Anda di halaman 1dari 88

KONTEKSTUALISASI MAKNA HADIS MENYINGKIRKAN DURI DI

JALAN TERHADAP SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL DI


MASYARAKAT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Dalam Ilmu Hadis

Oleh:

Heni Marliah

Nim: 1920303030

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022 M/ 1443 H
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING

Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
di
PALEMBANG

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Setelah mengadakan bimbingan dan perbaikan, maka kami berpendapat bahwa


skripsi dengan judul KONTEKSTUALISASI MAKNA HADIS
MENYINGKIRKAN DURI DI JALAN TERHADAP SIKAP KEPEDULIAN
SOSIAL DI MASYARAKAT
Nama : Heni Marliah
NIM : 1920303030
Sudah dapat diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Dan
Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.

Demikianlah Terima kasih


Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palembang, 2023

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Uswatun Hasanah, M. Ag Hedhri Nadhiran, M. Ag

NIP: 197503192000032002 NIP :

ii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Heni Marliah
NIM : 1920303030
Tempat/Tgl. Lahir : OKU Timur, 13 Agustus 2001
Status : Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam, UIN Raden Fatah Palembang.
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul
“KONTEKSTUALISASI MAKNA HADIS MENYINGKIRKAN DURI DI
JALAN TERHADAP SIKAP KEPEDULIAN SOSIAL DI MASYARAKAT”
adalah benar karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.
Apabila di kemudian hari ini terbukti tidak benar atau merupakan hasil jiplakan
dari karya orang lain, saya siap dan bersedia menerima sanksi berupa pencabutan
gelar.

Palembang,

Heni Marliah
NIM: 1920303030

iii
PENGESAHAN SKRIPSI MAHASISWA
Setelah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Raden Fatah Palembang:
Hari/Tanggal :
Tempat : Ruang Munaqasyah
Maka skripsi Saudari :
Nama : Heni Marliah
ANIM : 1920303030
Jurusan : Ilmu Hadis
Judul : Kontekstualisasi Makna Hadis
Menyingkirkan Duri Di Jalan Terhadap
Sikap Kepedulian Sosial Di Masyarakat
Dapat diterima untuk melengkapi sebagian syarat guna memperolah gelar sarjana
Ilmu Hadis.
Palembang,
Dekan

Prof. Dr.Ris’an Rusli, M.A


NIP. 196505191992031003

Tim Munaqasyah
KETUA SEKRETARIS

PENGUJI I PENGUJI II

iv
MOTTO

“Anugrah Sifat Pemaaf”

Dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkian

akan semakin memuliakan dirinya

(HR. Muslim)

Keberhasilan adalah kemampuaan untuk melewati dan mengatasi dari satu

kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa harus kehilangan semangat.

***Heni Marliah***

v
PERSEMBAHAN

Puji syukur atas rahmat Allah Swt sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dalam rangka memenuhi tugas dan syarat sebagai untuk memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag). Skripsi ini dipersembahkan sebagai ungkapan rasa
hormat dan cinta yang tulus kepada:

1. Untuk anugerah terbesarku Bapak Rahmad Syamsudin dan Ibu Tersayangku


Ibu Mardiyah, sebagai sosok orang tua hebat yang tidak pernah lelah untuk
berjuang demi anaknya. Terima kasih untuk kasih sayang yang telah
diberikan, serta cinta yang tulus yang kalian berikan kepada saya, tanpa
kalian saya bukan apa-apa. Saya berada dalam pencapaian hingga sekarang
ini tidak luput dari do’a, tulus cinta dari kalian dan kesabaran yang tercurah
disetiap harinya.
2. Untuk adik kandungku Harna Agus Syafa’at yang senantiasa memberi

dukungan dan doa terbaik, sehingga saya bisa melangkah lebih maju dalam

menyelesaikan perkuliahan ini.

3. Untuk kerabat besar saya terima kasih banyak atas do’a yang dipanjatkan dan
dukungannya sehingga saya bisa maju dan berkembang dalam proses
penulisan skripsi ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya teruntuk kalian
semua. Untuk nenek dan keluarga bude dan pakde, terima kasih atas kasih
sayangnya, bantuannya dalam bentuk permohonan do’a maupun finansial
untuk membantu saya hingga sampai saat ini, semoga kedepannya saya bisa
sukses dan bisa membahagiakan orang-orang yang saya cintai dan sayangi
terkhusus keluarga.
4. Terimakasih khusus kepada saudara Muhamad Aziz Ali, yang telah
memotivasi dan penyemangat, serta dukungannya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Terimakasih Juga kepada teman Sekosan saya, yang seperti saudara sendiri,
Saudari Quroti Ayuni, S. Ag yang selalu memotivasi, membantu, memberi
dukungan serta nasehat dan semangat kepada penulis.

vi
6. Teruntuk sahabat saya, Dewi Sapta Arinda, Ika Nurfadillah, Regita Saputri,
Putri Aprila, Novianti Rahayu, Endah Fitrya, Alfina Ami Khoirunnisyah,
Halimatussa’diyah, Merlin Regina, Vanessa Andrea Rizendwien, S. Ag,
Tiara, Rani Antika, Amanda Tria Riswana, Shoffiyyatus Salamah, Kodrad,
Alexander, M. Riski Widyianto, Muhammad Zaki, M. Fauzan Shodiq.
Terima kasih atas perjuangan yang kita lewati bersama, semoga kita sukses
dan mampu mencapai apa yang ingin dicita-citakan.
7. Teruntuk kakak tingkat saya Etika Noviyanti, S. Ag. Terima kasih banyak
karena sudah membantu, mengajari, memberikan masukan yang bermanfaat
serta memberikan motivasi yang sangat berarti sehingga skripsi ini bisa
terjalankan dengan baik.
8. Untuk anggota lembaga organisasi, Arek-arek Sedulur Jowo Kampus UIN
Raden Fatah Palembang (LDK-REFAH) dan untuk keluarga KKN. Terima
kasih atas suportnya selama ini, sehingga saya lebih semangat dalam
menempuh perkuliahan sampai dengan penulisan skripsi.

KATA PENGANTAR

vii
‫بسم اهلل الر حمن الر حيم‬
Alhamdulillah segala puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan segala ridha, rahmat dan beserta karunia kepada saya sehingga
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kontekstualisasi Makna Hadis
Menyingkirkan Duri Di Jalan Terhadap Sikap Kepedulian Sosial Di
Masyrakat”. Shalawat beserta salam tak lupa pula tercurah kepada Nabi besar
Muhammad Saw yang telah membawa manusia pada zaman kegelapan menuju
zaman yang terang-benderang yaitu ad-Dinul Islam.

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari dampak luar biasa dari adanya
bimbingan, bantuan dan motivasi serta petunjuk dari semua pihak sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada
kesempatan ini peneliti dengan tulus hati ingin menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan sebesar-besarnya atas bantuan, motivasi, dan bimbingan
yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan strata satu
(S1) ini, diantaranya kepada:

1. Ibu Prof. Dr, Nyayu Khadijah, S.Ag., M.Si, selaku Rektor, Wakil Rektor
I,II,III, beserta Staff dan jajaran Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang. Terima kasih atas bantuan dalam bentuk motivasi agar saya
bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Bapak Prof. Dr, Ris’an Rusli, M.Ag, selaku Dekan, Wakil I, II, dan III.
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri
Raden Fatah Palembang. Terima kasih atas bantuan dalam bentuk motivasi
agar saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Bapak Almunadi, M.A, selaku Ketua Prodi Ilmu Hadis dan Bapak Eko
Zulfikar, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang. Serta bapak Adriansyah, NZ, M.A. Terima kasih atas bantuan
dalam bentuk motivasi agar saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.

viii
4. Ibu Dr. Uswatun Hasanah, M. Ag, selaku dosen pembimbing I dan Bapak
Hedhri Nadhiran M.Ag, selaku dosen pembimbing II. Terima kasih atas
segala bantuan bapak ibu yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing serta memberikan saran dalam menyelesaikan
skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan hasil
yang terbaik untuk saya.
5. Bapak Sulaiman M. Nur, M.A, selaku dosen pembimbing akademik, bapak
terfavorit yang selalu memberikan motivasi, masukkan, serta meluangkan
waktunya untuk membimbing saya menempuh perkuliahan dari awal
hingga akhir.
6. Bapak/Ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam serta Staff
Admin. Terima kasih banyak atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan
serta bantuannya dalam mengurus berkas selama menempuh perkuliahan.
7. Serta semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu
persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini,
kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung secara moral
maupun material, dengan ini penulis panjatkan doa semoga Allah SWT
membalasnya dengan imbalan pahala yang sesuai dan menjadikannya
sebagai amal yang tidak serut mengalir pahalanya.
Akhir kata, peneliti harap semoga karya ini dapat selalu bermanfaat bagi kita
semua terkhusus bagi mahasiswa dan umumnya bagi semua orang.

Palembang, …….2023

Heni Marliah

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang penting dalam penulisan


skripsi. Hal ini dikarenakan banyak istilah Arab, baik berupa nama orang, nama
tempat, judul buku, nama lembaga, istilah keilmuan dan lain sebagainya, yang
aslinya ditulis degan huruf Arab dan harus di salin ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam proses transliterasi ini, Fakultas Ushuluddin menggunakan pedoman
kesesuaian antara bunyi (cara pengucapan) penulisan ejaan latinnya. Ini
dimaksudkan, menjaga eksistensi bunyi yang sebenarnya sebagaimana yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis, sekaligus untuk tidak membingungkan
pembaca, kecuali beberapa hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Berikut
pedoman tranliterasi khusus penulisan huruf Arab yang di alih bahasakan ke
dalam huruf latin.

A. Konsonan
A Arab In Indonesia A Arab In Indonesia A Arab In Indonesia
‫ا‬b ‫ا‬ A A
‫ز‬ Z Z
‫ق‬ Q Q

‫ب‬ B B
‫س‬ S S
‫ك‬ K K

‫ت‬ T T
‫ش‬ Sy Sy
‫ل‬ L L

‫ث‬ Ts Ts
‫ص‬ S Sh
‫م‬ MM

‫ج‬ J J
‫ض‬ D Dh
‫ن‬ N N

‫ح‬ H H
‫ط‬ T Th
‫و‬ W W

‫خ‬ K Kh
‫ظ‬ Z Zh
‫ه‬ H H

‫د‬ D D
‫ع‬ ‘
‫ء‬ ‘

‫ذ‬ D Dz
‫غ‬ G Gh
‫ي‬ Y Y

‫ر‬ R R
‫ف‬ F F

x
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap (tasydid) ditulis rangkap bila merupakan huruf asli.

Demikian pula tasydid karena dimasuki kata sandang ‫(ال‬aliflam).


Contoh:

‫ = ُمَق ِّد َمْه‬muqaddimah

‫ = َااَّضُر ْو َر ْه‬ad-Daruurah
C. Vokal
1. Vokal tunggal

- َ-= a (fathah)

-ِ-= i (kasrah)

- ُ-= u (Dhammah)

2. Mad atau vokal panjang

‫ = ـَا‬aa (a panjang) ‫قال‬ qaala

‫ = ــِى‬ii (i panjang) ‫ قولوا‬quuluu

‫ = ـُـْو‬uu (u panjang) ‫قيل‬ qiila

Nb. Khusus untuk nama orang, nama tempat, Allah dan Rasulullah, huruf
mad-nya tidak digandakan.
Contoh: Al-Atsqalani- Bukhari- Allah- Rasulullah, Madinah dll kalau
ditulis Imam Bukhari, kata Imam juga tidak perlu mad-kan.

3. Diftong atau vokal rangkap

xi
‫ = ـَـ ْو‬au (a dan u) Lff-

‫ = ـَـ ْي‬ai (a dan i)

D. Kata Sandang ‫( ال‬alif lam)

Kata sandang Arab ‫( ال‬alif lam) pada awal kata Qamariyah tetap ditulis al,
sedangkan kata sandang tjl (alif lam) pada awal kata Syamsiyah tetap ditulis
sesuai dengan huruf awalnya. Contoh:

‫ =الَّش مس‬as-Syams

‫ =اَلقَمُر‬al-Qamar
‫=الضر ورة‬ad-Dharurah

E. Ta’Maftuuhah (‫)ت‬dan Ta’Marbuuthah (‫)ة‬


1. Ta’Maftuuhah yang hidup atau mendapatkan harakat dhammah, fat’ah,
atau kasrah ditransliterasikan dengan “t”. Contoh:

‫ بيت المال‬Baitul Maali

2. Transliterasi terhadap kata yang berakhiran ta’ marbuuthah (‫ )ة‬dilakukan

dengan dua bentuk sesuai dengan fungsinya sebagai shifah (modifier)


atau idhaafah (genitive). Untuk kata yang berakhiran ta’ marbuuthah (S)
yang berfungsi sebagai mudhaaf atau berfungsi sebagai mudhaaf ilaih,

maka “‫ ”ة‬ditransliterasikan dengan “h”. Sementara yang berfungsi

sebagai mudhaf,

xii
Maka “‫ ”ة‬ditransliterasikan dengan “t”. Contoh:

‫ =طر يقة‬Thariiqah

‫ =الجا ميعة اإلسالمية‬al-Jaami’atil Islaamiyyah

‫ =وحدةالمسلمين‬Wihdatul Muslimiin
F. Ya al-Nisbah ditulis dengan menulis huruf “y” dua kali.

Contoh: ‫ = األموية‬al-Umawiyyah

Kecuali yang sudah baku dalam bahasa Indonesia, seperti Qadariah, maka
ditulis dengan akhiran “ah”.

G. Khusus untuk nama orang yang memakai kata ‫ اهلل‬dan ‫ال ـ ــذين‬ ditulis

bersambung dan tidak perlu di-mad-kan.


Contoh: Ubaidullah tetap ditulis Ubaidullah
Badruddin tetap ditulis Badruddin

H. Penulisan kata ‫ بن‬dan ‫ ابن‬adalah ibn dan Ibnu

I. Huruf miring (Italic) digunakan di dalam penulisan kata-kata asing dan


jabatan-jabatan yang menggunakan istilah dari bahasa Arab.
J. Huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan
permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal kata sandangnya.
Contoh:

= ‫عليم‬ ‫واهلل بكل شي ء‬ Wallaahu bikullisyai’in ‘aliim

xiii
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “ Kontekstualisasi Hadis Menyingkirkan Duri Di


Jalan Terhadap Sikap Kepedulian Sosial Di Masyarakat.” Salah satu teladan
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw untuk dipraktikkan oleh umatnya di
kehidupan sehari-hari adalah menyingkirkan duri di jalan. Namun untuk konteks
sekarang, apakah pemahaman hadis ini dapat dilakukan secara kontekstual,
ataukah secara tekstual sebagaimana yang dipahami selama ini. Problematika
pemahaman ini muncul karena manusia adalah makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat yang membutuhkan bantuan orang lain untuk mempertahankan
eksistensinya. Mereka memiliki keterkaitan satu sama lain, saling berkomunikasi
dengan baik, dan tolong menolong dengan sesamanya. Hanya saja, dalam proses
sosial ini terkadang terjadi ‘gesekan’ atau hal-hal yang menimbulkan
ketidakamanan bagi seseorang atau sebahagian orang. Dalam konteks ini, peneliti
tertarik untuk meneliti pemahaman hadis menyingkirkan duri di jalan terhadap
sikap kepedulian sosial di masyarakat.
Jenis Penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research) dan bersifat
kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab Shahih al-
Bukhari, Shahih Muslim dan Sunan Ibnu Majah. Adapun sumber data primer yang
berupa sebagai data primer yang berhubungan dengan judul penelitian. Sedangkan
data sekundernya ialah bersumberkan kepada kitab syarah hadis, kitab Fiqhul
Hadis, buku buku tentang kontekstualisasi hadis serta literature lain yang
bersangkutan dalam penelitian ini. Tekhnik pengumpulan data dengan membaca
buku, jurnal, kitab yang berkaitan dengan pembahasan sebagai referensi
pengumpulan data-data. Analisis data yang digunakan yakni, untuk menyelidik
dengan dengan menuturkan, menganalisa data-data, kemudian menjelaskan data
data tersebut
Setelah melakukan kegiatan penelitian panjang, maka peneliti menarik
kesimpulan bahwa hadis menyingkirkan duri di jalan adalah bersifat anjuran. Duri
dalam konotasi secara sekilas menunjukan pada sebuah benda yang hina. Akan
tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri disini adalah segala
sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil. Hal
semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi Saw. Sehingga dikatagorikan
sebagai salah satu cabang dari pada Iman, karena sikap yang mengandung nilai
kepedulian sosial, sedangkan dalam Islam ibadah itu tidak hanya terbatas kepada
ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di dalamnya mengandung
nilai-nilai sosial. Dengan pemaknaan bahwa kita sebagai manusia harus saling
membantu, tolong menolong, mengasihi satu sama lain. Hal ini juga menunjukan
perintah Nabi Saw, untuk menghilangkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kemudharatan.
Kata Kunci: Kontekstual, Menyingkirkan, Duri, Kepedulian, Masyarakat

xiv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL......................................................................................i
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ii
SURAT PERNYATAAN............................................................................iii
PENGESAHAN SKRIPSI MAHASISWA................................................iv
MOTTO.........................................................................................................v
PEMBAHASAN...........................................................................................vi
KATA PENGANTAR...............................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI..................................................................x
ABSTRAK..................................................................................................xiv
DAFTAR ISI ...............................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................5
C. Tinjauan Dan Kegunaan penelitian ...................................................5
D. Tinjauan Pustaka.................................................................................5
E. Metode Penelitian...............................................................................7
F. Sistematika Penelitian.......................................................................10

BAB II PEMAHAMAN HADIS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

A. Pengertian Tekstual, Kontekstual, dan Kontekstualisasi......................


B. Metode Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.................................... 14
C. Contoh-Contoh Tekstual dan Kontekstual........................................16

BAB III RELEVANSI HADIS TENTANG MENYINGKIRKAN DURI DI

JALAN

xv
Halaman
A. Informasi Redaksi Hadis ..................................................................27
B. Deskripsi Hadis.................................................................................28

BAB IV ANALISIS KONTEKSTUALISASI HADIS MENYINGKIRKAN


DURI DI JALAN
A. Kepedulian Sosial Dalam Bingkai Islam .........................................50
B. Kiat-Kiat Membutuhkan Kepedulian Sosial.....................................60
C. Penerapan Kontekstual Hadis Menyingkirkan Duri Di Jalan Pada
Zaman Sekarang...............................................................................63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................69
B. Saran.................................................................................................69

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................

xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Islam tersebar keberbagai penjuru dunia dengan sangan cepat. 1 Penyebaran

Islam itu tidak berarti bahwa dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw

berjalan mulus.2 Nabi Muhammad Saw melaksanakan dakwah Islam dilingkungan

keluarga, mula-mula istri beliau sendiri yaitu Khadijah yang menerima dakwah

beliau, lalu Ali Bin Abi Thalib, Abu Bakar Assidiq Sahabat beliau, Zaid bin

Tsabit bekas budak beliau.

Salah satu doktrin ajaran Islam yang diyakini oleh pemeluknya adalah

kesempurnaannya sebagai agama akhir zaman. Kesempurnaan ini diawali dengan

dengan diturunkannya al-Qur‘an sebagai firman Allah Swt kepada Nabi

Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril, hingga penyebaran dan

penyampaiannya kepada umat Islam dari generasi ke generasi secara mutawatir3.

Oleh karena itu, sesuai dengan janji Allah, al-Qur‘an sebagai pedoman hidup

sangat mudah di hafal dan dibaca oleh nabi Muhammad Saw dan para umatnya.4

Salah satu doktrin ajaran Islam yang diyakini oleh pemeluknya adalah

kesempurnaannya sebagai agama akhir zaman. Kesempurnaan ini diawali dengan

1
Merupakan agama yang berasal dari Allah Swt tuhan pencipta dan pemelihara alamo09,
Allah Swt mempunyai sifat suci, dimana kebenaran dan perintah-Nya tidak dapat ditolak manusia,
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta, UI Press, 2010, hal. 12
2
Machfud Syaifudin, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Ilmu
Yogyakarta, 2013, hal. 5
3
Secara bahasa berarti al-mutatabi’ (‫)المتتاِبُع‬: yang dating kemudian, beriring-iringan, atau
berurutan. Sedangkan secara istilah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal
sanad sampai akhir. Lihat Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, cet
1, 2012, hal. 146
4
Anshori, Ulumul Qur‘an, Kaidah-Kaidah Memahami firman Tuhan Cet.1, Jakarta,
Rajawali Press, 2013, hal. 2

1
2

dengan diturunkannya al-Qur‘an sebagai firman Allah Swt kepada Nabi

Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril, hingga penyebaran dan

penyampaiannya kepada umat Islam dari generasi ke generasi secara mutawatir5.

Oleh karena itu, sesuai dengan janji Allah, al-Qur‘an sebagai pedoman hidup

sangat mudah di hafal dan dibaca oleh nabi Muhammad Saw dan para umatnya.6

Selanjutnya, agar al-Qur’an dapat dipaham dan diamalkan oleh setiap

umat, Allah memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad untuk

menjalaskan setiap ajaran yang terkandung di dalamnya, baik melalui perkataan

ataupun perbuatannya. Penjelasan Nabi inilah yang kemudian dikenal dengan

nama hadis yang secara keilmuan didefinisikan sebagai segala sesuatu apa yang

disandarkan kepada Nabi baik berupa ucapan dan perbuatan, taqrir7 atau

ketetapan maupun sifat beliau.8

Dalam perkembangannya, ulama sepakat menetapkan al-Qur’an dan hadis

sebagai sumber ajaran Islam. Mereka menegaskan bahwa mengingat al-Qur'an

maupun Hadis diungkapkan dalam bentuk perkataan atau lafadz-lafadz yang

tersusun dalam bentuk gabungan huruf-huruf yang mengandung makna yang luas

5
Secara bahasa berarti al-mutatabi’ (‫)المتتاِبُع‬: yang dating kemudian, beriring-iringan, atau
berurutan. Sedangkan secara istilah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang
mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal
sanad sampai akhir. Lihat Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, cet
1, 2012, hal. 146
6
Anshori, Ulumul Qur‘an, Kaidah-Kaidah Memahami firman Tuhan Cet.1, Jakarta,
Rajawali Press, 2013, hal. 2
7
Taqrir berasal dari bentuk masdar dari kata kerja Qarrara dimana secara etimologi
istilah Taqrir berarti penetapan , persetujuan. Lihat Muhammad bin Muqarran bin Mansyur, Lisan
al-Araby, Mesir, Dar Misriyah, juz V, t. th, hal. 394, menurut istilah Taqrir tidak berkomentarnya
Nabi Saw, atas perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, baik disaksikan atau didengarkan.
8
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1978 cet.
Ke-2, jilid 1, hal. 24
3

dan bersifat interpretatif, maka dibutuhkan upaya pemahaman baik secara parsial

maupun komprehensif.9

Pada tataran praktis, nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan

Hadis harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, terutama pada kehidupan

sosial kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk sosial atau

makhluk bermasyarakat membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat

meneguhkan eksistensinya. Mereka harus saling berkomunikasi dengan baik dan

menolong dengan sesama.10 Salah satu contoh tolong menolong dengan sesama

adalah menyingkirkan duri di jalan sebagai satu teladan yang diajarkan oleh

Rasulullah Saw untuk dipraktikkan oleh umatnya dalam kehidupan sehari-hari,

sebagaimana sabdanya:

‫َح َّد َثَن ا َأُب و َبْك ِر ْبُن َأِبيِ َش ْيَبَة َو َعِلُّي ْبُن ُمَح َّم ٍد َق ااَل َح َّد َثَنا َو ِكيـٌع َعْن َأَب اَن ْبَن َص ْمَعَة َعْن َأِبي‬
‫ ْلُت ا وَل الَّل ِه ُدَّلِني َعَلى َع ٍل َأ َتِف ِب ِه‬: ‫اْل ا ِز ِع الَّر ا ِس ِبِّي َع َأِبي َز َة اَأْل َلِم ِّي َق اَل‬
‫َم ْن ُع‬ ‫ُق َي َرُس‬ ‫ْس‬ ‫ْن َبْر‬ ‫َو‬
11
. ‫َقاَل اْعِز ْل اَأْلَذى َعْن َطِر يِق اْلُمْس ِلِم يَن‬

”Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin
Muhammad keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’dari Aban
bin Sham’ah dari Abu al-Wazi’ Ar-Rasibi dari Abu Barzah Al-Aslami dia
berkata: ”Saya berkata, “Wahai Rosulullah, tunjukanlah kepadaku suatu amalan
yang dapat memberiku manfaat?” beliau bersabda: “Singkirkanlah duri dari
jalan kaum muslimin.”
Dalam memahami hadis di atas, ulama cenderung memaknainya secara

tekstual. Kata adza pada hadis ini dipahami dengan kata ‘duri’ yang secara lahir

(teks) dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan perjalanan seseorang jika


9
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis, Yogyakarta, 2018, hal.21
10
Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2012, hal. 202
11
Hafiz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, 207-275 H,
Juz, 2, hal. 33
4

duri tersebut berada di jalan. Pemaknaan secara tekstual ini diperkuat dengan

hadis semakna yang juga menegaskan perbuatan yang hampir serupa.

‫ِل‬ ‫ِهلل‬
‫ َح َّد َثَنا َش ْيَباُن َعِن اَألْع َم ِش ‘ َعْن َأِبي َص ا ٍح ‘ َعْن‬: ‫َح َّد َثَنا ُعَبْيُد ا‬:‫َح َّد َثَناُه َأُبوَبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة‬
‫((َلَق ْد َر َأْيُت َرُج اًل َيَتَق َّلُب ِفي اْلَج َّن ِة‘ ِفي‬:‫َأِبي ُه َر ْيَر َة َعِن الَّنِّي َص لى اهلل عليـ ــه وسـ ــلم َق ال‬
12
.)) ‫َش َج َر ٍة َقَطَعَه ا ِم ْن َظْه ِر الَّطِر يِق ‘ َك اَنْت ُتْؤ ِذ ي الَّناَس‬

”Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami, dari Ubaidullah, dari
Syaiban, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah bahwa nabi Saw
bersabda, “Sungguh aku melihat seorang laki-laki sedang berbahagia di surga
karena dia telah memotong dan menyingkirkan batang pohon di tengah jalan
yang mengganggu orang lewat.”
Menarik untuk dicermati adalah apakah pemahaman secara tekstual hadis

di atas merupakan satu-satunya pemahaman yang dapat diperoleh dari hadis

tersebut. Apakah hadis ini dapat dipahami secara kontekstual agar lebih relevan

atau lebih bermakna dengan kehidupan sekarang, terutama mengingat setiap

muslim harus dapat memberikan manfaat dan menghilangkan keburukan bagi diri

sendiri serta orang lain. Bukankah gangguan di jalan bukan hanya sekedar duri

ataupun pohon yang tumbang? Bagaimana jika gangguan tersebut berupa

gangguan keamanan yang menyangkut harta atau jiwa? Apakah seseorang boleh

mengabaikan memberikan bantuan atau bersikap tidak peduli jika terjadi hal

tersebut?

Berangkat dari persoalan yang muncul di seputar pemahaman tekstual

hadis menyingkirkan duri di jalan, penulis tertarik untuk menganalisis lebih dalam

pemaknaannya baik secara tekstual maupun kontekstual dan relevansinya dengan

sikap kepedulian masyarakat dalam menyingkirkan gangguan di jalan. Untuk itu,


12
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, diterjemahkan oleh
Ferdinad Hasmand dkk, Ensikolpedia Hadis3, Shahih Mulim 1, Cet ke 1, 2012, hal. 575
5

kajian akan dilakukan dalam benntuk penelitian berjudul Kontekstualisasi Makna

Hadis Menyingkirkan Duri di Jalan Terhadap Sikap Kepedulian Sosial di

Masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemahaman Kontekstual Hadis Menyingkirkan Duri Di Jalan?

2. Bagaimana Kontekstualisasi pemahaman tersebut jika dikaitkan dengan

sikap kepedulian masyarakat di masa sekarang?

C. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk Mengetahui bagaimana Bagaimana Pemahaman Kontekstual

Hadis Menyingkirkan Duri Di Jalan.

b. Untuk mengetahui bagaimana Kontekstualisasi pemahaman tersebut

jika dikaitkan dengan sikap kepedulian masyarakat di masa sekarang.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan dapat:

a. Secara Teoritis

1) Dari hasil penelitian ini supaya bisa bermanfaat atau menambah

wawasan dalam pengembangan keilmuan, sebagai bahan masukan

dan tambahan pustaka di perpustakaan Institut. Serta mendorong

penelitian lain untuk mengkaji lebih dalam yang terkhusunya

tentang hadis Menyingkirkan Duri di Jalan

b. Secara Praktis
6

1) Bagi pembaca, hasil dari penelitian ini, agar dapat dijadikan

bahan referensi dan menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

2) Bagi penulis, dengan melakukan penelitian ini agar peneliti dapat

menambah wawasan praktis dibidang ilmu hadis. Dan juga

penelitian ini sebagai bahan untuk dapat memenuhi syarat untuk

memperoleh gelar Strata Satu (SI) di Program Studi Ilmu Hadis di

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.

D. Tinjauan Pustaka

Terkait dengan penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang

mengkaji tetang Meyingkirkan Duri Di jalan.

Skripsi, Asrizal Septi Wibowo yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

Dalam Konsep Sedekah Syifaur Rahmah, didalam skripsi ini menjelaskan bahwa

Bersedekah dengan menyingkirkan duri di jalan mendidik kita untuk peduli dan

menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain.13

Skripsi, Ahmad Erwan yang berjudul Chigienitas Perspektif Hadis (Kajian

Hadis-hadis Tentang Kebersihan Makanan, Sumber Air, Rumah Dan Jalan),

didalam skripsi ini menjelaskan tentang Ulama berpendapat membersihkan ramah

dan halaman rumah, selain dapat memperindah rumah, penghuni rumah akan

terpelihara kesehatannya dan kenyamanan sebagaimana Allah menyukai

keindahan dan kebersihan. Menyingkirkan gangguan dari jalan, seperti kotoran,

sampah, duri dan sebagainya bagaikan sedekah baginya karena memberikan

kenyamanan dan keselamatan bagi orang lain. Rasul melaknat dua perbuatan,
13
Asrizal Septi Wibowo, Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Konsep Sedekah Syifaur
Rahmah, skripsi, Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Ponorogo,
2022
7

yaitu: buang air di jalan yang dilewati manusia dan di tempat berteduh karena

perbuatan tersebut menyakiti dan mengganggu manusia dari segi penciuman,

pemandangan dan kesehatan. Menurut ulama, bimbingan Nabi ini adalah cara

yang lebih dulu dikenal manusia untuk menjaga kebersihan lingkungan dari

pencemaran yang diatas namakan agama.14

Skripsi, Zulkifli berjudul Uzlah al-Aza di Jalan dalam Perspektif Hadis Nabi

Saw, dan Aplikasinya terhadap Kehidupan Sosial, didalam skripsi ini menjelaskan

Kandungan hadis tentang ‘uzlah al-aza di jalan dalam penelitian ini adalah

memuat perintah untuk menghilangkan setiap apa yang menyusahkan dan

menyakiti para pengguna jalan. Al-aza dalam hadis tersebut bermakna sebagai

segala sesuatu yang membuat pengguna jalan merasa tidak nyaman, terganggu,

tersakiti dan terhalangi baik itu berbentuk benda maupun berbentuk kondisi dan

keadaan. Dalam hal ini, berbagai fenomena yang terjadi di jalanan seperti lubang,

duri, dahan kayu, tanah longsor, aksi demonstrasi, jualan di trotoar, polisi tidur,

pelaminan yang dipasang di badan jalan dan parkir liar termasuk dalam konteks

pemaknaan al-aza ini selama fenomena-fenomena tersebut menimbulkan mudarat

yang lebih besar dari pada manfaatnya.15

Skripsi, Bekti Rahmasari, berjudul Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan

dalam Perspektif Hadis, didalam skripsi ini membahas pada al-kutub al-sittah,

konsep kebersihan dan kesehatan lingkungan dalam hadis sama dengan konsep

etika lingkungan biosentrisme yaitu teori yang memandang setiap kehidupan dan
14
Ahmad Erwan, Chigienitas Perspektif Hadis, Kajian Hadis-hadis Tentang Kebersihan
Makanan, Sumber Air, Rumah Dan Jalan, skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
15
Zulkifli, Uzlah al-Aza di Jalan dalam Perspektif Hadis Nabi Saw, dan Aplikasinya
terhadap Kehidupan Sosial, skripsi, Fakulas ushuluddin, Filsafat Dan Politik Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar, 2018
8

makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga sehingga manusia memiliki

kewajiban moral terhadap lingkungan. Oleh karena itu manusia harus selalu

menjaga kebersihan sumber air, kebersihan rumah, kebersihan jalan, kebersihan

tempat umum dan tidak menebang pohon dan tanaman di tempat-tempat umum

tanpa tujuan yang tidak jelas. Anjuran hadis untuk mejaga kebersihan dan

kesehatan lingkungan tidak hanya terkait pada etika tetapi juga bernilai ibadah.

Sehingga dengan mengamalkan hadis-hadis tersebut niscaya dapat terwujud

lingkungan yang bersih dan sehat.16

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan sebuah pendekatan, dengan cara dan teknis

yang dipakai dalam proses pelaksanaan penelitian yang bergantung pada disiplin

Ilmu yang akan dipakai serta masalah pokok yang dirumuskan. Metode ma’nil

hadis adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memahami hadis nabi Saw

dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yang dimulai dari konteks semantik

dan struktur linguistik sehingga dapat memahami maksud dan kandungannya

secra tepat. Supaya penelitian berjalan sesuai dengan produser yang telah berlaku.

Maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Kajian yang dilakukan penulis adalah kajian kepustakaan (library

research).17 Yaitu dengan bentuk penelitian dengan penelusuran buku-buku

16
Bekti Rahmasari, Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Hadis,
Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017
17
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
1999, hal. 28
9

(pustaka), literature-literatur, catatan-catatan hasil penelitian. Yaitu yang

berkaitan dengan sebuah objek yang diteliti. Penelitian kualitatif dilakukan

dengan untuk membangun suatu pengetahuan yang dilalui dengan

pemahaman serta penemuan (meaning and descover).18

Adapun dengan menganalisis sebuah hadis, dengan sebuah bahasan pokok

yang informasinya ditemukan melalui buku-buku maupun kitab-kitab, baik

yang berliteraturnya arab maupun Indonesia

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber data primer yang merupakan sumber data pokok atau sumber data

yang sangat berkaitan dengan pokok-pokok bahasan. Sumber data primer

dalam penelitian ini ialah Hadis Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim

dan Ibnu Majah.

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder penelitian ini berupa sebuah buku-buku pendukung,

jurnal-jurnal serta referensi lainnya yang berhubungan dengan penelitian

ini. Dengan bersumberkan kepada kitab syarah hadis, kitab fiqhul hadis,

buku-buku tentang kontekstualisasi hadis serta literature lain yang

bersangkutan dalam penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan penelitian kualitatif yang

lebih cenderung bersifat deskriptif bukan pada angka-angka. 19 Teknik

18
Sudarman Danim, Menjadi peneliti kualitatif, bandung, Pustaka Setia, 2022, hal. 6
19
Helen Sabera, Metode Penelitian, Palembang, Neor Fikr, Cet-2, 2016, hal. 47
10

pengumpulan data merupakan cara paling bagus dalam penelitian ini.

Dikeranakan ini merupakan tujuan yang paling utama dari sebuah penelitian

yaitu mendapatkan sebuah data.20 Disebuah penelitian ini, pengumpulan data

yang dilakukan penulis yaitu dengan membaca buku-buku, jurnal, kitab yang

berkaitan dengan pembahasan sebagai referensi pengumpulan data-data,

dikerenakan ini merupakan penelitian pustaka.

4. Metode Analisi Data

Metode ini untuk memaparkan data dan memberikan penjelasan secara

mendalam mengenai sebuah data. Metode ini juga untuk menyelidiki dengan

menuturkan, menganalisa data-data, kemudian menjelaskan data-data

tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Ma‟anil Hadis

yang digunakan oleh Yusuf Qardhawi. Ada beberapa metode yang

digunakan,21 langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur‟an

b. Menghimpun hadis-hadis yang setema

c. Menggabungkan atau mentarjih hadis-hadis yang bertentangan

d. Memahami hadis sesuai latar belakang, situasi, kondisi dan tujuan

e. Membedakan sarana yang berubahdan tujuan yang tetap

f. Membedakan antara ungkapan yang haqiqah dan majaz

g. Membedakan yang ghaib dan yang nyata

h. Memastikan makna kata-kata dalam hadis

F. Sistematika Penulisan
20
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Alfabet, cet-10, 2010, hal. 224
21
Caca Handika, Pemahaman Hadis Yusuf Al-Qardhawi Dalam Menentukan Hukum
Islam, Jurnal Syari‟ah dan Hukum, Vol. 1, No. 2, 2019, hal. 167
11

Mengenai sistematika penulisan ini maka penulis membagi pembahasan

menjadi empat bab, adapun masing-masing bab tersebut mempunyai tujuan

pembahasan tertentu, diantaranya:

Bab I, Pendahuluan yang meliputi sebuah latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dari penelitian tersebut, setelah itu tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

Bab II, Yang membahas pemahaman hadis tekstual dan kontekstual disertai

dengan pembahasan tekstual pemahaman hadis dan kontekstual pemahaman hadis

serta metode pemahaman tekstual dan kontekstual.

Bab III, Yang membahas relevansi hadis tentang menyingkirkan duri di jalan

yang disertai dengan informasi redaksi hadis serta deskripsi hadis

Bab IV, Akan membahas tentang analisis kontekstualisasi hadis

menyingkirkan duri di jalan yang akan membahas tentang kepedulian sosial dalam

bingkai Islam dan kiat-kiat menumbuhkan kepedulian sosial serta penerapan

kontekstualisasi hadis menyingkirkan duri di jalan pada zaman sekarang.

Bab V, Penutup sebuah kesimpulan yang dikemukakan atas permasalahan

yang diteliti, dengan dilengkapi saran yang dapat direkomendasikan untuk

penelitian selanjutnya dari peneliti ini.


13

BAB II
PEMAHAMAN HADIS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

A. Pengertian Tekstual dan Kontekstual, dan Kontekstualisasi

Pemahaman tekstual adalah pemahaman terhadap teks secara Literal

(kebahasaan) dengan mengabaikan aspek ‘konteks’ dari teks tersebut. Bagi

kalangan tekstualis, gagasan bahwa pemahaman terhadap teks harus

mempertimbangkan konteks adalah tidak relavan. Pada masa modern,

tekstualisme secara erat dihubungkan dengan aliran salafisme kontemporer.

Padahal, pendekatan ini tersebar luas juga ke dalam pemikiran tradisional

terutama ketika dalam penafsiran ayat-ayat (dan hadis) hukum dan teologi. 22

Ide dasar pemahaman tekstual berangkat dari pandangan bahwa hadis

adalah wahyu universal yang bersifat lintas ruang dan waktu. Sebagaimana al-

Qur’an, hadis merupakan representasi Tuhan dan sudah sepantasnya berada pada

tempat tertinggi yang melampaui segala sesuatu yang berkaitan dengan dimensi

kemanusiaan. Adapun yang menjadi dasar argumentasi kelompok ini adalah

firman Allah:

.‫ ِإْن ُهَو ِإَّال َو ْح ٌى ُّيْو حى‬.‫َو َم ا َيْنِط ُق َع ْن اْلَهَو ى‬

Artinya: Dan tidaklah ia (Muhammad) berkata dengan menuruti hawa nafsunya.

Ia (al-Qur’an) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (Qs. Al-Najm:3-2)

Argumentasi di atas menunjukan pemahaman tekstual mempunyai

pradigma bahwa semua hadis, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir

Nabi Saw merupakan wahyu. Dengan kata lain, pemahaman yang bener terhadap

22
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung, Mizan Pustaka,
2015, hal. 38
14

hadis adalah pemahaman yang sesuai dengan tekstualitasnya. Pemahaman ini

sangat memegangi hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam dengan tanpa

memperhatikan proses panjang kesejarahannya, melalui dari disabdakan sampai

dikondifikasikan.23

Disamping berpijak pada ayat di atas, kelompok tektualitas juga

mengajukan beberapa argumen aqli untuk memperkuat pandangannya dalam

memahami hadis. Pertama, adanya pra-pemahaman bahwa teks hadis adalah

sesuatu yang dengan sendirinya transparan. Teks hadis dipahami sebagai bahasa

yang tidak terpisah dari realitas yang ditunjuknya, sehingga hubungan antara kata

dan arti yang ditunjuknya diyakini sebagai hubungan identitas. Hadis yang

dimaknai sebagai perkataan, perbuatan dan persetujuaan Nabi Saw, yang lahir

pada abad ke-7 M, secara otomatis langsung dapat diikuti dan di amalkan pada

masa sekarang dengan mengabaikan segala sesuatu yang terkait denngan ‘jarak

epistemologis’, yaitu jarak yang terbentang antara konteks si pembaca. Kedua,

adanya anggapan bahawa – pasca kondifikasi hadis dalam kitab-kitab standar,

seperti kutubussittah, maka yang disebut dengan hadis Nabi adalah teks-teks yang

ada dalam kitab tersebut. Pemahaman yang berbeda dengan tekstualitas hadis

dapat dianggap sebagai satu bentuk dari inkar al-hadis (al-sunnah), yaitu satu

pandangan atau paham yang menolak otoritas hadis sebagai hujjah atau sumber

ajaran agama yang harus ditaati dan diamalkan.

Pemahaman kontekstual terletak pada gagasan mengenai konteks. Konteks

adalah sebuah konsep umum yang bisa mencakup banyak hal, seperti konteks

linguistik dan juga konteks marko. Konteks linguistik berkait dengan cara dimana
23
Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hal. 13
15

sebuah frase, kalimat atau teks tertentu ditempatkan dalam teks yang lebih besar.

Sementara konteks marko adalah memahami teks dengan mempertimbangkan

kondisi sosial, politik, ekonomi, kultural dan intelektual disekitar teks. Konteks

marko juga sangat memperhatikan tempat terjadinya pewahyuan dan pihak-pihak

yang terlibat langsung dengan sebab lahir sebuah teks.24

Pemahaman kontekstual muncul didasarkan atas pradigma bahwa hadis

Nabi Saw adalah sesuatu yang particular dan karenanya terikat oleh lokalitas dan

temporalitas tertentu. Argumentasi naqli kelompok ini adalah Qs. Al-Anbiya’:

107 yang berbunyi:

‫َو َم ا َأْر َس ْلَنَك ِإَّال َر ْح َم ًة ِلْلعَلِم ْين‬


Artinya: Dan tidaklah kami mengutusmu (Nabi Muhammad) melainkan sebagai

rahmad bagi semesta alam. (Qs. al-Anbiya’: 107)

Bagi kelompok kontektualitas, hadis Nabi tetap diyakini memiliki representasi

Tuhan, hanya saja nilai tersebut merung dan mewaktu (menyejarah) sehingga

untuk memahaminya harus menyertakan konteks kesejarahannya. Dengan

demikian, untuk memahami suatu teks hadis harus memahami juga konteks ketika

hadis itu disabdakan. Pemahamn yang benar terhadap hadis Nabi adalah

pemahaman yang berbasis pada dialektika teks dan konteks hadis itu sendiri.

Dalam mengokohkan sikapnya ini, kelompok kontekstual juga

menyertakan argumentasi aqliyah. Pertama, adanya anggapan bahwa sebuah teks

senantiasa mengandung lapisan-lapisan penafsiran yang bertingkat-tingkat.

Karena itu, ia selalu memiliki pemaknaan yang luas menyangkut dictum-diktum

teks yang terintegrasi dengan konteks pengalaman sejarah umat manusia. Dengan

24
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Adad 21…, hal. 14
16

anggapan ini, untuk sampai bisa kepada pemahaman yang komprehensif

mengenai sebuah hadis, seseorang membutuhkan jembatan yang bisa

mengantarkannya pada pemahaman mengenai konteks hadis tersebut. Semakin

jauh jarak seseorang dengan teks hadis, maka semakin panjang juga jembatan

yang harus dibangunnya.

Kedua, pandangan bahwa hadis Nabi bukan sebatas teks-teks yang

terhimpun dalam kitab-kitab hadis, tetapi juga ‘segala sesuatu’ yang menyertai

kelahiran teks tersebut. Hadis bukanlah teks yang mati, melaikan teks yang hidup

dalam suatu konteks yang nyata. Hadis yang sudah melembaga dalam deretan-

deretan teks sebagaimana da dalam kitab-kitab hadis, pada dasarnya adalah

‘sebagimana’ dari wahyu Tuhan. Karena itu, untuk dapat menangkap keutuhan

pesannya, dibutuhkan pemahaman terhadap ‘sebagian teks, lainnya berupa

pemahaman terhadap konteks kongkrit tempat hadis itu disabdakan. Berdasarkan

argumentasi ini, dapat dikatakan bahwa teks hadis bukanlah sesuatu yang dapat

mencukupi dirinya sendiri, melainkan teks yang berjalin erat dengan ‘teks-teks’

lain mengelilinginya, seperti kondisi sosial budaya, setting politik dan tradisi

kepercayaan yang hidup ditempat hadis itu muncul.

Teks memiliki peran yang sentral dan vital dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks manusia yang tidak beragam sekalipun, teks tetap berperan bagi

keberlangsungan hidup bersosial.

Istilah tekstualisme menjadi paradoks jika diposisikan secara benar dengan

kontekstualisme. Ini mengakibatkan salah satu dari kedua istilah tersebut menjadi

bermakna negative, dimana kebenaran selalu didengungkan oleh masing-masing


17

kelompok yang cenderung memilih pemahaman tertentu. Terkait dengan tekstual

sebagai salah satu model pemahaman, pemahaman ini memeng sangat sering

disebut sebagai pemaknaan bahasa secara hakiki, leksikal dan struktural.

Menurut Abdullah Saeed, tekstualisme yang berkembang didunia Islam

terdiri atas dua bentuk, yaitu tekstualisme lunak dan tekstualisme keras. Tekstua

lunak menganggap makna literal sebagai basis pengkajian makna teks, tetapi juga

memungkinkan kelenturan penafsiran sambil berusaha mempertahankan makna

berbasis riwayat. Sementara tekstualisme keras memperaktekkan pemahaman

makna literal secaara kaku tanpa mempertimbangkan kompleksitas maknanya.

Dalam konteks hadis, pemahaman tekstual dengan pendekaatan

intertekstual ini berupa memahami hadis dengan melibatkan hadis-hadis lain yang

semakna. Sementara itu, sebuah pemahaman kontekstual apabila secara

pradikmatik tidak semata-mata berpegang pada makna lahiriah teks (literal),

melaikan menekankan dimensi konteks yang menyertainya, terutama nilai-nilai

subtansi teks yang bermuara pada kepentingan mashlahat manusia dalam situasi

dan kondisi yang berubah.25 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ciri utama

pemahaman kontekstual adalah menjadikan teks sebagai bagian utama dari

perbaikan kehidupan. Dengan kata lain, pemahaman kontekstual membangun

hubungan antara konteks kini-teks-konteks teks.

Sampai disini, persoalan pemahaman tekstual dan kontekstual seolah

selesai dengan sebuah pandangan bahwa pemahman yang terbaik dalam

memahami hadis adalah pemahaman kontekstual mengingan pemahman tekstual

25
Syafruddin, pradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta, Pustaka pelajar,
2009, hal. 52
18

dianggap telah gagal dalam memberikan pemaknaan yang utuh sehingga sebuah

hadis terkadang dianggap tidak relavan bagi kondisi masyarakat muslim

kontemporer.

B. Metode Pemahaman Tekstual dan Kontekstual

a. Pendekatan Tekstual

Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang paling awal digunakan dalam

memahami hadis-hadis Nabi Saw. Karna memahami sebuah teks adalah terlebih

dahulu dengan mencoba menangkap makna asalnya, makna yang popular dan

mudah ditangkap. Bila tidak dapat dipahami, karena berbagai alasan, baru

kemudian digunakan pendekatan lainnya.

Pendekatan tekstual dapat dilihat dalam tiga pendekatan, yakni 1)

pendekatan kebahasaan, yakni pendeekatan dimana makna sebuah kata

merupakan focus utamanya kajiannya, 2) pendekatan ushul fiqih, yakni

pendekatan yang menitik beratkan pada persoalan dilalah, dan 3) pendekatan

ta’wil, yakni pendekatan yang berusaha memberi makna lain pada kata sebuah

kata.

1. Analisis Kebahasaan

Berkaitan dengan pendekatan kebahasaan, pemaknaan merupakan bagian

yang paling penting, baik dari sisi kata secara an-sich maupun kata dalam

kaitannya dengan partikel atau kata lainnya.

Sebagai sebuah bahasa agama terutama dalam menjelaskan hal-hal yang

bersifat metafisis seperti ntentang Allah, surga, neraka, dan lain sebaginya. Maka

bahasa yang dipakai agar dapat dipahami oleh pendengar/pembaca tentu bahasa
19

yang berrada dalam jangkauan wilayah pengamalan empiris dan inderawi. Karena

itu sering terlihat, beberapa hadis Nabi Saw menjelaskan Allah seperti halnya

manusia.

‫ َيْن ِز ُل َر ُّبَن ا َتَب اَر َك َو َتَع اَلى‬: ‫َعْن أبي ُه َر ْيَر َة َر َض ي اهلل عن َرُس ول اهلل َص َلى اهلل َعَليـِه َو َس َلَم َق اَل‬

‫ِخ‬ ‫ِح‬ ‫ِء‬


‫ُك َّل َلْيَل ٍة ِإَلى الَّس َم ا الــُّد ْنَيا يَن َيْبَق ى ُثُلُث الَّلْي ِل اآل ُر َفَيُق وُل َمْن َي ْد ُعوِنى َفَأْس َتِج يَب َل ُه‬
‫ِط‬
‫َو َمْن َيْس َأُلِنى َفُأْع َيُه َو َمْن َيْس َتْغِف ُر ِنى َفَأْغِف َر َلُه‬
26

“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rosulullah Saw bersabda: ”Rabb kita turun ke
langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah
berfirman, ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan.
Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa
yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”
Dalam hadis ini Allah digambarkan seperti manusia turun naik ke langit

dunia. Ini berarti bahwa Allah terlihat sama dengan makhluk-Nya. Kesulitan

memahami hadis ini membuat sebagian ulama menyatakan hadis ini berkualitas

lemah (dha’if).27

Kata ‫ ينزل‬tidak dapat dipahami dalam makna hakikinya, yakni turun dalam

bentuk zat-Nya. Penggunaan kata ‫ ينزل‬Tersebut dipakai dalam kaitan menjelaskan

sesuatu dalam batas-batas empiris sehingga dapat dimengerti. Jelas sekali bahwa

Allah tidak dapat disamakan dengan manusia. Maka kata ‫ ينزل‬dipahami dalam

makna majazi (metoforis), yakni turunnya rahmat (‫ )تنزيل رحمة‬Allah atau

“perhatian (‫ ”)اال قبال‬Allah terhadap orang-orang yang berdo’a untuk menjawab

do’a mereka.
26
Muhammad ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Shahih al-
Mukhtashar, Dar ibn Katsir al-Yammah Berikut, 1987, Juz I, hal. 384
27
Sayyid Shalih Abu Bakr, Menyingkap hadis-hadis palsu, terjemah. Ahmad Wakid,
Mutiarasolo, Surakarta, t. th. Jilid II, hal. 161-165
20

2. Analisis Kaedah Ushul

Sisi-sisi yang dianalisis dari pendekatan tekstual yang dijelaskana dalam

karya-karya ushul fiqh adalah: 1) persoalan perintah (amr), larangan (nahy), dan

(pilihan) takhyir, 2) persoalan lafaz ‘am dan khash, 3) lafaz bebas (muthlak) dan

terkait (muqayyad), 4) lafaz yang diucapkan (mantbuq) dan lafaz yang dipahami

(mafbum), dan 5) kejelasan dan tidak kejelasan maknanya meliputi (muhkam,

mufassar, nas, zabir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabib).

Berikut dengan kaedah memahami amr, dan nahy misalnya sebagai

berikut:

‫ ِاْقَر ُؤ ْو ا‬: ‫َعْن َأِبي ُأَم اَم َة َر ِض َي اُهلل َعْن ُه َق اَل َس ِم ْعُت َرُس ْو َل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو سَ َّلَم َق اَل‬
28
.‫الُقْر آَن َفِإ َّنُه َيْأِتي َيْو َم الِق َياَمِة َش ِف ْيًعا َأِلْص َح اِبِه‬
“Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu , ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “ Bacalah al-Qur'an karena
pada hari kiamat, ia akan datang sebagai syafaat untuk para pembacanya .”
Dalam hadis di atas ada shighat amr (bentuk kata perintah), yakni kata

‫( اق^رؤوا‬bacalah). Dalam kaedah ushul fiqh, bentuk amr dapat saja menunjukan

perintah wajib, anjuran atau kebolehan. Perintah membaca al-Qur'an dalam ayat

tersebut menunjukan anjuran (al-nadab), karena ada qarinah (indikator) yang

menunjukan adanya manfaat, tanpa disertai ancaman bagi orang yang tidak

membacanya.

Larangan dalam hadis ini mengindikasikan karahah. Qarinah-Nya adalah

pernyataan tersebut adalah nahyuyang bersifat positif tanpa diikuti oleh

pernyataan yang bersifat negative.


28
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, hal. 553
21

3. Ta’wil

Langkah awal dalam melakukan ta’wil adalah menemukan qarinah

(indikasi) yang mengharuskan seseorang menarik makna lain dari luar makna

dasarnya. Bila tidak ada qarinah, maka tidak perlu dilakukan pendekatan ta’wil.

Makna kata yang di ta’wil-kan harus berkaitan dengan makna dasar dalam

artian dapat berupa makna subtansialnya maupun makna majazi-nya yang

popular dalam masyarakat.

Rasulullah saw misalnya menyatakan bahwa orang yang menyambung

silaturrahmi akan diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umumnya.

‫ من سره‬:‫عن أنس بن مالك رضي اهلل عنه قال سمعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يقول‬

29
.‫رحمه‬ ‫أن يبسط له في رزقه أوينسأله في أثره فليصل‬
“Dari Anas ibn Malik katanya: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang ingin rizkinya diluaskan dan ajalnya diakhirkan, maka
hendaklah ia menyambung silaturrahmi”.
Sebagian ulama sulit memahami frase ‫ ينسأ له في أثره‬dan‫منس^^أة في األث^^ر‬

yang bermakna diakhirkan ajalnya. atau Qarinahnya adalah bila dipahami dalam

arti dasarnya, maka akan bertentangan dengan ayat al-Qur'an yang menjelaskan

ajal tidak dapat dimajukan atau ditunda (QS. Al-A'raf: 34).

Oleh karena itu, frase tersebut harus dipalingkan maknanya kepada makna

yang tidak bertentangan atau sesuai dengan ayat-ayat yang menjelaskan ajal tak

dapat dimajukan dan ditunda. Tentu saja, makna lain yang dipahami dari frase

diakhirkan ajalnya adalah makna yang masih berkaitan dengan frase tersebut. Dari

29
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Juz II, hal. 782
22

kitab-kitab syarh hadis terlihat para ulama memberikan ta'wil terhadap frase

tersebut dalam dua bentuk, yaitu:

 Makna frase "mengakhirkan ajal" dalam hadis tersebut dipahami dalam

pengertian penambahan keberkatan umur, taufiq untuk taat kepada

Allah dan kreatifitasnya yang efektif. Artinya, dalam umurnya yang

singkat mampu melahirkan berbagai kreatifitas dan karya.

 Makna frase "mengakhirkan ajal" dipahami dengan makna kekal

namanya dalam keharuman sepertinya dia belum mati karena masing

dikenang di dalam ingatan masyarakat.30

b. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah memahami makna dan maksud yang

terkandung dalam hadis-hadis dengan mempertimbangkan dan megkaji

konteksnya meliputi: konteks redaksional, konteks historis-sosiologis-

antropologis, kapasitas Nabi Saw tatkala menyampaikan hadis lawan bicara Nabi

Saw serta ruang dan upaya kontekstualisasi. Jadi, hadis-hadis Nabi Saw tidak

ditangkap makna dan maksudnya melalui redaksi lahiriyah tanpa mengkaitkannya

dengan aspek-aspek kontekstualnya.

Dari sini terlihat bahwa dominasi konteks dalam pendekatan kontekstual

ini sangat dominan disbanding teksnya sendiri. Hal ini didasari bahwa ebagian

hadis-hadis Nabi Saw lahir dan membawa konteksnya sendiri karena ia

merupakan respon Nabi Saw yang terkait dengan ruang dan waktu sahabat-

sahabat melaksanakan ajaran agama.

30
Muhammad ibn Idris Abu Abdullah al-Syafi’I, Musnad al-Syafi’I, Dar al-Kutub al-
Ilmiah, Berikut, t.th, hal. 175
23

Pendekatan kontekstual, sejak awal telah dipraktekkan oleh sebagian

sahabat-sahabat Nabi Saw, bahkan ketika Nabi Saw masih hidup. Umar ibn

Khatab dianggap orang yang paling terdepan dalam memahami hadi-hadis Nabi

Saw dengan pendekatan kontekstual. Ia tidak membagigan tanah taklukan Irak

kepada para tentaranya seperti Nabi Saw, melainkan justru memiarkannya di

tangan para pemiliknya dengan catatan meraka harus membayar upeti. Di sini

Umar tampaknya sangat jelas melihat dua konteks yang berbeda. Pembagian tanah

Khaibar oleh Rosulullah Saw di masa permulaan Islam masanya, kemaslahatan

ada dengan tidak dibagiknnya tanah tersebut.

1. Konteks Redaksional

Sebuah kata yang diucapkan bila pahami secara terpisah memiliki makna

dasar dan kontekstualnya sendiri. Makna ini akan melekat pada kata tersebut. Ini

lah makna dasar dari sebuah kata dan bersifat umum. Makna kata seperti ini

mudah ditemukan. Tetapi, kata yang sama dapat pula mengandung makna lain di

samping makna dasarnya, terutama ketika ia telah menjadi istilah kunci atau

diletakan dalam redaksi tertentu. Inilah makna redaksional, makna yang dapat

dipahami dari konteks redaksional. Makna ini merupakan makna konotatif dari

sebuah kata. Ketika menjelaskan makna redaksional ini, Toshihiko Izutsu

menulis:

“Jadi makna “dasar” kata adalah sesuatu yang melekatpada kta itu sendiri,

yang selalu terbawa dimana pun kata itu diletakan. Sedangkan makna “relasional”

adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang

sudah ada dengan meletakan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus,
24

berbeda pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam

system tersebut.31 Sebagai contoh dikutipan hadis popular tentang anjuran

melaksanakan puasa ramadhan.

‫قـال رسـول اهلل صلى اهلل عليـه وسـلم رمضـان إيمانا واحتسـابا غفر لـه ما‬:‫عن أبي هريرة قال‬
32
.‫تقدم من ذنبه‬
“Hadis dari Abu Hurairah katanya: Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang
berpuasa dilandasi iman dan ikhlas kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu”.
Makna dasar dari kata ‫ واحتس^^ابا‬adalah perhitungan. Oleh karena itu,
banyak para mubaligh menterjemahkan kata tersebut dengan makna dasarnya,
sehingga sulit dipahami ketika disandingkan dengan kata iman. Ada di antaranya
yang memaknai kata perhitungan dengan kehati-hatian sehingga dimaksudkan

orang yang menjalani puasa dilandasi oleh iman dan kehati-hatian. Tetapi, kata

‫ واحتس^^ابا‬dalam konteks redaksi ini oleh para ulama dipahami dalam makna
relasionalnya, yakni makna yang yang diberikan dan ditambahkan pada kata

tersebut. Makna kata ‫ واحتسابا‬dalam hadis ini adalah "ikhlas dan mendapatkan

pahala" ‫ أي طلبا لوْج ه هللا وثوابه‬.33


Makna relasional yang berbeda dari makna dasarnya yang secara umum

dipahami oleh masyarakat tertentu, maka kata ini menjadi gharib. Tiba di sini,

maka ilmu gharib al-hadits menjadi sangat penting dalam dalam memahami

memahami konteks redaksional dalam kaitannya dengan makna relasional.

2. Konteks Historis, Sosiologis dan Antropologis


31
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuban dan Manusia, Pendekatan Sematik Terhadap al-
Qur’an, terjemah Agus Fahri Husain, Judul Asli, God and Man in the Koran, Sematic of Koranic
Weltanschauung, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997, hal. 12
32
Al-Bukhari, Al-Jami’ Al- Shahih, Juz, 1, Hal. 22
33
Lihat Abu al-Sa’adat al-Mubarok ibn Muhammad al-Jaziri, al-Nihayat fi Gharib al-
Hadis wa al-Atsar, Al-Maktabah al-Ilmiah, berikut, 1979, Juz I, hal. 955
25

Memahami bahwa suasana situasi sosial dan kondisi geografis terkait

dengan pembicaraan seseorang, maka memahami hadis-hadis Nabi Saw

mempertimbangkan aspek- aspek tersebut akan memberikan pemahaman yang

lebih luas terhadap hadis-hadis Nabi Saw. Hadis tentang keharusan pemimpin

berasal dari kalangan Quaraisy misalnya:

‫ ال يــزال هذا األمرفي قــريش مابــاقي منهم‬:‫عن ابن عمــر قالرســول اهلل صلى اهلل عليــه وســلم‬

.‫اثنان‬
“Hadis riwayat dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. bersabda: "Dalam
urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu
(menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang
saja." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Pemahaman tekstual terhadap hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan

umat Islam menjadi hak mutlak kaum Quraisy. Pemahaman seperti ini tampak

bertentangan dengan prinsip al-Qur'an (QS. al-Hujurat: 13) yang menyatakan

bahwa kualitas seseorang itu dilihat dari takwanya buka dari sukunya.

Mengapa kaum Qurasy yang diberi hak kepemimpinan oleh Nabi. Dengan

analisis historis-sosiologis diketahui bahwa pada masa Nabi, suku Quraisy adalah

suku yang sangat berwiba dan disegani. Wibawa suku Quraisy ini terutama

bermula ketika Qushay menjadi penentu upacara keagamaan sebagai pemegang

kunci Ka'bah. Ia membangun kota Mekah dan menata segala persoalan yang

berkaitan dengan kota Mekah. Kewibawaan ini sampai kepada generasi Nabi.

Dalam hadis tersebut di atas, kata quraisy dipahami dari sisi karakter yang

melekat pada diri orang-orang Quraisy pada waktu itu, yakni berwibawa, kuat dan

dipatuhi oleh masyarakatnya, bukan dari pribadi yang berasal dari suku Quraisy.

Pemahaman seperti ini diperkuat oleh posisi Nabi dalam mengucapkan hadis ini
26

sebagai pemimpin, bukan sebagai Rasul. Oleh karena itu adalah wajar, bila Ibnu

Khaldun menyatakan bahwa apabila suatu masa ada orang yang berasal bukan

dari suku Quraisy, tetapi memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk menjadi

pemimpin, maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin termasuk kepala

negara."34

3. Analisis Posisi Nabi Saw

Dalam agama Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak
fungsi: sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan
demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-
fungsi itu. Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi
dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu
manfaatnya. Sebagai contoh, Nabi melarang salah seorang sangat besar Anshar
mengawini pohon kurma. Maka orang Anshar tersebut mematuhinya karena
menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya
kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul diutus
tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda:
"Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya..."

sampai akhirnya beliau bersabda: ‫الدنياكم‬ ‫انتم اعلم بأمر‬


Dari hadis di atas, jelas sekali bahwa Nabi melarang orang mengawinkan

pohon kurma bukan berdasarkan ilham dari Allah, tetapi adalah pendapatnya

sendiri. Sahabat yang mendengar larangan Nabi tersebut mematuhi beliau karena

ia mengira larangan tersebut adalah bersifat keagamaan dan keluar dari pribadi

Nabi sebagai seorang Rasul. Tetapi, ternyata ijtihad Nabi sebagai seorang manusia

biasa bersifat terbatas, tak dapat mencapai kebenaran yang hakiki.

4. Kontekstualisasi Makna
34
Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar al-Fikri, t.
th, hal. 121
27

Kontekstualisasi adalah memahami pesan-pesan Nabi Saw dalam

kaiatannya dengan ruang dan waktu di mana kita berada. Dalam artian ini, maka

kontekstualisasi adalah sebuah upaya mengkomunikasikan hadis-hadis Nabi yang

diucapkan dalam situasi dan kondisi yang jauh berbeda dengan situasi dan kondisi

kita sekarang.

Analisis filosofis, yakni menangkap makna substansi dari sebuah kata

yang diucapkan Nabi Saw menjadi sangat penting. Makna substansi adalah makna

di mana sebuah kata telah dilepaskan dari atribut-atribut materialnya. Sebagai

contoh:

35
.‫ اليقضين حكم بين اثنين وهو غضبان‬:‫عن أبي بكرة سمعت النبي صلى اهلل عليه وسلم‬
“Dari Abu Bakrah saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu
menjatuhkan hukuman di antara dua orang (yang berperkara) sedangkan kamu
dalam keadaan marah”.
Kata‫( وه^^و غض^^بان‬dalam keadaan marah) bila dipahami dalam makna

substantifnya adalah kondisi jiwa yang tidak stabil ( ‫)سداد النظر‬.36 Oleh karena itu,

dalam makna ini, termasuk berbagai keadaan yang menggambarkan jiwa yang

tidak stabil seperti sedih, lapar, dan lain-lain yang semisalnya.

C. Contoh-Contoh Tekstual Dan Kontekstual

‫ ال تمنع ــوا إماءاهلل مس ــا جداهلل ولكن ليخ ــرجن وهن‬:‫ق ــال رس ــول اهلل صلى اهلل علي ــه وس ــلم‬

37
.‫تفالت‬

35
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Juz VI, 2616
36
Al-Nawawi, al-Minbaj Syarah Shahih Muslim, Juz XII, hal. 15
37
28

.‫ التمنعوانساء كم المساجد وبيوتهن خيرلهن‬:‫ أيضا‬:‫وقال‬

Artinya: Rosulullah bersabda: jangan kalian melarang perempuan-perempuan ke

masjid (untuk shalat), tetapi harus tidak memakai wangi-wangian dan

berdandanan. Dalam riwayat lain Nabi bersabda: Janganlah kalian melarang

perempuan-perempuan pergi ke masjid dan (salah) di rumah-rumah mereka lebih

baik bagi mereka.

‫ِا‬ ‫ِم‬ ‫ِا‬


‫ْغَتِس ُلْو ا ْنُه َو َتَو َضُؤ ْو ا َف َّنُه ُه َو الَّطُه ْو ُرَم ُأُه‬
“Mandilah dan berwudulah kalian dengan air laut tersebut, sebab air laut itu
suci dan bangkainya pun juga halal”
Berikut contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual

‫ِة َا اٍء‬ ‫ِف‬ ‫ِف‬ ‫ِف ٍع ِح ٍد‬ ‫ِم‬


‫ َو االَك ا ُر َيْأ ُك ُل ْى َس ْبَع ْمَع‬, ‫َاْلُم ْؤ ُن َيْأ ُك ُل ْى َم ى َو ا‬
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir
makan dengan tujuh usus”
BAB III
DESKRIPSI HADIS TENTANG MENYINGKIRKAN DURI DI JALAN
A. Informasi Redaksi Hadis
Untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai hadis menyingkirkan duri di

jalan, penulis menggunakan Mu’jam Mufahras li Thalab al-Ahadis al-Nabawi al-

Syarif sebagai panduan guna mengetahui secara lengkap teks hadis dan letaknya

di dalam kitab-kitab hadis mu’tabar. Sebagai langkah awal, penulis menggunakan

kata adza dan diperoleh informasi sebagai berikut:

‫خ‬.‫َبيَنَم ا َرُج ٌل َيْم ِش ي ِبَطِر يٍق ‘ َو َج َد ُغْص َن َش ْو ٍك َعَلى الَّطِر ْي ٍق َفَأَخ َذ ُه‘ َفَش َك َر الَّل ُه َله‘ َفَغَف َر َل ُه‬

3671 ‫ جه‬,4744 ‫ م‬,2292

Dari informasi diatas, diketahui bahwa terdapat dalam kitab Shahih al-

Bukhari bab perbuatan-perbuatan zalim no 2292 , Shahih Muslim bab berbakti,

menyambung tali silaturahmi dan adab no 4744, Sunan Ibnu Majah bab Adab no

3671. Hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari

‫ِض‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫َّل ِه‬


‫ َأْخ َبَر َن ا َم ا ّك ‘ َعْن ُس ّم ي‘ َعْن أ ي َص ا ِح ‘ َعْن َأ ي ُه َر ْيَر َة َر ّي‬: ‫َح دثنا َعْب ُد ال بُن ُيوُس َف‬
‫ِش ِب‬ ‫ِه‬
‫((َبيَنَم ا َرُج ٌل َيْم ي َطِر يـٍق ‘ َو َج َد ُغْص َن‬: ‫ َأَّنَر ُس وَل الَّل صلى اهلل عليــه وســلم َق اَل‬:‫الّل ُه َعْن ُه‬
38
.))‫َش ْو ٍك َعَلى الَّطِر ْيٍق َفَأَخ َذ ُه‘ َفَش َك َر الَّلُه َله‘ َفَغَف َر َلُه‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu
bahwa Rosulullah Saw bersabda,’Ada seorang laki-lakiyang sedang berjalan lalu

38
Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, Shahih Bukhari, 256 H, Juz 2,
hal. 944

28
29

menemukan ranting duri di jalan lalu diambilnya. Maka Allah memujinya dan
mengampuni (dosa-dosanya).”

2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

‫ِل‬ ‫ِهلل‬
‫ َح َّد َثَنا َش ْيَباُن َعِن اَألْع َم ِش ‘ َعْن َأِبي َص ا ٍح ‘ َعْن‬: ‫َح َّد َثَنا ُعَبْيُد ا‬:‫َح َّد َثَناُه َأُبوَبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة‬
‫((َلَق ْد َر َأْيُت َرُج اًل َيَتَق َّلُب ِفي اْلَج َّن ِة‘ ِفي‬:‫َأِبي ُه َر ْيَر َة َعِن الَّنِّي َص لى اهلل عليـ ــه وسـ ــلم َق ال‬
39
.)) ‫َش َج َر ٍة َقَطَعَه ا ِم ْن َظْه ِر الَّطِر يِق ‘ َك اَنْت ُتْؤ ِذ ي الَّناَس‬

”Abu Bakar dan Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Ubaidullah, dari
Syaiban, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari abu Hurairah bahwa nabi Saw
bersabda, “Sungguh aku melihat seorang laki-laki sedang berbahagia
disyurgakarna dia telah memotong dan menyingkirkan batang pohon ditengah
jalan yang mengganggu orang lewat.”

3. Hadis yang diriwayatka oleh Sunan Ibnu Majah

‫َح َّد َثَن ا َأُب و َبْك ِر ْبُن َأِبيِ َش ْيَبَة َو َعِلُّي ْبُن ُمَح َّم ٍد َق اَل َح َّد َثَنا َو ِكيـٌع َعْن َأَب اَن ْبَن َص ْمَعَة َعْن َأِبي‬
‫ ْلُت ا واَل لَّلِه ُدَّلِني َعَلى َع ٍل َأ َتِف ِب ِه‬: ‫اْل ا ِز ِع الـَّر ا ِس ِبِّي َع َأِبي َز َة اَأْل َلِم ِّي َق اَل‬
‫َم ْن ُع‬ ‫ُق َي َرُس‬ ‫ْس‬ ‫ْن َبْر‬ ‫َو‬
40
. ‫َقاَل اْعِز ْل اَأْلَذى َعْن َطِر يِق اْلُمْس ِلِم يَن‬

”Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin
Muhammad keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’dari Aban
bin Sham’ah dari Abu al-Wazi’ Ar-Rasibi dari Abu Barzah Al-Aslami dia
berkata: ”Saya berkata, “Wahai Rosulullah, tunjukanlah kepadaku suatu amalan
yang dapat memberiku manfaat?” beliau bersabda: “Singkirkanlah gangguan
sesuatu yang membahayakan dari jalan kaum muslimin.”

B. Deskripsi Hadis

a. Analisis Sanad Hadis

39
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, diterjemahkan oleh
Ferdinad Hasmand dkk, Ensikolpedia Hadis3, Shahih Mulim 1, Cet ke 1, 2012, hal. 575
40
Hafiz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, 207-275 H,
Juz, 2, hal. 33
30

Sanad berasal dari bahas Arab artinya penyandaraan sesuatu pada sesusatu

yang lain. Sanad sama dengan Mu’tamad berarti terpercaya atau dapat dijadikan

pegangan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis sanad berarti sislislah periwayat

hadis yang menghubungkan kepada matan hadis dari periwayat terakhir sampai

kepada Nabi Muhammad Saw.41

Dalam redaksional hadis-hadis yang menyangkut tentang hadis menyingkirkan

duri di jalan terdapat beberapa hadis yang penulis temukan. Kemudian dari hadis-

hadis ini akan di lakukan proses analisis lebih lanjut baik dari segi sanad ataupun

matan hadis, yang bertujuan untuk menggali informasi lebih tentang hadis

tersebut.42 Analisis sanad ditujukan untuk mengetahui keadaan perawi, apakah

tsiqah atau tidak. Sementara analisis terhadap matan bertujuan mengetahui

kandungan hadis, apakah sejalan dengan redaksi dalil yang lain atau bahkan

bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.43 Selanjutnya proses pemahaman

makna yang bertujuan untuk mengetahui kandungan yang terdapat didalam hadis,

hal ini yang menjadi poin penting proses analisis hadis sehingga dapat

menghasilkan pemahan yang mendalam.44

41
Muhamaad Ali, Sejarah dan Kedudukan Sanad Dalam Hadis Nabi, Vol 7, Nomer 1,
2016, hal. 52-53
42
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta, Amzah, 2014,
hal. 138
43
Mahmud At-Tahan, Usulut Takhrij Wa-Dirasatul Asanid, Terjemah, Ridlwan Nasir,
Surabaya, Bina Ilmu, 1995, hal. 97-98. Lihat Juga Hajim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta,
Penerbit Teras, 2004, hal. 13-15; Salahudin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matn Ind
Ulama’ Al-Hadits Al-Nabawi, Terjemah, Qodirun Nur, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004, hal. 7
44
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2019, hal.
3. Lihat Juga Uswatun Hasanah, Metodologi Pemahaman Hadis, Palembang, Noer Fikri, 2016,
hal. 1-2.
31

Dalam penelitian ini penulis hanya menguraikan kepada 3 hadis, yakni hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu Majah. 45 Disini

penulis hanya memfokuskan kepada 1 hadis dengan pertimbangan karena dari

ketiga hadis di atas merupakan bagaian dari Kutubusittah (enam kitab induk

hadis) dan menjadi hadis pokok dalam penelitian ini

 Hadis Jalur Periwayat Imam Bukhari

‫ِض‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫َّل ِه‬


‫ َأْخ َبَر َن ا َم ا ّك ‘ َعْن ُس ّم ي‘ َعْن أ ي َص ا ِح ‘ َعْن َأ ي ُه َر ْيَر َة َر ّي‬: ‫َح دثنا َعْب ُد ال بُن ُيوُس َف‬
‫ِش ِب‬ ‫ِه‬
‫((َبيَنَم ا َرُج ٌل َيْم ي َطِر يـٍق ‘ َو َج َد ُغْص َن‬: ‫ َأَّنَر ُس وَل الَّل صلى اهلل عليــه وســلم َق اَل‬:‫الّل ُه َعْن ُه‬
46
.))‫َش ْو ٍك َعَلى الَّطِر ْيٍق َفَأَخ َذ ُه‘ َفَش َك َر الَّلُه َله‘ َفَغَف َر َلُه‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu
bahwa Rosulullah Saw bersabda,’Ada seorang laki-lakiyang sedang berjalan lalu
menemukan ranting duri di jalan lalu diambilnya. Maka Allah memujinya dan
mengampuni (dosa-dosanya).”
Skema sanad hadis Imam Bukhari

Rosulullah Saw

Abu Hurairah

Abu Shalih

45
Ibnu Majah yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibn
Majah al-Rubay’iy al-Qazwiniy al-Hafiz dengan kunniyah Abu Abdullah. Dari hadis-hadis serta
kualitas yang dimuatnya, hal yang sangat menarik dalam kitab sunan Ibn Majah ialah zawaidnya
meskipun ada Ulama yang menilai bahwa mayoritas hadis-hadis zawaid itu berkualitas dho’if.
Umi Sumbulah, Studi Sembilan Kitab Hadis Sunni,....hal. 108
46
Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, Shahih Bukhari,… hal. 944
32

Sumayya

Malik

Abdullah bin Yusuf

Imam Bukhari

a) Abu Hurairah

Nama lengkap: Abdurrahman Ibn Sahakr

Wafat: Pada Tahun 57 H

Gurunya: Nabi Saw, Usamah bin Zaid, Bilal bin Rabbah, Abu Dzar al-

Ghifary, Salman al-Farisi, Umu Abdillah binti Abi Dzubab, Anas bin

Malik bin an-Nadr.

Muridnya: Abu Shalih as-Siman, Hafs bin 'Ashim bin Umar, Amimah al-

Jasymi, Abu Ishaq al-Hijazi, Abu Ishaq ad-Dausi.

Penilaian: Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat Abdurrahman bin Shakhr

Sahabat.47

b) Abu Shalih

Nama Lengkap: Dzakwan

Wafat: Pada Tahun 101 H

47
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VIII, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 542
33

Gurunya: Ishaq, Jabir bin Abdillah, Zadan Abu Umar al-Kindi, Sa’d bin

Abi Waqqash, Sa’id bin Jubair, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar,

Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri.

Muridnya: Ibrahim bin Abu Maimunah, Ishaq bin Abdillah bin abu

Tholhah, Sulaiman al-A’masy, kedua putranya Suhail bin Abu Shalih dan

Shalih bin Abu Shalih, Abu Bakar bin Abdurrahman.

Penilaian: Abu Zur’ah berpendapat Dzakwan Mustaqiimul Hadis

Muhammad bin Sa’d berpendapat Dzakwan Tsiqah banyak Hadisnya.

As Saaji berpendapat Dzakwan Tsiqah Shaduuq.

Al Ajli berpendapat Dzakwan Tsiqah.

Ibnu Hibban berpendapat Dzakwan disebutkan dalam ats Tsiqaat.

Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat Dzakwan Tsiqah Tsabat.

Adz Dzahabi berpendapat Dzakwan Termasuk dari Imam-Imam Tsiqah.48

c) Sumayyah

Nama Lengkap: Maula Abi Bakar bin ‘Abdurrahman bin al Harits bin

Hisyam

Wafat : Pada Tahun 130 H

Gurunya: ‘Abdurrahman bin Al-Harits, ‘Ammar bin Yasir, Abu ,Asma’

bintu Abi Bakr, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Abu Mas’ud Al-Anshari,

Naufal bin Mu’awiyah, Marwan bin Al-Hakam, ‘Abdurrahman bin

48
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz III, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, Hal, 460-461
34

Muthi’, Abu Rafi’ An-Nabawi, Asma’ bintu ‘Umais, dan lain-lain.

Muridnya: ‘Abdullah dan ‘Abdul Malik, Mujahid bin Jabr Al-Makki,

‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi, ‘Irak bin Malik,

‘Amr bin Dinar, Ibnu Syihab Az-Zuhri, ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, ‘Ikrimah

bin Khalid, ‘Ibrahim bin Muhajir, ‘Abdullah bin Ka’b Al-Himyari, ‘Abdul

Wahid bin Aiman, Al-Qasim bin Muhammad bin ‘Abdirrahman, dan yang

lainnya.

Penilaian: Ibnu Hibban berpendapat “Sumayya, maula Abi Bakar bin

‘Abdurrahman bin al Harist bin Hisyam” Tsiqah.

Abu Hatim berpendapat “Sumayya, maula Abi Bakar bin ‘Abdurrahman

bin al Harist bin Hisyam” Tsiqah.

An-Nasai’ berpendapat “Sumayya, maula Abi Bakar bin ‘Abdurrahman

bin al Harist bin Hisyam” Tsiqah.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani berpendapat “Sumayya, maula Abi Bakar bin

‘Abdurrahman bin al Harist bin Hisyam” Tsiqah.

Adz Dzahabi berpendapat “Sumayya, maula Abi Bakar bin ‘Abdurrahman

bin al Harist bin Hisyam” Tsiqah.49

d) Malik

Nama Lengkap: Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir

Wafat: Pada Tahun 179 H

49
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz III, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 223
35

Gurunya: Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al-Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-

Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadi, Abdullah bin

Dinar.

Muridnya: Ibnul Mubarak, Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu

Qasim, Al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahyah bin

Yahya al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-Auza’I,

Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as

Shami, Az Zubairi.

Penilaian: Yahya bin Ma’in berpendapat Malik bin Anas bin Malik bin

Abi Amir Tsiqah.

Muhammad bin Sa’id berpendapat Malik bin Anas bin Malik bin Abi

‘Amir Tsiqah Ma’mun.50

e) Abdullah bin Yusuf

Nama Lengap: Abdullah bin Yusuf

Wafat: Pada Tahun 219 H

Gurunya: Imam Malik bin Anas, Al-Imam Yahya bin Hamzah Al-

Hadhrami, Imam Al-Laits.

Muridnya: Imam Bukhari, Muhamad bin Ismail, Imam Yahya bin Ma’in,

Al-Imam Harmalah bin Yahya, Imam Bakr bin Sahl Ad-Dimyathi.

Penilaian: Al’Ajli berpendapat Abdullah bin Yusuf Tsiqah.

Ibnu Hibban berpendapat Abdullah bin Yusuf disebutkan dalam ‘ats

Tsiqaat.

50
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz III, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 575
36

Ibnu Hajar berpendapat Abdullah bin Yusuf Tsiqah. Adz Dzahabi

berpendapat Abdullah bin Yusuf Hafizh.51

 Hadis Jalur Periwayat Imam Muslim

‫ِل‬ ‫ِهلل‬
‫ َح َّد َثَنا َش ْيَباُن َعِن اَألْع َم ِش ‘ َعْن َأِبي َص ا ٍح ‘ َعْن‬: ‫َح َّد َثَنا ُعَبْيُد ا‬:‫َح َّد َثَناُه َأُبوَبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة‬
‫((َلَق ْد َر َأْيُت َرُج اًل َيَتَق َّلُب ِفي اْلَج َّن ِة‘ ِفي‬:‫َأِبي ُه َر ْيَر َة َعِن الَّنِّي َص لى اهلل عليـ ــه وسـ ــلم َق ال‬
52
.)) ‫َش َج َر ٍة َقَطَعَه ا ِم ْن َظْه ِر الَّطِر يِق ‘ َك اَنْت ُتْؤ ِذ ي الَّناَس‬

”Abu Bakar dan Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Ubaidullah, dari
Syaiban, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari abu Hurairah bahwa nabi Saw
bersabda, “Sungguh aku melihat seorang laki-laki sedang berbahagia disyurga
karna dia telah memotong dan menyingkirkan batang pohon ditengah jalan yang
mengganggu orang lewat.”

Skema sanad hadis Imam Muslim no 129

Rosulullah Saw

Abu Hurairah

Abu Shalih

Al-A’Masy

Syaiban

Ubaidullah

51
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VI, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 597
52
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, diterjemahkan oleh
Ferdinad Hasmand dkk…, hal 575
37

Abu Syaiban

Abu Bakar

Imam Muslim

a)Abu Hurairah

Nama lengkap: Abdurrahman Ibn Sahakr

Wafat: Pada Tahun 57 H

Gurunya: Nabi Saw, Usamah bin Zaid, Bilal bin Rabbah, Abu Dzar al-

Ghifary, Salman al-Farisi, Umu Abdillah binti Abi Dzubab, Anas bin

Malik bin an-Nadr.

Muridnya: Abu Shalih as-Siman, Hafs bin 'Ashim bin Umar, Amimah al-

Jasymi, Abu Ishaq al-Hijazi, Abu Ishaq ad-Dausi.

Penilaian: Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat Abdurrahman bin Shakhr


Sahabat53

b) Abu Shalih
Nama Lengkap: Dzakwan

Wafat: Pada Tahun 101 H

Gurunya: Ishaq, Jabir bin Abdillah, Zadan Abu Umar al-Kindi, Sa’d bin

Abi Waqqash, Sa’id bin Jubair, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar,

Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri.

53
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VIII,
Kairo, Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 542
38

Muridnya: Ibrahim bin Abu Maimunah, Ishaq bin Abdillah bin abu

Tholhah, Sulaiman al-A’masy, kedua putranya Suhail bin Abu Shalih dan

Shalih bin Abu Shalih, Abu Bakar bin Abdurrahman.

Penilaian: Abu Zur’ah berpendapat Dzakwan Mustaqiimul Hadis

Muhammad bin Sa’d berpendapat Dzakwan Tsiqah banyak Hadisnya.

As Saaji berpendapat Dzakwan Tsiqah Shaduuq.

Al Ajli berpendapat Dzakwan Tsiqah.

Ibnu Hibban berpendapat Dzakwan disebutkan dalam ats Tsiqaat.

Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat Dzakwan Tsiqah Tsabat. Adz

Dzahabi berpendapat Dzakwan Termasuk dari Imam-Imam Tsiqah.54

c) Al A’masy

Nama lengkap: Sulaiman bin Mihran

Wafat: Pada Tahun 147 H

Gurunya: Aban Ibn Abi ‘Ayyasy, Ibrahim at- Tamimi, Ibrahim an-

Nakha`i, Sa`id Ibn Jubair, Abi Wa’il Syaqiq Ibn Salamah al- Asadiy,

‘Amir asy-Sya`biy, Malik Ibn al-Haris, Dzakwan Abu Shalih.

Muridnya: Aban Ibn Tagallub, Isra’il Ibn Yunus, Ishaq Ibn Yusuf al-

Azraq, Ja`far Ibn ‘Aun, Isma`il Ibn Zakaria, Muhammad bin Khazimal-

A’ma.

Pendapat Ulama: Al ‘Ajli berpendapat Sulaiman bin Mihrah Tsiqah

Tsabat

An Nasa’i berpendapat Sulaiman bin Mihran Tsiqah Tsabat

54
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz III, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 434
39

Yahya bin Ma’in berpendapat Sulaiman bin Mihran Tsiqah

Ibnu Hibban berpendapat Sulaiman bin Mihran disebutkan dalam ‘ats

Tsiqah

Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat Sulaiman bin Mihran Tsiqah Hafidz

Ibnu Hajar al ‘Asqalani berpendapat Sulaiman bin Mihran Yudallis

Abu Hatim Ar Rozy berpendapat Sulaiman bin Mihran Tsiqah hadisnya

dijadikan hujjah55

d) Syaiban

Nama Lengkap: Syaiban bin Abdurrahman

Wafat: Pada Tahun164 H

Gurunya: ‘Amr bin Hafsh, Hafh bin ‘Aun, Ubaidillah bin Musa,

Muhammad bin Khazim al-A’ma.

Muridnya: an-Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim, as-Siraj, ath-

Thabari, Abu ‘Awwanah.

Pendapat Ulama: Yahya bin Ma'in berpendapat Syaiban bin 'Abdur

Rahman Tsiqah

Ibnu Sa'd berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Tsiqah

An Nasa'i berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Tsiqah

Al 'Ajli berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Tsiqah

Ibnu Kharasy berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Shaduuq

Abu Hatim berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Hasanul hadits

55
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VIII,
Kairo, Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 621
40

Ibnu Hibban berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman disebutkan dalam

'ats tsiqaat

Al Bazzar berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Tsiqah

Ibnu Hajar Al Atsqalani berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Tsiqah

Adz Dzahabi berpendapat Syaiban bin 'Abdur Rahman Hujjah56

e) Ubaidullah

Nama Lengkap: Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam

Wafat: Pada Tahun 213 H

Gurunya: Abi Syaibah Ibrahim ibn ‘Utsman al-‘Absiy, Ishaq ibn Ibrahim

al-Azdi, Israil ibn Yunus, Abi al-Ahwash Sallam ibn Sulaim al-Hanafi, ,

‘Abdullah bin al-Mubarak, ‘Abdullah ibn Muslim ibn Kaisan alMulaiy,

‘Abdul Rahman ibn Sulaiman ibn al-Ghasil, ‘Isa ibn Yunus, Abi Bakr ibn

‘Ayyasy, Abi Bakr al-Nahsyali.

Muridnya: Al-Bukhari, Abu Syaibah Ibrahim ibn Abi Bakr ibn Abi

Syaibah, Ibrahim ibn Ya’qub al-Juzajai, Abu ‘Amru Ahmad ibn Hazim ibn

Abi Gharazah, Ahmad ibn Sinan al-Qaththan, Ahmad ibn ‘Utsman ibn

Hakim al-Audi, Abu Bakr Ahmad ibn Muhammad ibn al-Ashfar al-

Baghdadi, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Ahmad Muhammad ibn

‘Abdullah ibn Qasim ibn Abi Bazzah alBazzi al-Muqari, Ahmad ibn

Muhammad ibn Yahya.

Pendapat Ulama: Yahya bin Ma'in berpendapat Ubaidullah bin Musa bin

Abi Al Mukhtar Badzam Tsiqah

56
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VIII,
Kairo, Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 542
41

Abu Hatim berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam

shaduuq tsiqah

Al 'Ajli berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam

Tsiqah

Ibnu Adi berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam

Tsiqah

Ibnu Hibban berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar

Badzam disebutkan dalam 'Ats Tsiqat'

Ibnu Hajar berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar Badzam

tsiqah berpemahaman syi'ah

Adz Dzahabi berpendapat Ubaidullah bin Musa bin Abi Al Mukhtar

Badzam tsiqah57

f) Abu Bakr

Nama Lengkap: Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin

‘Utsman

Wafat: Pada Tahun 235 H

Gurunya: Utsman bin Abi Syaibah dan Al-Qasim bin Abi Syaibah Adl-

Dla’if, Al-Hafidh Ibrahim bin Abi Bakr, Al-Hafidh Abu Ja’far

Muhammad bin Utsman , Abu Bakr, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih,

Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in.

Muridnya: Abul-Ahwash Sallam bin Sulaim, Abdus-salam bin Harb,

Abdullah bin Mubarak, Jarir bin Abdil Hamid, Abul-Khalid Al-Ahmar,

57
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VIII,
Kairo, Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 321
42

Sufyan bin Uyainah, Ali bin Mushir, Ibad bin Awwam, Abdullah bin Idris,

Khalaf bin Khalifah, Abdul-Aziz bin Abdish-Shamad Al-Amiyyi dan lain-

lain.

Pendapat Ulama: Ahmad bin Hambal berpendapat Abdullah bin

Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman Shaduuq

Abu Hatim berpendapat Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah

Ibrahim bin 'Utsman tsiqah58

 Hadis Jalur Periwayat Ibnu Majah

‫َح َّد َثَن ا َأُب و َبْك ِر ْبُن َأِبيِ َش ْيَبَة َو َعِلُّي ْبُن ُمَح َّم ٍد َق اَل َح َّد َثَنا َو ِكيـٌع َعْن َأَب اَن ْبَن َص ْمَعَة َعْن َأِبي‬
‫ ْلُت ا واَل لَّلِه ُدَّلِني َعَلى َع ٍل َأ َتِف ِب ِه‬: ‫اْل ا ِز ِع الـَّر ا ِس ِبِّي َع َأِبي َز َة اَأْل َلِم ِّي َق اَل‬
‫َم ْن ُع‬ ‫ُق َي َرُس‬ ‫ْس‬ ‫ْن َبْر‬ ‫َو‬
59
. ‫َقاَل اْعِز ْل اَأْلَذى َعْن َطِر يِق اْلُمْس ِلِم يَن‬

”Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin
Muhammad keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki’dari Aban
bin Sham’ah dari Abu al-Wazi’ Ar-Rasibi dari Abu Barzah Al-Aslami dia
berkata: ”Saya berkata, “Wahai Rosulullah, tunjukanlah kepadaku suatu amalan
yang dapat memberiku manfaat?” beliau bersabda: “Singkirkanlah gangguan
sesuatu yang membahayakan dari jalan kaum muslimin.”

Skema sanad hadis Ibnu Majah

Rosulullah Saw

Abu Barzah Al-Aslami

Abu Al-Wazi Ar Rasibi

58
Aban bin Sham’ah
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz III, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 213
59
Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Qaswini, Sunan Ibnu Majah,…hal. 33
43

Waki’

Ali bin Muhammad

Abu Bakar bin Abu


Syaibah

Ibnu Majah

a) Abu Barzah Al-Aslami

Nama Lengkap: Nadllah bin ‘Ubaid

Wafat: Pada Tahun 64 H

Gurunya: Nabi Saw, Imam Hasan al-Mujtaba, Yazid bin Mu’awiya,

Husain bin Ali.

Muridnya: Mughira, Abu al-Minhal sayyar bin salama, Abu al-Wazi’,

‘Abdullah bin Mutrif dan lain-lain 60

b) Abu Al Wazi’ Ar Rasibi

Nama Lengkap: Jabir bin ‘Amru

Gurunya: Nabi SAW., Khalid bin Walid, Thalhah bin Ubaidillah,

Abdullah bin Anas, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Muadz bin

Jabal, Abu Bakar Sidiq.

60
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz II, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 373
44

Muridnya: Ibrahim bin Abdillah, Ibrahim bin Abdurrahman bin Abi

Rabi’ah al-Makhzumi, Ismail bin Basyir, Abizzubair (Muhammad bin

Muslim al- Makki), Muhammad bin Munkadir.

Pendapat Ulama: Yahya bin Ma'in berpendapat Jabir bin 'Amru Tsiqah

An Nasa'i berpendapat Jabir bin 'Amru mustaqiimul hadist

Ibnu Hibban berpendapat Jabir bin 'Amru disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Jabir bin 'Amru Shaduuq Yuham

Adz Dzahabi berpendapat Jabir bin 'Amru Tsiqah61

c) Aban bin Sham’ah

Nama Lengkap: Aban bin Sham’ah

Wafat: Pada Tahun 153 H

Gurunya: Nabi Saw

Muridnya: -

Pendapat Ulama: Ahmad bin Hambal berpendapat Aban bin Sham'ah

shalih

Yahya bin Ma'in berpendapat Aban bin Sham'ah Tsiqah

Abu Hatim berpendapat Aban bin Sham'ah Shaduuq

Abu Daud berpendapat Aban bin Sham'ah "Tsiqah, aku mengingkarinya

di akhir hari-harinya"

Al 'Ajli berpendapat Aban bin Sham'ah Tsiqah

An Nasa'i berpendapat Aban bin Sham'ah Tsiqah

61
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz II, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 242
45

Al 'Uqaili berpendapat Aban bin Sham'ah "di akhir kehidupannya,

hafalannya bercampur aduk"

Ibnu Hibban berpendapat Aban bin Sham'ah disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Aban bin Sham'ah "Shaduuq, di

akhir hidup hafalannya berubah"

d) Waki’

Nama Lengkap: Waki’ bin Al Jarrah bin Malih

Wafat: Pada Tahun 196 H

Gurunya: Aban bin Sham’ah, Aban bin ‘Abdilah al-Bajaliy, Habib bin

Sulaim al-’Absiy ‘Anbasah.

Muridnya: Ibrahim bin Sa’id al-Jaihariy, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin

Abi al-Hawariy, Ahmad bin Abi Syu’aib al-Harraniy.

Pendapat Ulama: Al 'Ajli berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih

Tsiqah

Ya'kub bin Syaibah berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih Hafizh

Ibnu Sa'd berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih tsiqah ma`mun

Ibnu Hibban berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih Hafizh

Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih tsiqah

ahli ibadah

Adz Dzahabi berpendapat Waki' bin Al Jarrah bin Malih seorang tokoh62

e) Ali bin Muhammad

Nama Lengkap: Ali bin Muhammad bin Ishaq

62
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz VII, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 621
46

Wafat: Pada Tahun 233 H

Gurunya: Ibrahim bin ‘Uyaynah, Ishaq bin Sulaiman ar-Rozi, Ishaq bin

Manshur as-Saluli, Ja’far bin ‘Aun, Abu Sa’id, Abu Mu’awiyah.

Muridnya: Ibnu Majah, Ibrahim bin Sahluwiyah al-Mu’dil, Abu Qudamah

Ahmad bin Muhammad bin Sai’d al-Qusyairi.

Pendapat Ulama: Ibnu Hajar berpendapat Ali bin Muhammad bin Ishaq

Tsiqah

Abu Hatim berpendapat Ali bin Muhammad bin Ishaq tsiqah shaduq

Ibnu Hibban berpendapat Ali bin Muhammad bin Ishaq disebutkan dalam

'ats tsiqaat63

f) Abu Bakar bin Syaiban

Nama Lengkap: Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaiban Ibrahim bin

‘Utsman

Wafat: Pada Tahun 235 H

Gurunya: Utsman bin Abi Syaibah, Al-Qasim bin Abi Syaibah Adl-Dla’if,

Al-Hafizh Ibrahim bin Abi Bakr, Al-Hafidh Abu Ja’far Muhammad bin

‘Utsman, Abu Bakr, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin

Ma’in.

Muridnya: Abul-Ahwash Sallam bin Sulaim, Abdus-salam bin Harb,

Abdullah bin Mubarak, Jarir bin Abdil Hamid, Abul-Khalid Al-Ahmar,

Sufyan bin Uyainah, Ali bin Mushir, Ibad bin Awwam, Abdullah bin Idris,

63
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz II, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 741
47

Khalaf bin Khalifah, Abdul-Aziz bin Abdish-Shamad Al-Amiyyi dan lain-

lain.

Pendapat Ulama: Ahmad bin Hambal berpendapat Abdullah bin

Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman Shaduuq

Abu Hatim berpendapat Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah

Ibrahim bin 'Utsman tsiqah64

b. Analisis Matan Hadis

1. Analisis Susunan/ Bunyi Lafaz

Selain penilaian sanad yang menjadi pondasi dalam analisis hadis terkait

tentang hadis menyingkirkan duri di jalan, peneliti juga melakukan analisis matan

hadis yang bertujuan untuk memberikan keterangan tentang hadis-hadis yang

telah dijelaskan. Analisis matan ditujukan untuk membedah dan mencari tahu

makna dan isi kandungan yang terdapat dalam hadis yang diteliti tersebut.65

Matan hadis berisikan konsep ajaran Islam yang tertuang dalam sabda Nabi

Saw kemudian kandungan tersebut disalurkan melalui para periwayat hadis,

namun isi kandungan yang disampaikan oleh para periwayat ini belum tentu

sejalan atau semakna dengan hal-hal yang menjadi syarat kaidah analisis matan

hadis.66

64
Abu Fadl Ahmad bin Ali Hajar al Asqalani al Syfi’i, Tahdzibu Tahdzib, Juz II, Kairo,
Dar al-Hadis, 773H-852H, hal, 372
65
Hajim Abbas, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta, Penerbitteras, 2004, hal. 15-16
66
Shalahudin bin Muhammad al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadis Al-
Nabawi, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004, hal. 3-4
48

‫ُغ َش ٍك‬
Hadis ini menjelaskan bahwa Abu Hurairah menggunakan lafaz ‫ْص َن ْو‬

(ranting berduri). Sementara dari riwayat muslim menggunakan lafaz ‫ ش ــجرة‬.

Hadis tersebut menjelakan perbuat yang sedikir namun menghasilkan pahala yang

banyak. Maka dapat disimpulan bahwa hadis tersebut ialah satu makna, apa saja

yang mengganggu orang yang di jalan baik berupa duri, pohon, dll.67

Pembahasan hadis tentang menyingkirkan duri di jalan analisis matan

dilakukan dengan melihat beberapa aspek seperti tidak terjadinya syaz, tidak

bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, tidak illat dan lain-lain. Dijelaskan

lebih lanjut proses analisis matan tentang hadis menyingkirkan duri di jalan.

2. Analisis Kualitas Hadis

Dalam memahami proses analisis hadis tentang menyingkirkan duri di jalan

penulis akan menggunakan metode kualitas hadis yang dipaparkan yang

dipaparkan oleh Yusuf al-Qardhawi.68 Hanya saja dalam penerapannya,penulis

akan menggunakan 4 dari 8 langkah pemahan. Karena penulis hanya menemukan

ini saja dalam melakukan analisis tersebut:

 Menilai Hadis Dengan Sesuai Petunjuk Al-Qur’an

Memahami hadis dengan sesuai petunjuk Al-Qur’an atau menggali lebih jauh

persoalan tentang tidak adanya pertentangan antara hadis dan Al-Qur’an sebagai

67
Ahmad bin Ali bin Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari,
773-852 H, Juz 5, hal. 70-71
68
Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis As Sunah Kaifa Nata’malu Ma’as Sunnat In
Nabawiyah, Terjemah, Abu Bakar, Bandung, Trigenda Karya, 1995, hal. 96.
49

sumber pokok utama dalam penilaian matan. Hal ini tertuang didalam Al-Qur’an

sebagai berikut: Ayat Al-Qur’an Surat Al- Maidah ayat 2:

‫ِا‬
‫َو َتَع ا َو ُنْو ا َعَلى اْلِبِّر َو الَّتْق وى َو اَل َتَع ا َو ُنْو ا َعَلى اِاْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن َو اَّتُق وااَهلل َّن اَهلل َش ِد ْيُد‬

‫اْلِعَق اِب‬

“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan


jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaannya.”

Ayat diatas memerintahkan kepada umat Islam agar mereka selalu berlaku adil
kepada siapapun dan dimanapun mereka berada, sebab siapapun berhak
mendapatkan keadilan, baik muslim maupun non muslim. Perintah berbuat adil
kepada siapapun ini kemudian dihubungkan dengan perintah untuk saling tolong
menolong dalam kebaikan dan taqwa. Tolong menolong dalam ayat ini yang
dihubungkan dengan taqwa mengandung isyarat bahwa dengan bertaqwa,
seseorang akan mendapatkan ridha/kerelaan Allah, dan dengan tolong menolong
dalam kebaikan, seseorang akan mendapatkan kebaikan ridha/kerelaan dari
manusia. Siapapun yang akan mendapatkan kedua ridha ini, maka ia akan
memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan yang sempurna. Dengan demikian
hadis menyingkirkan duri di jalan tersebut selaras dengan karena menyingkirkan
duri di jalan termasuk bagian dari tolong menolong.

 Mengumpulkan Hadis yang Satu Tema

Hal ini sudah penulis laksankan dalam bahasan sebelumnya yang mana

terdapat beberapa hadis yang setema. Hadis-hadis tersebut di ambil dari kitab-

kitab hadis yang mahsyur dan memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara
50

kitab induk hadis lainnya, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim Dan Sunan Ibnu

Majah

 Memahami Hadis Berdasarkan Latar Belakang Periwayat Hadis

Terdapat dua hadis yang menjadi pokok bahasan kali ini yakni hadis yang

diriwayatkan oleh, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah dengan konteks

sanad dan matan yang sedikit berbeda. Dalam penelitian lebih lanjut perlu

dilihatnya konteks turunnya sebuah hadis (asbab wurud), yang mana dari hadis-

hadis ini memiliki proses yang berbeda turunnya.

Hadis-hadis yang disebutkan dalam bab ini, jelas menjelaskan keutamaan

menghilangkan gangguan dari jalan, apakah itu berupa pohon yang mengganggu,

ranting berduri, batu yang dapat membuat tergelincir, kotoran, paku yang dapat

menusuk ban kendaraan serta hal hal yang membahayakan. Menghilangkan

gangguan dari jalan termasuk salah satu cabang keimanan sebagaimana yang

dijelaskan dalam sebuah hadis shahih.

Hadis-hadis tersebuat juga menjelaskan tentang keutamaan semua amal yang

bermanfaat bagi kaum muslimin, dan semua amalan yang dapat menghilankan

bahaya dari diri mereka. Sedangkan hadis yang diriwayatkan Oleh Ibnu Majah

penulis tidak menemukan Asbabul Wurud turunnya hadis tersebut.

 Memahami Kata Kalimat Dari Hadis

Adapun langkah selanjutnya yaitu dengan memahami hubungan makna kata

perkata yang terdapat masing-masing hadis.


51

‫َر َأْيُت َرُج اًل َيَتَق َّلُب ِفي اْلَج َّنِةِفى َش َج َر ٍة َقَطَعَه ا ِم ْن َظْه ِر الَّطِر ْيِق َك اَنْت ُتْؤ ِذ ى الَّناِس‬.1

Teks matan hadis di atas terdapat dari kitab hadis Imam Bukhari, Imam

Muslim dan Ibnu Majah. Yang mana dari kedua hadis tersebut memerintahkan

untuk menyingkirkan duri di jalan.‫ســوك‬ ‫( غصــن‬ranting berduri). ‫َيَتَق َّلُب‬ ‫َر َأْيُت َرُج اًل‬

‫ ِفي اْلَج َّن ِة َقَطَعَه ا ِم ْن َظْه ِر الَّطِر ْي ِق‬kata ini berartikan “Aku melihat seorang lelaki

sedang bergulingan di syurga karena sebuah pohon yang dipotongnya (di

hilangkang dari, tengah jalan). Dalam riwayat Ibnu Majah penulis tidak

menemukan adanya asbawul wurut.


BAB IV

ANALISIS KONTEKSTUALISASI HADIS TENTANG

MENYINGKIRKAN DURI DI JALAN

A. Kepedulian Sosial Dalam Bingkai Islam

Kepedulian marupakan salah satu bentuk tindakan nyata, yang dilakukan

oleh masyarakat dalam merespon suatu permasalahan. Dalam (Kamus Besar

Bahasa Indonesia) kepedulian juga merupakan partisipasi atau keikutsertaan.

Kepedulian sosial merupakan sebuah sikap keterhubungan dengan manusia pada

umumnya, sebuah empati bagi setiap anggota manusia untuk membantu orang

lain atau sesama.69

Kata peduli memiliki makna yang beragam. Oleh karena itu kepedulian

juga berkaitan dengan tugas, peran, dan hubungan. Kata peduli juga behubungan

dengan pribadi, emosi dan kebutuhan. Kepedulian sosial adalah sebuah minat atau

suatu rasa ketertarikan dimana kita ingin bisa membantu dan menolong orang lain.

Kepedulian sosial adalah sebuah minat atau suatu rasa ketertarikan dimana

kita ingin bias membantu dan menolong orang lain. Disamping itu kepedulian

sosial dapat pula dikatakan sebagai sikap memperhatikan kondisi orang lain.

Kepedulian sosial merupakan suatu nilai penting yang harus dimiliki seseorang

karena kepedulian itu sendiri berkaitan erat dengan nilai kejujuran, kasih saying,

kerendahan hati, keramahan serta kebaikan dimana beberapa hal tersebut

sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Memiliki sikap pedulii sosial


69
W.J.S Poewadarmintra, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1980,
hal. 32

51
52

memang sulit dan dibutuhkan usaha tertentu untuk benar-benar bisa memilikinya

yakni suatu tingkat dimana seseorang itu dapat benar-benar memiliki kepedulian

sosial dan dapat mengaplikasikannya terhadap orang lain. Karena itu berjiwa

sosial dan senang membantu merupakan sebuah ajaran yang universal.

Salah satu contoh yang penulis teliti dalam penelitian ini yaitu hadis

menyingkirkan duri di jalan:

‫ِض‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫َّل ِه‬


‫ َأْخ َبَر َن ا َم ا ّك ‘ َعْن ُس ّم ي‘ َعْن أ ي َص ا ِح ‘ َعْن َأ ي ُه َر ْيَر َة َر ّي‬: ‫َح دثنا َعْب ُد ال بُن ُيوُس َف‬
‫ِش ِب‬ ‫ِه‬
‫((َبيَنَم ا َرُج ٌل َيْم ي َطِر يـٍق ‘ َو َج َد ُغْص َن‬: ‫ َأَّنَر ُس وَل الَّل صلى اهلل عليــه وســلم َق اَل‬:‫الّل ُه َعْن ُه‬
70
.))‫َش ْو ٍك َعَلى الَّطِر ْيٍق َفَأَخ َذ ُه‘ َفَش َك َر الَّلُه َله‘ َفَغَف َر َلُه‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada
kami Malik dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu
bahwa Rosulullah Saw bersabda,’Ada seorang laki-lakiyang sedang berjalan lalu
menemukan ranting duri di jalan lalu diambilnya. Maka Allah memujinya dan
mengampuni (dosa-dosanya).”
Dari penjelasan hadis di atas adalah menyingkirkan duri di jalan termasuk

dalam sikap kepedulian, bagai mana agar orang beriman agar selalu peduli dengan

kelancaran perjalanan orang. Bagaimana memperlancar bahkan membuat aman

dan nyaman orang lain dalam perjalanan. Oleh karena itu rasa peduli dan sikap

kepedulian seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada di

sekelilingnya, dan kondisi lingkungan terdekatlah yang sangat mempengaruhi

tingkat kepedulian yang dimiliki seseorang.

Lingkungan terdekat itu adalah keluarga, teman-teman, dan lingkungan

tempat seseorang hidup dan tumbuh besar. Karena orang-orang demikianlah

seseorang dapat belajar banyak hal dan mendapat nilai-nilai tentang kepedulian
70
Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, Shahih Bukhari,… hal. 944
53

sosial yang harus ada dalam dirinya. 71 Nilai-nilai yang tertanam dari apa yang

didapatkan itulah yang nantinya akan menjadi suara hati dan mendorong dirinya

untuk selalu membantu dan menjaga sesama. 72 Dan faktor paling utama adalah

dari lingkungan keluarga yang sangat berpengaruh besar untuk tingkat kepedulian

sosial yang nantinya akan dimiliki seseorang. Bagaimana cara kedua orang tua

mengajarkan anaknya untuk memiliki jiwa peduli, yang nantinya akan menjadikan

seorang anak tersebut memiliki nilai kepedulian sosial yang tinggi.

Berjiwa sosial dan senang membantu merupakan sebuah ajaran yang

universal dan dianjurkan oleh semua agama. 73 Meski begitu, kepekaan untuk

melakukan semua itu tidak bisa tumbuh dengan mudah begitu saja pada diri setiap

orang karena membutuhkan proses melatih dan mendidik. Memiliki jiwa peduli

terhadap sesama sangat penting bagi setiap orang karena kita tidak bisa hidup

sendirian di dunia ini. Faktor lingkungan tentunya sangat berpengaruh dalam

proses menumbuhkan jiwa kepedulian sosial. Lingkungan terdekat seperti

keluarga, teman-teman, dan lingkungan masyarakat tempat dimana seseorang

tumbuh dan bersosialisasi sangat berpengaruh besar dalam menentukan tingkat

kepedulian sosial. Semua nilai-nilai tentang kepedulian sosial kita dapatkan

melalui lingkungan.74 Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk

mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan

permasalahan yang di hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.
71
Yefni dkk, Pengembangan Masyarakat Islam, Yogyakarta: Pandiva Buku, 2014, hal.
45- 46
72
Momon Sudarma. Sosiologi Kmunikasi, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), hal 62
73
Hanurawan Fattah, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010, hal. 65
74
Dodiet Aditya Setiawan, Konsep Dasar Masyarakat, MK Askep Komunitas II. 2012.
hal 2
54

Nilai-nilai yang tertanam itulah yang nanti akan menjadi suara hati kita untuk

selalu membantu dan menjaga sesama.

Aristoteles seorang ahli filsafat kuno menyatakan dalam ajarannya bahwa

manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada

dasarnya selalu ingin bergaul dengan masyarakat. Karena sifatnya yang ingin

bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.

Manusia sebagai individu (perorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang

menyendiri, namun sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia terjadi dalam

masyarakat.75 Manusia adalah makhluk sosial, menyukai kebersamaan dan

persaudaraan, senang berkumpul dan bergaul dengan sesamanya, suka ditemani

dan merasa tenang jika didekati. Manusia juga takut menyendiri dan kesendirian,

benci perpisahan dan keterasingan, merasa bahagia jika disenangi, senang jika

diterima, gembira bila dihormati dan diberi haknya.76

Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup

dengan manusia lain (masyarakat). Ia tidak dapat merealisasikan potensi hanya

dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal

tersebut termasuk dalam hal mencukupi kebutuhannya. Dalam hal ini manusia

akan dihadapkan dengan kelompok sosial pertamanya di masyarakat yakni

keluarga, di keluarga inilah manusia menemukan kodratnya sebagai makhluk

75
Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta Timur: PT Bumi
Aksara, 2015, hal 44
76
Abdul Aziz Al-Fauzan FIKIH SOSIAL Tuntunan dan Etika Hidup
Bermasyarakat ,Jakarta Timur: Qisthi Press, 2007, judul asli Fiqh At-Ta’amul Ma’a an-Nas, hal
322
55

sosial karena di lingkungan inilah ia pertama kali berinteraksi. Kemudian

kelompok sosial berikutnya adalah pertemanan, pergaulan, teman kerja, dan

masyarakat luas. Seterusnya sampai kapanpun manusia akan selalu hidup dalam

lingkungan sosial dan kelompok sosial karena manusia tidak akan bertahan hidup

tanpa ada hubungan sosial dengan manusia lainnya. 77 Selanjutnya manusia akan

cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia

lainnya. Walaupun seseorang itu mempunyai kekakayaan dan kedudukan, ia akan

selalu membutuhkan orang lainnya.78

Dapat dilihat dari kodratnya seorang manusia diciptakan Tuhan untuk

hidup sebagai makhluk sosial, yang berarti setiap manusia dapat melakukan

interaksi dengan orang lain. Sebuah interaksi dilakukan ketika masing-masing

individunya memiliki kepedulian untuk saling mengerti satu sama lain dengan apa

yang mereka komunikasikan, sehingga dari pengertian diatas menjelaskan bahwa

kepedulian sosial sangatlah dibutuhkan dalam melakukan interaksi terhadap orang

lain. Agar kita dapat senantiasa mengerti dan memahami apa yang dirasakan

seseorang dan dapat membantunya sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Fitrah

manusia untuk melakukan interaksi sosial dipicu oleh dorongan-dorongan

kepentingan dan kebutuhan manusia terhadap satu sama lainnya. Seorang manusia

tidak bisa hidup layak hanya bermodalkan dirinya sendiri atau bermodalkan

kerjasama sebatas keluarga kecilnya. Kebutuhan terhadap berbagai macam benda

dan berbagai macam bantuan memerlukan adanya kerjasama yang lebih luas

77
Herimanto dan Winarno…, hal. 47
78
Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2012, hal 55
56

antara satu individu dengan individu yang lainnya. Kebutuhan terhadap kerjasama

sosial itu mengharuskan terjadinya interaksi dan pembauran di antara sesama

manusia.79

Dari pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa kehidupan sosial bagi

manusia mempunyai pengaruh yang besar bagi keberlanjutan hidupnya. Maka

dalam upaya menjaga kestabilan hidupnya manusia harus senantiasa bersosialisasi

dengan manusia lainnya. Adakalanya ketika seseorang membutuhkan bantuan

orang lainnya, maka orang lain dapat membantu dan begitupun sebaliknya.

Dalam Islam dikenal istilah Fadhail al-A’mal yang berarti amalan yang

dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mendekatkan diri kepada-

Nya. Fadhail al-A’mal terbagi kedalam dua bentuk yakni Fadhail al-A’mal dalam

bidang ibadah dan Fadhail al-A’mal dalam bidang mu’amalah.80 Fadhail al-A’mal

dalam ibadah lebih dispesifikasikan kedalam bentuk ibadah seperti shalat dan

puasa sunah. Fadhail al-A’mal dalam bidang mu’amalah memiliki cakupan yang

sangat luas yaitu meliputi segala perbuatan baik antarsesama manusia. Prinsip

yang digunakan adalah “segala perbuatan baik dianjurkan dan segala perbuatan

jahat dicegah”. Perbuatan baik atau Fadhail al-A’mal dalam mu’amalah tidak

terbatas pada hubungan pribadi dan masyarakat saja, tetapi juga dalam hubungan

dengan negara. Contoh Fadhail al-A’mal dalam hubungan pribadi dan masyarakat

adalah saling membantu dalam kesulitan (misalnya: yang kaya membantu yang

miskin, yang berilmu membantu yang tidak berilmu). Adapun contoh Fadhail al-

79
Said Agil Husin al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press,
2003, hal 88
80
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo, 1994, hal. 65.
57

A’mal dalam hubungan dengan negara misalnya tidak merusak fasilitas umum

yang disedikan negara. Fadhail al-A’mal juga terdapat dalam bidang akhlak yang

meliputi husnuzhan antar sesama, berkata jujur, tidak sombong, saling memberi

salam, saling mendoakan dan saling memaafkan. 81 Berdasarkan penjelasan diatas

bisa ditarik kesimpulan bahwa kepedulian sosial dalam Islam dikenal dengan

istilah Fadhail al-A’mal bidang mu’amalah. Fadhail al-A’mal akan memiliki nilai

ibadah jika dilakukan dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah dan

mengikuti sunah Rasulullah. Namun jika Fadhail al-A’mal dilakukan karena ria

maka Fadhāil al-A’māl tersebut tidak memiliki nilai.82

Didalam al-Qur’an wujud kepedulian sosial masih bersifat global, al-

Quran menggunakan istilah, ‫البّر‬dan ‫اإلحسان‬dalam menyebutkan perilaku yang

harus dilakukan seseorang terhadap orang lain. Berikut akan dijelaskan masing-

masing kosakatanya:

a) Kata (al-Birr), ‫ البّر‬diartikan sebagai kebajikan atau kebajikan yang luas.

Menurut Thahir Ibn Asyur kata tersebut mencakup kebajikan dalam beribadah

kepada Allah, kebajikan dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam

melakukan interaksi dengan orang lain. 83 Kata al-Birr juga ada kaitannya dengan

infak, kerjasama, dan Taqwa. Hal inilah mengapa al-Birr akan menjadi sia-sia jika

tidak dibarengi dengan tiga pola perilaku tersebut.

81
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hal. 101
82
Yasri Yazid dan Soim Muhammad, Dakwah dan Pengembangan Masyarakat, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016, Cet 1. hal 31
83
Asep Usman Ismail, Alqur’an dan kesejahteraan Sosial, Tanggerang: Lentera Hati,
2012, hal. 126
58

b) Kata (al-Ihsan) ‫ اإلحسان‬menurut al-Raghib al-Ashfahani mengandung dua

pengertian. Pertama, adalah memberikan kenikmatan terhadap orang lain. Kedua,

seseorang melakukan perbuatannya dengan sebaik-baiknya. Kata al-Ihsan juga

berarti semua sikap dan perbuatan baik yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi bisa

disimpulkan bahwa al-Ihsan adalah melakukan suatu perbuatan sebaik mungkin

dan dipersembahkan bagi kepentingan dan kebaikan orang lain. Sebagai contoh

adalah sikap bijaksana, suka menolong, menghargai orang lain, berkorban demi

kepentingan umum dan lain sebagainya.

Rasulullah pernah ditanya tentang pengertian al- Ihsan, beliau lantas

menjawab “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya

meskipun engkau memang benar-benar tidak sanggup melihat-Nya”.

Dalam sabda Rasulullah bisa di ambil penjelasan bahwa ada keimanan

yang tertanam kokoh pada kalbu hingga sesaeorang itu merasakan akan hadirnya

Allah Swt dan menyaksikan tingkah lakunya sehingga ia akan mengorientasikan

perilakunya tersebut kepada al- Ihsan.84 Pada waktu yang sama pula akan muncul

motivasi untuk berbagi dan peduli terhadap sesama manusia yakni dengan

memberikan kenikmatan terhadap pihak lain guna meningkatkan kualitas hidup

mereka.

Lebih jauh lagi alquran menjelaskan bagaimana seharusnya seorang

muslim bertingkah laku terhadap sesamanya dengan mencontoh kepada nabi

Muhammad. alquran mengajarkan hal-hal berikut: tidak mencemooh orang lain;

tidak mencela orang lain; tidak berburuk sangka; dan tidak mencaricari kesalahan

84
Asep Usman Ismail..., hal. 136
59

orang lain.85 Termasuk rahmat Allah menjadikan seluruh hambanya yang mukmin

bersaudara dan saling mencintai, bersatu dan bekerjasama, saling menolong,

saling berhubungan dan saling berbelas kasihan. Ini tertera dalam QS Al-

Hujuraat/49: 11

‫اَل ِن ۤا ِّم ِّن ۤاٍء‬ ‫ٍم ٰٓس‬ ‫َّل ِذ‬


‫َاُّيَه ا ا ْيَن ٰاَم ُنْو ا اَل َيْس َخ ْر َقْو ٌم ِّم ْن َقْو َع ى َاْن َّيُك ْو ُنْو ا َخ ْيًر ا ِّمْنُه ْم َو َس ٌء ْن َس‬
‫ٰٓي‬

‫َّۚن‬
‫َعٰٓس ى َاْن َّيُك َّن َخ ْيًر ا ِّمْنُه َو اَل َتْلِم ُز ْٓو ا َاْنُفَس ُك ْم َو اَل َتَن اَبُزْو ا ِباَاْلْلَق اِۗب ِبْئَس ااِل ْس ُم اْلُفُس ْو ُق‬

‫َبْع َد اِاْل ْيَم اِۚن َو َمْن َّلْم َيُتْب َفُاوٰۤلِٕى َك ُه ُم الّٰظِلُمْو َن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki


merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
(QS. Al-Hujuraat: 11)
Islam telah meletakkan aturan-aturan dan norma-norma tersendiri bagi

kehidupan bermasyarakat yang dibungkus dengan kasih sayang dan

keramahtamahan, direkatkan oeh kebersamaan, dibangun oleh saling tolong

menolong dalam kebaikan dan takwa dan saling mencegah dari dosa dan

permusushan.86 Aturan itu juga didasarkan pada kesadaran setiap muslim untuk

melaksanakan kewajibannya dalam berinteraksi dan bersilaturahmi dengan

sesamanya.87

85
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015, hal. 54-55
86
Abdul Aziz Al-Fauzan..., hal. 300
87
Harahap, Syahrin, Islam Konsep Dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: Tiara
Wacana , 1999, hal. 41
60

Islam mengajak seluruh manusia untuk bersikap baik bagi kepentingan

masyarakat, bertetangga, dan bahkan bernegara. Tidak dibenarkan saling melukai

hati, saling berbuat sewenang-wenang, dan saling mencemooh satu sama lain.

Dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya si sakit ditengok, saling tolong

menolong, saling menjaga ucapan dan perbuatan, menjaga pergaulan, melawat

yang mati sampai dikuburkan, dan dimohonkan ampunan kepada Allah. Lebih

lanjut lagi Islam mengajarkan kita supaya memperhatikan nasib si fakir,

melindungi dan memelihara anak yatim, tidak boros membelanjakan harta dan

lain sebagainnya. Ha-hal diatas pada intinya meminta supaya pemeluk Islam

untuk hidup baik dalam kehidupan sosial.88 Dalam hubungannya dengan sesama,

seseorang muslim mempunyai kewajiban untuk saling peduli. Seperti dengan

saling tolong menolong, mengasihi, bersedekah, dan lain sebagainya.

Dapat kita pahami bersama bahwa sedekah merupakan suatu bentuk

kepedulian sosial. Karna dalam sedekah mendidik kita untuk saling memberi,

menolong, dan mengasihi sesama. Dalam islam, tentu sangat dianjurkan untuk

peduli terhadap sesama sebagai salah satu wujud habluminallah, yang salah satu

bentuknya adalah sedekah.

Macam-Macam Kepedulian Sosial diantaranya adalah sebagai berikut:

Menunjukkan kebaikan, Rukun dengan tetangga, Menghormati yang lebih tua

dan, sayang kepada yang muda, Menolong orang sakit, Membantu orang yang

membutuhkan pertolongan, Simpati kepada yang lemah. Lebih dari itu seseorang

harus menghargai batas hak orang lain, seperti haknya sendiri. Harus dipenuhi
88
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1996, hal
216
61

dengan pikiran-pikiran konstruktif dan tuntutan yang serius. Hatinya harus

dipenuhi dengan rasa kasih sayang dan kehendak baik. 89 Jiwanya harus disirami

dengan kedamaian dan ketenangan (budi bahasanya dan nasihatnya harus pasti

dan meyakinkan).

B. Kiat-Kiat Menumbuhkan Kepedulian Sosial

Sikap peduli pada orang lain (kepedulian sosial) awalnya tumbuh dari sikap

peduli pada diri sendiri. Selanjutnya kepedulian sosial ini akan meluas kepada

orang lain disekitarnya. Cara menumbuhkembangkan kepedulian sosial antara

lain: Pertama, dimulai dari cara menumbuhkan sikap kepedulian terhadap diri

sendiri. Peduli terhadap diri sendiri bukan berarti bersikap egois, melainkan anak

diajarkan untuk peduli kepada kebutuhan hidup dirinya sendiri. 90 Contohnya, anak

diajarkan menjaga kebersihan tubuhnya dengan cara mandi, menyikat gigi,

berpakaian, makan tiga kali sehari, dan sebagainya. Hal itu merupakan wujud

kepedulian orang tua terhadap anak sehingga anak merasa dipedulikan dan

akhirnya akan ikut peduli pada diri sendiri dan orang lain. Sewaktu-waktu anak

akan mengingatkan orang tuanya untuk tidak lupa menjaga kebersihan.

Kepedulian anak akan terlihat dalam interaksinya dengan orang lain. Dengan

kepedulian terhadap dirinya sendiri, anak akan belajar bertanggung jawab pada

diri sendiri. Anak juga dapat mengetahui sentuhan yang baik dan sentuhan yang

buruk, sehingga tidak mengalami pelecehan seksual.

89
Thoyib IM dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002, hal 58
90
Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya dasar, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 66
62

Kedua, peduli terhadap anggota keluarga lain (kakak atau adik). Ada

beberapa hal yang harus diajarkan pada anak untuk menanamkan rasa kepedulian

anak pada keluarga lain yaitu mengekspresikan kasih sayang. Anak diminta untuk

mencium adiknya dalam gendongan, mencium ayah dan ibunya sebelum

berangkat sekolah atau sebelum tidur, dan memeluk kakaknya yang akan

berangkat sekolah. Anak juga harus dilibatkan dalam kegiatan mengurus adiknya,

memintanya untuk menemani adiknya bermain, memberi tahu ayah atau ibunya

jika adik menangis, tidak merepotkan ayah dan ibunya jika kakak atau adiknya

sakit. Selain mengekspresikan rasa kasih saying, sikap berbagi juga perlu

ditanamkan pada anak. Sebagai orang tua sebaiknya anak diingatkan untuk saling

berbagi. Jika anak memiliki makanan dan minuman, sedangkan kakak atau

adiknya meminta sedikit, orang tu hendaknya meminta anak tersebut untuk

membaginya. Begitu pula dengan hal yang lain. Anak juga harus dibiasakan

berkata dan bersikap baik dengan cara orang tua memberi contoh dalam

keseharian menggunakan kata- kata sakti "sakti" yaitu maaf, tolong, dan terima

kasih. Kata- kata tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi saling

menghargai dan menghormati. Kepedulian anak pada. kakak maupun adiknya,

membuatnya belajar bagaimana bersikap menyayangi, menghormati, dan

menghargai orang lain. Anak juga belajar membangun empati. 91 Kebahagiaan

akan dirasakan oleh anak karena sikap baik terhadap kakak atau adik

membuahkan respon yang baik pula dari mereka.

91
Bambang Ruksmono, dkk, Pendidikan Budi Pekerti : Membangun Karakter dan
Kepribadian Anak, cet. Ke I, Jakarta: PT. Gramedia WidiasaranaIndonesia, 2008, hal. 42
63

Ketiga, peduli terhadap orang tua. Sikap anak pada orang tua bisa saja

merupakan pantulan dari sikap orang tua terhadap anaknya. Semakin peduli sikap

orang tua terhadap anaknya, maka nak akan tumbuh dengan kepedulian yang

dicurahkan kembali pada ayah dan ibunya. Orang tua dapat melakukannya dengan

memulai memberikan ekspresi saying berupa, pelukan, elusan. perkataan yang

lemah lembut, perhatian yang tulus, dan kesediaan untuk selalu membantu anak

menjadi mandiri.92 Anak yang peduli terhadap orang tua akan menunjukkan sikap

menghargai, menghormati, dan menyayangi orang tuanya, serta memiliki pribadi

yang hangat karena anak akan merasa selalu diterima dalam keluarganya. Selain

itu, anak akan membangun kedekatan dan komunikasi yang lebih baik dengan

orang tuanya dimasa depan. Allah berfirman dalam QS. Lukman:14

"Dan kami amanatkan kepada semua manusia terhadap kedua ibu bapaknya,

ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan menyapihnya dalam dua

tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua ibu bapakmu. Kepada-KU-lah

kembalimu."

Keempat, sikap peduli terhadap teman. Bentuk kepedulian terhadap saudara

sebagiab dapat diterapkan untuk mengajarkan kepedulian terhadap teman. Hal

penting yang harus diingat adalah kentalnya sifat egosentris pada anak usia

prasekolah adalah kesediaan untuk berbagi, bergantian, dan menunggu giliran.

Kepedulian juga meliputi tata karma dalam meminjam dan mengembalikan

barang yang dipinjam. Sikap menjaga perasaan teman dengan cara bertutur kata

sopan, tidak membentak, tidak mengejek, dan tidak memukul. Pengertian dapat
92
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2014,
hal. 141
64

dicontohkan dengan bagaimana jika anak (dirinya) dikasari. Sehingga anak dapat

menilai sendiri suatu perbuatan itu baik atau buruk.93

C. Penerapan Kontekstualisasi Hadis Menyingkirkan Duri di Jalan Pada

Zaman Sekarang

Adapun kontekstual berasal dari kata konteks, yaitu bagian suatu uraian atau

kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna atau situasi yang

ada hubungan dengan suatu kejadian.94 Pemahaman kontekstual berarti

memahami suatu teks dengan memperhatikan indikasi-indikasi makna lain selain

makna terkstual. Syuhudi Ismail menyimpulkan kontekstual dengan pengertian

pemahaman makna yang terkandung pada nash. Dalam kitab ‘Umdah al-Qari fi

Sahih al-Bukhari disebutkan bahwa keutamaan menghilangkan rintangan di jalan

adalah merupakan bagian terendah dari keimanan. Apabila Allah memuji dan

mengampuni seorang hamba hanya karena menghilangkan sepotong duri di jalan,

maka tidak diketahui lagi kemuliaan dan pahala seperti apa yang akan diterimanya

jika melakukan lebih dari itu.95

Al-‘Usaimin menyatakan bahwa menghilangkan rintangan di jalan merupakan

sedekah, maka dapat dikiyaskan kebalikannya, yaitu meletakkan rintangan di jalan

merupakan suatu kejahatan (dosa) dan merugikan.96 Beliau kemudian merinci hal-

hal apa saja yang termasuk dalam jenis rintangan di jalan. Mengawali

93
Yan Purnama, Sosiologi Masyarakat Sosial, (Malang: Media Nusa Creative, 2021), hal.
64-66
94
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Cetakan pertama edisi IV, hal. 728
95
Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Gaitabi al
Hanafi, ‘Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz V, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas, al-‘Arabi, t.th,
hal. 172
96
Muhammad bin Salih bin Muhammad al-‘Usaimin, Syarh al-Arba‘in al-Nawawiyah,
t.t: Dar al-Sariyya li al-Nasyr, t.th, hal. 266
65

penjelasannya, beliau menyatakan bahwa Allah swt. telah menerangkan kepada

Nabi saw. perihal perbuatan-perbuatan umat manusia mana saja yang termasuk

kategori baik dan buruk. Di antara perbuatan manusia yang masuk dalam kategori

kebaikan adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Adapun makna

menyingkirkan yang beliau maksud adalah menghilangkan. Sedangkan makna

rintangan adalah apa saja yang menyusahkan pengguna jalan berupa duri, dahan

kayu, batu, kaca (beling), kotoran dan sebagainya.97

Ulama yang hidup pada masa sebelum masa modern seperti Ibn Battal (w.

494) dan al- Suyuti (849-911 H/1445-1505 M) dan al-Muzhiri menjelaskan bahwa

kata al-aza itu bermakna duri di jalan, batu, sampah, air atau cairan yang dapat

merusak jalanan, tulang, dahan pohon, lubang di jalan, kulit semangka, buang air

besar atau air kecil.98

Kemudian ulama yang hidup pada masa modern seperti al-‘Usaimin,

memahami kata al-aza dalam hadis tersebut tidak jauh berbeda dengan yang

dipahami oleh ulama pada masa sebelumnya, yaitu kata al-aza dipahami sebagai

batu, duri dan lain-lain. Akan tetapi, pada masa ini kata al-aza tidak hanya

dipahami sebagai hal-hal yang berwujud materiil saja, melainkan melebar kepada

hal-hal yang non materiil, seperti perbuatan-perbuatan manusia yang menyimpang

dari agama Allah misalnya bidah, pelacuran, homo seksual dan meminum khamar

termasuk makna al-aza.99

97
Muhammad bin Salih bin Muhammad al-‘Usaimin, Syarh Riyad al-Salihin, Juz II,
Riyad: Dar al-Watan li al-Nasyr, 1426 H, hal. 157-158.
98
Ibn Battal Abu al-Hasan ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abd al-Mulk, Syarh Sahih al-Bukhari li
Ibn alBattal, Juz VI, hal. 600. Lihat juga ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti,
Qaut al Mugtazi ‘ala Jami‘ al-Turmizi, Juz II (Mekah: Risalah al-Dukturah, 1424 H), hal. 633.
99
Muhammad bin Salih bin Muhammad al-‘Usaimin, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyah,
(t.t: Dar al-S|ariyya li al-Nasyr, t.th), hal. 266
66

Baik ulama-ulama yang hidup pada masa sebelum modern maupun sesudah

modern, nampaknya menginterpretasikan kata al-aza (jalan) itu tidak lepas dari

maknanya secara tekstual, yaitu sesuatu yang merugikan, tidak disenangi atau

kemudaratan yang sifatnya ringan.100 Dengan demikian, jenis-jenis yang mereka

golongkan sebagai al-aza di jalan adalah hal-hal yang ringan pula.

Berbeda dengan ulama-ulama yang hidup pada masa kontemporer ini lebih

melihat makna subtantif dari hadis itu yang menginginkan terciptanya jalanan

yang aman, bebas dari bahaya meskipun hanya sekecil duri saja sehingga para

pengguna jalan merasa nyaman melewati jalan tersebut. Mereka menggunakan

qiyas aulawi dalam memahami hadis tersebut, dimana duri saja dituntut untuk

dihilangkan apalagi hal-hal yang dampak kemudaratannya lebih besar lagi bagi

pengguna jalan. Berangkat dari pemahaman ini, para ulama yang hidup sekarang

ini menginterpretasikan kembali hadis tersebut dengan mengembangkan makna

al-aza yang tidak hanya dipahami sebatas duri melainkan lebih besar dari pada itu

seperti demo, polisi tidur, pelaminan di bahu jalan, parkir bebas, jualan di trotoar

adalah termasuk makna al-aza.

Ahmad Sarwat juga memberikan contoh lain yang termasuk bagian yang

dilarang dalam hadis tersebut, yaitu resepsi pernikahan yang digelar di tengah

jalan hingga menutup jalanan sehingga orang-orang yang mau lewat jadi

terhalang. Sebab menurut beliau, dengan tegas syariah melarang untuk

menghalangi orang yang lewat. Bahkan jangankan menghalangi, kalau saja di

jalan ada aral melintang atau ada onak dan duri, maka menjadi kewajiban bagi

100
Ahmad Mukhtar ‘Abd al-Humaid ‘Amr, Mu‘jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Mu‘asarah,
Juz I, hal. 80.
67

umat Islam untuk membuangnya agar orang yang lewat tidak celaka. Membuang

duri dari jalan itu merupakan salah satu cerminan keimanan kepada Allah swt.

Redaksi hadis yang penulis jelaskan di atas mengenai menyingkirkan duri di

jalan tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Akan tetapi, dalam hal ini hadis

tentang menyingkirkan duri di jalan menjadi wasilah untuk beriman kepada Allah

dengan apapun dan bagaimana pun tata cara prakteknya. Kedua, matan hadis tidak

mengandung illat dengan dilihat banyaknya jalur periwayatan yang meriwayatkan

dan memiliki isi atau makna yang sama maka tidak terdapat ilat terhadap hadis

tersebut. Ketiga, tidak terjadinya syaz dikarenakan tidak adanya kejangalan yang

mengakibatkan tertolaknya hadis ini.

Setelah melakukan analisis terhadap matan hadis diatas maka dapat di

simpulkan bahwa dari segi matan hadis ini adalah hadis yang baik yang mana

dalam kaidah nya tidak ada cacat atau hal yang bertentangan dengan aspek-aspek

yang lain yang dapat membuat hadis tersebut tertolak.

Analisis hadis selanjutnya memberikan kesimpulan dan penilaian terhadap

hadis yang menjadi hasil akhir dari proses analisis suatu hadis. 101Dalam hal

penilaian hadis yang telah penulis lakukan baik dari analisis sanad ataupun matan

hadis dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tersebut bersifat marfu’ dikarenakan

sandaran utamanya ialah Nabi Muhammad Saw langsung.

Secara makna dan kontekstualitas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

makan hadis menyingkirkan duri di jalan hadis yang bersifat anjuran dengan

pemaknaan bahwa kita sebagai manusia harus menjaga tali silaturahmi yaitu

101
Hedhri Nadhiran, Epistemologi Kritik Hadis, Palembang, Noerfikri Offiset, 2018,
hal. 97.
68

dengan cara saling membantu, tolong-menolong, mengasihi satu sama lain dan

lain sebagainya. Kemudian dari segi konteks, hadis ini menunjukan perintah Nabi

Saw, untuk menghilangkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemudaratan.

Menyingkirkan duri termasuk usaha menjauhkan “benda” tertentu yang

dapat menyakiti atau mencelakai orang lain. Perbuatan ini adalah termasuk amal

baik yang nilainya sama dengan sedekah. Dengan menyingkirkan duri ditengan

jalan, berarti orang tersebut telah menghindarkan saudara-saudara (sesama

muslim) dari benda-benda yang dapat menyakiti dan membahayakan mereka.

Karena itu, bukan hanya duri saja yang harus disingkirkan dari tengah jalan, tetapi

berbagai benda lain yang membahaykan juga harus disingkirkan. Karena

menyingkirkan duri di jalan termasuk perbuatan baik. Dan, perbuatan baik juga

termasuk sedekah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, Nabi Saw,

bersabda; “Setiap perbuatan baik adalah sedekah. (Hr. al-Bukhari). Tentu saja,

perbuatan baik itu bernilai sedekah jika dilandasi oleh hati yang tulus dan

Ikhlas.102

Perbuatan menyingkirkan duri di jalan termasuk perbuatan Muta’addi.

Perbuatan muta’addi (kata kerja transitif), kata kerja yang memerlukan objek yang

bisa bermkanfaat untuk orang lain. Menurut syaikh ‘Abdul Muhsin bin Ahmad

Al-Abbad Al-Badr Hafiz hahullah Menyatakan bahwa keutamaan menyingkirkan

duri di jalan dan termasuk cabang keimanan.

Perbuatan menyingkirkan duri atau gangguan di jalan juga merupakan suatu

amal perbuatan yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan perbuatan ini termasuk

102
Khoiro Ummation, 40 Hadis Shahih, Pedoman Membangun Hubungan Bertetangga,
Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2006, hal. 19
69

dalam amalan sedekah yang dapat kita lakukan semata-mata karena mengharap

ganjaran dari Allah. Allah Swt juga memuji perbuatan ini sebagaimana hadis yang

saya teliti, bahwa orang yang berniat ikhlas melakukan perbuatan tersebut maka

Allah akan mengampuni kesalahannya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas yang sudah peneliti paparkan, maka dari itu peneliti

dapat mengambil kesimpulannya yaitu sebagai berikut:

1. Pemaknaan dari hadis menyingkirkan duri di jalan merupakan bagian

terendah dari keimanan. Hal itu dapat diketahui, sebagaimana dalam hadis

bahwasannya “ada seorang laki-laki yang berjalan lalu menemukan ranting

duri di jalan lalu diambilnya. Maka Allah memujinya dan mengampuni

dosa-dosanya”.

2. Membuang atau menyingkirkan duri di jalan adalah menghilangkan

sesuatu segala sesuatu yang dapat menyakiti dan menyusahkan pengguna

jalan. Jika sesuatu itu berupa batu-batu kecil, seperti paku dan

kemudharatan lainnya, maka yang harus dilakukan adalah dengan

membuangnya . Jika hal itu berupa sesuatu yang berlubang, maka caranya

ialah dengan menutupi lubang tersebut, maka dapat dikontekstualisasikan

dari penjelasan diatas ialah menunjukan perintah Nabi Saw, untuk

menghilangkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemudharatan.

B. Saran

Dari hasil pembahasan di atas, Semoga para pembaca bisa mengambil

keberkahan yang luas dari hasil penelitian yang dilakukan ini dengan berusaha

semaksimal mungkin untuk lebih memahami mengenai hadis Nabi Saw dalam

bentuk sebuah pengamalam dalam kehidupan sehari-hari. Dan semoga bisa

70
71

menjadi perhatian bersama dalam mengembangkan studi keilmuan terkhususnya

dalam bidang ilmu hadis, agar tercapai kemajuan keilmuan dalam perkembangan

zaman umat Islam. Untuk selanjutnya, peneliti menyadari bahwa penelitian masih

jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangannya baik dalam bentuk

tulisan maupun dari sumber referensi. Maka dari itu, peneliti mengharapkan kritik

dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnakan

pembahasan ini selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai