abrasyi. This study has similar and different versions with other concept
of learning methodologies. However, in addition to some similarities, there are
also substantial differences in the rate of formative constructive. The equity of Ibn
Khaldun thought about the concept of learning methodologies is based on the as-
sumption that human ability to understand and master the thing is just running
a little by little. The deal done by Al-Abrasyi on the thought of Ibn Khaldun and
luminaries of classical Islamic education is the only good intentions and brilliant
mind that Al-Abrasyi pursued by various ways, namely to re-awake the Islamic
world to have theories of classical Islamic education which have ever been voiced
and practiced in the era of Islamic development to be implemented in the current
Islamic educational practice.
Pendahuluan
Metodologi pembelajaran merupakan unsur subtansial dalam proses
pendidikan Islam. Proses pembelajaran tidak dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan mana kala tidak ditopang oleh metodologi yang tepat dan akurat.
Adagium Usuli’yah menyatakan, Al-‘Amru bi Syai’in ‘Amru Biwasaailihi walil waaili
Hukmu Maqashidihi (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 229). Implikasi pedagogik
dari adagium ini adalah bahwa proses pembelajaran menghendaki metodologi
yang jelas dan tepat guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena
itu, hampir semua pakar pendidikan Islam klasik maupun modern membahas
secara mendalam unsur subtansial ini.
Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi merupakan dua pakar pendidikan Islam
yang cukup dikenal, Ibnu Khaldun melalui karya momentalnya, Muqaddimah
dikenal bukan hanya seorang sosiolog akan tetapi sebagai padagog muslim klasik
(Muhammad Jawwad Ridha, 2002: 173-195). Pemikirannya banyak dikaji oleh
para peneliti yang tidak hanya komunitas ilmuan muslim tetapi juga oleh para
komunitas ilmuan non muslim. Sedangkan Al-Abrasy merupakan pakar pada
Islam modern yang juga cukup dikenal di dunia Islam, paling tidak melalui
berbagai karyanya. Karya-karyanya terdiri lebih dari 50 judul, 13 judul di antaranya
berbicara langsung mengenai pendidikan Islam (Muhammad ’Athiyah al-abrasyi:
309-331).
Kedua pakar tersebut memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
konsep pendidikan pada umumnya dan metodologi pembelajaran khususnya.
Perhatian Ibnu Khaldun mengenai pendidikan pada umumnya dan metodologi
pembelajaran dapat dilihat secara jelas dalam Muqadimah keenam dari bab
pertama, sepuluh pasal pada akhir bab kelima serta sebagian besar bab keenamnya
(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1997: 2).
Pembahasan Al-Abrasyi mengenai pendidikan terdapat dalam banyak
karyanya, khususnya mengenai metodologi pembelajaran secara dominan dibahas
dalam dua karyanya yakni, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wafalasifatuha dan Ruh al-
Tarbiyah wa al-Ta’lim.
Pembahasan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan, menurut Prof. Dr. Warul
Walidin, dihampiri melalui pendekatan sosiologis. Warul Walidin menjelaskan
betapapun Ibnu Khaldun lebih mencurahkan perhatiannya pada sosiologi dan
sejarah, akan tetapi ia secara khusus menyelidiki dengan cermat pedagogik di bawah
sorotan metodologi ilmu sosial. Berbeda dengan Al-Abraisyi, pembahasannya
mengenai pedagogik lebih cenderung menyoroti dari sisi historis filosofis. Kedua
pakar ini menempuh jalan yang berbeda namun keduanya sama-sama merujuk
pada sumber Islam (Alquran dan Hadis). Hal ini sangat wajar karena kedua tokoh
pendidikan Islam, Ibnu Khaldun dan Al-Abraisyi hidup pada zaman yang jauh
berbeda, Ibnu Khaldun dibesarkan dalam tradisi Islam klasik, sementara Al-
Abrasyi dibesarkan dalam tradisi Islam modern. Al-Abrasyi dalam membayar
pemikiran pedagogiknya termasuk metodologi pembelajaran sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran pendidikan modern.
'Arabi Al-Hasyayiri dan Abu 'Abbas Ahmad Ibnu al-Qassar, serta Abu 'Abdillah
Ibnu Bakar. Mempelajari Al-Hadis pada Syamsuddin Abu 'Abdillah Al-Wadiyasi.
Sedangkan ilmu Fiqh, ia belajar pada Abu 'Abdillah Muhammad Al-Jiyani dan Abu
Qahiri, sedangkan ilmu-ilmu rasional Ibnu Khaldun yang berupa teologi, logika,
ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi pada Abu 'Abdillah Muhammad
Ibn Al-Abili. Ia sempat kagum dengan gurunya yang terakhir ini (Al-Khudairi,
1997:10).
Ibnu Khaldun mendalami ilmu-ilmu formal tersebut sampai usia 18 tahun.
Ilmu-ilmu 'aqliyah ia peroleh pada usia yang relatif muda. Dalam bidang fiqh,
dia cenderung kepada mazhab Maliki, tertarik pada ilmu-ilmu sosial termasuk
ilmu pendidikan (Muhsin Mahdi, 1971: 27-29). Kemudian setelah beberapa tahun
ia memperoleh ilmu melalui pendidikan formal Ibnu Khaldun memasuki masa
belajar mandiri, melanjutkan apa yang telah diperoleh dari guru-gurunya.
Dalam pendidikan formal yang ditempuh Ibnu Khaldun banyak
mempelajari buku-buku terpenting di antaranya: Al-Lamiyyah fi al-Qiraat dan
Al-Ra 'iyah fi Rasmi al-Musaf, keduanya karya Al-Syatibi, Al-Tashil fil Umi al-
Nahwi, karya Abu Fajar al-As Fahami, Al-Mu'allaqat, Kitab Al-Hammasah li
al-'Alaiq, ontologi, puisi Abu Tamam dan Al-Mutanabbi, sebagian besar kitab
Hadis, terutama Sahih Muslim dan Muwata' Imam Malik, Al-Taqadi li Ahaditsi
Al-Muwatta', karangan Abdil Barr, 'Ulum al-Hadist karya Ibnu al-Salah, kitab
Al-Tahzib karya Al-Burada'i dan juga Mukhtasar al-Munawwarah karya Sahnun
berisikan Mazhab Maliki, Mukhtasar al-Ibni al-Hajib tentang fiqih dan usul serta
al-Sairu karangan Ibnu Ishaq.
b. Karya-karya Ibnu Khaldun
Di antara karya-karya terbesar Ibnu Khaldun adalah al-‘Ibaar. Nama
lengkap kitab ini adalah “Al-‘Ibaar wa Diwaan Al-Mubtada’ wa al-Khabar Fi
Ayyam al-‘Arab wa al-Barbar wa man ‘Atsaruhum Min Zawi al-Sulthan al-Akbar”.
Karyanya yang terkenal sampai sekarang adalah Muqaddimah atau Muqaddimah
Ibnu Khaldun. Kitab ini sebagai pengantar dari kitab al-‘Ibaar yang dianggap
penting sehingga dipisahkan dari karya induknya. Selain dari dua buku tersebut
yaitu al-‘Ibaar dan Muqaddimah, juga masih ada karya lain yaitu kitab al-Ta’rif
yang dipandang sebagai otobiografi.
Dalam kitab tersebut Ibnu Khaldun menguraikan peristiwa-peristiwa
“Mazahib wa shakhshiyat”, menurut informasi yang telah diperoleh oleh Prof. DR.
H. Bustami A. Gani di, Cairo, merupakan penerbit kepunyaan pemerintah RPA
(Republik Pemerintah Arab), dan satu buku diterbitkan olehnya setelah terlebih
dahulu lulus dalam penilaian suatu panitia yang terdiri dari tenaga-tenaga ahli/
sarjana-sarjana dalam bidang tertentu. Norma yang ia pakai adalah bahwa suatu
buku itu diterbitkan bila buku tersebut mengandung hal-hal yang "baru", baik
dari segi isi, analisis atau teknik penyajian. Dengan demikian buku al-Tarbiyah al-
Islamiyah tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan kriteria dimaksud.
yang diperlukan oleh mahasiswa seperti makanan, tempat tinggal, pengobatan dan
beasiswa agar mereka dapat menggunakan waktu sepenuhnya untuk belajar.
Berdasarkan latar belakang inilah Al-Abrasyi dengan komitmen yang tepat
mengungkapkan bahwa pemikiran metodologi pembelajaran mestinya sejalan
sebagaimana dikumandangkan oleh para ahli klasik, seperti Al-Ghazali, Ibnu
Khaldun dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa cara berfikir anak-anak berbeda
dengan pikiran orang dewasa. Jika dalam pendidikan dunia modern mengenal
sistem Doulton (sistem pemberian tugas atau assignment) yang dikemukakan
dan dipraktekkan oleh Missa Hellen Parkherest di negara bagian Massachu
Settes (Amerika), maka sistem ini tidak berbeda dengan sistem yang dipakai Al-
Azhar sejak lama sekali dalam pendidikan dan pengajaran. Demikian juga idea
psychotest atau penguran kecerdasan yang merupakan kebanggaan pendidikan
abad ke XX ini. Dengan pemikiran tersebut, Al-Abrasyi menyeru kepada seluruh
para pendidik Islam lainnya untuk menggali kembali teori-teori pendidikan Islam
klasik agar dijadikan suatu kebanggaan pendidikan abad XX. Hal ini bukan upaya
yang langka, memang menjadi perhatian dan dipraktekkan sejak zaman keemasan
Islam, namun demikian Al-Abrasyi tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa
filosof-filosof Islam telah menyuarakan apa yang kini dibanggakan dalam dunia
pendidikan Modern. Ibnu Khaldun merupakan tokoh pendidikan Islam Klasik
namun Al-Abrasyi menyimpulkan bahwa beberapa aspek pemikiran Ibnu
Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosof modern.
suatu tujuan dengan cara yang sesuai menurut perkembangannya, merubah pada
tingkah laku mereka serta memperoleh maklumat-maklumat, keterampilan,
kebiasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai yang diinginkan.
Adapun yang berkaitan dengan metodologi pembelajaran yang ditawarkan
baik Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi yaitu: Ibnu Khaldun menampilkan tiga
metodologi pembelajaran yang diberikan nama dengan metode tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pertama (sabil al-ijmaili)
Tahap ini pendidikan mengajarkan materi pelajaran kepada subjek didik
berkaitan tentang problem-problem yang prinsipil mengenai setiap cabang
pembahasan yang diajarkan. Keterangan-keterangan yang diberikan harus bersifat
global dan sederhana, dalam setiap materi bahasa pengkajian materi itu sendiri
harus sesuai dengan kemampuan akal subjek didik dalam memahami apa yang
diberikan kepadanya dan setiap mental untuk memahami materi yang disajikan.
1. Tahap pengembangan (al-Syarh wa al-Bayan)
Pada tahap ini, pendidikan dalam menyajikan materi pelajaran pada
subjek didiknya memberikan pokok bahasan dalam taraf yang lebih tinggi. Ibnu
khaldun menganjurkan para pendidik untuk mengembangkan lebih jauh sesuai
dengan kesanggupan siswa. Para pendidik menggunakan tahap ini tidak boleh
puas dengan cara pembahasan yang bersifat umum saja tetapi harus membahas
segi-segi yang menjadi pertentangan dan berbagai pendapat yang berbeda. Seperti
dengan memberikan contoh-contoh konkrit dan alat peraga karena tahap ini
disebut dengan tahap perkembangan subjek didik.
3. Tahap penuntasan (takhallus)
Penyajian materi pelajaran pada tahap ini lebih mendalam dan rinci
dalam konteks yang universal karena pendidik di samping mempertajam aspek-
aspek materi pelajaran dan menajamkan pemahamannya, semua masalah yang
dianggap sulit perlu diselesaikan, pada tahap pemungkasan ini memungkinkan
subjek didik mencapai keahlian yang lebih sempurna.
Adapun metodologi pembelajaran yang ditawarkan Al-Abrasyi sebagaimana
dijelaskan dalam bukunya Ruhal tarbiyah terdapat sepuluh Metode ilmu
pendidikan yang dirangkum dari beberapa pendapat para ahli. Kesepuluh
metode ilmu dimaksud adalah al-qiyasiyyah, al-ikhbariyyah wa al-muhadharat,
al-hiwariyyah (al-suqrathiyyah), al-tanqibiyyah (model Dalton, Montessori, at-
seorang ahli dan profesional dalam menguasai mata pelajarannya, tetapi ia gagal
dalam pelajarannya sebab ia tidak menguasai metode.
Dengan sebab itu pendidik dalam berbagai zaman menaruh perhatian yang
sangat besar untuk mengangkat derajat metode mengajar dan alat-alatnya melalui
penentuan syarat-syarat dan prinsip-prinsip yang harus dipelihara dengan baik
oleh para pendidik-pendidik Islam baik klasik maupun modern.
Manfaat metodologi pembelajaran menurut Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi,
tidak dapat dibedakan karena setiap metode mempunyai manfaatnya masing-
masing. Pemanfaatan metode berbeda-beda, metode mengajarkan ilmu agama
dan bahasa berbeda dengan metode mengajarkan ilmu-ilmu alam dan seni.
Demikian pula metode mengajarkan tarikh, ilmu hitung dan sebagainya.
karena hal itu akan menyebabkan anak didik menjauhi ilmu itu dan
membuatnya malas mempelajarinya.
Adapun prinsip-prinsip metodologi pembelajaran yang diklasifikasikan Al-
Abrasyi adalah: 1) menjaga kemampuan dan kecenderungan siswa, 2) perhatian
penuh terhadap siswa, 3) pendidikan sambil bermain,. 4) kebebasan berfikir,
5) mendorong siswa untuk belajar sesuai dengan kecenderungan, 6) menjaga
lingkungan siswa, 7) tolong menolong, 8) mendorong siswa untuk belajar mandiri,
9) memanfaatkan semua potensi siswa.
Prinsip-prinsip metodologi yang ditawarkan Ibnu Khaldun sangat didukung
oleh Al-Abrasyi, karena maju dari tingkat sekedar mengetahui ke tingkat sanggup
mengetahui sendiri, sehingga akhirnya sempurnalah daya tangkap kesanggupan
belajar sendiri. Karena mereka menganggap kecepatan berfikir dan daya tangkap
manusia berbeda-beda.
Semua prinsip-prinsip metodologi pembelajaran Al-Abrasyi juga
memperhatikan psikologis anak didik dalam proses belajar mengajar scbagaimana
Ibnu Khaldun didasarkan pada pendekatan psikologis anak didik, meskipun
metode yang diterapkan lebih bersifat intelektualistis karena hanya menitik
beratkan pada kecerdasan akal saja. Di samping adanya persamaan juga terdapat
perbedaan dari konstruksinya yang berbeda Perbedaan itu dapat menutupi
dimana terdapat kekurangan satu sama lain dari prinsip-prinsip tersebut. Karena
prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Al-Abrasyi merupakan hasil rangkuman
dari beberapa pendapat pakar pendidikan Islam klasik seperti: Ibnu Sina, Al-
Ghazali, Az-Zarnuji, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi komperatif mengenai konsep metodologi
pembelajaran menurut pendapat Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi dalam kaitannya
dengan konsep metodologi pembelajaran dapatlah diambil kesimpulan bahwa
metodologi pembelajaran yang ditawarkan oleh dua tokoh pendidikan tersebut
terdapat persamaan-persamaan. Persamaan tersebut berdasarkan bukti-bukti
konkrit yang dilakukan Al-Abrasyi dengan menggunakan pendekatan historis
pendekatan tersebut dapat membuka pintu hati umat umat Islam agar menuntut
ilmu pendidikan dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran
Daftar Pustaka
Abdul Wahid Wafi. (t.t). Ibnu Khaldun Riwayat Hidup dan Karyanya, (Alih Bahasa
Ahmadie Thaha). Jakarta: Grafit Press.
Al-Khudairi. (1997). Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Alih Bahasa Rafi’I Utsman).
Bandung : Pustaka.
Fathiyah Hasan Sulaiman. (1987). Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan
Pendidikan, Terj. Herry Noer Ali. Bandung : Dipenogoro.
Fuad Hasan dan Koentjaningrat. (1977). Beberapa Azas Metodologi Ilmiah dalam
Koentjaningrat (ed) Metode-metode dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Muhaimin dan Abdul Mujib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik
dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya.
Muhammad Jawwad Ridha. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis Filosofis), terj. Mahmud Arif. Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Abstract
Generally, the teaching and learning Arabic at the state Institute for Islamic Studies
aim to develop the skills of students to master the formal (fushha) Arabic, in order
to understand and produce quality works in Arabic literature (productive and
receptive). Productive skill is the ability to use Arabic in order to communicate
either by speaking or writing. Receptive skill is the ability to understand speeches
and texts. It is important that these two abilities being developed together with the
positive manner toward the Arabic, that accordingly, students could understand
the various resources of Islamic studies, including the Qur’an and Prophets
Tradition, which are written in Arabic. In reality, however, the abilities and skills of
students are poor or far from optimal. These are because of several factors, among
others are, lack of student’s learning motivation, are poor quality of lecturers, poor
facilities, and the absence of Arabic language environment. The improvement of
quality of the Arabic learning should be focused on these four areas. The university
should intensively train Arabic lecturers, improve Arabic learning facilities, and
enlighten the Arabic-speaking environment.
Pendahuluan
Bahasa Arab memiliki fungsi istimewa dari bahasa-bahasa lainnya. Bukan
saja bahasa Arab yang memiliki nilai sastra bermutu tinggi bagi mereka yang
mengetahui dan mendalaminya, akan tetapi bahasa Arab ditakdirkan sebagai
bahasa Alquran, yaitu bahasa yang digunakan untuk kalam Allah. Dalam Alquran
terdapat uslub bahasa yang sungguh mengagumkan dan suatu realita pula manusia
tidak mampu menandinginya.
Bahasa Arab dan Alquran bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dan lainnya. Mempelajari bahasa Arab adalah syarat wajib
untuk menguasai isi Alquran. Mempelajari Alquran berarti mempelajari bahasa
Arab. Dengan demikian peranan bahasa Arab di samping sebagai alat komunikasi
manusia sesamanya juga sebagai alat komunikasi manusia dalam beriman kepada
Allah. Islam telah mengangkat bahasa Arab menjadi bahasa yang besar dan
berbudaya yang mempengaruhi dunia seluruhnya. Sejak abad ke 12 M, bahasa
Arab sudah dikenal bukan saja sebagai bahasa untuk memahami seluk beluk
agama Islam, akan tetapi juga sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini telah
terlukis dalam sejarah Islam, di mana pada abad tersebut khususnya pada akhir
masa dinasti Abbasiyah berbagai buku tentang ilmu pengetahuan seperti ilmu
kedokteran, ilmu filsafat dan ilmu falak, semuanya ditulis dalam bahasa Arab.
Bahasa Arab juga telah ditetapkan sebagai salah satu bahasa resmi yang
digunakan di Majelis Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1973. Hal
ini mengandung pengertian bahwa bahasa Arab telah dijadikan sebagai salah
satu bahasa resmi internasional, maka sepatutnyalah pengajaran bahasa Arab
di Indonesia mendapat penekanan dan perhatian seksama, mulai dari tingkat
SD (Sekolah Dasar) sampai pada Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta,
umum maupun agama, untuk digerakkan dan diajarkan.
Bahasa Arab sangat penting diajarkan di institusi pendidikan Islam karena
institusi pendidikan merupakan lembaga yang dapat mencetak intelektual muslim
dan ulama. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi menyebutkan, “Seorang ulama harus
menguasai bahasa Arab dengan baik, karena sumber utama Islam (Alquran dan
hadis) itu berbahasa Arab dan warisan tradisi keilmuan dan keruhanian Islam juga
tertulis dalam Bahasa Arab”. Persyaratan KH. Abdullah Zarkasyi ini berdasarkan
fakta yang dapat ditemukan dengan mudah, bahwa di antara persyaratan untuk
dapat menjadi atau disebut seorang ulama dalam agama Islam adalah memahami
bahasa Arab dengan baik, yang ditandai dengan memiliki kemampuan dalam
mengkaji ajaran Islam dari sumbernya yang asli (berbahasa Arab).
Pembelajaran bahasa Arab di suatu institusi pendidikan Islam pada umumnya
diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina
kemampuan berbahasa Arab Fushhā', baik produktif maupun reseptif, serta
menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab. Kemampuan bahasa Arab
produktif yaitu kemampuan menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi
baik secara lisan maupun secara tulisan. Kemampuan berbahasa reseptif yaitu
kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan kemampuan
memahami bacaan. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap
bahasa Arab tersebut sangat penting, karena dapat membantu seseorang dalam
memahami sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan hadis, serta buku-buku
berbahasa Arab yang berkenaan dengan Islam dan ilmu pengetahuan umum.
Realita menunjukkan bahwa keterampilan mahasiswa dalam berbahasa Arab
belum optimal. Banyak faktor yang harus ditingkatkan dalam rangka perbaikan
mutu pendidikan bahasa Arab secara optimal. Adapun uraian tentang faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada pembahasan berikut.
Pembahasan
Suatu perguruan tinggi harus mengukur dan meningkatkan kualitas
jasanya agar dapat berfungsi secara efisien dan efektif di lingkungan yang sangat
kompetitif. Paket jasa pengajaran yang ditawarkan harus dapat menarik bagi
(calon) mahasiswa dan juga harus dapat menciptakan dan menaikkan tingkat
kepuasan mahasiswa. Mahasiswa yang tidak puas biasanya akan menyebarkan
komentar yang negatif tentang perguruan tinggi tersebut, di samping itu juga
akan berimplikasi negatif terhadap prestasi mahasiswa. Oleh karena itu, suatu
perguruan tinggi harus mempunyai strategi yang dapat mengidentifikasi dan
mengakomodasi kebutuhan mahasiswa sebagai konsumen jasa pengajaran yang
ditawarkan. Adapun strategi yang dapat dilakukan di antaranya sebagai berikut:
Peningkatan motivasi
Motivasi bertalian dengan suatu tujuan. Motivasi dapat mempengaruhi
kesadaran mahasiswa bahwa belajar hari itu untuk meraih hari esok yang lebih
baik. Adapun dorongan yang tumbuh dari luar diri mahasiswa (motivasi ekstrinsik)
dapat dilakukan oleh dosen melalui penghargaan bagi mereka yang berprestasi
dan memberikan hukuman bagi mereka yang tidak melakukan kegiatan belajar
sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk menjadi motivator belajar, dosen hendaknya mengetahui kebutuhan
para mahasiswa serta latar belakang pribadinya sehingga upaya memberikan
motivasi kepada mahasiswa sejalan dengan kebutuhan dirinya. Menjalin
hubungan baik dan harmonis dengan mahasiswa agar kepatuhan dan kepercayaan
mahasiswa kepada dosen tertanam kepada mahasiswa. Memiliki perasaan humor
yang positif dan normatif sehingga tetap disegani dan disenangi para mahasiswa,
serta menampilkan sosok kepribadian dosen yang menjadi panutan mahasiswa,
baik dalam berperilaku di kelas maupun di luar kelas.
Dosen berperan sebagai evaluator, artinya sebagai penilai yang objektif dan
komprehensif. Sebagai evaluator, dosen berkewajiban mengawasi proses belajar
mahasiswa dan hasil belajar yang dicapainya, serta berkewajiban melakukan
upaya perbaikan proses belajar siswa dengan menunjukkan kelemahan belajar
mahasiswa dan cara memperbaikinya. Dalam menjalankan tugas sesuai dengan
peranannya, maka yang pertama yang harus diperhatikan oleh dosen adalah
tujuan pengajaran. Karena mengajar adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan,
terarah pada tujuan dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan
(Surachmad, t.t.:24). Tujuan inilah yang merupakan hasil belajar bagi mahasiswa
setelah melakukan proses belajar di bawah bimbingan dosen dalam kondisi yang
kondusif.
Dosen harus mampu menggunakan metode-metode yang tepat, karena metode
cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang
efektif dan efisien. Dalam penggunaan metode, dosen harus mempertimbangkan
dan memperhatikan dari berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat
mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode. Adapun hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pemilihan metode pengajaran adalah 1). Tujuan yang hendak
dicapai, 2). Materi yang akan diajarkan, 3). Kemampuan guru, 4). Fasilitas yang
tersedia, 5). Situasi dan kondisi pengajaran dimana berlangsung, 6). Waktu yang
tersedia, 7). Kebaikan dan kekurangan suatu metode (Yusuf, 1997:7-10).
Adapun media Audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur
gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi
kedua jenis media di atas.
Penutup
Banyak faktor yang harus ditingkatkan dalam upaya mengoptimalkan mutu
pembelajaran bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Islam di Aceh. Di antaranya
adalah faktor dosen. Dosen perlu diberi latihan yang intensif tentang kemampuan
bahasa Arab yang sempurna, peningkatan dalam menggunakan metode mengajar
yang tepat dan bervariasi. Fasilitas pembelajaran bahasa Arab harus lengkap agar
terwujudnya kemudahan dalam proses belajar mengajar. Di samping itu, perlu
adanya kewajiban menggunakan bahasa Arab secara aktif di lingkungan kampus.
Akhirnya, disarankan perlu adanya peningkatan perhatian dan dukungan
dari semua pihak dalam rangka optimalisasi mutu pembelajaran bahasa Arab pada
Perguruan Tinggi Islam di Aceh. Latihan bahasa Arab secara intensif bagi dosen
dan mahasiswa juga perlu terus dilakukan. Selain itu, dalam rangka optimalisasi
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran, diharapkan pemerintah dan
pihak yang berkompeten lainnya dapat memberikan reward atau penghargaan yang
lebih tinggi kepada pelaksana kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan
bahasa Arab.
Daftar Pustaka
Afriati, Intan. (1998). Al-Musykilātu fi mahāratu al-muhādatsah: Dirāsatun
maidāniyyatun li syu'batu al-lughatu al- Ārabiyyatu bi kulliyati al-
Tarbiyyati Jāmi'ati al-Rāniry. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Banda Aceh:
IAIN Ar-Raniry.
Ahmad, Rusydy. (2000). Tadris al-Arabiyah al-ta'lim al 'am. Kairo: Dar al Fir al-
Arabi.
Al-Rikkabi, Jaudat. (1996). Thuruq tadris al-lughah al-Arabiyah. Beirut: Dar al-
Fikr al-Mu'ashir.
Mouly, George J. (1987). Psychology for effective teaching. New York: Holt Rinehart
dan Winston.
Sardiman, A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja
Grafindo.
Yusuf, Tayar. (1997). Metodologi pengajaran agama dan bahasa Arab. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Abstract
The process of learning IPA (natural science) should be based on the nature of
learning IPA itself. In this case, the process of learning IPA should be based on
three components, namely the scientific process, product or result of science and
scientific attitudes. Therefore, the learning of IPA should emphasize on inquiry
development activity, in detail to emphasize more on investigations and to
analyze IPA questions. Based on the curriculum, the learning objective of IPA at
the Elementary School / MI level is to enable learners in developing knowledge
and understanding of science concepts to develop curiosity, positive attitude and
awareness about the relationship of mutual influence between IPA, environment,
technology and society and develop skills to investigate the processes of
environment, to solve problems and to make decisions. Inquiry itself is a process
adopted to obtain information through the activities commonly conducted by the
scientist.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk bisa menyiapkan masa
depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Pada abad informasi ini tingkat
kemampuan suatu negara diukur dari tingkat kemajuan dalam bidang IPA dan
teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah juga mengatakan dalam
kurikulum 2004 Depdiknas (2003) bahwa pengembangan kemampuan siswa dalam
bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan
siswa dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan memasuki dunia teknologi.
Untuk mengembangkan kemampuan IPA siswa dengan baik maka
pengembangannya harus mulai dilakukan pada jenjang Sekolah Dasar melalui
pembelajaran yang tepat. Karena Pembelajaran IPA di sekolah dasar memegang
peranan penting bagi pembelajaran IPA di jenjang-jenjang berikutnya. Sebab
pengetahuan awal siswa sangat berpengaruh pada minat dan kecenderungan siswa
untuk belajar IPA. Dengan kata lain jika minat siswa pada saat pembelajaran IPA
di SD sudah rendah kemungkinan untuk jenjang selanjutnya hal yang sama akan
terjadi. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan dijelaskan tentang pentingnya
pembelajaran IPA ini Depdiknas ( 2006), salah satunya adalah mengembangkan
rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling
mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006), mengatakan bahwa
mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
diantaranya mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang hubungan
yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat dan
mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan
masalah dan membuat keputusan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam
BSNP (2006), disarankan pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri
ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan
bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan
hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan mengembangan
keterampilan proses dan sikap.
sikap kerja sama, sikap tidak putus asa, sikap tidak berprasangka, sikap mawas
diri, sikap bertanggung jawab, sikap berpikir bebas dan sikap kedisiplinan diri.
Hampir sejalan dengan hal itu, George dalam Hinrichsen (1999), juga berpendapat
bahwa pendidikan IPA terdiri atas bagian produk dan proses, produk adalah
isi dari pengetahuan IPA yang biasanya dalam bentuk buku teks, jurnal, dan
ensiklopedi elektronik. Beberapa produk IPA meliputi: fakta, hukum, teori dan
model. Sedangkan proses dalam IPA merupakan cara atau teknik yang digunakan
seperti penggunaan miskroskop, proses bisa juga meliputi pertimbangan untuk
melakukan proses seperti pengungkapan hipotesis atau prediksi. Selain itu proses
IPA juga sering meliputi tingkah laku dan sikap seperti rasa ingin tahu, imaginasi,
jujur dan lain lain.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa keduanya memiliki
persamaan pendapat bahwa IPA terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses dan
sikap, untuk sikap George memasukkan dalam kategori proses. Melihat kenyataan
tersebut maka dalam mengajarkan IPA di SD guru seharusnya tidak hanya
mengajarkan IPA sebagai produk yang berupa pengetahuan saja tetapi juga
harus mengajarkan pada siswa bagaimana proses mendapatkan produk tersebut
yaitu melalui model ilmiah dan selain itu guru juga harus memperhatikan
untuk mengembangkan sikap ilmiah dalam kegiatan pembelajaran yang akan
dilakukannya pada siswa
Menurut Sulistyorini (2007), dalam proses belajar megajar IPA di SD model
ilmiah dan sikap ilmiah dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan
dengan harapan pada akhirnya akan terbentuk paduan yang lebih utuh sehingga
anak SD dapat melakukan penelitian sederhana. Tahapan pengembangan untuk
mengajarkan model ilmiah disesuaikan dengan tahap dari suatu penelitian yang
meliputi observasi, klasifikasi, interpretasi, prediksi, hipotesis, mengendalikan
variabel, merencanakan dan melaksanakan penelitian, inferensi, aplikasi dan
komunikasi. Sedangkan untuk sikap ilmiah dapat dikembangkan pada siswa
melalui diskusi, percobaan, simulasi dan kegiatan dilapangan.
Untuk mewujudkan pembelajaran IPA yang mengembangkan tiga dimensi
tersebut maka pembelajaran IPA seharusnya dilakukan secara inkuiri ilmiah.
Hal ini seperti yang diharapkan dalam BSNP (2006), yang mengatakan bahwa
pembelajaran IPA atau IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah
dan tentang konten IPA. Untuk mempelajari hal tersebut dilakukan dengan
pembelajaran IPA berbasis inkuiri yaitu melalui penyelidikan yang memadukan
antara model, proses berpikir dan mempraktekkan aktifitas ilmiah. Hal yang
sama juga diungkapkan Kai Wu (2007), bahwa pembelajaran IPA dengan inkuiri
ilmiah akan melibatkan siswa dengan banyak aktifitas dan bentuk. Karena
pembelajaran ini mengharuskan siswa berpartisipasi dengan aktifitas untuk
menciptakan dan mengevaluasi model ilmiah, melalui kegiatan bertanya atau
merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan,
merencanakan dan mengumpulkan data penelitian, menganalisis data dan
membuat kesimpulan, serta menemukan fakta dan mengkomunikasikan hasil
penemuannya. Selain itu, inkuiri juga membantu siswa untuk lebih kreatif dan
berpikiran luas. Karena kesadaran dari perpaduan afektif dan kognitif merupakan
bentuk perwujudan dari metode inkuiri ini (Alberta, 2004).
Dalam proses pembelajaran IPA aktivitas-aktivitas penelitian tersebut
merupakan suatu hal yang penting untuk ditanamkan agar siswa memahami
bahwa konsep-konsep IPA ditemukan melalui aktivitas eksperimental yang
didasari oleh inkuiri ilmiah. Selain itu, Siswa juga harus memperoleh pengetahuan
IPA melalui serangkaian kegiatan seperti yang dilakukan ilmuan, hal ini akan
didapatkan siswa melalui kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri karena dalam
proses pembelajaran inkuiri siswa berperan sebagai peneliti.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran IPA di SD seharusnya dilakukan secara inkuiri karena inkuiri itu
merupakan tujuan pembelajaran dan IPA itu sendiri. Hakekat pembelajaran IPA
terdiri dari proses, produk dan sikap, ketiga dimensi ini harus dikembangkan
dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan ketiga dimensi tersebut adalah melalui pembelajaran IPA yang
berbasis inkuiri. Pembelajaran IPA berbasis inkuiri juga membantu siswa untuk
lebih kreatif dan berpikiran luas. Supaya pembelajaran IPA berbasis inkuiri dapat
terlaksana di SD maka guru harus memiliki kemampuan untuk merencanakan
pelaksanaan pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri dengan memunculkan semua
aspek inkuiri dalam setiap rencana pembelajaran IPA yang disusun untuk dapat
mengarahkan pelaksanaan pembelajaran yang berbasis inkuiri.
Selain mengetahui tentang hakekat pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri,
untuk dapat menerapkan pembelajaran IPA yang berinkuiri guru juga harus
mengetahui bagaimana menyusun rencana pembelajaran IPA yang memunculkan
aspek-aspek inkuiri.
Dalam penerapan pembelajaran IPA yang didasari pada inkuiri ada beberapa
tahap yang harus dilewati Menurut Joyce & Weil (1996), inkuiri terdiri dari lima
tahapan, sebagai berikut : Tahap pertama, Penyajian masalah atau menghadapkan
siswa kepada situasi teka-teki. Pada tahap ini guru menyatakan situasi masalah
dan menentukan prosedur inkuiri kepada siswa (berbentuk pertanyaan yang
hendaknya dapat dijawab “ya” atau “tidak”). Pertanyaan tentang peristiwa yang
didasarkan pada bentuk ide-ide sederhana merupakan permulaan inkuiri.
Tujuan utama ialah memberikan pengalaman kreasi pengetahuan baru kepada
siswa. Tahap kedua, Pengumpulan dan verifikasi data. Pada tahap kedua ini,
siswa mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang mereka lihat atau alami,
membuktikan hakekat objek dan kondisi, menyelidiki peristiwa situasi masalah.
Tahap ketiga, Pengumpulan data dan melaksanakan eksperimen. Pada tahap ketiga
ini siswa mengajukan unsur ke dalam suatu situasi untuk melihat perubahan yang
terjadi. Eksplorasi dan menguji secara langsung. Eksplorasi mengubah benda-
benda untuk melihat apakah yang akan terjadi, tidak memerlukan suatu teori
atau hipotesis tetapi boleh menggunakan ide-ide untuk terjadinya suatu teori.
Sedangkan tes langsung berlaku apabila siswa-siswa mencoba suatu teori atau
hipotesis. Fungsi kedua dari guru, ialah memperluas proses inkuiri siswa dengan
mengembangkan tipe informasi yang mereka peroleh. Selama tahap verifikasi,
siswa boleh mengajukan pertanyaan tentang obyek, ciri, kondisi dan peristiwa.
Tahap keempat, Meneruskan penjelasan. Pada tahap keempat, guru mengajak
siswa merumuskan penjelasan. Beberapa siswa akan menemui kesulitan dalam
mengemukakan informasi yang mereka peroleh, untuk memberikan uraian
yang jelas. Mereka dapat memberikan penjelasan yang tidak begitu mendetail.
Tahap kelima, Mengadakan analisa tentang proses inkuiri. Pada tahap kelima
siswa diminta untuk menganalisa pola-pola penemuan mereka. Mereka boleh
menentukan pertanyaan yang lebih efektif, pertanyaan yang produktif dan yang
tidak, atau tipe informasi yang mereka butuhkan dan yang tidak diperoleh.
Selanjutnya dalam Nasional Science Education Standard USA (NCR, 2000),
dikemukakan bahwa proses pembelajaran IPA terdiri atas lima tahap untuk
tingkat kelas 3 dan 4 yaitu: Tahap pertama, merumuskan masalah dimana
siswa dilibatkan dengan sebuah pertanyaan ilmiah, kejadian/fenomena. Hal ini
dihubungkan dengan pengetahuan siap siswa dan membuat ketidakseimbangan
dengan ide-ide yang mereka miliki dan memotivasinya untuk belajar lebih. Tahap
Kedua, siswa menggali ide-ide melalui pengalaman hands on, memformulasi dan
menguji hipotesis, memecahkan masalah dan membuat penjelasan terhadap apa
yang mereka observasi. Tahap ketiga, siswa menganalisis dan menginterpretasikan
data, mensintesis ide-ide mereka, membangun model dan memperjelas konsep
melalui penjelasan dari guru atau sumber pengetahuan ilmiah lainnya. Tahap
keempat, siswa memperluas pemahaman dan kemampuan baru mereka serta
mengaplikasikan apa yang dapat mereka pelajari pada situasi baru. Tahap kelima,
siswa bersama guru mereview dan menganalisis apa yang telah mereka pelajari
dan bagaimana mereka telah mempelajarinya.
Hampir senada dengan yang diungkapkan Eggen & Kauchak dalam Trianto
(2007), bahwa tahapan pembelajaran inkuiri terdiri atas enam fase yaitu: Pertama,
menyajikan pertanyaan atau masalah, guru membimbing siswa mengidentifikasi
masalah dan masalah dituliskan dipapan tulis dan guru membagi siswa dalam
kelompok. Kedua, membuat hipotesis, guru memberikan kesempatan pada siswa
untuk curah pedapat dalam bentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam
menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memproritaskan
hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan. Ketiga, merancang percobaan,
guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah
yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa
mengurutkan langkah-langkah percobaan. Keempat, melakukan percobaan
untuk memperoleh informasi, guru membimbing siswa mendapatkan informasi
melalui percobaan. Kelima, mengumpulkan dan menganalisis data, guru memberi
kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengelolaan data
yang terkumpul. Keenam, membuat kesimpulan, guru membimbing siswa dalam
membuat kesimpulan.
Tahap-tahap pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri untuk tingkat kelas 5
dan 6 dalam NRC (2000), berbeda dengan tahapan pembelajaran IPA untuk kelas
3 dan 4. Pada tingkat kelas 5 dan 6 tahap-tahap pembelajaran inkuiri berkembang
menjadi delapan tahap yang meliputi: Pertama, kegiatan merumuskan masalah
dan mengajukan pertanyaan yang akan diteliti. Kedua, kegiatan merencanakan
dan melaksanakan suatu penyelidikan sederhana. Ketiga, kegiatan menggunakan
peralatan dan cara-cara yang tepat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan
Penutup
Pembelajaran IPA adalah suatu aktivitas yang kompleks dan merupakan
jantungnya pendidikan IPA. Dalam NRC (National Research Council) disebutkan
bahwa perencanaan pembelajaran IPA harus berdasarkan pada inkuiri. Demikian
juga dengan pengajarannya harus digunakan inkuiri sebagai strategi sentral
dalam pengajarannya. Untuk itu guru IPA harus menuntun dan memfasilitasi
siswa dalam memahami dan menggunakan pengetahuan dan proses ilmiah pada
setiap pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang berorientasi pada inkuiri akan
bersifat aktif melibatkan siswa belajar secara “hand-on” dan eksperimen, belajar
berdasarkan aktivitas dan mengembangkan ketrampilan proses melalui model
ilmiah. Sehingga dengan menerapkan pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri
guru telah mengajarkan IPA sesuai dengan hakekat IPA sendiri. Selain itu melalui
pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri tujuan pembelajaran IPA untuk jenjang
SD/MI yang diharapkan dalam kurikulum dengan sendirinya akan tercapai.
Daftar Pustaka
Alberta. (2004). Focus on Inqiry: A Teacher’s For Guide To Implementing Inquiry-
Base Learning. Edmison, AB: Alberta Learning [online]
Tersedia:http:www.Learning.gov.ab.ca/k_12/curriculum/bysubject/focusiiquiry.
pdf.
Joseph, B.et. Al. (1976). Enquiry in Science A Guide for Teachers. Adelaide Australia:
The Griffin Press.
http://books.nap.edu/html/inquiryaddendum/notice.html.
Misnan
Pegawai Negeri Sipil pada Kanwil Kementerian Agama
Republik Indonesia Provinsi Aceh
Abstract
Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berusaha
meningkatkan kualitas hidup individu atau sekelompok masyarakat untuk
beranjak dari kualitas kehidupan sebelumnya menuju pada kualitas hidup
selanjutnya. Oleh karena itu pemaknaan pemberdayaan masyarakat mempunyai
cakupan yang luas seperti aspek pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial
kebudayaan. Dalam hubungannya dengan tema di atas, maka secara kuat
dipahami bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini difokuskan
pada aspek pendidikan terutama pendidikan Islam. Pendidikan merupakan
perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua potensi manusia,
moral, intelektual maupun jasmani, oleh dan untuk kepribadian individual dan
kegunanan masayarakat yang diarahkan untuk menghimpun semua aktivitas
tersebut (Hasan, 2005:95). Jika sudah demikian, maka kemajuan suatu institusi
pendidikan akan sangat terkait erat dengan potensi masyarakat.
Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Perjalanan pendidikan Islam tidak terlepas dari pasang surutnya sistem
Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidak terlepasnya umat Islam ketika
membicarakan nasib bangsa Indonesia, dan bahkan pendidikan Islam mempunyai
sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidupan bangsa baik
pada masa sebelum penjajahan bahkan setelah Indonesia merdeka.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang notabene mayoritas
masyarakatnya memeluk agama Islam, seharusnya pendidikan Islam mendasari
pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona bagi peserta didik,
orang tua, maupun masyarakat. Demikian juga halnya dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan seharusnya pendidikan Islam dijadikan tolok ukur dalam
membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa
(Nation Character Building) (Majid, 2004:161).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, maupun para pakar
pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan, tak terkecuali pendidikan
Islam, sudah sejak lama, namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat
ini terdapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya-
upaya peningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan
tidak komprehensif. Sehingga wajar apabila output peserta didik yang notabene
Penutup
Banyak orang, terutama kalangan masyarakat, yang mengkritisi bahwa
pendidikan Islam tidak atau belum menunjukan keberhasilan di tengah-tengah
masyarakat yang masih sangat membutuhkan peranannya. Dari pembahasan
dalam artikel ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendidikan Islam bukan saja milik suatu lembaga institusi pendidikan
saja, akan tetapi pendidikan Islam adalah milik semua komunitas Muslim
yang ada di dunia ini.
2. Oleh karena pendidikan Islam menjadi milik semua komunitas Muslim,
maka pendidikan Islam menjadi tanggungjawab masyarakat yang harus
dibuktikan dengan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan menjawab keluhan-keluhan yang banyak dikritisi baik
peserta didik, orang tua, maupun masyarakat.
3. Selama ini hubungan antara institusi pendidikan dengan masyarakat masih
sangat minim dan masyarakat tidak difungsikan sebagai sumber pelajaran.
Oleh karena itu paradigma pembelajaran harus dirubah “belajar bukan
untuk sekolah akan tetapi belajar untuk hidup” karena pada hakekatnya
peserta didik datang dan akan bermuara juga pada masyarakat.
4. Dengan pemberdayaan potensi masyarakat melalui mekanisme tepat
guna yang dikoordinir pihak sekolah akan menjawab semua kekurangan,
kelemahan yang ada.
5. Kurikulum sebagai arah pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan
pendidikan. Maka kurikulum harus dirumuskan melalui pemberdayaan
potensi masyarakat dengan berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, oleh
karena itu sifat kurikulum tidaklah baku, akan tetapi selalu mengalami
perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Daftar Pustaka
Nasution, S. (2004). Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, Muhammad Tholhah. (2005b). Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lantabora Press.
Majid, Abdul et.al. (2005). Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep
dan Implementasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abstract
Islam from the beginning has provided an ethical guidance on how people express
desires, aspirations, demands or others. Islam gives freedom to its ummah to
deliver their aspirations, desires or opinions. But all of it should be done with
certain legal and ethical rules in order to create a peace and tranquility live in a
society, nation and state. Everyone always wants to speak, however, not everyone
who speaks has and pays attention to ethics in conveying messages, opinions and
aspirations. As a Muslim student in this case, they should talk, argue, and express
the aspirations by considering some ethics that can bring good and blessing in
accordance with the values contained in Alquran and Hadis.
Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai
kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung
dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian
yang mengikat semua aspek manusia. Oleh karena Islam yang berakar pada
kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri
manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri
menggunakan dorongan diri (drive) ke arah bagaimana memanusiakan manusia
dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bukan saja
unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan
tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan azab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan
begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki
dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan
dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan
lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitupun nasrani dan lain sebagainya. Inilah
yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamaan seorang manusia
yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
(Amin Abdullah, 2002: V)
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konprehensif
dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah perspektif tanpa menafikan yang
lain. Keberagamaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya merupakan
salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Makanya Islam itu lahir dengan
pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, keimanan adalah inti pemahaman
manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan
manusia kepada Tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan
manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai
sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan
itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan
bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada
intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik
kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara
pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-
Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah
pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada
Tuhan sebagai manifestasi dari “iman”
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang
keberagamaan manusia sebagai generasi bangsa dan agama yang berbeda
(hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang
(persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia atau sebagai mahasiswa
itu sendiri yang sudah dikatakan sebagai fitrah mansia yang given akan
mengarahkan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini
adalah bagaimana manusia atau khususnya mahasiswa memposisikan diri selain
pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada
kebenaran hubungan antar manusia lain yang dalam Islam masuk dalam kategori
“ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebajikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana
hakekat etika mahasiswa Islam dalam menyampaikan aspirasi di depan
publik/ masyarakat di tinjau dalam perspektif Alquran dan Hadis, mengingat
begitu banyak peristiwa sekarang sebagaimana kita saksikan di media massa,
media elektronik maupun lingkungan sekitar, seolah-olah mahasiswa dalam
menyampaikan pendapat, aspirasinya tidak lagi mencerminkan seorang manusia
yang berpendidikan, tetapi tampak sangat anarkhis dan brutal. Inilah problem
besar yang harus kita cari solusi yang tepat agar generasi Islam khususnya
mahasiswa benar-benar dapat memposisikan pribadinya sebagai pribadi yang
berpendidikan yakni bermoral dan beretika.
Pembahasan
1. Pengertian etika
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim dipahami sebagai suatu teori
ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang
buruk berkenaan dengan perilaku manusia apalagi mahasiswa yang merupakan
generasi berpendidikan dan bermartabat. Dengan kata lain, etika merupakan
usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan
hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu
masyarakat kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang
konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang dipahami,
diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut
ethos.
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk tunggal
adalah ethos yang mempunyai banyak arti, antara lain; tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan. (Bertens
.K, 2002:4). Menurut Webster's New Collegiate Dictionary, etika adalah 1) ...the
discilpine dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation,
2). a set of moral principles and values,b. a theory or system of moral values,c.
theprinciples of conduct governing an indiviadual or a gropup". Dalam arti adat
kebiasaan inilah yang melatar belakangi terbentuknya istilah etika. Etika dimaknai
sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Menurut Bertens (2002: 6-7), etika mempunyai tiga arti: Pertama, kata
etika biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam arti ini etika bersifat relatif di dalam suatu wilayah/ daerah. Misal apa yang
dianggap baik oleh suatu kelompok belum tentu baik oleh kelompok lain meski
mereka berada dalam suatu daerah atau wilayah yang sarna karena beda suku atau
agama dan kepercayaan. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral.
Kumpulan nilai moral yang kemudian dijadikan dasar bertindak/berperilaku bagi
anggotanya ini yang kemudian menjadi kode etik. Seperti kode etik guru, kode
etik dokter, kode etik paramedik, kode etik hakim, kode etik peneliti dan lain
sebgainya. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk yang
sama artinya dengan filsafat moral karena berkaitan dengan asas-asas dan nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk.
Dalam kajian ini etika ditekankan pada arti nilai-nilai dan norma-norma
etis yang menjadi pegangan bagi mahasiswa sebagai generasi pendidikan yang
bermartabat untuk dapat mengatur bagaimana cara menyampaikan aspirasi,
pendapat di depan publik/ masyarakat dengan baik sesuai dengan nilai-nilai Islam.
yang didengar, sebab bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Nabi
Saw bersabda, ''Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia
membicarakan semua apa yang telah ia dengar'' (H.R. Muslim).
Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kita
berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
Nabi Saw bersabda, ''Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa
saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin)
istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda.'' (HR Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kelima, berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah r.a
menuturkan, ''Sesungguhnya Nabi saw. apabila membicarakan suatu pembicaraan,
sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya'' (H.R.
Mutta-faq'alaih).
Keenam, hindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam
berbicara. Nabi saw. bersabda, ''Dan sesungguhnya manusia yang paling aku
benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak
bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang mutafaihiqun.'' Para
shahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa arti mutafaihiqun'' Nabi menjawab,
''Orang-orang yang sombong.'' (HR At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Terakhir, dalam berbicara sebaiknya kita menghindari perbuatan menggunjing
(ghibah) dan mengadu domba (Ahmad Mudlor: 155). Allah Swt. berfirman, ''Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain'' (Q. S. Al-Hujurat:
12). Semoga setiap pembicaraan yang kita lakukan menjadi bermanfaat dengan
memperhatikan etika berbicara.
Penutup
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk tunggal
adalah ethos yang mempunyai banyak arti, anatara lain; tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan.
Etika yang dimaksudkan dalam makalah ini lebih diorientasikan pada arti nilai-
nilai dan norma-norma etis yang menjadi pegangan bagi mahasiswa sebagai
generasi pendidikan yang bermartabat untuk dapat mengatur bagaimana cara
Daftar Pustaka
Amin Abdullah. (2003). Studi Agama Normativitas dan Historitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abstract
Pendahuluan
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia bertujuan untuk mempersiapkan
warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia
adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah Negara
yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme
yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di
bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda
agama, ras, etnik, atau golongannya (BPUPKI, 1998).
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan
bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebangkitan kesadaran kebangsaan merupakan suatu fenomena yang lahir
tidak secara tiba-tiba. Proses interaksi dan integrasi berjalan cukup panjang.
Periode pergerakan nasional hanyalah merupakan satu episode terakhir sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Periode Pergerakan
Nasional menjadi amat penting karena dalam periode Sejarah Pergerakan Nasional
itulah perjuangan semakin serius, dan semangat kebangsaan dengan mengikuti
sistem dan tatacara organisasi moden.
Peningkatan semangat dan kualitas perjuangan ini amat memerlukan
peranan pemuda, mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya, karena baik semangat
maupun keunggulan berorganisasi, keduanya dimiliki oleh para pemuda terpelajar
itu. Kualifikasi yang dimiliki kaum pemuda dan mahasiswa, dengan ketajaman
intelegensia dan semangat juangnya sangat diperlukan untuk menjawab perubahan
dan cabaran baru di abad modern.
Semangat persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila adalah nilai
normatif yang telah diperjuangkan melalui Nation and character building oleh
pendiri bangsa. Proses itu harus kita lanjutkan dan kembangkan serta tidak boleh
terhenti sejak kita memutuskan membangun negara kesatuan Republik Indonesia
merdeka dengan tonggak-tonggak sejarah Boedi Utomo (1908), Sumpah Pemuda
bangsanya serta kerelaan menempatkan diri sebagai bagian dari bangsa terjajah
itulah yang menjadi peran dan modal utama mereka dalam perjalanan nasionalisme
Indonesia. Organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan modern yang
menjelma pada awal abad ke-20 bermula bersifat etnis dan kedaerahan, antara lain,
Budi Utomo (1908), Pasundan (1914), Sarekat Sumatra (1918), Jong Java (1918),
Jong Minahasa (1918) dan Kaum Betawi (1923).
Selain apa yang dikemukakan di atas lahir pula organisasi yang berasaskan
agama Islam. Organisasi yang tidak lagi mendasarkan diri pada etnik dan
kedaerahan dimulai oleh Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1911 di Surakarta.
Gerakan Islam di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam
yang dikenal saat itu. Ide progresif mereka adalah menolak dominasi barat terhadap
bangsa-bangsa Muslim. Pemikir seperti Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935) dan
Muhammad Abduh (1849-1905) sampai kepada Hasan al-Banna (1906-1949)
menciptakan suatu gerakan pembaharuan yang disebut dengan modernisme
Islam dengan pusat kajiannya di Kairo (Imarah, t.t: 9-17). Ide dasar Abduh
adalah revitalisasi kesedaran umat Islam, bahawa ilmu pengetahuan dan agama
pada prinsipnya dapat berjalan bersama. Hal ini tentu melahirkan keberanian
berijtihad di kalangan Muslim Sunni, termasuk berbicara tentang nasionalisme,
kemerdekaan, solidaritas sosial antara umat beragama melawan penindasan.
Kepanduan merupakan sistem pendidikan luar sekolah dan luar keluarga
untuk anak, remaja, pemuda, maupun dewasa untuk mencapai tujuan yang berupa
terwujudnya pribadi muslim yang sebenar-benarnya, menjadi kader bangsa,
ummat, dan persyarikatan. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi ataupun juga
keberadaan sarana pendukungnya maka Kepanduan juga mengadakan kegiatan
tambahan kepada anggotanya maupun mereka yang berminat untuk menambah
pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, ataupun pengalaman yang dapat memberi
bekal kehidupannya kelak (life skill), yang itu juga berarti akan memberikan bekal
bagi pengabdian mereka bagi bangsa, ummat, dan persyarikatan. Kegiatan ini
berupa Bina Karya Mandiri (BKM) yang dilaksanakan dengan praktek-praktek
dan memperhatikan prinsip dasar kepanduan dan metode kepanduan untuk
memberikan hasil pendidikan yang nyata dengan biaya rendah.
Selain itu, kepanduan juga merupakan sarana penting pembinan generasi
muda untuk mempersiapkan kader andalan dimasa mendatang. Organisasi ini
massa yang semakin banyak dan luas menunjukkan bukti akan sikap hati-hati,
realistik dan rasionalistik Perhimpunan Indonesia (PI). Tipe dan watak yang
cenderung radikal, militansi, sikap nasionalistik yang menegaskan kemerdekaan
sebagai tujuan, serta solusi komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, tercermin dalam Pernyataan Prinsip atau lebih
popular disebut Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia pada bulan Januari
1925. Oleh karena Manifesto Politik ini sangat penting kiranya perlu disebut
lebih rinci daripada yang telah disinggung di bagian awal makalah ini. Manifesto
Perhimpunan 1925 menyatakan dengan lugas dan tegas bahwa:
1. Hanya satu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-
perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan
bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut
pembinaan rasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi massa
yang sadar dan percaya diri.
2. Syarat mutlak untuk tercapainya tujuan itu ialah adanya partisipasi
seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu
untuk mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik
penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah.
Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi
masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas
adanya konflik kepentingan tersebut.
4. Melihat adanya diskolasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh
pemerintahan kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari
kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk
memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal kembali
(Ingleson, 1988:6).
Keempat prinsip itu secara impisit pada umumnya diakui telah memuat
prinsip-prinsip dasar nasionalisme karena antara lain merumuskan dan
menegaskan:
1) kesatuan dan persatuan atau unity
2) kebebasan dan kemerdekaan (freedom),
3) kesamaan (equality).
1931 dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang berfaham kebangsaan
dan diekspresikan dengan kacu dan kain leher dan panji-panji berwarma merah
putih. Pada tahun 1931 dengan Partai Nasional Indonesia di Malang mendirikan
Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI), Partai Indonesia Raya mendirikan Surya
Wiratama, Nahdatul Ulama mendirikan Anshor dan Persatuan Arab Indonesia
mendirikan Al-Irsyad. Muhammadiyah mendirikan kepanduan. Istilah Pandu
diusulkan oleh H. Agus Salim sebagai ganti kata Padvinder dan kepanduan sebagai
ganti Padvinderij (Mertoprawiro, 1992:22).
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi
Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Alquran dan Sunnah, didirikan
oleh K.H.A. Dahlan pada 8 Zulhijjah 1330 Hijrah bertepatan dengan 18 November
1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan maksud untuk dapat mencontoh dan mempelajari
jejak perjuangan Rasulullah dalam menegakkan dan menyanjung tinggi agama
Islam, demi terwujudnya kejayaan dan kemuliaan hidup umat Islam.
Dalam menggerakkan aktivitas dan program kerjanya Muhammadiyah telah
mewujudkan beberapa badan atau organisasi yang bersifat otonomi, seperti:
1. Aisyiyah (bergerak di kalangan perempuan dan ibu-ibu)
2. Pemuda Muhammadiyah (bergerak di kalangan pemuda)
3. Nasyiatul Aisyiyah (bergerak di kalangan perempuan-perempuan muda)
4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (bergerak di kalangan pelajar dan remaja)
5. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (bergerak di kalangan mahasiswa)
6. Tapak Suci Putra Muhammadiyah (bergerak dalam aktivitas
mempertahankan diri)
7. Hisbul Watan (bergerak dalam aktivitas kepanduan / Pengakap).
Hisbul Watan Sebagai organisasi kepanduan yang telah berdiri sejak 1918
dengan yang aktivitasnya mengutamakan semangat perjuangan. Kepanduan
merupakan organisasi autonomi Muhammadiyah sebagai kelompok pembela
tanah air dan lebih berorientasi untuk menyatukan tekad dan semangat juang
angkatan muda. Gerakan Kepanduan Kepanduan berstatus Organisasi otonomi
dari perserikatan Muhammadiyah sesuai dengan Surat Keputusan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah No. 92/SK-PP/VI-B/I.b/1999, bertarikh 10 Sya'ban 1420 H
atau pada 18 hari bulan November 1999 M.
yang diredhai oleh Allah Swt. dengan jalan menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam melalui jalur pendidikan pengakap. Dijelaskan bahwa Kepanduan
adalah suatu sistem pendidikan pengakap dan pembinaan watak bagi remaja putera
dan puteri Muhammadiyah di luar lingkungan keluarga dan diluar lingkungan
sekolah. Kepanduan berfungsi sebagai institusi pembinaan dan pengembangan
putera dan puteri Muhammadiyah dengan menetapkan prinsip dasar pengakap
dalam perwujudan ciri dan Jati diri Kepanduan, yang pelaksanaannya disesuaikan
dengan kepentingan dan perkembangan bangsa serta masyarakat Indonesia
(Sutrisno, t.t:22).
Dalam perkembangannya, Kepanduan memiliki visi dan misi yang jelas.
Visi gerakan kepanduan adalah mewujudkan anak, remaja, pemuda yang
berkualitas di lingkungan umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah yang
selalu diperlukan, dihormati dan dicintai anak didik, orang tua/keluarga serta
masyarakat. Sedangkan yang tergabung di dalam organisasi ini adalah berbagai
organisasi pemuda, kelompok-kelompok studi, organisasi buruh, kepanduan,
wanita dan lain sebagainya (Ingleson, 1988; Suhartono, 1994).
Sedangkan misi pengakap adalah mempersiapkan generasi penerus bangsa
dan generasi penerus Muhammadiyah yang :
1. Memiliki keperibadian dan kepemimpinan Islami
2. Berdisiplin yaitu: berfikir, bersikap dan bertingkah laku tertib
3. Sihat dan kuat mental, moral dan fizikalnya
4. Berkemampuan untuk berkarya dengan semangat kemandirian, berfikir
kreatif, inovatif, dapat dipercayai, berani dan mampu menghadapi
berbagai jenis tugas
5. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, dan percaya pada diri sendiri.
Untuk mencapai maksud dan tujuan kepanduan tersebut, maka dilaksanakan
usaha-usaha seperti berikut:
1. Meningkatkan pendidikan angkatan muda putera dan puteri menurut
ajaran Islam.
2. Mendidik angkatan muda agar menjadi manusia muslim yang berakhlak
mulia, berbudi luhur serta sehat jasmani dan rohaninya
3. Mendidik angkatan muda agar menjadi generasi yang taat beragama,
berorganisasi, cerdas dan kreatif.
4. Mendidik generasi muda agar senang beramal, amar ma’ruf nahi munkar
dan berlomba dalam melakukan kebaikan.
5. Meningkatkan dan memajukan pendidikan dan pengajaran, kebudayaan
serta memperluas ilmu sesuai dengan ajaran Islam.
6. Membentuk akhlak dan kepribadian sebagai penerus pimpinan dan
penerus amal usaha Muhammadiyah.
7. Memperkuat kersatuan dan persatuan, penanaman rasa demokrasi serta
ukhwah, sehingga berguna bagi agama dan bangsa.
8. Melaksanakan kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Sebagai gerakan kepanduan yang aktif, secara internal mahupun eksternal
tentunya Kepanduan menghadapi berbagai cabaran terutama dalam usaha
mengembangkan dirinya. Dapat dipastikan di antara cabaran dalaman ialah
terputusnya hubungan generasi penerus selama kurang lebih 40 tahun, sehingga
mengalami kekurangan tenaga pimpinan dan pelatih yang berpengalaman.
Sedang cabaran luaran dapat dipastikan antara lain, adanya pihak-pihak tertentu
mahupun Gerakan Pramuka (Pengakap) yang menghambat pemunculan kembali
Kepanduan dengan berselindung di balik Keputusan Presiden No 238/1961 yang
masih dan tetap berlaku.
Namun dengan mengingat Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah mulai
sekolah rendah sampai perguruan tinggi sebagai peserta didik Kepanduan
diharapkan dalam waktu dekat akan ramai muncul generasi penerus. Keyakinan
yang demikian tentu didasarkan pada pengalaman di masa lalu, bahawa sekolah-
sekolah Muhammadiyah merupakan sarana untuk melahirkan generasi penerus
yang handal dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Soedarsono Mertoprawiro (1992) selaku pengamat masalah kepanduan di
Indonesia mengemukakan mengenai peranan kepanduan di zaman kolonial.
Selain merupakan tempat pendidikan untuk meresapkan semua
cita-cita dan rasa luhur ke arah persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan disiplin dan menambah kecakapan dan ketrampilan
fisik, organisasi-organisasi kepanduan tersebut juga dijadikan tempat
latihan oleh calon-calon pemimpin untuk mencapai kemerdekaan.
Beberapa prinsip yang diterapkan dalam kegiatan kepanduan, yaitu:
1. Mengandungi unsur-unsur edukatif
Kesimpulan
Metode pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan kelompok umur
pada hakikatnya merupakan pola pembinaan generasi muda secara berjenjang dan
berkesinambungan untuk menghasilkan produk berkualitas. Untuk pembinaan
kelompok mulai usia siaga (7-10 tahun), unsur-unsur yang dikedepankan adalah
mendidik cara keluarga yaitu dengan kasih sayang dan penuh kegembiraan.
Pada usia dewasa (21-25 tahun), pola pembinaan diarahkan pada situasi di mana
anggotanya diperkenalkan konteks kehidupan masyarakat.
Aktivitas kepanduan turut membentuk karakter dan berkepribadian yang
tangguh, karena materi-materi latihan di lapangan memerlukan konsentrasi,
kecakapan, keuletan, dan kondisi fisik yang prima. Mereka juga dihadapkan
kepada berbagai situasi dan kondisi, medan dan cuaca berubah, halangan maupun
tantangan lainnya sebagai bentuk tempaan bersifat fisik, serta mental.
Daftar Pustaka
Adams, Cindy. (t.t.). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (terj.). Jakarta:
Gunung Agung.
Anhar Gonggong (2002, 13 April). Indonesia Baru: Perspektif Politik dan Sejarah,
makalah untuk Kongres Prodem, Jakarta.�
Castle, James. (2002). Menuju Indonesia Baru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Larson, G.D. (1990). Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912 – 1942 (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Legge, J.D. (1972). Sukarno A Political Biography. Bungay, Suffolk: Penguin Books.
Muhsin Muhammad. (1987). Man Qatala Hasan Al-Bannā?. Cet. pertama. Kairo:
Dar Al-Syuruq
Ricklefs, M.C. (1992). Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sartono Kartodirdjo. (1966). “Makna Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda
1928 dalam Pembangunan Bangsa”, Ceramah Ilmiah: Memperingati Hari
Sumpah Pemuda Yogyakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta.
Surat Kabar al-Ikhwanul Muslimun. Tahun II. No. 42. 23 Zul Hijjah 1353/28 Maret
1935