Anda di halaman 1dari 255

Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA


Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

i
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Dewan Redaksi
Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, M.A.
Prof. Dr. Phil Kamaruddin Amin, M.A.
Prof. Dr. H. Arifuddin Siraj, M.Pd.
Dr. H. Muammar Bakri, Lc., M.Ag.
Dr. H. Abd. Muis Said, M.Ed, TESOL.
Dr. Muh. Rusydi, S.Pd.I., M.Pd.I.

Pimpinan Redaksi
Mansyur, S.Pd.I., M.Pd.I.

Sekretaris Redaksi
Nurul Haeriyah Ridwan, S.E., M.Pd.

Editor Pelaksana
Mukdar Boli, S.Pd.I., M.Pd.I.
Husnussaadah, S.Pd.I., M.Pd.I.

Editor Bahasa
Abdullah Jawawi, S.Pd.I., M.Pd.I.

Abdullah Muhammad, S.Pd.I., M.Pd.I.


Suhatnam, S.Pd.I., M.Pd.I.
Ariadna Mulyati, S.Pd.I.,M.Pd.I Jurnal el-Idarah adalah jurnal berkala yang akan
diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 2017
oleh Program Studi Manajemen Pendidikan Islam
Setting/Tata Letak Institut Parahikma Indonesia (IPI) Gowa. Jurnal el-
Patur Rahman, S.Pd. Idarah mengundang para peneliti dan ilmuan di bidang
Manajemen Pendidikan Islam untuk menulis artikel
Muh. Azhar Hairuddin, S.Kom. pada jurnal ini. Artikel yang dimuat dalam jurnal el-
Idarah akan melalui proses editing oleh editor dan
dibaca oleh reviewer, tetapi secara substansi adalah
Sirkulasi/Tata Usaha tanggung-jawab penulis artikel.
Nurhikmah, S.Pd.I., M.Pd.

Penerbit dan Divisi Cetak


Team Pena Indis Alamat Redaksi:
Kantor Prodi MPI, Fak. Tarbiyah dan Keguruan
300 halaman – 18,2 x 25,7 cm Institut Parahikma Indonesia (IPI) Gowa
Jl. Mustafa Dg. Bunga No.191 Paccinongan, Gowa,
ISSN: 2599 – 1523 Sulawesi Selatan
E-mail: abyed_elfaqieh23@yahoo.com

Terbitan ke-3 Juni 2019

ii
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
DAFTAR ISI
1. PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Taqdir

2. ANALISIS MUTU PENDIDIKAN MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) BONTOHARU


KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
(Suatu Kajian Manajemen Pendidikan)
Mansyur

3. DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


(Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis, Falsafah, Yuridis Formal, Psikologis, Sosiologis dan
Aksiologisnya)
Rufaida Salam

4. ANAK DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM


(Pandangan Nativisme, Empirisme, Konvergensi dan Konsep Fitrah)
Mutammimal Husna

5. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PAEDAGOGIK PERSPEKTIF ISLAM


Husnussaadah

6. EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN ONLINE DAN INSTRUKSI TATAP MUKA


Nurul Haeriyah Ridwan

7. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Muhammad Rusmin

8. PENGARUH LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Irma

9. PENGARUH TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH TERHADAP


KINERJA GURU DI SMA NEGERI 3 POLEWALALI KABUPATEN POLEWALI MANDAR
Nurhikmah

10. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM


Abdul Syukur Abu Bakar

11. INOVASI SISTEM PENDIDIKAN


Muhammad Anwar

12. BENTUK PERANAN GURU DALAM MEMBERIKAN PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN


Sophia Azhar

13. HAKEKAT HIDUP MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN


ISLAM
Saidah A. H

14. IMLEMENTASI NILAI PARTISIPASI, TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS GURU


AGAMA ISLAM DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI PESERTA DIDIK DI MADRASAH
ALIYAH NEGERI GURA BATAI KEC. TIDORE SELATAN PROV. MALUKU UTARA
Abdullah Muhammad

iii
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

BERPERADABAN, CERDAS, DAN TERAMPIL

iv
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENINGKATAN


MUTU PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh :
Takdir, S. Pd. I., M. Pd. I.

ABSTRAK
Prospek pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional dapat
dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: pertama, dari sudut pandang
sosiologis pendidikan agama Islam mempunyai akar sosiologis yang
mengakar pada masyarakat. Kedua, dari sudut pandang yuridis pendidikan
agama Islam mempunyai legitimasi yang kuat dalam konstitusi negara dan
dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga, dari sudut pandang politik
pendidikan agama Islam didukung pranata-pranata politik yang kuat.
Peningkatan mutu pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional diimplementasikan melalui peningkatan mutu pendidikan Islam
dari segi kurikulum untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
dan sikap peserta didik, dan peningkatan pendidikan Islam segi sumber
daya manusia yang intelek memiliki iman, takwa, budi pekerti luhur, dan
skill serta dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya
baik hubungan kepada Allah swt maupun hubungan dengan manusia.

Kata kunci: Prospek Pendidikan Islam dan Peningkatan Mutu

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan masalah yang sangat urgen dan aktual sepanjang
zaman. Dengan pendidikan, orang mengerti akan dirinya dan segala potensi
kemanusiaannya, menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan
Khaliknya. Eksistensi pendidikan di era ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini, semakin dirasakan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak
dalam menjawab berbagai tantangan dan arus tuntutan perubahan yang ada.
Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimami,
bertakwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari

1
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

sumber utamanya al-Qur’an dan hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,


latihan, dan penggunaan pengalaman.1
Pendidikan Islam bertujuan untuk melatih kepekaan peserta didik dalam
tingkah laku yang ada dalam sikap mereka terhadap lingkungan dan pendekatan
bagi semua jenis pengetahuan, mereka dipimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritual
Islam.2 Pelaksanaan pendidikan nasional, baik dalam konteks pendidikan formal,
informal, maupun nonformal, hakekatnya masing-masing beraksentuasi kepada
upaya pendewasaan dan pembinaan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik peserta didik.3
Segi kurikulum Pendidikan Agama Islam sejajar atau sama dengan
pendidikan matematika, IPA, IPS, dan lain-lainnya. Pendidikan agama Islam
teorinya disusun berdasarkan al-Qur`an dan Hadis. Pendidikan agama Islam
adalah nama mata pelajaran yang diajarkan di sekolah umum, materimya meliputi
6 aspek pada kurikulum 2006 (KTSP) yaitu: 1) al-Qur`an, 2) Hadis, 3) Akidah, 4)
Akhlak, 5) Fikih, dan 6) Tarikh dan Kebudayaan Islam. 4 Keenam aspek materi
pendidikan agama Islam ini terjabar pada standar kompetensi dan kompetensi
dasar.
Segi kelembagaan, eksistensi pendidikan Islam yang dijabarkan dalam
bentuk madrasah dan pesantren dalam sistem pendidikan Indonesia telah
menempati posisi yang sejajar dengan sekolah lain. Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003) menegaskan tentang hal tersebut pada pasal 17
dan 18. Dua pasal tersebut menyebutkan bahwa pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat

1
Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas
dan Madrasah Aliyah (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2007), h. 7.
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. IV; Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 81.
3
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran (Cet. VII; Bandung: Alfabeta, 2009),
h. 12.
4
BSNP dan Departemen Pendidikan Nasional, Model Silabusddan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP/MTs (Dirjen Menejemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Pertama, Tahun 2007), h. 1.

2
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah
atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.5
Kendatipun dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 telah
ditegaskan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pendidikan agama Islam
dengan pendidikan lainnya, tetapi dalam kenyataan masih ditemukan
kecenderungan yang membedakan antara keduanya. Implikasinya adalah
formalisasi pendidikan Islam baik dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam, maupun dalam bentuk lembaga madrasah masih mendapat
perlakuan yang diskriminatif.
Dinamika pendidikan Islam di Indonesia memperlihatkan suatu bentuk
yang konfiguratif dengan kebijakan pemerintah. Sehingga pendidikan Islam di
Indonesia belum menemukan formalisasinya yang sejati, paling tidak pengaruh
politik negara yang mengitarinya belum sepenuhnya memihak.6
Namun demikian, kenyataan ini tidak berarti mengabaikan substansi
pendidikan Islam dalam arti tidak mempunyai kemandirian dan prinsip tersendiri,
melainkan variasi bentuk dan pola pendidikan Islam justru disebabkan oleh
keuniversalan pendidikan Islam itu sendiri. Implikasi dari keuniversalan inilah
sehingga pendidikan Islam dapat mengambil bentuk pada semua tempat dan
waktu, tanpa harus meninggalkan identitasnya. Karena sifatnya yang demikian
maka pendidikan Islam dapat menampilkan bentuk dan pola yang beragam sesuai
dengan kondisi dan situasi yang mengitarinya. 7

B. Permasalahn

5
Ikhrom, Peningkatan Mutu Masrasah pada Era Otonomi Daerah Studi Manajemen
Berbasis Sekolah (Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 87.
6
Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren (Cet. III; Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), h. 191.
7
Ibid.

3
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Permasalahan pokok kajian ini adalah bagaimana prospek pendidikan


Islam di Indonesia. Agar pembahasan lebih mendalam, penulis merumusakan tiga
sub masalah yang menjadi pusat perhatian dalam penulisan kajian ini:

1. Bagaimana prospek formalisasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan


nasional?
2. Bagaimana peningkatan mutu Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional?

II. PEMBAHASAN

A. Prospek Formalisasi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional


Dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam berasal dari perundang-
undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama Islam di sekolah secara formal. Dasar yuridis
formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama: Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa
Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau tegasnya
harus beragama.
2. Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD 1945 dalam Bab XI pasal 29
ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (a) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa; (b) Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk
memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.8

Formalisasi pendidikan Islam mendapat angin baru ketika diakui secara


resmi oleh negara. Hal itu ditetapkan oleh Tap MPRS No. 2 tahun 1960 bahwa:
"Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah

8
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Cet. VJakarta: PT. Rosdakarya,
2004) h. 5.

4
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri", di samping pengakuan bahwa
"Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah
pembinaan Depatemen Agama". 9
Dari bunyi UUD tersebut, secara konstitusional juga memberikan
pengertian bahwa masyarakat bangsa Indonesia harus beragama.

Dasar operasional, umumnya mengalami perubahan-perubahan tertentu.


Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perubahan sistem pendidikan yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu
terdapat dalam Tap MPR No. IV/MPR 1973 yang kemudian dikokohkan
dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978. Ketetapan MPR No II/MPR/1988,
diperkuat oleh Tap MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993
tentang GBHN yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama secara langsung dimasukkan dalam kurikulum sekolah
formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 10

Berkali-kali mengalami penyempurnaan, keluar undang-undang No. 2


tahun 1989 tentang pendidikan nasional pada bab IX pasal 39 ayat 2 dinyatakan:
isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat; 1)
Pendidikan Pancasila, 2) Pendidikan Agama, 3) Pendidikan Kewarganegaran. 11
Secara yuriditis formal, posisi pendidikan agama Islam berada pada posisi
yang sangat strategis, Dalam UUSPN 2003 dinyatakan pada pasal 1 Ayat 5
UUSPN 2003, bahwa “pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
pencasila dan UUD 1945 dan perubahannya yang bersumber pada ajaran agama,
keanekaragaman budaya Indonesia, serta tanggap terhadap perubahan zaman”
pasal 4 UUSPN 2003, yaitu “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

9
Muhaimin, Peningkatan Mutu Masrasah Pada Era Otonomi Daerah (Yogyakarta:
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2003), h.13.
10
Abdul Majid dan Dian Andani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep
dan Implementasi Kurikulum 2004 (Cet III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 133.
11
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Ed. I, Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 7.

5
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Maha Esa, berakhlak yang mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. 12
Mencermati pasal 1 Ayat 5 dan Pasal 4 UUSPN 2003 tersebut, terlihat
bahwa pendidikan agama Islam berada pada posisi strategis, karena orientasi
pelaksanaannya bukan hanya pada pengembangan IQ akan tetapi EQ dan SQ
secara harmonis. Hal ini terlihat dari amanat Pasal 13 Ayat 1 huruf a UUSPN
2003, yaitu “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama”.13 Dengan mengacu pada pasal ini, pesan edukasi yang
diharapkan agar pendidikan mampu melahirkan out put yang beriman dan
bertakwa, berakhlak mulia dan memiliki kualitas yang tinggi.
Mengacu pada UUD 2003 di atas, ada beberapa pasal yang terkait dengan
pendidikan agama Islam sehingga pendidikan agama Islam di Indonesia diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan nasional, yang dibagi kepada tiga hal.
Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga formal, kedua, pendidikan agama
Islam sebagai mata pelajaran, dan ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai. 14
Secara eksistensial, pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan
nasional, tidak dipermasalahkan. Dalam pasal 36 dan 37 Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas mewajibkan
pendidikan agama Islam untuk dimasukkan sebagai kurikulum pada setiap jenjang
pendidikan. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta
berakhlak mulia. Pada diktum ini yang dimaksudkan dengan beriman dan
bertakwa adalah sesuai dengan agama peserta didik. Oleh karena itu, arah

12
UU R.I. No. 20, Tahun 2003 Tentang Sisdiknas (Jakarta: Dirjen Pend. Dasar dan
Menengah Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir Nasional, 2003), h. 5.
13
Ibid.
14
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
(Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2004),h. 4.

6
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
pendidikan agama Islam pada setiap jenjang pendidikan memiliki pola
konfensional.15
Diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari yaitu prilaku yang
memancarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat
yang terdiri dari berbagai golongan agama, prilaku yang bersifat kemanusiaan
yang adil dan beradab, prilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam
masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan kepentingan; baik kepentingan
golongan maupun perorangan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau
kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah dan mufakat.
Kaitannya dengan hal tersebut, formalisasi pendidikan agama Islam dalam
sistem pendidikan nasional, dilakukan melalui dua jalur pokok, yaitu:

1. Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dengan tujuan untuk mencetak


ahli-ahli agama. Oleh karena itu, formalisasi pendidikan agama Islam
dilakukan melalui institusionalisasi pendidikan Islam. Dalam hal ini,
pendidikan agama Islam dilaksanakan pada lembaga-lembaga pendidikan
formal yang didirikan oleh negara atau pemerintah dan pendidikan swasta.
2. Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dengan tujuan memenuhi
kewajiban setiap muslim untuk mengetahui dasar-dasar agamanya. Dalam
hal ini, pendidikan agama Islam dilaksanakan atau diajarkan pada
lembaga-lembaga pendidikan umum yang dijabarkan dalam kurikulum
pendidikan agama Islam.16

Formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional,


mempunyai prospektif yang cerah. Dikatakan demikian karena pendidikan agama
Islam berbasis pada ajaran Islam yang bersifat universal. Universalitas ajaran
Islam berarti senantiasa sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak terbatas pada
ruang dan waktu. Ini berarti bahwa dasar dan orientasi filosofik pendidikan agama

15
M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Histories Atas
Kebijakan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga,
2004), h. 29.
16
Abdul Mudjib, Strategi Pendidikan Islam di Era Reformasi, dalam Jurnal Attarbiyah:
Kajian Agama, Budaya dan Kependidikan, Nomor 1. Th. XIII Januari-Juni, 2002, h. 58-59.

7
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Islam, lintas zaman, lintas budaya dan lintas wilayah. Dengan demikian,
formalisasi pendidikan agama Islam dipandang sangat prospektif untuk
diwujudkan dalam semua sistem pendidikan, termasuk dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia.
Pendidikan Islam mempunyai akar sejarah, budaya, dan agama yang kuat
di Indonesia. Oleh karena itu, berbicara tentang pendidikan Islam pada dasarnya
berbicara tentang pendidikan nasional. Artinya, membicarakan pendidikan
nasional tanpa membicarakan pendidikan Islam merupakan pengingkaran
terhadap fakta sejarah, budaya, dan agama. Dengan demikian, keberadaan
pendidikan Islam di Indonesia mempunyai landasan yang kuat dan kokoh.
Agama Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh penduduk
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penduduk bangsa Indonesia banyak diwarnai
dan dipengaruhi oleh norma-norma ajaran Islam. Demikian pula dalam konteks
pendidikan agama Islam menempati posisi yang amat penting dan strategis.
Bahkan pendidikan agama Islam telah memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam perkembangan pendidikan nasional.
Dalam konteks inilah, maka wacana formalisasi pendidikan agama Islam
dalam sistem pendidikan nasional menemukan titik signifikansinya. Artinya
bahwa formalisasi pendidikan agama Islam dipandang sebagai upaya untuk
memaksimalkan pelaksanaan pendidikan Islam melalui jalur formal. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pendidikan Islam merupakan basis pendidikan di Indonesia
dan telah berperan dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka. Oleh
karena itu, pendidikan agama Islam harus ditegaskan eksistensinya dalam sistem
pendidikan nasional Indonesia.
Dengan demikian, hubungan ideal antara pendidikan (agama) Islam dan
pendidikan nasional adalah keduanya harus ditempatkan secara komplementer dan
integratif.17 Idealisasi pola hubungan antara kedua sistem pendidikan ini akan

17
Dedi Djubaedi, Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah: Telaah Teoritis dalam
Perspektif Pendidikan Nasional (Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 181.

8
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
menjamin keterpaduan dalam merealisasikan tujuan pendidikan. Oleh karena itu,
diperlukan adanya integrasi pendidikan agama Islam ke dalam sistem pendidikan
nasional, di satu pihak akan memberikan ruang gerak yang luas dan kesetaraan
eksistensi secara yuridis dan sistemik. Di pihak lain, meniscayakan terciptanya
sistem pendidikan nasional yang paripurna.
Prospek formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan
nasional, dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: pertama, dari sudut
pandang sosiologis pendidikan agama Islam mempunyai akar sosiologi yang kuat
ditengah masyarakat Islam Indonesia. Oleh karena itu, akar sosiologi terbentuk
dan berkembangnya pendidikan agama Islam di Indonesia merupakan potensi
besar bagi setiap upaya pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Realitas
sejarah menunjukkan bahwa akar kekuatan pendidikan agama Islam di Indonesia
bukan hanya terletak pada jaringan sistem pengorganisasian, akan tetapi tertanam
kokoh pada jaringan sosial masyarakat muslim yang independen dan otonom. 18
Atas dasar inilah sehingga dikatakan bahwa akar sosiologis yang mengakar
menjadi potensi bagi perwujudan formalisasi pendidikan agama Islam. Implikasi
dari ikatan-ikatan sosiologis menjadikan pendidikan agama Islam dalam proses
interaksinya mudah dan dapat diterima. Pada gilirannya memberikan prospek
yang besar bagi pendidikan agama Islam untuk diformalisasikan dalam sistem
pendidikan nasional.

1. Pendidikan agama Islam sebagai komponen pendidikan tinggi di Indonesia


menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik secara profesional. Dalam artian bahwa peserta
didik dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Itu artinya bahwa pendidikan agama Islam
memandang sumber, struktur, metodologi ilmu pengetahuan dan teknologi
menurut perspektif nilai-nilai, hakekat dan wawasan Islam.

18
Slamet Effendi, Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU
(Cet. VI; Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 1.

9
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

2. Pendidikan agama Islam pada semua jenjang dipandang sebagai satu


kesatuan sistemik dengan sistem pendidikan nasional, tidak bertentangan
dan sesuai dengan subtansi pendidikan nasional. Dalam artian bahwa
pendidikan agama Islam merupakan penjabaran dari amanah konstitusi
dalam bidang pendidikan.19

Dari sudut pandang politik, formalisasi pendidikan agama Islam pada


dasarnya mengandung pengertian sebagai rangkaian upaya yang terencana dan
sistematis dalam mengtrasformasi dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam
dalam sistem pendidikan agar dapat membentuk kepribadian muslim seutuhnya.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam dapat memberikan kontribusi positif
yang berakar pada nilai-nilai ajaran Islam terhadap peserta didik. Pada gilirannya
dapat memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa, negara dan
agama.
Pembangunan Nasional dilaksakanan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian,
keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani,
antara bidang material dan spritual, antara bekal kedunian dan ingin berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan
hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti itu menjadi pangkal tolak
pembangunan bidang agama.

B. Peningkatan Mutu Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional


Dalam menanggulangi kesenjangan dunia pendidikan di madarasah harus
ditingkatkan kemampuannya sehingga bisa memberikan arah kepada
perkembangan masyarakat. Ini hanya bisa terjadi kalau dunia pendidikan
khususnya madrasah tidak tertinggal oleh kemajuan zaman.20

19
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Cet. IV; Jakarta: Gema Insan Press,
2003), h. 19.
20
Azyumardi Azra, Paradikma Baru Pendidikan Nasional (Cet. 1; Jakarta: Buku Kompas,
2002), h. 76.

10
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
1. Peningkatan Mutu Pendidikan Islam dari segi kurikulum
Kurikulum pendidikan merupakan jalan yang terbaik untuk mendidik dan
meningkatkan kapabilitas generasi muda sehingga mampu mengembangkan bakat
dan keterampilan yang mereka miliki untuk menjalankan hak dan kewajibannya,
memikul tanggung jawab terhadap diri dan keluarga, dan turut serta secara aktif
untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.21
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh generasi mudanya, kualitas
suatu bangsa di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dikecap oleh
anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di
sekolah. Apa yang akan dicapai di sekolah ditentukan oleh kurikulum sekolah itu.
Maka dapat dipahami bahwa kurikulum adalah sebagai alat vital bagi
perkembangan bangsa dan negara dapat pula dipahami betapa pentingnya
mengembangkan kurikulum itu. Dengan demikian, berbagai upaya yang telah
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
dalam menghadapi perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan
masyarakat Indonesia pada khususnya, salah satunya adalah pengembangan
kurikulum.
Sejak Indonesia merdeka, dunia pendidikan telah mengenal berbagai
kurikulum yang datang silih berganti, mulai dari kurikulum 1947, kurikulum
tahun 1950-an, kurikulum tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum tahun
1975, kurikulum tahun 1984, kurikulum tahun 1994, kurikulum tahun 2004 yang
dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan
oleh pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan
terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan
pemerintah melalui Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Permen Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen
nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan kedua Permen tersebut.22

21
Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 2004),
h. 476.
22
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI. tentang SISDIKNAS (Departemen
Agama RI. Dirjen Pendidikan Islam, 2006), h. 154. Lihat, Kunandar, Guru Profesional,

11
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis


Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No 2
1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dam Tap MPR No
IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional.23 KBK tidak lagi
mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan
wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik
mencapai kompetensi yang diharapkan.
Setelah penerapan KBK muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara
yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh
sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI)
dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah
sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan
Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. 24
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah. (a) Meningkatkan mutu
pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam Meningkatkan mutu
pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan
kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia. (b)
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. (c) Meningkatkan kompetisi

Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi


Sertifikasi Guru, (Ed. 1; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 85.
23
Ibid.
24
E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 22-23.

12
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan
dicapai.25
Dari serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil
penilaian nasional pendidikan (national assesment), hanya kurikulum 1975 dan
kurikulum PPSP 1974-1981 (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan). Selebihnya
merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan atas dasar
temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistimatik. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika akan kesulitan untuk menjawab pertanyaan tentang
seberapa jauh kurikulum 1975, 1984, 1994, dan 2004 mempengaruhi keberhasilan
peningkatan mutu pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang lahir karena dianggap
Kurikulum Berbasis Kompetensi masih sarat dengan beban belajar. Dalam KTSP
beban belajar peserta didik sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan
(sekolah, guru, komite sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangkan
kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen
kurikulum lainnya. Namun, keterandalan dan keunggulan kurikulum ini pun
masih perlu diuji di lapangan dan waktu nanti yang akan menjawabny, bahkan
kurikulum tersebut diganti kemabli.
2. Peningkatan Pendidikan Islam segi Sumber Daya Manusia
Sekolah dan Madrasah, lebih terpacu untuk mengembangkan sumber daya
manusianya agar mampu bersaing. Salah satu upaya dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup manusia adalah dengan pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan
bertujuan untuk memanusiakan manusia, mendewasakan mengubah prilaku serta
meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik dan sekaligus meningkatkan
mutu pendidikan.
Dalam konteks ini, Madrasah Aliyah sebagai lembaga pendidikan Islam
alternatif masa depan diharapkan mampu menyiapkan kualitas sumber daya
manusia yang memiliki kedalaman spiritual (iman dan takwa) dan keunggulan
moral. Sehingga dalam rangka peningkatan kualitas out put Madrasah Aliyah

25
Ibid.

13
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

harus mengembangkan secara optimal dalam proses pendidikannya, yaitu (1)


iman dan takwa; (2) keterampilan dan profesionalitas; (3) karya dan cipta; (4)
kemandirian dan kewirausahaan.26
Pertama, peningkatan nilai-nilai iman dan takwa dalam proses pendidikan
sangat perlu untuk terus dikembangkan sebagai daya tangkal dari akses negatif
dari dampak globalisasi, sekaligus sebagai pengawal moral dalam
mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kehidupan.
Kedua, peningkatan keterampilan dan profesionalitas, dimaksudkan untuk
mendukung pembentukan kemampuan dan keunggulan dalam melakukan inovasi,
perubahan dan penyempurnaan dalam berbagai bidang kehidupan. Penguasaan
keterampilan dan profesionalitas ini diarahkan pada pengembangan keunggulan
kompetitif sehingga mampu menghasilkan barang dan jasa yang lebih unggul dan
bersaing dengan menggunakan teknologi mutakhir atau modern.
Ketiga, karya dan cipta dimaksudkan agar setiap out put pendidikan
mampu menghasilkan karya dan senantiasa berbuat secara produktif dalam
kehidupannya. Kemampuan untuk berproduksi dan berkarya tersebut sebagai
manifestasi kemampuan dalam menguasai keterampilan dan profesionalitas,
sehingga setiap karya atau hasil kerjanya memiliki kualitas yang unggul dan
bermutu.
Keempat, peningkatan sikap kemandirian dan kewirausahaan, adalah suatu
sikap yang dibentuk oleh kemampuan individu untuk mengaktualisasikan seluruh
potensinya sehingga dapat menghasilkan buah karya dalam kehidupan dan
pembangunan. Sikap kemandirian ini pada gilirannya akan melahirkan jiwa
kewirausahaan, dalam arti mampu mengembangkan karya dalam masyarakat
tanpa harus tergantung kepada pihak lain. Dengan ungkapan lain bahwa

26
Dawam Rahardjo, Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional (Cet. IV; Jakarta:
Intermasa, 2008), h. 173.

14
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kewirausahaan adalah kemampuan dan etos untuk menciptakan kegiatan produktif
bagi dirinya dan masyarakat.27
Paradigma pengembangan kualitas out put pendidikan pada Madrasah
Aliyah tersebut di atas, pada gilirannya akan melahirkan out put, yaitu sebagai
berikut:

1) Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., sehingga tercipta
kepribadian dan tatanan masyarakat yang dinamis yang memiliki
perspektif moral.
2) Manusia yang percaya diri, memiliki kemandirian dan kreatif, manusia
yang memiliki orientasi yang kuat pada penguasaan ilmu dan teknologi,
memiliki dinamika batiniyah (inner dynamic) yang kuat untuk meraih
kemajuan, dan pro aktif dalam memberikan kontribusi terhadap
terwujudnya suatu masyarakat yang maju dalam peradaban ilmu dan
teknologi.
3) Manusia yang sebagai bagian dari masyarakat global, yang memiliki
semangat dinamis, inovatif, dan kompetitif dalam suasana kooperatif penuh
rasa persaudaraan, toleransi, dan semangat kemanusiaan universal.
4) Manusia yang beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dan
nilai-nilai luhur dan kepribadian yang telah mengakar dalam tatanan
masyarakat Indonesia.28
Secara sederhana, dalam memasuki abad ke-21 dewasa ini tuntutan
kualitas sumber daya manusia yang harus dipersiapkan dalam pendidikan Islam
adalah out put yang memiliki kecerdasan, keterampilan, dan berkepribadian
(beriman, bertakwa, dan bermoral).

III. KESIMPULAN
A. Prospek pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional pada tataran
praktis dapat dilakukan melalui jalur struktural mempunyai peluang besar

27
Syamsul Nizar, Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis) (Cet. I;
Jakarta : Ciputat Press, 2002), h. 182-183.
28
Ibid.

15
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

untuk diwujudkan. Paling tidak dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:
pertama, dari sudut pandang sosiologis pendidikan agama Islam mempunyai
akar sosiologis yang mengakar pada masyarakat. Kedua, dari sudut pandang
yuridis pendidikan agama Islam mempunyai legitimasi yang kuat dalam
konstitusi negara dan dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga, dari sudut
pandang politik pendidikan agama Islam didukung pranata-pranata politik
yang kuat.
B. Peningkatan mutu pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional
diimplementasikan melalui peningkatan mutu pendidikan Islam dari segi
kurikulum untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
peserta didik, dan peningkatan pendidikan Islam segi sumber daya manusia
yang intelek memiliki iman, takwa, budi pekerti luhur, dan skill serta dapat
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya baik hubungan kepada
Allah swt maupun hubungan dengan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Paradikma Baru Pendidikan Nasional. Cet. I; Jakarta: Buku


Kompas, 2002.
BSNP dan Departemen Pendidikan Nasional, Model Silabusddan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
SMP/MTs. Dirjen Menejemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pembinaan Sekolah Pertama, Tahun 2007.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2004.
Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah Aliyah. (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas, 2007.
Djubaedi, Dedi. Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah: Telaah Teoritis dalam
Perspektif Pendidikan Nasional. Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada, 2005.
Effendi, Slamet. Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan
Internal NU. Cet. VI; Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Feisal, Yusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Cet. IV; Jakarta: Gema Insan
Press, 2003.

16
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Ikhrom. Peningkatan Mutu Masrasah pada Era Otonomi Daerah Studi
Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan
Kalijaga, 2001.
Kunandar. Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Ed. 1; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang,
2004.
Majid, Abdul dan Dian Andani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi:
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Cet III; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
Mudjib, Abdul. Strategi Pendidikan Islam di Era Reformasi, dalam Jurnal
Attarbiyah: Kajian Agama, Budaya dan Kependidikan, Nomor 1. Th. XIII
Januari-Juni, 2002.
Muhaimin. Peningkatan Mutu Masrasah Pada Era Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Cet. IV; Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Nizar, Syamsul. Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis).
Cet. I; Jakarta : Ciputat Press, 2002.
Rahardjo, Dawam. Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta:
Intermasa, 2008.
Saerozi, M. Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Histories
Atas Kebijakan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia. Cet. I;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 2004.
Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Cet. VII; Bandung: Alfabeta,
2009.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet. V; Jakarta: PT.
Rosdakarya, 2004.
UU R.I. No. 20, Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Jakarta: Dirjen Pend. Dasar dan
Menengah Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir Nasional,
2003.
Wahid, Marzuki. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Cet. III; Bandung: Pustaka Hidayah, 2004.
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam (Ed. I, Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

17
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

ANALISIS MUTU PENDIDIKAN


MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN)
BONTOHARU KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR
(Suatu Kajian Manajemen Pendidikan)

MANSYUR
Staf Pengajar Di Institut Parahikma Indonesia
Abyed_elfaqieh23@yahoo.com

ABSTRAK
Masalah mutu pendidikan menjadi isu menarik yang menjadi
perhatian serius di kalangan masyarakat terdidik. Mutu pendidikan
tersebut dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan manajemen
pendidikan, dan difokuskan penelitiannya pada salah satu lembaga
pendidikan.
Lembaga pendidikan yang menjadi fokus penelitian ini adalah
MAN Bontoharu dengan pokok masalah faktor-faktor apa yang
terkait dengan kegiatan manajemen pendidikan pada MAN
Bontoharu. Sebagai sub masalahnya adalah bagaimana tingkat mutu
pendidikan pada MAN Bontoharu, dan faktor-faktor apa yang
mendukung mutu pendidikan pada MAN Bontoharu tersebut.
Permasalahan dalam penelitian ini, dibahas dan dijawab secara
deksriptif, yakni menggambarkan obyek penelitian sesuai dengan
kenyataan yang ditemukan melalui penelitian lapangan (field
research). Metode penelitian yang digunakan adalah populasi dan
sampel random. Pengumpulan datanya melalui observasi,
kuesioner, dan dokumentasi. Pengolahan dan analisis datanya
melalui kualitatif dengan cara membagi hasil data dengan distribusi
frekuensi.
Hasil akhir penelitian ini, menunjukkan bahwa mutu pendidikan
dalam arti kualitas dan prestasi belajar yang dicapai siswa-siswa
MAN Bontoharu dalam kategori baik. Faktor-faktor utama yang
mendukung mutu pendidikan tersebut adalah sistem sileksi calon
siswa yang ketat, kualitas guru MAN Bontoharu selama ini cukup
memadai sehingga proses belajar di madrasah berjalan dengan baik.
Faktor lain yang mendukungnya adalah implementasi K13, dan
adanya manajemen organisasi yang baik.

Kata Kunci: Mutu Pendidikan, MAN Bontoharu, Faktor Mutu


18 Pendidikan
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

I. PENDAHULUAN
Eksistensi lembaga pendidikan di era ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini, semakin dirasakan sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak
dalam menjawab berbagai tantangan dan arus tuntutan perubahan yang ada.
Dalam merespon kondisi faktual empiris, lembaga pendidikan terutama
lembaga pendidikan Islam yang dinilai sudah eksis, menjadi semakin
signifikan bagi masyarakat dalam upaya membentuk generasi muslim yang
berdaya guna dan berhasil guna pada masa yang akan datang.
Berkaitan dengan mutu pendidikan, A. Mukti Ali menjelaskan bahwa
apabila pendidikan telah disadari sebagai sebuah bentuk investasi, maka
perencanaan hasil pendidikan menjadi sesuatu yang urgent, bahkan menjadi
sangat dibutuhkan. Dalam hubungan ini, harus dipikirkan sungguh-sungguh
tentang penyesuaian dan keselarasan pendidikan dengan kebutuhan bangsa
yang telah membangun. 29 Apa yang dikemukakan A. Mukti Ali ini dapat
dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai mutu pendidikan.
Pengertian mutu atau kualitas pendidikan terkait banyak komponen
yang saling mempengaruhi, perubahan dari pengaruh itulah yang sering
dibahasakan dengan perubahan kualitatif yakni menyangkut
hubungan-hubungan dalam pendidikan dimana pendidik dan anak didik
memungkinkan bertemu, atas dasar itulah sehingga pendekatan yang
digunakan untuk menentukan pendidikan yang berkualitas tinggi adalah
dengan manajemen yang baik, terutama dari segi proses atau sistem pengajaran
yang betul-betul mendidik.
Keberadaan Madrasah Aliyah memang seringkali berhadapan dengan
problematika manajemen pendidikan, dan karena itu maka pola manajemen

29
A. Mukti Ali, "Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Bangsa" dalam
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Nomor 2, Vol. 1 (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga, 1991), h. 11.

19
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

yang diupayakan adalah seefektif mungkin. Sebagai sebuah lembaga


pendidikan Islam, manajemen Madrasah Aliyah mengandung berbagai
komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Komponen itu
meliputi tujuan kurikulum, kompetensi, dan profesionalisme guru, pola
hubungan guru murid, metodologi, sarana prasarana, pembiayaan dan
selainnya. Berbagai komponen yang terdapat dalam manajemen pendidikan ini
seringkali berjalan apa adanya dan bersifat alami. Akibat dari keadaan
demikian, maka mutu pendidikan seringkali menunjukkan keadaan yang
kurang menggembirakan.
Persoalannya kemudian adalah, apakah Madrasah Aliyah selama ini
telah menjalankan manajemen pendidikan sesuai yang diharapkan, dan apakah
Madrasah Aliyah tersebut memiliki mutu pendidikan yang berkualitas.
Persoalan ini, dapat terjawab dengan sendirinya bila diadakan penelitian lebih
lanjut di lapangan, dan salah satu madrasah sebagai sekolah umum yang berciri
khas agama Islam yang menarik untuk diteliti adalah, Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) Bontoharu Benteng Selayar.
MAN Bontoharu sekalipun keberadaannya belum lama berdiri, dan
belum banyak menghasilkan alumni, namun dibalik itu tentu banyak hal yang
perlu mendapatkan perhatian serius, terutama menyangkut tentang manajemen
dalam kaitannya dengan mutu perididikan. Dengan memperhatikan keberadaan
MAN Bontohahru, tentunya terdapat beberapa identifikasi masalah yang
menjadi alasan sehingga mutu pendidikannya perlu diteliti, antara lain :
1. Kurikulumnya, apakah memungkinkan para output (lulusannya) memiliki
wawasan keilmuan secara global, karena menutut Nana Syaodi
Sukmadinata, kurikulum merupakan "rel” yang menentukan akan kemana
mutu pendidikan diarahkan.30
2. Kualitas gurunya, apakah sudah atau belum representatif dan profesional
dalam mendidik, dan mengajar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

30
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praltek
(Cet.II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 230.

20
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
3. Perpustakaannya, dan sarana prasarana lainnya, apakah telah mendukung
peningkatan mutu pendidikan.
4. Rasio guru dan siswanya, apakah telah seimbang. Karena hal tersebut
merupakan salah satu faktor meningkatnya mutu pendidikan pada
madrasah.
5. Suasana sekolah dan suasana kelas sebagai tempat asimilasi dalam proses
belajar dan mengajar, apakah telah layak dan mendorong siswa ke arah
peningkatan mutu pendidikan.
Identifikasi masalah yang disebutkan di atas, menyebabkan penulis
terpanggil untuk mengadakan penelitian dalam rangka mendeskripsikan mutu
pendidikan di MAN Bontoharu.

II. METODE PENELITIAN


Metode penelitian, adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu untuk diolah dan dianalisis. Dalam metode penelitian
tersebut, diperlukan adanya suatu rancangan sebagai desain penelitian yang
menghubungkan data empiris dengan pertanyaan awal penelitian dan konklusi-
konklusinya.31 Dalam penelitian yang penulis lakukan ini, dipilih beberapa
rancangan metode yang relevan, yakni :

A. Lokasi Penelitian
Moleong menyatakan bahwa, pemilihan lokasi penelitian diarahkan
oleh teori substantif yang ada dalam bentuk hipotesis kerja. Untuk keperluan
substantif atau empiris dalam inkuiri, sistem interview suatu ilmu pengetahuan,
antropologi dan psikologi, baru akan tetap setelah dikonfirmasikan dengan data

31
A. Kadir Ahmad, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. I;
Makassar: CV. Indobis Media Centre, 2003), h. 46

21
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

ketika memasuki kancah latar belakang penelitian. 32 Dengan demikian


pemilihahan lokasi penelitian yang tepat ikut menunjang suksesnya penelitian.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemilihan lokasi di MAN Bontoharu
sebagai wilayah penelitian sekaligus obyek sasaran dari penelitian ini adalah
tepat menurut perspektif penulis dan sudah mempertimbangkan hal-hal
tersebut di atas. Di samping itu, dipilihnya lokasi MAN Bontoharu sebagai
tempat pelaksanaan penelitian, oleh karena madrasah ini satu-satunya lembaga
pendidikan tingkat menengah dengan status negeri dan berciri khas sekolah
Islam di Kabupaten Selayar.

B. Populasi dan Sampel


Kaitannya dengan penelitian ini, penulis mengarahkan makna populasi
dengan sekumpulan obyek yang perlu diteliti yakni seluruh siswa MAN
Bontoharu yang jumlahnya 218 orang. Perinciannya adalah sebagaimana tabel
berikut :

Tabel 1
Populasi Penelitian
Komponen Kelas I Kelas II Kelas III
No Jumlah
Program Umum IPA IPS IPA IPS
Kelas (Rombongan
2 4 1 1 1 1 8
belajar)
3 Siswa 113 25 32 17 31
218
Jumlah Populasi 113 57 48

Sumber Data : Bagian Tata Usaha, MAN Bontoharu, tahun 2018.

Di samping siswa, guru dan pegawai juga dijadikan populasi.


Setelah menetapkan populasi tersebut, selanjutnya akan ditetapkan sampel
penelitian.

32
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Cet. III ; PT. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 21.

22
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Model pengambilan sampel tersebut adalah random sampling atau
sampel acak. Teknik sampling ini dinamakan sampel, demikian menurut
Suharsimi, karena dalam pengambilan sampelnya peneliti mencampur
subyek-subyek di dalam populasi, sehingga semua subyek dianggap sama. 33
Mengenai sampel dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 2
Sampel Penelitian
Komponen Sampel
Jumlah Sampel
Kelas I Kelas II Kelas III
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
150
40 40 20 20 13 17

Sumber Data : Analisis random sampling dari tabel 1.

Sampel yang ditetapkan di atas, yakni siswa MAN Bontoharu


sebanyak 150. Selanjutnya sebagai responden penunjang dalam rangka
mengetahui mutu pendidikan pada madrasah tersebut, sumber datanya adalah
para kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, para guru, dan pegawai
administrasi madrasah.

C. Teknik Pengumpulan Data


Mengumpulkan data dalam suatu penelitian di lapangan adalah salah
satu langkah yang sangat penting. Secara umum teknik dan prosedur
pengumpulan data banyak sekali caranya, seperti yang dikemukakan oleh
Suharsimi Arikunto, bahwa pengumpulan data itu bisa berupa ; (1) meng-
gunakan tes; (2) menggunakan kuesioner/angket; (3) menggunakan metode
interviu; (4) menggunakan metode observasi; (5) menggunakan metode
dokumentasi.34 Dari sekian metode tersebut, maka yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Menggunakan Kuesioner/Angket

33
Suharsimi Arikunto, op. cit., h. 107.
34
Ibid., h. 192.

23
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Kuesioner ini, ditujukan kepada siswa MAN Bontoharu yang


dijadikan sampel, yakni sebanyak 150 siswa. Di dalam angket tersebut
dikemukakan pertanyaan-pertanyaan dan dianalisis lebih lanjut dalam bentuk
tabel.
2. Menggunakan Interviu
Dalam hal ini, sasaran atau obyek wawancara adalah kepala sekolah
dan wakil, guru-guru, pegawai tata usaha, dan sebagian siswa-siswanya yang
dianggap representatif.
3. Menggunakan Metode Observasi
Adapun lokasi penelitian yang didatangi adalah MAN Bontoharu, dan
dengan mengamati seluruh aspeknya, baik aspek fasilitas pendukung, sarana
dan prasaranya, juga kegiatan pembelajaran di madrasah, dan selainnya.

4. Dokumentasi
Adapun metode dokumentasi yang penulis lakukan dalam penelitian
ini adalah mengambil data-data dari MAN Bontoharu sebagai pelengkap data,
misalnya; data jumlah siswa, guru, dan termasuk data-data yang ber-kenaan
dengan gambaran umum mengenai keberadaan madrasah tersebut.

D. Jenis dan Sumber Data


Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas dua, yakni data yang
bersifat primer dan data yang bersifat sekunder.
1. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari siswa yang
dijadikan sampel. Data tersebut dilihat dari hasil angket yang dibagikan,
dan hasil wawancara terhadap sebagian dari mereka.

2. Data sekunder adalah data yang penulis peroleh kepala sekolah, guru-
guru, pegawai administrasi melalui wawancara. Termasuk pula data
sekunder di sini adalah hasil telalahan dalam berbagai literatur, serta
informasi lainnya yang ada kaitannya dengan masalah mutu pendidikan

24
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
dan manajemen pendidikan. Data skunder ini, merupakan tambahan
keterangan untuk data primer tadi.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Profil MAN Bontoharu
Madrasah Aliyah Negeri Bontoharu Selayar adalah lembaga
pendidikan formal yang dulunya adalah sekolah kejuruan, yaitu Pendidikan
Guru Agama (PGA) 6 tahun, berdiri pada tanggal 1 Januari 1968.35 Dengan
demikian usia madrasah tersebut sampai saat memasuki tahun ke-33.
Sejarah berdirinya MAN Bontoharu diprakarsai oleh tokoh agama, tokoh
pendidikan, dan tokoh masyarakat Selayar ketika itu. Mereka adalah :
1. K. H. Abdul Kadir Kasim (Tokoh Agama)
2. K. H. Abd. Gani Saleh (Tokoh Agama)
3. Burhanuddin Idris (Tokoh Pendidik)
4. Abdullah Bahari (Tokoh Masyarakat)
5. H. Syahrir Thahir (Tokoh Masyarakat). 36
Dasar pemikiran pendirian institusi pada saat itu adalah kurangnya
tenaga Guru Agama dibanding dengan jumlah sekolah-sekolah dan madrasah-
madrasah, sehingga dipandang perlu adanya lembaga pendidikan yang
nantinya dapat mencetak tenaga-tenaga guru agama dan muballig. Dasar
pemikiran ini mendapat dukungan dari pihak yang berwenang, yakni Kepala
Kantor Inspeksi Pendidikan Agama daerah Tingkat II Selayar saat itu, yang
sekarang disebut Seksi Pendidikan Agama Islam pada Kantor Departemen
Agama Kab. Selayar.
Berdasarkan keputusan Kepala Kantor Inspeksi Pendidikan Agama
Daerah Tingkat II Selayar (IPADU), maka terhitung mulai tahun ajaran 1968,
tepatnya tanggal 1 Januari 1968, Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun resmi

35
Sofanul Hidayatullah, Kepala MAN Bontoharu, Wawancara, Bontoharu
Selayar, 17 Maret 2018.

25
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

didirikan, dan sebagai kepala sekolah pertama adalah H. Abd. Kadir Kasim,
yang merangkap sebagai Ketua Pendiri lembaga pendidikan tersebut.
Status PGA 6 Tahun Bontoharu Benteng Selayar berlangsung selama 12 tahun
6 bulan, yakni mulai sejak berdirinya tanggal 1 Januari 1968 sampai dengan 30
Juni 1980. Selama dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi empat kali
peralihan kepemimpinan yang secara berturut-turut

B. Tingkat Mutu Pendidikan Pada MAN Bontoharu


Tingkat mutu pendidikan pada suatu lembaga pendidikan, dapat
dilihat dari tingkat prestasi belajar peserta didiknya yang dapat dilihat antara
lain pada nilai rapornya, daya serapnya, dan perilakunya.
Mengenai nilai rapor siswa MAN Bontoharu, selama ini dapat
dianggap berkategori "tinggi" sebab antara 76%-100% siswa memperoleh nilai
atau angka antara 6-10 dalam buku rapornya. 37 Selanjutnya mengenai tingkat
mutu belajar dengan memperhatikan daya serap mereka terhadap pelajaran,
dapat ditelusuri melalui tabel-tabel berikut :

Tabel 7
Penguasaan terhadap mata pelajaran
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Menguasai/Memahami 97 64,67%
2 Kurang menguasai 45 30%
3 Tidak menguasai 8 5,33%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 1

Tabel 7 tersebut menunjukkan bahwa dari 150 responden, 97 orang atau


64,67% yang menyatakan mampu menguasai setiap mata pelajaran yang
disampaikan oleh gurunya. 45 responden atau 30% di antaranya yang
menyatakan kurang menguasai. Selebihnya 8 responden atau 5,3 % yang

37
Hasil survey penulis terhadap Buku Rapor siswa Kelas I -III di setiap Program
Jurusan pada MAN Bontoharu.

26
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
menyatakan tidak menguasai. Dengan demikian, dipahami bahwa rata-rata
siswa MAN Bontoharu selama ini mampu menguasai dan atau memahami mata
pelajaran yang diikutinya dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
Kaitannya dengan itu, berikut ini dikemukakan tabel tentang bagaimana
sikap mereka dalam menerima pelajaran di kelas.
Tabel 8
Sikap Siswa ketika Guru Mengajar di Kelas
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Memperhatikan apa yang dijelaskan guru 146 97,33%
2 Kurang memperhatikan 3 2,00%
3 Tidak memperhatikan 1 0,67%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 2

Tabel 8 tersebut menunjukkan bahwa dari 150 responden, 146 siswa


atau 97,33 yang menyatakan mereka dengan tekun selalu memperhatikan
materi pelajaran yang dijelaskan oleh guru ketika terjadi proses pembelajaran
di kelas. Selanjutnya 3 responden atau 2,00% kurang memperhatikan. Dari sini
dipahami bahwa hampir semua siswa MAN Bontoharu memperhatikan apa
yang dijelaskan guru-guru mereka, praktis bahwa mutu dan atau prestasi
belajar mereka di kelas tergolong tinggi.
Di samping seperti apa yang dikemukakan di atas, guru-guru juga sering
memberikan tugas kepada siswa, dalam rangka lebih memacu prestasi mereka.
Mengenai hal tersebut, dapat dilihat persepsinya dalam tabel berikut :
Tabel 9
Sikap siswa ketika guru memberikan tugas
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Selalu mengerjakannya dengan baik 113 75,33%
2 Kadang mengerjakannya dengan baik 27 18%
3 Tidak pernah mengerjakannya dengan baik
10 6,67%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 3

27
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Tabel 9 tersebut menunjukkan bahwa dari 150 responden, 113


responden atau 75,33% yang selalu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.
27 responden atau 18 yang kadang mengerjakannya tugas-tugas tersebut
dengan baik. 10 responden atau 6,67% yang memang pernah mengerjakannya
dengan baik. Dari sini dipahami bahwa rata-rata siswa MAN Bontoharu selalu
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru, dan hasil pekerjaan mereka
pun dianggap baik dalam arti selalu memperoleh nilai yang tinggi.
Salah satu bentuk upaya guru dalam meningkatkan prestasi belajar di
MAN Bontoharu adalah memberikan tugas-tugas kepada siswa, dan dalam
kenyataannya pula bahwa rata-rata siswa mampu mengerjakan tugas-tugas
tersebut dengan baik. Dari sini, kemudian dapat diprediksi bahwa kemampuan
dalam mengerjakan tugas oleh karena mereka rajin belajar, sebagaimana dalam
tabel berikut :
Tabel 10
Rutinitas kegiatan belajar Siswa
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Sangat rajin 126 84,0%
2 Kurang rajin 23 15,33%
3 Tidak rajin 1 0,67%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 4

Tabel 10 tersebut menunjukkan bahwa dari 150 responden, 126 siawa


atau 84, 0% yang menyatakan rajin belajar. 23 responden atau 15,3% yang
menyatakan kurang rajin belajar. Kebanyakan siswa menyatakan bahwa
mereka rajin belajar dalam rangka peningkatan mutu dan kualitasnya, terutama
agar mereka menjadi peserta dididik yang pintar, mendapat nilai yang tinggi,
lulus dalam ujian. Kemudian mereka juga menyatakan rajin belajar di rumah

28
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
pada malam hari, yakni dengan cara membaca ulang materi yang telah
dipelajari di sekolah di bawah bimbingan orangtua masing-masing di rumah.38
Untuk mengetahui hal tersebut, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 11
Kualifikasi nilai/angka hasil belajar Siswa
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Tinggi 119 79,3%
2 Sedang 28 18,7%
3 Rendah 3 2%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 5

Tabel 11 tersebut menunjukkan bahwa dari 150 responden, 119


responden atau 79,3% siswa yang selalu mendapatkan nilai tinggi. 28
responden atau 18,7% siswa yang selalu mendapatkan nilai sedang.
Selebihnya, 3 responden atau 2% siswa yang selalu mendapatkan nilai rendah.
Dari data ini diperoleh gambaran bahwa rata-rata siswa MAN Bontoharu selalu
mendapatkan nilai tinggi. Yakni, nilai atau angka yang memuaskan dari hasil
belajarnya, baik dalam bentuk nilai dari hasil pekerjaan rumahnya, nilai dari
hasil tugas-tugas yang dikerjakan di sekolah, maupun nilai dari hasil
ulangannya yang termaktub dalam buku rapor mereka.
Nilai tinggi yang dimaksudkan di atas, adalah skor antara 7 sampai 10,
nilai sedang adalah antara 6 sampai 8, dan nilai rendah adalah angka 5 ke
bawah. Dalam pandangan penulis bahwa walaupun siswa ada yang
mendapatkan nilai sedang, yakni sebanyak 28 siswa, ini sangat jauh selesihnya
dengan nilai rata-rata rendah sebanyak 3 siswa. Sehingga dapat dinyatakan
bahwa peningkatan mutu mereka benar-benar dapat diandalkan.
Kaitannya hal tersebut, perlu juga dianalisis tugas apa kira-kira yang
dominan diberikan kepada siswa, sebagaimana dalam tabel berikut :

38
Rusdin B, Amrullah Hasan, Arlang Gauk, Ahmad Rifai, Syahrul, Muh. Ikbal,
Hamriana, Rukayyah Daud, Muh. Nakir, Abd. Rahman, Syahrul, siswa -siswa MAN
Bontoharu, Hasil Wawancara, tanggal 23 Maret 2018.

29
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Tabel 12
Bentuk tugas yang dominan diberikan
guru kepada siswa
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Ulangan harian 102 68%
2 PR (Pekerjaan Rumah) 29 19,3%
3 Tugas tambahan di luar jam pelajaran (Les) 19 12,7%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 6
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa dari 150 responden, 102 siawa
atau 68 % menjawab bahwa ulangan harian lebih dapat memotivasi mereka
untuk meningkatkan mutunya dalam hal ini untuk lebih berpretasi dalam
belajar. Selebihnya yakni 29 siswa, atau 19,3% menjawab bahwa dengan tugas
berupa PR (pekerjaan rumah) dapat memotivasi mereka, selebihnya lagi yakni
19 siawa atau 12,7% menyatakan bahwa dengan tugas tambahan di luar jam
pelajaran (Les) menyebabkan diri untuk lebih meningkatkan mutunya. Dari
sini dipahami bahwa faktor utama yang mempengaruhi siswa dalam hal mutu
adalah disebabkan selalu ada ulangan yang diberikan oleh guru di kelas.
Muhibbin Syah menyatakan bahwa ulangan merupakan model evaluasi
yang dapat diberikan pada setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau
modul.39 Memang tidak dapat dipungkiri bahwa para siswa menjadi giat belajar
kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan ini juga
merupakan faktor terpenting dalam upaya memotivasi.
Di samping ulangan harian dan dan faktor lain lain yang dapat
mempengaruhi mutu siswa, tentu saja ada usaha lain bagi siswa secara
tersendiri untuk memotivasi dirinya. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel
berikut :

39
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 200.

30
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Tabel 13
Yang sering lakukan siswa dalam meningkatkan
motivasi belajar
Responden
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 Belajar sendiri tanpa bantuan orang lain 1 0,7%
2 Belajar dengan bimbingan orangtua 3 2%
3 Belajar dengan bimbingan guru di sekolah 146 97,3%
Jumlah 150 100%
Sumber Data : Hasil Kuisioner No. 7
Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa dari 150 responden, 1 atau 0,7%
menyatakan bahwa usaha lain yang sering dilakukan dalam rangka
meningkatan motivasi belajarnya adalah dengan cara belajar sendiri. 3 atau
atau 2% menyatakan belajar dengan bimbingan orangtua, dan yang terbanyak
adalah 146 atau 97% jumlah siswa yang menyatakan belajar dengan bimbingan
guru lebih memotivasi dirinya untuk peningkatan mutu, yakni berprestasi
dalam belajar.

B. Faktor-faktor yang mendukung mutu pendidikan pada MAN Bontoharu


Banyak faktor yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan di
MAN Bontoharu selama ini, dan faktor-faktor tersebut berikut ini dianalisis satu-
satu persatu.
1. Sistem Seleksi
Dalam setiap tahunnya MAN Bontoharu memperketat rekruitmen
seleksi dan penerimaan siswa. Dalam kaitan itu, siswa-siswa yang diterima
adalah mereka yang mampu dari mutu pendidikan dan kualitas individu yang
memadai. Sofanul Hidayatullah, M.Ag dalam hal ini menyatakan bahwa, sejak
tahun 2003 calon-calon siswa di Madrasah ini diseleksi secara ketat. Mereka
diseleksi dari segi kelayakan jasmani, dan rohani, tes wawancara, nilai rapor
pada jenjang pendidikan sebelumnya dan nim rata-rata tujuh ke atas. Sejak
tahun itu saya terlibat sebagai panitia seleksi penerimaan siswa baru. Prosedur

31
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

rekrutmen siswa itu dilakukan dengan jalan menyaring kembali calon siswa
yang telah mendaftar sebelumnya melalui mekanisme tes masuk. Selanjutnya,
diterimalah calon siswa yang memiliki nilai tes sesuai dengan yang disepakati
bersama. Jadi, setelah nilai hasil tes-masuknya itu dirangking, maka
ditetapkanlah berapa orang yang akan diterima. Bila yang diputuskan itu
menerima 40 orang saja di setiap kelas, maka yang diambil adalah rangking 1-
40.
Dengan demikian siswa MAN Bontoharu sejak itu boleh dikata siswa
pilihan. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih mengarah pada peningkatan
mutu pendidikan. Karena peningkatan kualitas senantiasa menjadi target utama
pimpinan MAN Bontoharu, dan itu dimulai dari penyaringan calon siswa.
MAN Bontoharu melakukan upaya itu karena sadar bahwa berbagai jenis dan
jenjang lembaga pendidikan di Indonesia pada umumnya dan di Sulawesi
Selatan pada khususnya diperhadapkan dengan berbagai masalah, terutama
yang berhubungan dengan rendahnya mutu pendidikan. Salah satu faktor untuk
meningkatkan mutu pendidikan ialah dengan alternatif memperketat seleksi
calon siswa sebagaimana yang disebutkan tadi. 40

2. Kualitas Guru dalam Proses Mengajar


Dalam dunia pendidikan, guru merupakan unsur utama pada
keseluruhan proses pencapain mutu pendidikan. Sebab posisi guru dalam
pelaksanaan pendidikan berada pada garis terdepan. Keberadaan guru dan
kesiapannya menjalankan tugas sebagai pendidik sangat menentukan bagi
terwujudnya mutu pendidikan. Karena itu, dianggap sebagai titik sentral dan
awal dari semua pembangunan pendidikan. 41 Kelayakan seseorang untuk
diangkat menjadi guru yang biasa disebut syarat-syarat untuk menjadi guru,
adalah terutama pada segi kualitasnya.

40
Sofanul Hidayatullah Kepala MAN Bontoharu, Wawancara, Bontoharu Selayar,
17 Maret 2018.
41
Lihat H. Mohamad Surya, Percikan Perjuangan Guru (Cet I; Semarang: CV.
Aneka Ilmu, 2003), h. 2

32
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dalam perspektif Islam, guru merupakan profesi yang amat mulia, karena
pendidikan adalah satu tema sentral Islam. Nabi Muhammad saw sendiri sering
disebut sebagai “pendidik kemanusiaan atau educator of mindkind”.42 Bagi
Islam, dan tentu saja implementasi berlaku setiap guru di MAN Bontoharu,
haruslah memiliki SDM yang bukan yang dapat diandalkan.
3. Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan ini meliputi pencapaian mutu pendidikan sesuai yang dicita-
citakan.
Mappanganro menjelaskan bahwa dalam pencapaian tujuan pendidikan,
terutama dalam pencapaian mutu dan kualitas pendidikan agama Islam di
sekolah, pelaksanaan kurikulum sebagaimana yang diatur dalam GBPP, harus
meliputi; (1) pendekatan pengamalan, yaitu pemberian pengamalan
keagamaan; (2) pendekatan pembiasaan, yaitu dengan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengamalkan ajaran agamanya; (3) pendekatan
emosiaonal, yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik
dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya; (4) pendekatan
rasional, yaitu usaha memberikan peranan kepada rasio akal dalam memahami
dan menerima kebenaran ajaran agama; (5) pendekatan fungsional, yaitu usaha
menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan kepada segi
kemanfaatannya bagi peserta didik. 43 Khusus bagi MAN Bontoharu selain
berupaya menerapkan kurikulum di sebagaimana yang dikemukakan
Mappanganro tersebut, juga MAN Bontoharu menggunakan Kurikulum
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.
4. Perpustakaan yang Memadai

42
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Cet I ;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 167
43
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung
Pandang: Yayasan Ahkam, 1996), h. 53-54

33
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Perpustakaan Madrasah merupakan salah satu sarana dan faktor


pendukung pemutuan pendidikan dan pembelajaran peserta didik di MAN
Bontoharu. Perpustakaan diadakan untuk memenuhi kebutuhan siswa
mendapatkan buku-buku penunjang kurikulum yang diperoleh di ruang kelas
serta bahan bacaan lain yang digunakan untuk menambah wawasan berpikir
dan mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan tingkat psikologi dan
berpikir peserta didik.
Perpustakaan MAN Bontoharu sesuai hasil survey penulis tertata rapi
dengan fasilitas-fasilitas yang memberikan suasana nyaman, memberikan
warna tersendiri kepada peserta didik dalam memperoleh pemenuhan informasi
dan pengembangan bakatnya. Pelayanan yang ramah dan komunikatif ruang
yang bersih, tata letak peralatan, dan perlengkapan yang pas, koleksi yang
tersusun rapi, ruang baca yang nyaman, fasilitas multi media yang tersedia dan
menarik akan memberikan nuansa tersendiri pada diri siswa untuk merasa
memiliki perpustakaan sebagai bagian dari proses pendidikannya di MAN
Bontoharu.
Oleh karena itu pustakawan dalam melaksanakan dan mengelola perpustakaan
MAN Bontoharu berjalan secara optimal, sehingga perpustakaan berfungsi
sebagaimana mestinya, maka pustakawan diberi tugas yang meliputi :
a. Pustakawan, Kepala Tata Usaha dan guru kerja sama menyusun strategi
pengelolaan perpustakaan madrasah serta menyusun rencana pengadaan
buku-buku perpustakaan,
b. menerima dan memeriksa buku untuk perpustakaan,
c. menyeleksi, mengklasifikasi dan membubuhkan cap buku-buku dan
mencatat dalam buku induk,
d. membuat daftar catalog perpustakaan,
e. mengatur pemakaian buku perpustakaan, baik yang dipergunakan siswa
maupun guru sesuai dengan pedoman pelaksanaan pengelolaan
perpustakaan,

34
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
f. melakukan pemeliharaan buku-buku dan perlengkapan lainnya di
perpustakaan,
g. mengawasi penggunaan buku diperpustakaan,
h. menjaga terlaksananya tata tertib diperpustakaan,
i. melakukan tugas lain yang diberikan oleh kepala madrasah dan
menyusun laporan kegiatan perpustakaan. 44

5. Keorganisasian
Penetapan struktur organisasi dan tata kerja penyelenggaraan MAN
Bontoharu mengacu kepada surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 370
dan 373 tahun 1993. Kedua surat keputusan tersebut berisikan tentang pola
penyelenggaraan organisasi dan kurikulum Madrasah Aliyah.
Untuk kelancaran dan terkoordinasinya pelaksanaan tugas organisasi
madrasah yang tergambar dalam struktur organisasi MAN Bontoharu, mulai
dari Kepala MAN dan wakil-wakil kepala madrasah dibantu oleh beberapa
Pembina yang terkait dengan bidang tugasnya masing-masing sehingga
program madrasah yang sudah ditetapkan dapat terwujud.
a. Tugas Kepala MAN Bontoharu
Kepala madrasah merupakan pucuk pimpinan dan orang yang paling
bertanggung jawab atas pengelolaan MAN Bontoharu.
Kepala madrasah dalam hal ini Sofanul Hidayatullah, M.Ag sebagai
mana yang dinyatakannya adalah Antara lain cara yang saya tempuh dalam
meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah ini adalah menjadikan pola
kepemimpinan sebagai Kepala MAN yang berdasar pada manajemen
organisasi, yakni mengkoordinasikan, mengarahkan, mengawasi, memotivasi
dan mengevaluasi segala yang terkait pada upaya penciptaan mutu pendidikan.
Kelima aspek ini, diyakini saling mempengaruhi. Di samping itu yang menjadi
penekanan adalah selalu mengarahkan pada guru untuk komitemen
mewujudkan mutu pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini, mengupayakan

44
Iskandar, S.Pd, Pembina Perpustakaan MAN Bonto haru, Wawancara, tanggal 15
Maret 2018.

35
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

para guru meningkatkan kualitas dan pretasi belajar siswa. Menekankan


pentingnya kegiatan ekstra kurikuler, dan para guru didorong untuk senantiasa
memberikan tugas mandiri/terstruktur pada siswa.45
Berkenaan dengan berbagai upaya yang dilakukan Kepala MAN
Bontoharu sebagaimana yang disebutkan di atas, maka diyakini bahwa pemutuan
pendidikan akan tercapai, hal tersebut telah berjalan sesuai realita yang ada di
MAN Bontoharu.
Selanjutnya tentang kemampuan dan profesionalisme organisasi yang
memadai yang diperlukan untuk merancang, mengendalikan dan memonitor
program dan kegiatan pendidikan di MAN Bontoharu dirumuskan tiga tugas
pokok yang menyangkut posisi jabatan Kepala Madrasah, yakni :
a. Penanggung jawab Madrasah secara kelembagaan
b. Sebagai administrator Madrasah
c. Sebagai supervisior kinerja SDM Madrasah. 46
Berdasarkan ketiga tugas pokok di atas selanjutnya dirinci kegiatan
operasional yang bersifat faktual, layak, dinamis dan berkesinambungan
sebagai berikut:
1. Menyusun perencanaan dan Prog. Kegiatan
2. Mengorganisasikan kegiatan
3. Mengarahkan kegiatan
4. mendorong Kreatifitas
5. Mengkoordinasikan kegiatan
6. Melaksanakan pengawasan
7. Melakukan evaluasi terhadap kegiatan
8. Menentukan kebijakan
9. Mengatur proses belajar mengajar
10. Mengatur administrasi

45
Sofanul Hidayatullah, Kepala MAN Bontoharu, Wawancara, Bontoharu Selayar,
17 Maret 2018.
46
Sofanul Hidayatullah, dalam "Buku Agenda MAN Bontoharu" (t.d),

36
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
- Belajar mengajar
- Perkantoran
- Siswa
- Ketenagaan
- Perlengkapan
- Keuangan
- Perpustakaan
- Laboratorium
- Bimbingan dan konseling
- Hubungan dengan masyarakat.47
Struktur organisasi MAN Bontoharu dapat dipilah dalam empat komponen
organisasi yaitu: 1) Pengelola, 2) Pembina, 3) Pelaksana, dan 4) Pendukung.
Pengelola adalah pihak yang bertanggung jawab secara langsung untuk
memimpin dan menjalankan roda organisasi dan operasional Madrasah.
Pengelola Madrasah berada di bawah tanggung jawab Kepala Madrasah.
Secara operasional Kepala Madrasah dibantu oleh wakil Kepala Madrasah
(Wakamad) sebanyak 4 (empat) Wakil Kepala Madrasah (Wakamad Aliyah),
yang masing-masing membidangi garapan-garapan tertentu, yaitu Bidang
kurikulum, Bidang kesiswaan, Bidang sarana dan prasarana, Bidang hubungan
dan masyarakat.
Adapun tugas Wakamad MAN Bontoharu selama ini, dapat dilihat dalam
uraian berikut :
a. Wakamad Bidang Kurikulum
Tugas Wakamad bidang kurikulum dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Menyusun:
- Program pengajaran
- Pembagian dan uraian tugas
- Jadwal pengajaran
- Penjabaran jadwal kalender penjabaran

47
Ibid

37
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

- Evaluasi belajar
- Kriteria dan persyaratan kenaikan kelas dan kelulusan
- Peringkat kelas setiap semester
- Program penerusan
2) Memberikan administrasi wali kelas, guru, perpustakaan, laboratorium dan
guru piket.
3) Merencanakan, mengkoordinir dan mengawasi PBM tambahan.
4) Mengkoordinir dan membina lembaga bidang akademis.
5) Membantu kepala madrasah melaksanakan supervisi kelas.
6) Membina dan memeriksa pelaksanaan program wali kelas, pustakawan dan
laboran. 48
b. Tugas Wakamad Bidang Kesiswaan
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara rinci tugas Wakamad
bidang kesiswaan pada MAN Bontoharu sebagai berikut:
1) Menyusun :
- Program pembinaan kegiatan kesiswaan Osis, dalam rangka mengadakan
disiplin dan tata tertib siswa
2) Mengkoordinir, membina dan mengawasi:
- Upacara Bendera, SKJ, delapan K
- Try Out dan Try In
- Kegiatan UKS, PMR, Pramuka dan kegiatan lainnya
3) Menyelenggarakan LKMD
4) Memantau lulusan Madrasah
5) Memilih siswa teladan dan menerima beasiswa
6) Merencanakan dan membina karya wisata, KIR, majalah dinding,
orientasi madrasah.49

48
Nur Haedah, S. Ag, Wakamad Kurikulum MAN Bontoharu, Wawancara,
tanggal 28 Maret 2018.
49
Sofanul Hidayatullah, S.PdI, Wakamad Kesiswaan MAN Bontoharu,
Wawancara, tanggal 16 Maret 2018.

38
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
c. Tugas Wakamad Bidang Sarana dan Prasarana
Uraian tentang tugas dan Wakamad bidang sarana dan prasarana sebagai
berikut:
1). Menyusun program pengadaan, pemeliharaan dan pengamanan barang
inventaris yang berkaitan dengan KBM.
2). Mendayagunakan sarana dan prasarana
3). Menjaga stabilitas ekstra guru / karyawan
4). Merencanakan kegiatan pendayagunaan sarana dan prasarana madrasah
secara optimal.
5). Mencatat dan menginventarisasikan tropi, piala, dan piagam.
6). Membuat laporan.50
d. Tugas Wakamad Bidang Hubungan Masyarakat.

Ada empat uraian tugas wakamad bidang hubungan masyarakat:


1) Kerja sama dengan BP3
2) Mengupayakan dokumentasi dan publikasi kegiatan yang dilaksanakan
3) Kegiatan peringatan hari-hari besar Islam/nasional
4) Membuat laporan bulanan.51
Keempat wakil madrasah (Wakamad) MAN Bontoharu merupakan
orang kedua dalam manajemen operasional MA. Wakamad bertanggung jawab
kepada Kepala Madrasah secara substantif dalam melaksanakan dan
mengkoordinasikan bidang garapan masing-masing. Kelompok Wakamad
merupakan komponen substantif yang integratif yang berarti meskipun tugas
yang dilakukan oleh seorang Wakamad bersifat substatif akan tetapi tidak bisa
terlepas antara satu dengan lainnya.
Dalam upaya mendukung terwujud mutu pendidikan, maka dalam
melaksanakan kepemimpinannya sebagai upaya untuk mencapai sasaran secara

50
Drs. Bau Hawa, Wakamad Sarana Prasarana MAN Bontoharu, Wawancara,
tanggal 16 Maret 2018
51
Sofanul Hidayatullah, Kepala MAN Bontoharu, Wawancara, Bontoharu Selayar,
17 Maret 2018.

39
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

optimal kepala madrasah (Kamad), wakil-wakil kepala madrasah (Wakamad)


memiliki jadwal kerja yang meliputi kegiatan rutin harian, mingguan, bulanan,
semester dan tahunan. Khusus untuk Kepala Madrasah (Kamad) akan
dikemukakan secara singkat jadwal kegiatan yang dimaksud yaitu sebagai
52
mana hasil wawancara dengan Kepala MAN Bontoharu sebagai berikut :
(1). Kegiatan harian
Kegiatan harian yang dimaksud meliputi: memeriksa daftar hadir guru,
tenaga tehnis pendidikan dan tenaga tata usaha, mengatur dan memeriksa
kegiatan 6 K (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Kekeluargaan, dan
Kerindangan), memeriksa satuan pelajar guru dan persiapan lainnya yang
menunjang proses belajar mengajar, menyelesaikan surat-surat, menerima
tamu dan menyelenggaraan kantor lainnya, mengatasi hambatan-hambatan
yang timbul dalam proses belajar mengajar, mengatasi kasus yang terjadi
setiap saat dan memerlukan segala sesuatu menjelang selesainya kegiatan
belajar mengajar.
(2). Kegiatan Mingguan
Upacara bendera pada setiap hari senin, memeriksa agenda dan
menyelesaikan surat-surat, mengadakan rapat mingguan guna membahas
jalannya pembelajaran yang telah berlangsung dan beberapa kasus yang belum
terselesaikan dan mengatur penyediaan keperluan perlengkapan lainnya.
(3). Kegiatan Bulanan
Pada awal bulan dilakukan kegiatan penyelesaian keuangan, gaji
pegawai/guru, laporan bulanan, rencana keperluan kantor/madrasah dan
rencana bulanan, melaksanakan pemeriksaan umum, buku kelas/jurnal
pengajaran, daftar hadir guru/pegawai. Pada akhir bulan dilakukan antara lain
penutupan buku kas, pertanggung jawaban keuangan dan evaluasi terhadap
persediaan dan penggunaan bahan praktek.
(4). Kegiatan Semester

52
Ibid.

40
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Setiap semester dilaksanakan kegiatan, antara lain: menyelenggarakan
perbaikan sarana kegiatan belajar mengajar, peralatan kantor, peralatan praktek
dan lain-lain, menyelenggarakan evaluasi semester, menyelenggarakan
kegiatan evaluasi OSIS, UKS dan ekstra kurikuler lainnya, menyelenggarakan
semester meliputi pengumpulan nilai (leger), ketetapan nilai raport, catatan
siswa yang perlu mendapat perhatian khusus, pengisian nilai semester,
memanggil orang tua siswa sejauh diperlukan untuk pemberian informasi dan
konsultasi.
(5). Kegiatan Tahunan
Setiap akhir tahun dilaksanakan kegiatan menyelenggarakan penutupan
buku inventaris dan keuangan, menyelenggarakan UAS/ UNAS,
menyelenggarakan persiapan kenaikan kelas yang menyangkut kegiatan-
kegiatan pengisian daftar nilai (leger), penyiapan bahan untuk rapat guru,
pengisian raport dan hasil UAS/UNAS, upacara akhir tahun pelajaran,
kenaikan kelas, pembagian raport, penyelesaian STTB dan penamatan siswa
kelas III, menyelenggarakan evaluasi, pelaksanaan belajar mengajar yang
sudah dilakukan setahun silam, menyelenggarakan penyusunan rencana
perbaikan dan pemeliharaan madrasah, menyelenggarakan laporan akhir tahun
anggaran dan pelaksanaan kegiatan penerimaan siswa baru.
Sedangkan kegiatan awal tahun anggaran sangat diperlukan adanya
rencana kegiatan madrasah pada tahun yang akan datang yang meliputi
pembagian tugas mengajar, program satuan pengajaran, dan jadwal pelajaran,
kebutuhan buku pelajaran, buku pegangan guru, kelengkapan alat dan bahan
pelajaran dan rapat guru.
Selanjutnya dalam hal penataan administrasi, maka posisi tata usaha
MAN Bontoharu merupakan “tangan kanan” kepada Kepala Madrasah.
Kelompok tata usaha madrasah berperan ganda, sebagai “dapur” dan sekaligus
“wajah” madrasah.
Empat tugas pokok yang terkait dengan tanggung jawab ketatausahaan
pada MAN Bontoharu adalah:

41
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

1) Program-program ketatausahaan dalam memelihara, menjalankan dan


menjaga keamanan demi kelangsungan operasional madrasah;
2) Melaksanakan adminsitrasi kepegawaian madrasah
3) Melaksanakan administrasi keuangan
4) Melaksanakan adminsitrasi perlengkapan madrasah. 53
Dari keempat tugas pokok tersebut diatas penulis kemukakan secara
rinci tugas tata usaha MAN Bontoharu sebagai sesuai hasil wawancara lepas
dan survey di lapangan, yakani :
(1) Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan
administrasi madrasah, meliputi:
a. Membuat rencana kebutuhan rumah tangga madrasah.
b. Penata usahaan kepegawaian
c. Penata usahaan keuangan
d. Penata usahaan kantor
e. Penata usahaan perlengkapan
f. Penata usahaan koperasi madrasah
g. Pemeliharaan sarana dan prasarana madrasah
h. Pembuatan laporan
(2) Mengkoordinir serta memberi bimbingan kepada Staf Tata Usaha sehubu-
ngan dengan pelaksanaan tugas yang dibebankan.
(3) Bekerja sama dengan wakamad-wakamad dalam melaksanakan KBM
(4) Membuat penilaian bagi Staf Tata Usaha sehubungan dengan tugas yang
diberikan.
(5) Memberikan pelayanan kepada guru dan siswa sehubungan dengan
administrasi pendidikan.
(6) Melaksanakan tugas lain yang diberikan kepala madrasah.
(7) Lain-lain yang ada hubungannya dengan administrasi kantor.

53
Sitti Nafisah, Kapala Urusan Tata Usaha MAN Bontoharu, Wawancara, tanggal
16 Maret 2018

42
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Berdasar dari uraian yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan
bahwa upaya peingkatan mutu pendidikan bagi MAN Bontoharu, merupakan
tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari, dan karena itu
penataan organisasi merupakan sesuatu yang sangat siginifikan bagi MAN
Bontoharu sebagaimana yang terlaksana selama ini. Faktor organisasi d
samping beberapa faktor lainnya telah dikemukakan, memiliki pengaruh
penting dalam pemutuan pendidikan dan hal itu menjadi perioritas bagi MAN
Bontoharu selama ini sebagaimana hasil analisis penulis yang telah
dikemukakan dalam uraian sebelumnya.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN


A. Simpulan
Berdasar pada permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yakni
faktor-faktor yang terkait dengan kegiatan manajemen mutu pendidikan pada
MAN Bontoharu, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :
1. Mutu pendidikan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah
kualitas pendidikan, yakni kadar prestasi yang diraih oleh siswa MAN
Bontoharu melalui proses belajar di madrasah. Bila dilihat dari
prestasi hasil belajar siswa MAN Bontoharu dengan mencermati nilai
mereka yang terdapat dalam buku rapor, dapat dikategorikan cukup
tinggi. Demikian pula dengan mencermati daya nalar serap mereka
terhadap pelajaran di kelas, mereka rata-rata menguasainya sebab
dalam proses pembelajaran terjadi interaksi yang baik antara guru dan
siswa. Para siswa juga mengerjakan tugas-tugas dengan baik yang
diberikan oleh gurunya, baik tugas itu berupa PR, tugas ulangan
harian, dan tugas tambahan berupa les. Mutu dan atau prestasi yang
dicapai oleh siswa MAN Bontoharu tersebut, juga dapat dilihat dari
even-even lain seperti porseni di mana mereka selalu mendapat juara
satu dan dua di setiap jenis kegiatan.

43
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

2. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh dan mendukung terwujudnya


mutu pendidikan yang tinggi di MAN Bontoharu selama ini adalah
bermula dari proses seleksi rekruitmen calon siswa yang sangat ketat
dengan beberapa prosedur mulai dari tes tulsan dan lisan dalam bentuk
wawancara (psikotes), dan dalam proses tersebut tidak ditemukan
adanya unsur KKN. Di samping itu, faktor yang sangat mendukung
adalah terjaminnya kualitas guru-guru MAN Bontoharu yang sesuai
dengan faktanya mereka memiliki SDM yang dapat diandalkan dan
diper-tanggungjawabkan sebagai tenaga pendidik. Selanjutnya dari
segi pelaksanaan kurikulum yakni implementasi KTSP berjalan sesuai
yang diharapkan, ditambah lagi dengan dukungan fasilitas berupa
literatur kepustakaan yang tersedia dalam perpustakaan yang memadai
mendorong terwujudnya pencapaian mutu pendidikan. Yang terakhir
adalah tentang pengelolaan manajemen organisasi pada MAN
Bontoharu selama ini dianggap efektif dan efisien sesuai prinsip-
prinsip manajerial, sehingga tingat mutu pendidikan yang dicita-
citakan terwujud sesuai realitasnya.

B. Saran
Berdasar dari hasil kesimpulan di atas, berikut ini dirumuskan saran
sebagai implikasi akhir dari penelitian ini yakni, oleh karena mutu pendidikan
pada MAN Bontoharu selama ini termasuk dalam kategori tinggi, maka
disarankan untuk tetap dipertahankan, bahkan lebih ditingkat kan lagi dengan
menggunakan berbagai upaya dan usaha yang dapat mengantar siswa ke arah
tersebut. Upaya penting yang harus dilakukan adalah hendaknya semua guru
saling bekerjasama dan aktif mendiskusikan program apa yang harus
dilaksanakan, kemudian diusulkan kepada Kepala Madrasah untuk dibuatkan
konsep implementasinya.

44
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
Ahmad, A. Kadir. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. I;
Makassar: CV. Indobis Media Centre, 2003.
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Rineka
cipta, 1991.
Al-Ahwāniy, Ahmad Fū’ad. Al-Tarbiyah fī al-Islām. Mesir: Dār al-Ma’arif,
1979.
Ali, A. Mukti. "Pendidikan Agama dan Sistem Pendidikan Bangsa" dalam
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Nomor 2, Vol. 1. Yogyakarta : Fak.
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1991.
Arifin, H.M. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Cet III ; Jakarta :
Bumi Aksara, 1995.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Cet.
IX; Jakarta: Renika Cipta, 1993.
Arsyad, Azhar. Pokok-pokok Manajemen Pengetahuan Praktis Bagi
Pimpinan dan Eksekuti. Montreal, Exekutive Institute Fakulty Of
Managemen Mc Gill University, 1996.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cet I ;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Basyir, K. H. Ahmad Azhar. Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Bandung :
Mizan, 1994.
Brubacher, John S. Modern Philosophies of Education. New Delhi: Tata
Graw-Hill Publishing Company LTD, 1981.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Cet V; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid
Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Departemen Agama RI, Statistik Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Jakarta : Sekretariat Ditjen Binbaga
Islam, 2002.

45
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Edisi III. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Djuwaeli, M. Arsyad. Pembaruan Kembali Pendidikan Islam. Jakarta :
Yayasan Karsa Utama Mandiri.
Echols, John M. dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia. Cet. V; Jakarta:
Gramedia, 1989.
Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Cet. II ; Bandung :
Mizan, 1999.
Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Cet. II ; Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2000.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, jilid I. Cet. XX; Yogyakarta: Audi
Ofsser, 1987.
Hamalik, Oemar. Evaluasi Kurikulum. Cet. II; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1993.
Idy, Iskandar. Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu
Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi
Selatan "Tesis Magister". Ujungpandang: Program Pascasarjana
UMI, 2002.
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintan, 1994.
Mahmud, Ahsan. Perspektif Pesantren Moderen IMMIM Putra dalam Upaya
Peningaktan Mutu Pendidikan Islam "Tesis Magister". Makassar:
Program Pascasarjana UMI, 2002.
Maksum, H. Madrasah dan Perkembangan. Cet. I; Jakarta : Logos Macara
Ilmu, 1999.
MAN Bontoharu, Buku Induk MAN Bontoharu, pada bagian Tata Usaha MAN
Bontoharu, tahun 2018.
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah. Cet.I; Ujung
Pandang: Yayasan Ahkam, 1996.
Mardalis, Metode Penelitian. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: al-
Ma'arif, 1972.
Mentja, William. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran :
Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi. Cet, I ; Malang : Wineka
Media, 2002.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet. III ; PT. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1999.

46
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Minawwir. Cet. II; Bangil:
Pesantren al-Munawwir, 1998.
Najamuddin, H. Syamsuddin. Efektifitas Penerapan Kurikulum Lokal dalam
Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Siswa; Studi pada Madrasah
Tsanawiyah Swasta di Kabupaten Pinrang "Tesis Magister".
Makassar: Program Pascasarjana UMI, 2002.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Cet. III; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Nitisemito, Alex S. Manajemen Suatu Dasar dan Pengantar. Cet. III; Jakarta
: Ghalia Indonesia, 1989.
Panglaykim dan Hazil Tanzil, Manajemen Suatu Pengantar. Cet. XV ; Jakarta
: Ghalia Indonesila, 1991.
Partanto, Pius A., dan M Dahlan al-Barry. Kamus llmiah Poputer. Surabaya :
Arkola, 1994.
Pongtuluran, Aris. Manajemen Mutu Total dalam Pendidikan, "Makalah"
disampaikan dalam Konfrensi Nasional Manajemen Pendidikan.
Jakarta : 2002.
Rahini, Husain. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. I ; Jakarta :
PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Saleh, Abdurahman. Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta : Dewan
Pimpinan Gabungan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam, 1993.
Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Cet.VII; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Saridjo, Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta :
Direktorat Binibaga Islam Dep. Agama, 1996/1997.
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Cet. IV; Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Sudjana S., Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah
dan Pergembangan Sumber Daya Manusia. Cet III ; Bandung :
Falah Productiou, 2000.
., Metode Statistik. Bandung: Tarsito, 1984.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praltek.
Cet.II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Supriadi, Dedi. Manajemen Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta : Adicita
Karya Nusa, 1999.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar; Dasar dan
Teknik Metodologi Pengajaran. Bandung: Transito, 1982.
Surya, H. Mohamad. Percikan Perjuangan Guru. Cet I; Semarang: CV.
Aneka Ilmu, 2003.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003.

47
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet.VIII; Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2004.
Tampubolon, Daulat P. Perguruan Tinggi Bermutu : Paradigma Baru
Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Abad ke-21. Cet. I;
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama : 2001.
Terry, George R. dan Leshe W. Rue, Principle of Management,
diterjemahkan, oleh G.A.Ticoalu dengan judul Dasar-dasar
Manajemen. Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Thorndike, Robert L. dan Elisabeth P. Hagen Measurement and Aevaluation
in Psychology and Education Fourth Edition. New York: John
Wiley and Sons, t.th.
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Persfektif Abad 21. Magelang : Indonesia Tera, 2001.
. Manajemen Pendidikan Nasional. Cet. V; Bandung : Gema Insani
Press, 1995.
. dan Ace Suryadi. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu
Pengantar. Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Tirtaraharja, Umar. Optinialisasi Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan
Kualitas Pendidikan, "Makalah" disampaikan dalam Seminar IMDI.
Parepare: t.p., 1993.
'Ulwān, ‘Abdullah Nāsih. Tarbiyat al-Awlād fī al-Islām, jilid I. Cet. I; Mesir:
Dār al-Salām li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1993.
Uwes, Sanusia. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, Jakarta Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Wasito, Herman. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992.

48
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM


(Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis, Falsafah, Yuridis Formal, Psikologis,
Sosiologis dan Aksiologisnya)

Rufaida Salam
Program Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Parahikma Indonesia


Email: rufaida@ipi.ac.id
Abstrak
Dasar pendidikan Islam merupakan acuan dasar yang merupakan
sumber kebenaran dan kekuatan yang dapat menjadi pengantar atau
jalan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Pendidikan Islam adalah suatu usaha atau bimbingan dalam


menanamkan ajaran Islam kepada anak didik (manusia) yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangan jasmani dan rohani
menuju terbentuknya suatu kepribadian yang berdasarkan pada ajaran
Islam, maka jelas bahwa pendidikan Islam berdasarkan pada ajaran
Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Pendidikan Islam, tidak terlepas dari
Islam itu sendiri sebagai ajaran agama yang Rahmatam Lil Alamiin baik
pendidikan Islam ditinjau dari aspek Al-Qur’an dan Hadis, falsafah,
yuridis formal, psikologis, sosiologis maupun aksiologis. Proses
pendidikan yang dikehendaki oleh Islam bertujuan untuk mencapai
tujuan akhir, nilai-nilai Islami mendasari dan memberi corak terhadap
kepribadian anak didik (manusia). Dengan kata lain, pendidikan Islam
berorientasi pada Islam yang bertujuan pada tiga dimensi hubungan
manusia selaku “khalifah” di muka bumi, yaitu: 1). menanamkan sikap
hubungan yang seimbang, selaras dengan Tuhannya. 2). Membentuk
hubungan yang seimbang, harmonis dan selaras dengan masyarakat. 3).
Mengembangkan kemampuannya untuk mengelola dan memanfaatkan
kekayaan ciptaan Allah sebagai kesejahteraan untuk dirinya dan untuk
sesamanya.

Kata Kunci: Dasar-dasar-Tujuan-Pendidikan

49
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENDAHULUAN
Pendidikan Islam yang terlakasana sebagai suatu sistem mengharuskan
berprosenya seluruh bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai dengan
ajaran Islam. Proses tersebut baru dapat berjalan secara konsisten jika dilandasi
dengan pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan
pendidikan Islam.54 Dengan demikian, suatu sistem pendidikan Islam dari pola
yang membentuknya yakni dengan meletakkan nilai-nilai dasar agama sehingga
menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu terjadwal dan didasari
oleh berbagai pertimbangan, serta diakhiri dengan suatu harapan agar terwujudnya
pencapaian tujuan sesuai dengan yang diingkan. Sudah merupakan fitrah bahwa
setiap manusia menginginkan kehidupan yang bermakna, baik untuk dirinya
maupun lingkungannya. Kehidupan yang bermakna memberikan kesadaran pada
diri manusia bahwa eksistensi (keberadaannya) dihargai. 55 Dengan demikian,
manusia menyadari bahwa kehidupan yang dijalani tidaklah sia-sia, tetapi
bermakna dan memberi nilai pada manusia untuk menyadari harga diri dan jati
dirinya.
Pendidikan juga merupakan bagian dari upaya yang membantu manusia
untuk memperloleh kehidupan yang bermakna sehingga memperoleh kebahagiaan
hidup. Sebagai proses, pendidikan memerlukan sebuah sistem yang terprogram
dan mantap, serta tujuan yang jelas agar arah yang hendak dituju mudah tercapai.

54H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Interdisipliner (Cet. I; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), h. 37. Bandingkan dengan
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 109.
55H. Jalaluddin, Teknologi Pendidikan (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2001), h. 77.

50
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dasar pendidikan dihasilkan dari rumusan pemikiran yang terpola dalam
bentuk pandangan hidup. Sedangkan tujuan pendidikan dihasilkan dari rumusan
kehendak dan cita-cita yang akan dicapai, yang menurut pertimbangan dapat
memberi kebahagiaan dan makna hidup bagi manusia. Keduanya dirumuskan atas
dasar berbagai sudut pandang. 56 Dengan demikian, maka dasar dan tujuan
pendidikan menjadi beragam, tergantung dari latar belakang pemikiran,
pengalaman serta pendekatan yang digunakan.
Latar belakang ini bersumber dari falsafah hidup yang dianggap memiliki
nilai kebenaran oleh suatu masyarakat atau bangsa. Tentunya nilai tentang
kebenaran itu tidak sama dalam pandangan masyarakat yang berbeda.
Sehubungan dengan hal itu, maka dasar dan tujuan pendidikan Islam yang
menjadi bagian dari komponen sistem pendidikannya akan berbeda pula dengan
dasar dan tujuan pendidikan selainnya.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai
filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam.57
Seperti halnya dengan dasar pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga
identik dengan tujuan Islam itu sendiri.

PEMBAHASAN
A. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis
Dasar pendidikan merupakan persoalan yang sangat fundamental dalam
pelaksanaan pendidikan. Sebab, dengan dasar tersebut ditentukan corak, warna
dan isi pendidikan itu sendiri. Dasar merupakan landasan untuk berdirinya sesuatu
dan mempunyai fungsi untuk memberi arah kepada tujuan yang ingin dicapai.
Mengenai dasar pendidikan Islam tentu, tidak terlepas dari sumber hukum Islam
itu sendiri yakni al-Qur’an dan Hadis.
Kedudukan al-Qur’an sebagai dasar dan sumber utama pendidikan Islam
dpat dipahami dari beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan hal tersebut,
antara lain dalam QS. Shad (38): 29 sebagai berikut:

56Ibid., h. 79.
57Ibid., h. 89.

51
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

‫ب‬ َٰ َ ‫ك ِ َِلَ َّدبَّ ُر ٓوا ْ َء َايَٰتِهِۦ َو َِلَ َت َذ َّك َر أُ ْول ُوا ْ ۡٱۡلَ ۡل‬
‫ب‬
َ ۡ َ ُ َٰ َ ۡ َ َ ٌ َٰ َ
ٞ ‫ك ُم َبَٰ َر‬ ‫كِتب أنزلنه إَِل‬
ِ

Terjemahnya:
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran.

Sehubungan dengan hal ini, al-Qur’an merupakan penuntun manusia


terutama dalam bidang kerohanian, kemasyarakatan, moral dan spiritual. 58
Dengan demikian, pendidikan dan pengajaran umat Islam harus didasarkan pada
al-Qur’an. Selain itu, hadis merupakan dasar pendidikan yang kedua, di dalamnya
juga terdapat ajaran tentang akidah, syariat dan petunjuk kemaslahatan manusia
dalam segala aspek kehidupannya untuk membina ummat menjadi manusia
paripurna. Maka dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw. seorang pendidik yang
utama, dengan segala perbuatan yang dikerjakan Nabi dalam proses perubahan
sikap sehari-hari menjadi sumber atau dasar bagi pendidikan Islam.
Allah swt. telah menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan bagi
ummatnya. Sebab beliau telah membimbing manusia menuju kemerdekaan dan
kebahagiaan serta melahirkan ketertiban dan kestabilan yang telah mendorong
perkembangan kebudayaan Islam.59 Seseorang yang telah mengangkat derajat atau
mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik dan bermakna, berarti telah
meraih keberhasilan dalam mendidik.
Salah satu hal yang sangat urgen dalam proses pendidikan adalah teori
fitrah, yang merupakan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki
kecenderungan untuk berkembang,60 maka proses pendidikan sebagai upaya untuk
mempengaruhi jiwa terhadap fitrah sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi saw.:

58Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Makassar: Yayasan Pendidikan Fatiya

Makassar, 2004), h. 10.


59Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam, h. 15.
60 Khaeruddin, Pemikiran Nilai Dan Etika Pendidikan Islam (Cet. I; Makassar: YAPMA,

2003), h. 127.

52
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
61
ِ ‫سانِ ِه ا ً ْو يُن‬
‫َص َرانِ ِه‬ ْ ‫علَى اْل ِف‬
َ ‫ط َر ِة فَاًبَ َواهُ ا ً ْن يُ َه ِودَانِ ِه ا ً ْوي ُ َم ِج‬ َ ُ ‫ُك ُل َم ْول ُ ْو ٍد ي ُ ْولَد‬
Artinya:
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau Majusi atau Nasrani.

Fitrah dalam hadis tersebut diartikan sebagai faktor pembawaan sejak


manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, dalam hal ini melalui proses
pendidikan, di mana orang tua berperan untuk menanamkan nilai-nilai agama
terhadap anak-anak mereka.
Pendidikan Islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis tersebut
diharapkan mencapai tujuan pendidikan Islam yaitu idealitas yang mengandung
nilai-nilai islami atau realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri yang
membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia maupun di akhirat.
Sebagaimana yang terapat dalam QS. Al-Qhasas (28): 77 sebagai berikut:

َ ۡ َ ُ َّ َ َ ۡ َ ٓ َ َ ۡ َ‫ٱدل ۡن َياَۖ َوأ‬ َ َ َ َ َ ََ ََ َّ ُ َّ ‫ك‬ َ َٰ َ َ ٓ َ


‫ك‬
َۖ ِ‫َل‬ ‫إ‬ ‫ٱَّلل‬ ‫ن‬‫س‬ ‫ح‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ك‬ ‫ِن‬
‫س‬ ‫ح‬ ُّ ‫ك م َِن‬
ِ ‫ٱَّلل ٱدل َار ٱٓأۡلخِرة َۖ وَل تنس ن‬
‫صيب‬ ‫َو ۡٱب َتغِ فِيما ءاتى‬

ۡ ُ ۡ ُّ ُ َ َ َّ َّ َۡ َ َ َۡ َۡ ََ
َ‫س ِدين‬ ِۖ ِ ‫وَل تبغِ ٱلفساد ِِف ٱۡل‬
ِ ‫ۡرض إِن ٱَّلل َل ُيِب ٱلمف‬

Terjemahnya:
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dengan demikian, tujuan terakhir dari pendidikan Islam itu terletak dalam
realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan,
masyarakat maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan.62 Dalam hal ini
telah dijelaskan dalam firman Allah swt dalam QS. Al-An’am (6): 162:

61Imam Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asgalany, Shohih Bokhary (juz. III; Beirut

Libanono: Dar Ma’rifah, 752-773 H), No. Hadis 1385, h. 245.


62 H.M. Arifin, op.cit., h. 28.

53
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

َ ‫اي َو َم َماِت ِ ََّّللِ َر ِب ٱ ۡل َعَٰلَم‬


‫ي‬
َۡ َ
َ ‫َم َي‬ ُ َ َّ ۡ ُ
‫قل إِن َصَل ِِت َون ُس ِِك و‬
ِ ِ ِ

Terjemahnya:
Katakanlah sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Dalam ayat tersebut tercermin tujuan pendidikan Islam mencakup


pengembangan keperibadian muslim yang bersifat menyeluruh secara haromonis
berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis manusia mengacu kepada keimanan
dan ilmu pengetahuan secara seimbang sehingga membentuk manusia muslim
yang paripurna dan berjiwa tawakkal secara total kepada Allah swt.
Tujuan pendidikan Islam merupakan penggambaran nilai-nilai islami yang
hendak diwujudkan dalam pribadi manusia, dengan istilah lain mewujudkan nilai-
nilai islami dalam kepribadian manuia yang beriman, bertakwa dan berilmu
pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang
taat.
B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Falsafah
Sebelum membahas mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam ditinjau
dari falsafah, maka terlebih dahulu kita mengatahui bagaimana sesungguhnya
manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam. Setidaknya karena manusia
merupakan bagian dari alam semesta (makro). Dengan demikian, manusia tidak
dapat melepaskan diri dari lingkungan kehidupan alam semeta. Dalam konsep
filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, hakikatnya
penciptaannya adalah agar manusia mengabdi kepada-Nya. Agar dapat melakukan
pengabdian, maka manusia dianugrahi berbagai potensi, baik jasmani maupun
rohani.
Pertumbuhan dan perkembangan manusia berjalan secara evolusi
(bertahap).63 Melalui tahap tersebut, manusia mengembangkan dirinya dengan
pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, hubungan antara lingkungan,
khaliq maupun antar sesama manusia tak dapat dipisahkan.

63 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, op.cit., h. 31.

54
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Manusia dalam meningkatkan sumber daya insaninya terikat dengan nilai-
nilai yang telah ditentukan oleh Allah. Dengan demikian, dalam filafat pendidikan
Islam manusia adalah makhluk alternatif (dapat memilih), akan tetapi juga
ditawarkan kepadanya nilai-nilai yang terbaik yaitu nilai ilahiyat. Jadi, di satu sisi
ia memiliki kebebasan untuk menentukan arah, dan di sisi lain ia diberi pedoman
ke mana arah yang terbaik yang mesti dituju.
Dengan memahami filsafat pendidikan akan mengantarkan kita kepada
penentuan falsafah pendidikan Islam (pandangan pendidikan), sebab filsafat
memberikan ide-ide dan cara berpikir dengan sistematis dan benar akan
mengarahkan kepada falsafah pendidikan Islam yang benar. Sejalan dengan
pandangan pendidikan bahwa manusia merupakan obyek dan sekaligus subyek
pendidikan, maka dalam pendidikan Islam manusia dinilai menempati titik
sentral.64 Tergantung dari kemampuan manusia bagaimana mereka
mengembangkan diri dan memanfaatkan alam sekitarnya.
Adapun dasar dan tujuan pendidikan Islam merujuk pada sumber wahyu.
Hakikat kebenaran wahyu memang dapat diterima oleh nalar manusia sebagai
makhluk ciptaan. Dalam konteks ini, dapat dilihat rangkaian hubungan antara
tujuan manusia diciptakan dengan tujuan wahyu diturunkan. Manusia
menginginkan kebahagiaan hidup, sedangkan wahyu diturunkan sebagai pedoman
untuk membimbing manusia ke arah pencapaian kebahagiaan hidup tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dasar dan tujuan pendidikan Islam
apabila dilihat dari falsafahnya akan kembali kepada prinsip-prinsip Islam itu
sendiri dalam menilai manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah dan kodrat
yang senantiasa menginginkan kebahagiaan.
Dengan demikian, pendidikan Islam bertujuan agar manusia memperoleh
kebahagiaan melalui cara hidup yang susila dan shaleh sesuai dengan tuntunan
agama, sebab dengan cara demikianlah akan mendatangkan rasa bahagia baik
lahir maupun batin.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Yuridis Formal

64 Ibid., h.. 83.

55
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Secara historis, sejak pemerintahan kolonial Belanda memperkenalkan


sistem pendidikan yang bersifat sekuler, keadaan pendidikan di Indonesia berjalan
secara dualistis. Pendidikan kolonial yang tidak memperlihatkan nilai-nilai agama
dengan pola Baratnya berjalan sendiri, sementara pendidikan Islam yang diwakili
pesantren tidak memperlihatkan pengetahuan umum juga berjalan sendiri. 65
Keadaan tersebut ternyata sangat merugikan Indonesia karena lembaga
pendidikan telah melahirkan out put yang berpengetahuan terbatas dan tidak
menyeluruh akibat dari adanya dikotomi pengetahuan itu.
Bahasa Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam
bersepakat untuk membentuk suatu negara kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Meskipun bukan berdasarkan Islam,
namun pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan bagi umat Islam untuk
melaksanakan dan mengembangkan pendidikan Islam. Di samping itu, undang-
undang tersebut juga merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan
agama Islam ke dalam sistem pendidikan nasional, sebagai usaha untuk
menghilangkan dualisme sistem pendidikan. Dengan demikian, pada dasarnya UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Depdiknas merupakan wadah formal
terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan dengan
wadah itu pendidikan Islam mendapatkan peluang untuk terus berkembang.
Adapun kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara
integrasi dalam sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari beberapa UU Nomor
20 tahun 2003 sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa pendidikan yang berakar pada kebudayaan
Indonesia yang berdasarkan pada pancasila UUD 1945. 66 Dengan demikian,
jelaslan bahwa pendidikan Islam merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional, sebab pendidikan Islam baik sebagai sistem maupun
kelembagaannya merupakan warisan budaya bangsa Indonesia.

65 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Cet. I; PT. RajaGrafindo Persada, 1999),


h. 171.
66 Ibid., h. 174.

56
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
2) Pasal 4 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.67 Apa yang dinyatakan tersebut
menyangkut nilai-nilai dan berbagai aspeknya adalah nilai-nilai ajaran Islam,
oleh karena itu berkembangnya pendidikan Islam sangat berperan penting
dalam keberhasilan pecapaian tujuan pendidikan nasional.
3) Pasal 10 ayat 4 dinyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian
dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan
memberikan keyakinan agama, nilai moral dan keterampilan.
Islam mengajarkan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
pertama dan utama yang berperan besar dalam pembentukan kepribadian anak.
Dengan masuknya lembaga pendidikan keluarga sebagai salah satu dari sistem
pendidikan nasional, maka pendidikan keluarga menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Secara eksplisit, dasar dan tujuan pendidikan Islam telah tertuang dalam
penjelasan beberapa pasal UUD 1945 dan Pancasila yang dapat dirangkum,
pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama saja,
melainkan dapat mengarahkan anak didik untuk menjadi manusia yang benar-
benar mempunyai kualitas keberagamaan yang kuat. Sehingga mampu
membentuk sikap dan kepribadian yang beriman dan bertakwa dalam arti yang
sesungguhnya.
D. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Psikologis.
Salah satu fungsi pendidikan Islam adalah mentransfer ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai serta keterampilan dari generasi ke generasi selanjutnya, sehingga
proses pendidikan berlangsung secara berksinambungan. Dalam proses

67 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan (Sebuah Studi tentang Dasar-dasar

Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesisa) (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2001), h. 335.

57
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

transformasi tersebut, tentu banyak hal yang perlu diperhatikan, salah satunya
adalah psikologi perkembangan yang sangat membantu dalam keberhasilan
pencapaian tujuan pendidikan Islam. Sebab menurut ajaran Islam, manusia
mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak masih berada dalam kandungan
sampai ia lahir dan tumbuh menjadi manusia dewasa.
Sehubungan dengan dasar tersebut, maka tujuan pendidikan Islam
dirahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal, dengan demikian tidak mengabaikan adanya perbedaan individu
serta penyesuaian perkembangan dengan kadar kemampuan dari potensi yang
dimiliki masing-masing.68 Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam dapat
tercapai sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan setiap individu
yang berbeda.
Pendidikan Islam harus mampu mengembangkan anak didik agar
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan serta nilai-nilai yang kemudian dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai muslim yang berilmu
pengetahuan. Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya harus mampu mengubah
tingkah laku manusia yang meliputi tiga aspek, yaitu: aspek kognitif, aspek afektif
dan aspek psikomotorik.69 Dalam proses pendidikan, ketiga apek tersebut saling
berkaitan satu sama lain dan dengan ketiga aspek tersebut akan sangat
memudahkan bagi pendidik untuk mengetahui bagaimana metode yang akan
diterapkan kepada peserta didik yang memiliki kepribadian yang berbeda antara
satu sama dengan yang lain.
Jadi, pendidikan Islam merupakan sebuah proses perubahan yang
direncanakan secara bertahap dan berkesinambungan yang bertujuan untuk
merubah aspek kepribadian manusia yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik70

68 H. Jalaluddin,Teknologi Pendidikan, op.cit., h. 94.


69 Abu Ahmad dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h. 233.
70 Adurrahman, Ilmu Pendidikan Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islam

(Jakarta: PT. Al-Quswah Jakarta, 1988), h. 23.

58
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
yang berlangsung secara simultan. Dengan demikian, manusia dapat
mengaktualisasikan potensi imaniah dan insaniah sebagai hamba Allah swt.
Dengan memperhatikan aspek psikologis dalam pencapaian tujuan
pendidikan Islam, maka dapat dipahami bahwa proses pendidikan perlu
menekankan pada pengembangan kemampuan rasional dalam memahami ajaran
Islam dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan hadis.71 Dengan demikian, proses
pendidikan membawa perubahan tingkah laku menurut pandangan Islam, tidak
hanya menyangkut perubahan kemampuan rasional, melainkan juga perubahan
fungsi kejiwaan lainnya. Melalui proses pendidikan Islam, manusia akan
mengalami perubahan secara total, meliputi rohaniah dan jasmaniah. Sebab, ideal
menurut Islam adalah jika seluruh aspek kepribadiannya teraktualisasi ke dalam
acuan norma dan nilai ajaran Islam.
E. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Sosiologis.
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan
untuk hidup berkelompok secara bersama-sama. Dalam hidup bermasyarakat,
manusia mengenal sejumlah lingkungan sosial dari bentuk terkecil hingga yang
paling kompleks. Atas dasar tersebut, maka tujuan pendidikan Islam diarahkan
kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan
tanggung jawab sosial, serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antar
sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis.72 Sebab dalam suatu masyarakat
terdapat banyak tata kehidupan yang satu sama lain berbeda, maka seorang anak
harus dipersiapkan agar dapat menerima berbagai perbedaan tersebut.
Pendidikanlah yang harus mempersiapkan seseorang agar dapat hidup
secara damai dengan orang sekitarnya. Pendidikanlah yang mempunyai tugas
untuk mempersiapkan anak agar mampu memperhatikan kepentingan orang lain,
bukan hidup secara egoistis ataupun efisentris (kepentingan diri sendiri).
Seseorang harus belajar menghargai kepentingan orang lain yang serba berubah-

71 H.M. Arifin, op.cit., h. 108.

72 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.cit.h. 225.

59
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

ubah, hal tersebut disebabkan karena masyarakat selalu berubah mengikuti arus
perubahan zaman, maka seseorang harus mampu mengikutinya dengan baik.
Dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat, tujuan pendidikan Islam
diarahkan pada pembentukan manusia sosial yang memiliki sifat takwa sebagai
dasar sikap dan perilaku.73 Kehidupan bermasyarakat merupakan sesuatu yang
mutlak, meskipun demikian kedudukan manusia sebagai makhluk sosial tidak
mesti melupakan dirinya sebagai makhluk individu. Memang Rasulullah saw.
memberi semacam kriteria tentang kualitas manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yaitu berupa nilai mufakat. Sejalan dengan hal tersebut, seorang
yang bijak mengatakan:
“Manusia yang terbaik adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat
kepada orang lain”.
Hadis tersebut sudah cukup jelas mengingatkan bahwa manusia memang
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Mereka senantiasa mengadakan
interaksi dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang harus mampu
memberi manfaat bagi orang lain sebab hal tersebut ikut memberi pengaruh
terhadap berbagai aspek kehidupan dan prilaku manusia dalam menciptakan
keharmonisan dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan dan masyarakat mempunyai hubungan yang
sangat kuat dan saling mempengaruhi. Yakni pendidikan dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat dan pada sisi lain, pendidikan juga sangat mempengaruhi
dinamika kehidupan masyarakat.74 Sebab masyarakat mempunyai norma, adat dan
berbagai karya budaya lainnya yang diwujudkan ke dalam diri peserta didik
sebagai generasi yang akan mewarisinya, dan hal ini tentunya terlaksana dalam
proses pendidikan. Sebaliknya, pendidikan mempengaruhi dinamika kehidupan
masyarakat, di mana peserta didik sebagai generasi yang akan menentukan
keberhasilan masyarakat dengan berbagai keterampilan dan ilmu pengetahun.

73 H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, op.cit., h. 95. Bandingkan dengan Abu Ahmadi,

Sosiologi Pendidikan (Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 4.

74 Kharuddin, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., h.38.

60
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Berangkat dari pernyataan tersebut, maka tujuan pendidikan Islam dari
tinjauan sosiologis menitikberatkan pada upaya untuk membimbing dan
mengembangkan potensi peserta didik agar dapat berperan secara harmonis dan
serasi dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agar peran manusia sebagai
makhluk sosial sejalan dengan perintah Allah yaitu sebagai seorang yang
bertakwa.75 Secara singkat, pendidikan Islam dari tinjauan ini merupakan usaha
untuk memanusiakan peserta didik agar mampu berperan dalam statusnya sebagai
makhluk sosial, sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah swt.
F. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam dari Tinjauan Aksiologis
Dasar dan tujuan pendidikan Islam merupakan dua hal yang sangat
fundamental dalam proses pendidikan. Pendidikan didasari bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya.
Dengan dasar tersebut, maka proses pendidikan diawali dengan perencanaan
tujuan pendidikan Islam. Tujuan yang jelas dalam proses pendidikan akan
memudahkan untuk menentukan langkah-langkah dan metode yang akan
digunakan dalam pecapaian tujuan tersebut. Sebaliknya jika proses pendidikan
tidak memiliki tujuan yang jelas, maka hal tersebut akan menghilangkan nilai
hakiki pendidikan. Apabila semua sistem pendidikan berjalan secara
berkesinambungan, maka akan mencapai tujuan yang telah direncanakan. Hal
yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah dasar dan tujuan pendidikan
tersebut memiliki nilai yang baik atau tidak, atau dengan kata lain apakah
pemberian manfat atau tidak dalam proses pendidikan?
Permasalahan nilai baik dan buruk terdapat dua persepsi. Pertama,
menekankan permahaman bahwa baik dan buruk hanya ditentukan oleh Tuhan,
dan yang kedua lebih menenkankan peran akal dalam menentukan baik buruknya
sesuatu.76 Adapun dasar dan tujuan pendidikan Islam, maka baik dan buruk
tersebut tentu saja ditentukan oleh Allah, namun tidak terlepas pula dari peran
akan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam dapat

Ibid., h. 96.
75
76H. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Inergratif-
Interkonektif (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 240.

61
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

dikatakan bernilai baik apabila telah berhasil merumuskan suatu pendidikan yang
berusaha untuk memanusiakan manusia atau proses menuju tercapainya manusia
seutuhnya dengan memperlihatkan intelektualisasi agama dan norma.77 Sebab
dalam analisis aksiologi bahwa yang dikatakan baik adalah yang berguna dalam
masyarakat atau sesuatu, sehingga apabila tujuan tersebut mendatangkan
kegunaan dalam proses pendidkan Islam, maka tujuan tersebut sudah bernilai
baik.

PENUTUP
Pendidikan Islam merupakan suatu usaha penaman nilai-nilai Islami dalam
kehidupan, sebab manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk dididik sehingga
dengan pendidikan tersebut diharapkan manusia dapat mengembangkan potensi
yang telah dikaruniai oleh Allah swt. Dengan dasar tersebut, maka pendidikan
Islam bertujuan agar peserta didik memiliki berbagai pengetahuan yang
berlandaskan sehari-hari, sehingga tertanam dalam dirinya sifat keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt. dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.

77 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Cet. III;

Jakarta: Lantabora Press, 2004), h. 154.

62
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,
1991.
Adurrahman, Ilmu Pendidikan Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islami
Jakarta: PT. Al-Quswah Jakarta, 1988.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-
Interkonektif Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Bandung: PT. Syaamil Cipta
Media, 2005.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1999.
H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2001.
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner Cet. I; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.
Imam Hafidz Ahmadi bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Shohih Bokhary juz. III;
Beirut Libanono: Dar Ma;rifah, 752-773 H, No. Hadis 1385.
Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam Cet. I; Makassar: Yayasan Pendidikan Fatiya
Makassar, 2004.
,Pemikiran NIlai dan Etika Pendidikan IslamCet. I; Makassar:
YAPMA, 2003
Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan (Sebuah Studi Awal tentang Dasar-
dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia) Cet. I;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia Cet. III;
Jakarta: Lantabosa Press, 2004.

63
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

ANAK DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM


(Pandangan Nativisme, Empirisme, Konvergensi dan Konsep Fitrah)

Oleh :
Mutammimal Husna

ABSTRAK
Anak didik merupakan salah satu dari faktor-faktor pendidikan. Setiap
Anak didik mempunyai potensi yang berbeda yang perkembangannya di
pengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yakni faktor
yang ada dari dalam diri anak didik itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal yakni
lingkungan dimana anak didik itu tinggal. Dalam bidang pendidikan, anak didik
perlu mendapatkan perhatian yang serius. Oleh karena itu, anak didik harus
diperhatikan dan dibimbing oleh pendidik bersama-sama dengan orang tua agar
potensi yang dimiliki bisa berkembang dan diarahkan dengan baik.

Kata kunci : Anak didik, pendidikan islam, nativisme, empirisme, konvergensi,


konsep fitrah

PENDAHULUAN
Manusia membutuhkan pendidikan dalam hidupnya. Pendidikan
merupakan usaha agar dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
melalui proses pembelajaran, baik formal maupun non formal.
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

64
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.78
Suryobroto mengatakan bahwa dalam mewujudkan proses pendidikan dan
pengajaran kita kenal adanya faktor-faktor pendidikan. Adapun yang termasuk
faktor pendidikan sebagaimana yang ditulis oleh Suryobroto adalah tujuan,
pendidikan,anak didik, sarana dan Lingkungan. 79 Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan bersifat sistematis, artinya proses pendidikan tidak berjalan sendiri-
sendiri namun dari kelima faktor tersebut saling berkaitan. Dan tidak disebut
pendidikan jika salah satu dari kelima faktor tersebut tidak ada.
Selanjutnya Wasti Sumanto mengatakan bahwa peserta didik atau anak
didik merupakan salah satu faktor pendidikan yang memiliki potensi yang
berbeda-beda dan memiliki faktor bawaan masing-masing. Maka seorang
pendidik harus mengenal hakikat anak didik supaya tujuan pendidikan bisa
tercapai dengan baik. Karena salah satu tujuan pendidikan adalah menolong anak
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin dan oleh karena itu pendidikan
menguntungkan baik bagi anak maupun bagi masyarakat.80
Oleh karena itu, anak didik merupakan salah satu dari unsur pendidikan
yang harus diperhatikan dan dibimbing oleh pendidik bersama-sama dengan orang
tua, karena anak didik merupakan generasi penerus bangsa, agama maupun
keterunan atau persiapan generasi masa yang akan datang. Sehingga diperlukan
perhatian yang serius dalam bidang pendidikan.
Dengan kata lain bahwa untuk dapat menolong anak didik dalam
perkembangan dan kepribadiaannya perlu diketahui dan dikenali potensi yang
dimilkinya serta berbagai aspek yang berkaitan dengan anak didik seperti
lingkungan dimana ia tinggal dan dimana ia bergaul.

78
Undang-undang Sisdiknas (UU RI No. 20 Th. 2003), (Jakarta: Sinar Grafika,2008),
h.3
79
Suryobroto, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan, (Cet; II, Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h. 24
80
Wasti Sumanto, Psikologi Pendidikan, (Cet; III, Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 165

65
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

66
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
PEMBAHASAN

A. Hakekat Anak Didik


Sebelum mengetahui hakekat anak didik perlu diuraikan tentang
pengertian anak didik atau peserta didik. Dalam UU RI No. 20 th. 2003 tentang
sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 81
Syaiful Bakhri mengatakan bahwa anak didik atau peserta didik adalah setiap
orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok yang
menjalankan kegiatan pendidikan. 82
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan
berkembang, baik secara fisik, psikologi, sosial, dan religius dalam mengarungi
kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa
peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya
memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya lebih dewasa. Anak kandung
adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-
anak penduduk adalah peserta didik di masyarakat sekitarnya, dan umat beragama
menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.83

Jadi dapat dipahami bahwa peserta didik atau anak didik adalah setiap
manusia yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran, baik pada jalur pendidikan formal maupun pendidikan yang non
formal, pada jenjang pendidikan dan jenis penidikan tertentu. Selain itu anak didik
merupakan manusia yang belum dewasa yang memerlukan bimbingan dan
pertolongan dari orang dewasa untuk mengembangkan potensinya.

81
UU RI No. 20 Th. 2003, op. cit.,
82
Syaiful Bakhri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaktif Edukatif (Cet; II,
Jakarta: 2005), h. 51
83
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet.II; Jakarta: Kencana
Predana Media Group, 2008), h.103.

67
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Ada beberapa pandangan mengenai hakikat peserta didik sebagai manusia,


yaitu :
1. Pandangan Psikoanalitik
Beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya digerakkan oleh dorongan-
dorangan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
2. Pandangan Humanistik
Berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya
ketujuan yang positif. Oleh karenanya dikatakan bahwa manusia itu selalu
berkembang dan berubah untuk menjadi pribadi yang lebih maju dan sempurna.
3. Pandangan Matin Buber
Berpendapat bahwa hakikat manusia tidak dapat dikatakan ini atau itu. Manusia
merupakan suatu keberadaan yang berpotensi, namun dihapadan pada
kesemestaan alam, sehingga manusia itu terbatas.
4. Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk aktif
yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar.84
Dari beberapa pandangan tentang hakekat anak didik diatas dapat
disimpulkan bahwa anak didik merupakan manusia yang memiliki potensi dalam
dirinya yang memerlukan bantuan, bimbingan, arahan yang konsisten dalam
mengembangkan potensinya.
Selain itu anak didik tidak hanya dipandang sebagai obyek pendidikan tapi
juga subyek pendidikan, maka dalam proses pendidikan dan pengajaran perlu
adanya keterlibatan dalam proses pembelajaran sebagaimana yang diterapkan
dalam kurikulum pendidikan.

B. Pandangan Nativisme, Empirisme dan Konvergensi Terhadap Anak Didik


1. Pandangan Nativisme

84
http://rumah makalah.wordpress.com.

68
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. 85Teori ini dari
filsafat nativisme (terlahir) sebagi suatu bentuk dari filsafat idealism dan
menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh
hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran
Nativisme adalah Arthur Scopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup pada
tahun 1768-1860.86 Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu
ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor lingkungan sendiri dinilai
kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada
hakekatnya aliran Nativisme bersumber dari Lebtnitzian Tradition, sebuah tradisi
yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil
perkembangan ditentukan oleh pembawaaan sejak lahir dan genetik dari kedua
orang tua.87
Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh
individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari
lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka
ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang
dibawa tidak akan berguna bagi anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip
orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orang tua. Prinsipnya,
pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah
terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis
yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda
dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik
maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu.
Misalnya, seorang anak yang berasal dari orang tua yang ahli seni musik, akan

85
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Cet. XII; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 177.
86
Mashutu, Dinamika Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), h. 14.
87
Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Cet.III;
Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h.8

69
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orang


tuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orang tuanya..
2. Pandangan Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Tokoh
utamanya adalah John Lock (1632-1704) dilahirkan di Inggris dari keluarga
terdidik.88 Ia dianggap pemberi titik terang dalam perkembangan psikologi
dikarenakan teorinya seakan memberi paradigma baru dalam pemikiran
pendidikan.89 Teorinya yang terkenal adalah tabula rasa yang mengibaratkan anak
yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih (kosong). Diatas kertas itu dapat
ditulisi apa saja sesuai keinginan.
Teori tabula rasa yang dikemukakan oleh John Lock menekankan arti
penting dari pengalaman dan lingkungan dalam mendidik anak. Adapun
pembawaan itu dianggap tidak berpengaruh pada aspek pendidikan anak. Karena
penekanan pendidikan terletak pada aspek lingkungan dan pengalaman. 90 John
Lock berusaha mendekatkan pendidikan itu dengan situasi. 91
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan
behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai
sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai
hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan
belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya.
Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam

88
Lihat Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam, (Cet. II; Makassar: CV. Berkah Utami,
2004), h. 65
89
Sarito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.31
90
Lihat Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan; Suatu pendekatan Baru (Cet. II;
Bandung, Remaja Rosdakarya, 1995), h. 42-43
91
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode (Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fak. Ilmu Pendidikan IKIP, 1987), h. 53

70
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
mengajar mereka.92 Oleh karena pendidik mempunyai peranan penting, maka
pendidik (Orangtua, Guru, dan masyarakat) diharapkan benar-benar
bertanggungjawab dalam memberikan bimbingan atau bantuan kepada peserta
didik.
3. Pandangan Konvergensi
Aliran ini diperkenalkan oleh seorang ahli ilmu jiwa dari berkebangsaan
Jerman bernama William Sterm yang lahir pada tanggal 28 April 1871. William
Sterm berpandangan bahwa antara hereditas (pembawaan) dengan lingkungan
saling berkaitan dan saling memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan manusia.93 Sehingga dapat dipahami bahwa aliran ini muncul
karena adanya ketidaksepahaman dengan kedua aliran sebelumnya, yaitu aliran
nativisme dan empirisme.
Aliran ini memandang faktor dasar atau bawaan (faktor internal ) dan
faktor lingkungan (eksternal) memiliki andil yang sama dalam proses pendidikan.
Faktor dasar atau bawaan anak didik tidak dapat berkembang dengan baik tanpa
didukung oleh lingkungan dimana anak berada. Sebagai contoh, anak seorang
seniman tidak mutlak menjadi seniman kalau tidak dididik di lingkungan yang
bernuansa seni. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak memiliki bakat seni, tidak
mutlak tidak menjadi seniman walau dididik di lingkungan bernuansa seni.
Jadi antara bakat dan lingkungan sama-sama berpengaruh. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak didik ada dua faktor:
a. Faktor intern, yaitu faktor yang dimiliki anak didik
b. Faktor ekstern, yaitu hal-hal yang ada di luar diri anak yang meliputi
pendidikan dan lingkungan tempat berinteraksi.
C. Konsep Fitrah dalam Pendidikan Islam

92
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2002)
93
Lihat M. Ngalim Purwanto, Ilmu pendidikan Teoritis dan Praktis dan Teoritis dan
Praktis (Cet. VIII; Bandung: Remaja Rosdakarya,1995), h. 60

71
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara


makhluk Allah yang lain.
Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah (fisiologis) dan unsur
rohaniah (psikologis). Dalam unsur jasmaniah dan rohaniah itu Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang. Dalam
psikologi disebut Potensialitas atau disposisi94 yang menurut aliran psikologi
Behaviorisme disebut Prepotence Reflexes (kemampuan dasar yang secara
otomatis dapat berkembang).95
Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut
dengan fitrah, yang berasal dari kata ‫ فطر – يفطر‬yang artinya sifat pembawaan
(yang ada sejak lahir).96
Kata fitrah dalam al- Quran disebutkan dalam surat al-Ruum ayat 30
sebagai berikut:

ِ ‫ٱَّللِ َذ َٰل َِك‬
ُ‫ٱدلِين‬ َّ ۡ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ۡ ٗ َ
ِ ِ َ َ ۡ َ ۡ ََ
ۚ ‫ِين حن ِيفا ۚ ف ِطرت ٱَّللِ ٱل ِِت فطر ٱلاس عليها ۚ َل تبدِيل ِلل ِق‬
ِ ‫فأق ِم وجهك ل ِل‬
َ َ َ َ ۡ َ َّ َٰ َ َ ُ ِ َ ۡ
‫اس َل َي ۡعل ُمون‬ َ ‫ك‬
ِ َّ‫َث ٱل‬ ‫كن أ‬
ِ ‫ٱلقيِم ول‬

Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.97

Fitrah Allah disini maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah


mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu

94
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 42
95
Dalyono, Psikologi Pendidikan (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 30
96
Munawir AF dan Adib Bisri, Kamus al-Bisri- Indonesia Arab-Arab Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 571
97
Departemen Agama RI, op. cit., h. 645

72
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Hal ini senada dengan hadis nabi berikut
ini:

‫ عن ابي هريرة رضي هللا عنه قال كل مولود‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
98
‫يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسا نه‬

Terjemahnya:
Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Kata fitrah dalam huadis tersebut diatas diartikan sebagai faktor


pembawaan sejak manusia lahir yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia
tidak dapat berkembang kecuali tanpa adanya pengaruh dari lingkungan. Sedang
lingkungan itu sendiri bisa diubah bila tidak favourable (tidak menyenangkan
karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti
dalam uraian arti yang luas, sebagaimana yang tertera pada surah al-Rum ayat 30.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-
pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan,
di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh
karena aneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya, maka posisi manusia
dapat “bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk,
peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya
(Rasul-Nya).99
Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah
mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau

98
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Muhtar al-Hadis al-Nabawi (Cet. XII; Semarang: Toha
Putra, t.th), h.122
99
LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama (Cet. II; Bandung:
Citapustaka Media, 2003), h. 118

73
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya,100 dalam memahami


agama Allah secara damai di dunia ini.

Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu


pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan
kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah
adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan
bertaqwa.
Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa
seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi
adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama,
konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik
secara jasadi, nafsani (kognitif dan `afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua,
mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku
manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki
qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar)
berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki
kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan
peristiwa.
Dari interpretasi fitrah diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun fitrah
dapat dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tidaklah netral terhadap
pengaruh dari luar. Artinya potensi yang dimiliki oleh anak secara dinamis
mengadakan reaksi atau respon terhadap pengaruh dari luar. Atau dengan kata lain
bahwa antara fitrah atau potensi dasar dalam proses perkembangannya terjadi
interaksi (saling mempengaruhi) dengan lingkungan sekitar.
Jadi konsep fitrah dalam pendidikan Islam tidak sama dengan konsep
tabularasa yang dianut oleh aliran Empirisme, yang memandang bahwa anak

100
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 158.

74
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
dilahirkan dalam keadaan suci seperti kertas putih, yang secara pasif menerima
pengaruh dari lingkungan eksternal.

PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hakekat anak didik
adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang dalam perkembangannya
dipengaruhi faktor eksternal atau lingkungan dimana ia tinggal.
Pandangan Nativisme berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan oleh
faktor internal yang dimiliki oleh anak didik. Empirisme berpendapat bahwa
perkembangan anak ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor lingkungan.
Sedangkan Konvergensi berpendapat bahwa perkembangan anak ditentukan oleh
faktor internal dan faktor eksternal (potensi dan lingkungan).
Konsep fitrah dalam pendidikan Islam adalah bahwa anak memiliki potensi dasar
yang dibawa sejak lahir yang perkembangannya saling mempengaruhi dengan
lingkungan.

75
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
--------. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode . Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fak. Ilmu Pendidikan IKIP, 1987.

Dalyono. Psikologi Pendidikan . Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


Djamarah, Syaiful Bakhri. Guru dan Anak Didik Dalam Interaktif Edukatif. Cet;
II, Jakarta: 2005.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya . Semarang: Toha Putra,


1989.
al-Hasyimi, Sayyid Ahmad. Muhtar al-Hadis al-Nabawi .Cet. XII; Semarang:
Toha Putra, t.th.

Khaeruddin. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II; Makassar: CV. Berkah Utami, 2004.
LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama. Cet. II;
Bandung: Citapustaka Media, 2003.

Mashutu. Dinamika Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.


Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-
dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia . Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Mujib, Abdul dan Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.II; Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2008.

Munawir dan Bisri, Adib. Kamus al-Bisri- Indonesia Arab-Arab Indonesia.


Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.

76
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu pendidikan Teoritis dan Praktis dan Teoritis dan
Praktis. Cet. VIII; Bandung: Remaja Rosdakarya,1995.

Sarwono, Sarito Wirawan. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh


Psikologi. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Sumanto, Wasti. Psikologi Pendidikan. Cet; III, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Cet. XII; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.

Suryobroto. Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan. Cet; II, Jakarta: Rineka


Cipta, 1990.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan; Suatu pendekatan Baru . Cet. II;
Bandung, Remaja Rosdakarya, 1995.

Tim Dosen FIP IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Cet.III;


Surabaya: Usaha Nasional, 1988.

Undang-undang Sisdiknas (UU RI No. 20 Th. 2003) Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

77
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PAEDAGOGIK PERSPEKTIF ISLAM

Oleh :
Husnussaadah, S.Pd.I., M.Pd.I

ABSTRAK

Islam menempatkan pendidikan pada strata tertinggi kebutuhan manusia karena


pendidikan bersifat asasi dan mendasar. Tanpa pendidikan, kehidupan manusia
menjadi tidak bermakna. Pendidikan merupakan proses yang inhern dengan
kehidupan manusia, yang berarti bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan dan berlangsung secara terus menerus hingga akhir hayat. Melalui
pendidikan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk yang paling sempurna,
dari sebelumnya hanya memiliki potensi (yang belum memiliki arti apa-apa),
tetapi melalui pendidikan, mereka berkembang menjadi lebih sempurna dan
terus menyempurnakan diri

Kata Kunci : Manusia, pendidikan, paedagogik

Pendahuluan

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. sebagai makhluk-Nya yang termulia


dan sempurna. Kesempurnaan pencipataan manusia mencakup dua aspek, yaitu

78
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani. Sebagaimana dijelaskan dalam
QS. Al-Tiin/95:4

ۡ َ َ ۡ َ ٓ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ َ
‫يم‬
ٖ ِ ‫ٱۡلنسن ِِف أحس ِن ت‬
‫و‬ ‫ق‬ ِ ‫لقد خلقنا‬

Terjemahan : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang


sebaik-baiknya.

Kesempurnaan penciptaan manusia sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat


tersebut dapat dilihat dari dua bentuk yaitu dari bentuk jasmani (fisik), manusia
sangat sempurna bentuk rupa dan keindahannya. Keseimbangan bentuknya, serasi
dengan fungsi dari organ tubuhnya. Sedangkan dari segi psikhis, manusia
dianugerahkan banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah swt.
lainnya, dan yang paling menonjol adalah kelebihan akal pikiran.
Seyogianya, kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia menjadikan
manusia sebagai makhluk paling beradab, paling teratur dan paling mudah
dikendalikan. amun kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua manusia mampu
menunjukkan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang sempurna. Fenomena ini
kemudian menjadi salah satu alasan mengapa manusia membutuhkan pendidikan.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia maksudnya adalah
manusia membutuhkan pendidikan untuk menunjukkan sisi utuh dari manusia
yang sesungguhnya. V.R. Taneja, mengutip pernyataan Proopert Lodge, bahwa
life is education and education is life101 kalimat ini berarti bahwa kehidupan
manusia akan selalu bersamaan dengan pendidikan, dan demikian sebaliknya.
Pendidikan merupakan proses yang inhern dengan kehidupan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa pendidikan telah mawarnai jalan panjang kehidupan manusia
dari awal hingga akhir hayatnya. Hal ini mengacu pada sebuah Hadits Nabi Saw.

‫طلُبُوا ال ِع ْل َم ِمنَ ال َم ْه ِد إِلى اللَّحْ ِد‬


ْ ُ‫ا‬

Artinya: “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai masuk ke liang lahat.”

101
Taneja,V.R. Socio-Philosophical Approach to Education, (New Delhi: Atlantic
Publisher, 2005), h. 16

79
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Pendidikan adalah bagian dari kehidupan, dan hidup adalah sesuatu


pertumbuhan dan perkembangan terus menerus, oleh karena itu pendidikan
merupakan proses perkembangan itu sendiri. Selain itu, transformasi pendidikan
harus dilakukan sepanjang hayat (long life education) tanpa ada batasan
usianya.102
Pendidikan pada manusia bertujuan untuk melatih dan membiasakan
manusia sehingga potensi, bakat dan kemampuannya menjadi lebih sempurna. Ini
menggambarkan bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk menjadikan
manusia lebih baik, lebih maju dan lebih sempurna.

II. PEMBAHASAN

A. Hakekat Penciptaan Manusia


Hakekat manusia dalam konsep Islam adalah makhluk yang diciptakan
oleh Allah SWT, memiliki berbagai potensi untuk tumbuh berkembang menuju
kepada kesempurnaan. Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah swt.,
yang sempurna dibandingkan dengan kemampuan ciptaan Allah lainnya. Manusia
juga sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran
dan kebaikan yang terpancar dari ciptaanNya. Kemampuan yang dimiliki manusia
adalah kemampuan akalnya, Untuk itulah manusia sering disebut sebagai animal
relation atau hayawan al natiq, yaitu binatang yang dapat berpikir. Melalui
akalnya manusia berusaha memhami realitas hidupnya, memahami dirinya serta
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. 103
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam
wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “aktualisasi”.
Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang
mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.. Dalam

102
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam Di
Sekolah (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 19.
103
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2009), h. 34.

80
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
konteks ini dapat dipahami bahwa manusia hidup di dunia dalam keadaan belum
tertentukan menjadi apa atau menjadi siapa nantinya, karena itu hakikat manusia
pada dasarnya merupakan potensi sekaligus adalah sebagai tugas yang harus
diwujudkan oleh setiap manusia. Adapun untuk menjadi manusia yang
sesungguhnya diperlukan pendidikan atau harus dididik. “Man can become man
through education only”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya.104
Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Sedangkan dalam arti sempit
pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh
yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya
agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap
hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Dan dalam arti luas terbatas
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang. 105
Dalam pendidikan, manusia harus dapat dikembangkan ke arah
pengembangan kepribadian manusia, yaitu:
1. Pengembangan manusia sebagai makhluk individu.
Setiap individu yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda
dengan individu lain. Setiap individu memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
semangat, dan daya tahan yang berbeda. Manusia sebagai makhluk iindividu
mempunyai dorongan untuk mandiri, walaupum di sisi lain terdapat rasa tidak
berdaya sehingga ia memerlukan bimbingan dari orang lain. Oleh karena itu,

104
Wahyudin, Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008), h. 21
105
Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), h. 3

81
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

untuk dapat menolong dirinya manusia sebagai makhluk individu memerlukan


berbagai macam pengalaman melalui pendidikan, agar segala potensi yang ada
dapat tumbuh dan berkembang.
2). Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu
mempunyai kemungkinan untuk dapat bergaul, yang di dalamnya ada kesediaan
untuk memberi dan menerima. Manusia tidak dapat mencapai apa yang
Diinginkannya secara sorang diri. Kehadiran manusia lain dihadapannya bukan
saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk
pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Melalui pendidikan, dapat
dikembangkan keseimbangan antara aspek individual dan aspek sosial manusia,
artinya individualitas manusia dapat dikembangkan dengan belajar dari orang lain,
mengidentifikasikan sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya
serta menolak sifat-sifat yang tidak cocok baginya.
3). Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Susila
Dalam kenyataannya hanya manusialah yang dapat menghayati norma-
norma dan nilai-nilai dalam kehidupan. Manusia dapat menepatkan tingkah laku
mana yang baik dan bersifat susila serta tingkah laku mana yang tidak baik dan
tidak bersifat susila.
Setiap masyarakat mempunyai norma dan nilai. Melalui pendidikan
diusahakan agar individu menjadi manusia pendukung norma kaidah dan nila-nilai
susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan menjadi milik pribadi yang
tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Pentingnya memiliki dan melaksanakan
nilai-nilai kehidupan mempunyai 2 alasan pokok:
a. Untuk kepentingan diri sendiri sebagai individu
b. Untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat.
Individu merupakan salah satu unsur terbentuknya masyarakat. Suatu
kebersamaan individu tinggal disebut sebagai masyarakat apabila dalam
perkembangannya menghasilkan aturan-aturan yang disebut norma, nilai, dan
kaidah-kaidah sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Dengan demikian,

82
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung pada dapat
tidaknya dipertahankan norma, nilai dan kaidah masyarakat yang bersangkutan.
4). Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Beragama.
Manusia memerlukan agama demi untuk keselamatan hidupnya. Agama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah
sehingga memerlukan tempat bertopang. Untuk itu ia dituntut untuk dapat
menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan sebaik-
baiknya melalui pendidikan.

B. Aliran-Aliran dalam Pendidikan


Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan
pendidikan. Pertama, “teori”106 dipergunakan oleh para pendidik untuk
menunjukkan hipotesis-hipotesis tertentu dalam rangka membuktikan kebenaran-
kebenaran melalui eksperimentasi dan observasi serta berfungsi menjelaskan
pokok bahasannya.

1. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata dasar “natus” artinya lahir dan “nativius”
artinya kelahiran, pembawaan. Nativisme berpendapat bahwa perkembangan
individu semata-mata ditentukan oleh faktor pembawaan yang dibawa sejak lahir.
Nativisme berpandangan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia
dipengaruhi oleh faktor hereditas (pembawaan).107 Jadi, menurut aliran ini
pembawaan yang dibawa sejak manusia dilahirkan itulah yang menentukan
perkembangan berikutnya. Asumsi yang mendasari aliran ini adalah bahwa pada

106
Kata “teori” sebagaimana yang dipergunakan dalam konteks pendidikan secara
umum adalah sebuah tema yang apik. Teori yang dimaksudkan hanya dianggap absah manakala
kita tetapkan hasil-hasil eksperimental yang dibangun dengan baik dalam bidang psikologi atau
sosiologi hingga sampai kepada praktek kependidikan. umar tirtarahardja dan drs. s. l. la sulo,
pengantar pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 191. “teori” menunjuk kepada bentuk
asas-asas yang saling berhubungan yang mengacu kepada petunjuk praktis. Dalam pengertian ini,
bukan hanya mencangkup pemindahan-pemindahan eksplanasi fenomena yang ada, namun
termasuk di dalamnya mengontrol atau membangun pengalaman. Abdurrahman Saleh Abdullah,
Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 21-22.
107
,Fatah YasinDimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press,
2008), h. 57.

83
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

diri anak dan orang tua terdapat banyak kesamaan baik fisik maupun psikis. 108
Dalam ilmu pendidikan nativisme disebut juga dengan pesimisme pedagogic.109
Jika benar segala sesuatu ditentukan dan tergantung pada dasar atau pembawaan,
maka pengaruh lingkungan dan pendidikan dianggap tidak akan berpengaruh apa-
apa terhadap perkembangan manusia.
Konsep Nativisme tentang pembawaan/potensi dasar tidak berbeda jauh dengan
konsep fitrah dalam Islam. Fitrah yang dalam pengertian etimologis mengandung
arti “kejadian” yang didalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan
lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau
lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan
mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.

Dalam perspektif islam, konsep nativisme dijelaskan dalam QS. Al-A’rof ayat
172)
َ ْ ُ َ ُ ُ ‫سه ۡم َأل َ ۡس‬
‫ت ب ِ َر ِبِك ۡمَۖ قالوا بَ ََٰل‬
ُ َ ٰٓ َ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ َّ ِ ُ ۡ
ِِ ‫لَع أنف‬ ‫ِن َءاد َم مِن ظ ُهورِهِم ذ ِريتهم وأشهدهم‬
ُ َ ٓ َ ۢ َ ُّ َ َ َ َ ۡ
ِ ‫ِإَوذ أخذ ربك مِن ب‬
َ ‫َشه ۡدنَا ٓۚ أَن َت ُقولُوا ْ يَ ۡو َم ۡٱلقِ َيَٰ َمةِ إنَّا ُك َّنا َع ۡن َهَٰ َذا َغ َٰ ِفل‬
‫ِي‬ ِ ِ
Terjemahan: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa faktor pembawaan (nativisme)


peserta didik berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya. Sedang pendidik bertugas mendampingi peserta didik
mengembangkan potensinya. Jadi, pendidik hanya sebagai fasilitator dalam
pendidikan. Dalam pendidikan Islam karena adanya nilai agama yang memiliki

108
Netty Hastati dkk., Islam dan Psikologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
174-175
109
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), 59.

84
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kebenaran mutlak maka pendidik bukan hanya sekedar pembantu tetapi ia
bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada peserta didik.110
Jadi, tanggung jawab pendidik dalam perspektif Islam lebih besar daripada
pendidik perspektif aliran nativisme.

2. Aliran Empirisme
Aliran Empirisme berasal dari kata Yunani “empiria” yang berarti
pengalaman inderawi. Aliran empirisme juga bisa disebut dengan aliran
environmentalisme (environment: lingkungan). . Emperisme berpendapat bahwa
manusia itu lahir seperti kertas putih yang kosong, pembawaan tidak berpengaruh
apapun terhadap seseorang yang memberi pengaruh adalah lingkungan di mana
anak tersebut tumbuh dan besar.111 Empirisme secara langsung bertentangan
dengan nativisme. Kalau nativisme berpendapat bahwa perkembangan manusia itu
semata-mata tergantung pada faktor dasar, maka empirisme berpendapat bahwa
perkembangan itu semata-mata tergantung pada faktor lingkungan. sedangkan
dasar tidak memainkan peranan sama sekali.
Pengertian fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang
beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan
ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pula tabiat atau watak dan
kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal, sekalipun
tidak aktif.. Adapun dasar yang menjelsakan tentang aliran empirisme di dalam
QS. Al-Alaq: 3-4
َ َ ۡ َّ َّ ۡ َۡ َ ۡ ۡ
‫ٱق َرأ َو َر ُّبك ٱۡلك َر ُم ٱَّلِي َعل َم بِٱلقل ِم‬

Terjemahan : (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah (4). yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar niscaya


tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan

110
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John
Dewey (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 28.
111
Muh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.1. (Yogyakarta: LKiS, 2009)h. 59

85
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika


diperoleh melalui proses belajar mengajar.

3. Aliran Konvergensi
Konvergensi berasal dari kata converge yang berarti “bertemu, berpadu”.
Terhadap pertentangan dua aliran diatas, maka William Stern berusaha
mengambil langkah yang lebih moderat. Menurutnya perkembangan manusia itu
bergerak secara konvergen antara nativisme atau keturunan dan empirisme atau
lingkungannya, termasuk pendidikan.
Jadi, konvergensi adalah suatu aliran yang berpendapat bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh interaksi dan perpaduan antara faktor hereditas dan
lingkungan. Menurut aliran ini hereditas tidak akan berkembang secara wajar
apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan. Sebaliknya, rangsangan
lingkungan tidak akan membina kepribadian yang ideal tanpa didasari oleh faktor
hereditas. Penentuan kepribadian seseoang ditentukan oleh kerja yang integral
antara faktor internal (potensi bawaan) maupun faktor eksternal (lingkungan
pendidikan)112 Keduanya berproses secara konvergen tanpa bisa dipisahkan.
Rujukan aliran konvergensi dalam al-Qur’an dijelaskan dalam QS. Al-Insan: 3
ً ‫ِإَوما َك ُف‬ َ َّ ُ َ ۡ َ َ َّ
َّ ‫يل إ َّما َشاك ِٗرا‬
‫ورا‬ ِ ِ ‫إِنا هدينَٰه ٱلسب‬

Terjemahan : Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir.

Berdasarkan ayat tersebut kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam


fitrahnya manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang
salah. Kemampuan memilih tersebut mendapatkan pengarahan dalam proses
pendidikan yang mempengaruhinya. Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih
yang terdapat didalam fitrah (human nature) manusia berpusat pada kemampuan

112
Netty Hastati dkk., Islam dan Psikologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.
178

86
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
berpikir sehat (berakal sehat). Dengan demikian berpikir benar dan sehat adalah
merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan
latihan. Dalam pengertian ini pendidikan Islam berproses secara konvergensis,
yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam pendidikan Islam.
Aliran konvergensi walaupun memadukan dua aliran; emperisme dan
nativisme, tetapi konsep Islam jauh lebih sempurna. Ini juga merupakan kritik
terhadap paham konvergensi tentang perkembangan manusia. Dalam Islam, faktor
pembawaan tidak hanya bersifat genetika, tetapi semua potensi baik diletakkan di
dalam dirinya oleh Allah. Iniah yang disebut dengan fitrah.
Fitrah bukan bawaan dari orang tua sebagaimana konsep nativisme, tetapi fitrah
adalah anugerah Ilahi yang diberikan kepada manusia. Fitrah itulah yang
kemudian dikembangkan oleh pendidikan melalui beragam lingkungan
pendidikan, dengan tiga alat utama, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati.

C. Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik


Kebutuhan manusia terhadap pendidikan merupakan kebutuhan asasi
dalam rangka mempersiapkan setiap insan sampai pada suatu tingkat di mana
mereka mampu menunjukkan kemandirian yang bertanggung jawab, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Dalam konteks ini, pendidikan
melatih manusia untuk memiliki tingkat penyesuaian diri yang baik dalam
berinteraksi dengan lingkungan (baik dengan sesama manusia maupun dengan
lingkungan alam). Melalui pendidikan, manusia membuktikan diri sebagai
makhluk yang paling sempurna, dari sebelumnya hanya memiliki potensi (yang
belum memiliki arti apa-apa), tetapi melalui pendidikan, mereka berkembang
menjadi lebih sempurna dan terus menyempurnakan diri. Firman Allah swt dalam
QS. AnNahl/16: 78

َ َۡ ُ َ ََ َ َ َ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ َٰ َ َّ ُ
ۡ َ ‫ون‬ ُ َ َ ۡ َ ُ َّ َ
‫ٱلس ۡم َع َوٱۡلبۡص َٰ َر‬
َّ ‫ك ُم‬ ‫شٔٔٗا وجعل ل‬ ‫ون أمهتِكم َل تعلم‬ ِ
ُ ‫كم ِ ِم ۢن ُب‬
‫ط‬ ‫وٱَّلل أخرج‬
َ ُ ۡ َ ُ َّ َ َ َۡۡ
‫َوٱۡلفِٔٔدةَ ل َعلك ۡم تشك ُرون‬
Terjemahan : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur.

87
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Ayat di atas menggambarkan keadaan manusia yang belum tahu apa-apa (karena
hanya memiliki potensi), tetapi dengan belajar dari mendengar, belajar dari
mengalami, belajar dari apa yang mereka lihat, dan dengan menggunakan
kekuatan akal, pikiran dan hati, manusia kemudian menjadi paham, mengerti dan
memahami. Pendidikan menjadikan semua potensi manusia berkembang dengan
baik.

Secara substansial pendidikan merupakan kebutuhan asasi dan secara


khusus hanya dapat dilakukan terhadap manusia. Makhluk selain menusia tidak
memiliki kemungkinan untuk dididik. Manusialah satu-satunya makhluk yang
dapat dididik. Ini disebabkan karena pada diri manusia terdapat potensi insaniah,
suatu potensi yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk selain manusia.
Potensi yang dimaksud tiada lain adalah potensi “fitrah”. Rasulullah saw.,
bersabda:

‫ كل‬: ‫ قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه قال‬
113
‫مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمحسانه‬
Artinya:

‘Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani
atau Majusi’.

Hadis di atas dengan tegas menyebutkan bahwa setiap manusia lahir


membawa “fitrah”. Pertanyaannya adalah bagaimana wujud dari fitrah tersebut?
Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk.
Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada

113
Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami
Shahih, Juz VIII (Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.), h. 530

88
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
manusia yang berkaitan dengan jasmani, akal dan ruhnya.114 Ahmad Tafsir
menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur’an115antara lain;

1) Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin
bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât 13)

Terjemahan : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

2) Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Yunus ayat 90),
karena itu pendidikan agama dan lingkungan beragama perlu disediakan
bagi manusia.

َ َ ُ َ ۡ َ ۡ َ ٓ َ َّ َ ً ۡ َ َ ٗ ۡ َ ُ ُ ُ ُ َ ُ ۡ َ ۡ ۡ ُ َ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َٰٓ ۡ ٓ َ َ ۡ َ َٰ َ َ
‫ِت إِذا أد َرك ُه ٱلغ َرق قال‬
ٰٓ ‫۞وجوزنا بِب ِِن إِسءِيل ٱۡلحر فأتبعهم ف ِرعون وجنودهۥ بغيا وعدواَۖ ح‬
‫ي‬َ ‫سءِي َل َو َأنَا ۠ ِم َن ٱل ۡ ُم ۡسلِم‬
َٰٓ ۡ ِ ‫ت بِهِۦ َب ُن ٓوا ْ إ‬
ۡ ‫ام َن‬ ٓ ‫نت َأنَّ ُهۥ ََلٓ إ َل َٰ َه إ ََّل َّٱَّل‬
َ ‫ِي َء‬ َ ‫َء‬
ُ ‫ام‬
ِ ِ ِ

Terjemahan : Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka
diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah
dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai
oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)".

3) Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak,
emas dan perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah
lading (QS. Ali „Imrân: 14)
َ ۡ ‫ٱَّل َهب َو ۡٱلف َّض ِة َو‬
َّ َ َ َ َ ُ ۡ َ ‫ِي َو ۡٱل َق‬َ ‫ٱلن ِ َسآءِ َو ۡٱۡلَن‬ِ َ َّ ُّ ُ
ِ ‫ُز ِي ِ َن ل َِّلن‬
‫ٱِل ۡي ِل‬ ِ ِ ‫ري ٱلمقنطرة ِ مِن‬ ِ ‫ط‬
ِ َٰ ‫ن‬ ‫ت مِن‬ ِ َٰ ‫ب ٱلش َه َو‬ ‫اس ح‬
َ
‫َاب‬ ٔ ٔ َ ۡ ‫ِندهُۥ ُح ۡس ُن ٱل‬
‫م‬ َ ۡ ‫ث َذَٰل َِك َم َتَٰ ُع‬
ُ َّ ‫ٱۡل َي َٰوة ِ ٱ ُّدل ۡن َياَۖ َو‬
َ ‫ٱَّلل ع‬
ِِۗ ‫ر‬ َ ۡ ‫ٱل ۡ ُم َس َّو َمةِ َو ۡٱۡلنۡ َع َٰ ِم َو‬
ۡ ‫ٱۡل‬
ِ

Quraish. Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan


114

Umat. (Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998), h. 285.


115
Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010) Cet.
IV hh. 23

89
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Terjemahan : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-


apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).
Fitrah sesungguhnya adalah potensi dasar. Potensi tersebut masih harus
dikembangkan, sehingga mencapai tahapan-tahapan yang jika terus menerus
dikembangkan akan mencapai titik tertinggi. Karena itu, dapat dikemukakan
definisi pendidikan sebagai usaha mengembangkan potensi fitrah insaniah
menuju tercapainya insan paripurna. Konteks hadis tersebut juga menjadi
petunjuk bagi orang tua agar lebih eksis mengarahkan sikap keberagamaan setiap
anak secara bijaksana. Berdasarkan hal ini, maka Islam memandang bahwa
pertumbuhan dan perkembangan fithrah manusia sebagai makhluk paedagogiek,
sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Sebab, di lingkungan inilah
anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal
kepadanya.
Sehubungan hal tersebut zakiah Drajat mengemukakan bahwa Makhluk
Tuhan yang dilahirkan membawa potensi dapat didik dan dapat mendidik.
Makhluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat dididik dan
mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan
pengembangan kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa kecakapan
dan keterampilan yang dapat berkembang. Pikiran, perasaan dan kemampuannya
berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.

Pemahaman terhadap fitrah manusia, dapat ditelusuri lebih lanjut dalam


QS. al-Rum (30): 30, yakni ;

ِ‫َّللا‬
‫ق ه‬ ِ ْ‫ع لَيْ َها ََل تَبْدِي َل ِلخَل‬
َ ‫اس‬ َ َ‫َّللاِ الهتِي ف‬
َ ‫ط َر النه‬ ْ ِ‫ِين َح نِيفًا ف‬
‫ط َر ة َ ه‬ ِ ‫َو ْج َهكَ ِل لد‬ ‫فَأَقِ ْم‬
ِ ‫الدِي ُن الْقَيِ ُم َو لَ ِك هن أ َ ْكث َ َر النه‬
َ‫اس ََل يَعْ لَ ُم ون‬ َ‫ذَلِك‬
Terjemahnya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

90
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dalam pandangan al-Ashfahāni bahwa term fithratallahi dalam ayat di


atas, mengandung interpretasi adanya suatu kenyatan/daya untuk mengenal atau
mengakui Allah yang menetap di dalam diri manusia.116 Dengan demikian,
implikasi dari makna fithrah adalah suatu kekuatan atau kemampuan yang
menetap pada diri manusia sejak awal kelahirannya, untuk komitmen terhadap
nilai-nilai keimanan kepada-Nya, cenderung kepada kebenaran dan potensi itu
merupakan ciptaan-Nya. Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, merasa
dan bertindak dan terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Dari sinilah semakin jelas bahwa manusia adalah
makhluk paedagogik. Makhluk paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan
membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Manusia adalah makhluk
paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu
menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk
atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang
dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia.
Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah
itu Meskipun demikian, jika potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan
kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan
pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan.

Kesimpulan

Islam menempatkan pendidikan pada strata tertinggi kebutuhan manusia.


Karena itu, Kebutuhan manusia terhadap pendidikan merupakan kebutuhan yang

116
Al-Rāgib Al-Ashfahāni, Mu’jam al-Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān. (Bairūt: Dār al-Fikr,
1992). h. 396

91
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

bersifat asasi dan mendasar. Islam mengandung petunjuk yang jelas tentang
konsep manusia yang dapat diterapkan dalam merancang konsep pendidikan.

Aliran-aliran dalam pendidikan merupakan rangkaian pendidikan yang


dilakukan demi mengembangkan potensi yang telah diberikan kepada manusia
(nativisme) perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(empirisme) serta perkembangan manusia dipengaruhi oleh interaksi antara faktor
pembawaan dan lingkungan (konvergensi).

Manusia sebagai makhluk paegdagogik karena manusia manusia memiliki


potensi dasar berupa fitrah, manusia mengembangkan diri dan mewujudkan
kehidupan yang beradab. Fitrah adalah anugerah Ilahi yang hanya dimiliki oleh
manusia. Fitrah itulah yang kemudian dikembangkan oleh pendidikan melalui
beragam lingkungan pendidikan, dengan tiga alat utama, yaitu pendengaran,
penglihatan dan hati. Melalui pendengaran, penglihatan, dan hati nurani manusia
mengembangkan potensi fitrah yang dimilikinya dalam suatu proses pendidikan
untuk menjadikan manusia lebih baik, lebih maju dan lebih sempurna. Itulah
alasan mengapa manusia membutuhkan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

92
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,


Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.

Al-Ashfahāni, Al-Rāgib. Mu’jam al-Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān. Bairūt: Dār al-


Fikr, 1992.
Al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi. al-
Jami Shahih, Juz VIII, Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.

Hastati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan


Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.

Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2012.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan


Islam Di Sekolah, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Prenada


Media Group, 2009.

Netty Hastati dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005.

Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.

Roqib, Muh. Ilmu Pendidikan Islam, Cet.1. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan


Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010.

Taneja,V.R. Socio-Philosophical Approach to Education, New Delhi: Atlantic


Publisher, 2005.

Tirtarahardja, Umar dan drs. s. l. la sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT


Rineka Cipta, 2005.

Wahyudin, Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008.

93
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Yasin, Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UIN Malang Press,


2008.

94
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN ONLINE DAN INSTRUKSI TATAP
MUKA
Nurul Haeriyah Ridwan
Dosen Institut Parahikma Indonesia
Jln. Manggala Raya No 23 Makassar, Email :haeriyahridwan@gmail.com

Abstract

In this study the investigator compared two sections of the same course-one
section was online and asynchronous; the other was face-to-face-by
examining gender, age, learning preferences and styles, media familiarity,
effectiveness of tasks, course effectiveness, test grades, and final grades. The
two sections were taught by the same instructor and used the same
instructional materials. The results revealed no significant differences in
test scores, assignments, participation grades, and final grades, although
the online group’s averages were slightly higher. Ninety-six percent of the
online students found the course to be either as effective or more effective to
their learning than their typical face-to-face course. There were no
significant differences between learning preferences and styles and grades
in either group. The study showed that equivalent learning activities can be
equally effective for online and face-to-face learners.

Abstrak

Dalam penelitian ini peneliti membandingkan dua bagian, satu bagian


adalah pembelajaran online satunya lagi merupakan pembelajaran tatap
muka yang akan diteliti berdasarkan jenis kelamin, usia, preferensi gaya
belajar, keakraban media, efektivitas tugas, efektivitas pembelajaran,nilai
ujian, dan nilai akhir Kedua bagian itu diajarkan oleh dosen dan
menggunakan bahan ajar yang sama. Hasil menunjukkan tidak ada
perbedaan signifikan dalam nilai tes, tugas, nilai partisipasi, dan nilai akhir,
meski secara online rata-rata kelompok sedikit lebih tinggi. Sembilan puluh
enam persen dengan pembelajaran online, siswa menemukan jalannya
untuk menjadi lebih efektif. Jika dibandingkan dengan pembelajaran tatap
muka. Tidak ada yang signifikan perbedaan antara preferensi dan gaya
belajar dan nilai pada kedua kelompok. Studi tersebut menunjukkan bahwa
kegiatan pembelajaran setara atau sama efektifnya bagi peserta didik online
dan tatap muka.

95
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

I. PENDAHULUAN
Selama bertahun-tahun, banyak studi tentang pembelajaran di mana
distribusi kelas ditentukan berdasarkan ukuran hasil yang menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran siswa melakukan juga melalui jarak belajar atau biasa kita
sebut saat ini dengan pembelajaran jarak jauh atau online system seperti yang
mereka lakukan di kelas tatap muka (FTF) (Martin dan Rainey1993; Souder 1993;
Verduin dan Clark 1991). Temuan ini berlanjut di beberapa studi yang lebih baru:
Ada laporan tentang pelaku cyberlearners pada penilaian sama atau lebih baik
dari siswa FTF (Arbaugh 2000; Clark 1999; Dobrin 1999; Dutton, Dutton, dan
Perry 1999; Navarrodan Shoemaker 1999; Trinkle 1999). Banyak penelitian telah
menggunakan sampel siswa yang dipilih memiliki Karakteristik pembelajar jarak
efektif - self-starter terkuat, memiliki disiplin diri, pengetahuan tentang
persyaratan teknologi.
Sebagian besar penelitian tidak mengendalikan masing-masing independen
variabel, sehingga membuat kegunaannya untuk memprediksi hasil belajar sangat
terbatas. Joy dan Garcia (2000) mengemukakan bahwa penelitian membandingkan
media pengiriman harus mempertimbangkan variabel berikut di penelitian:
sampling, ukuran sampel, pengetahuan sebelumnya, kemampuan,
pembelajaran,gaya, keakraban media peserta, efek pendidik, waktu tugas, dan
metode instruksional. Tantangan penelitian ini adalah merancangnya sedemikian
rupa untuk mengatasi beberapa kritik terhadap penelitian sebelumnya dan di saat
yang sama memberikan serangkaian kegiatan belajar dan penilaian yang efektif
metodologi, identik untuk kedua bagian, menggunakan sampel siswa yang dipilih
sendiri untuk kedua kelompok. Penelitian ini dilakukan oleh penulis, yang
mengajar dua bagian dari perguruan tinggi, Tentu saja, satu bagian online dan
FTF( face to face). Pembelajaran ini dipilih karena menarik minat mahasiswa
sains maupun nonsains.
Tentu saja, beberapa hasil pembelajaran dapat diukur dengan cara
standar,dan bagian FTF ditawarkan di malam hari, bagian yang sempurna untuk
bekerja orang dewasa, seperti bagian online. Metrik meliputi nilai ujian,

96
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
akhir,nilai, tingkat partisipasi, jumlah posting diskusi, kualitas tugas, penilaian
siswa terhadap efektivitas belajar, preferensi belajar dan gaya, dan pengetahuan
media.

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
ada signifikansi Perbedaan hasil belajar antara dua bagian yang sama , seseorang
mengajar secara online selama lima belas minggu dan satu mengajar
menggunakan format tradisional FTF, pertemuan kelas tiga jam sekali perminggu
selama lima belas minggu. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1. Apa perbedaan demografis siswa di dua bagian? Jika perbedaan itu


ditemukan secara statistik tidak signifikan, maka demografi tidak akan
dianggap sebagai faktor untuk perbedaan apapun dalam hasil.
2. Apa preferensi dan gaya belajar siswa didua bagian dan apakah ada
perbedaan yang signifikan antara bagian? Jika tidak ada perbedaan
signifikan, maka perbedaan Hasil tidak dapat dikaitkan dengan preferensi
atau gaya belajar.
3. Bagaimana siswa menggambarkan jalannya? Jika pembelajaran itu
dijelaskan dengan cara yang sama oleh siswa di dua bagian, maka dapat
diasumsikan bahwa kedua bagian tersebut dianggap cukup memadai/
sama, memungkinkan hasil untuk dibandingkan.
4. Apa perbedaan hasil antara dua bagian pembelajaran?
Dari Pertanyaan penelitian muncul beberapa hipotesis nol:

1. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara efektivitas kegiatan


pembelajaran seperti yang dirasakan oleh kedua kelompok.
2. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara preferensi / gaya belajar dan
kesuksesan dalam kursus untuk kedua kelompok.
3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara deskriptor yang digunakan
oleh siswa masing-masing kelompok untuk menggambarkan jalannya.

97
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai akhir dan testscores FTF
dan siswa online.
5. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara keefektifan hubungan intim
seperti yang dirasakan oleh masing-masing kelompok.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Tinjau Sastra Terkait Preferensi dan Gaya Belajar Berfungsi dari tulisan
Carl Jung dan enam belas jenis psikologis dan dipengaruhi oleh pemikiran
psikolog seperti David Katz, KurtKaffka, dan Kurt Lewin adalah karya David
Keirsey, dalam bentuk The Keirsey Character dan Temperament Type
instruments. Menurut Keirsey and Bates (1984, 14-16), orang yang membutuhkan
orang lain sebagai sumber untuk regenerasi energinya dapat diklasifikasikan
sebagai ekstravert, sedangkan Siapa yang lebih suka kesendirian untuk
memulihkan energi mungkin cenderung mengarah pada kontroversi. Introvert (I)
cenderung lamban untuk menjadi sukarelawan di kelas, ragu dalam membagikan
gagasan mereka kepada orang lain, dan membutuhkan privasi (Keirsey dan Bates
1984, 101). Extravert (E) siap memasuki kegiatan kelompok dan menerima
gagasan orang lain.

Meskipun ada banyak interaksi dalam kursus online asinkron, siswa bebas
untuk menyediakan lingkungan online sesuka hati dan memberi reenergize.
Sehubungan dengan ini, deskripsi ekstraversi / introversi menunjukkan bahwa
introvert mungkin melakukan lebih banyak pembelajaran online daripada
pembelajaran FTF dan menemukan pembelajaran online lebih efektif untuk
pembelajaran mereka. Oleh karena itu, hipotesis penelitiannya adalah bahwa
orang yang introvert akan lebih berhasil dalam pembelajaran online daripada
orang asing, dan sebaliknya untuk pembelajaran FTF, dan akibatnya, hal ini akan
berdampak pada outcome.Keirsey and Bates (1984, 121-128) mengklasifikasikan
empat pembelajaran -stylegroups: sensasi / persepsi (SP), sensasi / penilaian (SJ),
intuisi / pemikiran (NT), dan intuisi / perasaan (NF). Orang dengan gaya belajar

98
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
SP membutuhkan keterlibatan fisik atau pendekatan langsung dalam
pembelajaran. Dia / shelearns dari media presentasi lebih suka dihibur. Orang
bergaya SJlearning membutuhkan struktur dan bergantung pada instruksi yang
jelas. Dia tidak selalu menikmati kelompok diskusi atau kegiatan kelompok kecil
dan lebih menyukai instruksi yang harus dipimpin oleh pendidik. Gaya belajar
bahasa NT suka menukar ide dengan orang lain dan mengembangkan gagasan
mereka sendiri. Dia berfokus pada teknologi dan cenderung menjadi pembelajar
mandiri. Ia merasa nyaman dengan presentasi material didaktik yang logis dan
menindaklanjuti pembelajaran mandiri. James dan Gardner (1995)
mengemukakan bahwa, akibatnya, siswa belajar mandiri akan menganggap bahwa
pembelajaran online lebih efektif. Orang dengan gaya belajar NF memiliki built-in
yang ingin berkomunikasi secara pribadi dengan orang lain. Dia menyukai
pertukaran dua arah dan menyukai umpan balik pribadi atas apa pun yang dia
hasilkan. Dia menyukai interaksi dan partisipasi dalam kelompok serta belajar dari
metode diskusi. Dia sangat responsif terhadap pembelajaran kelompok-kelompok
kecil, dan pembelajaran di mana instruktur merespons dan menerima gagasan dari
anggota kelas. Meskipun ada beberapa ketidakkonsistenan antara deskripsi gaya
belajar dan beberapa atribut metodologi online, nampaknya gaya belajar NT dan
NF mungkin sesuai dengan pembelajaran online; Oleh karena itu, dihipotesiskan
bahwa orang bergaya SPORSJ akan menemukan pembelajaran online kurang
efektif dan mungkin juga tidak berhasil. Siswa online yang lebih sukses secara
moral harus benar-benar menjadi tipe NF atau NT daripada tipe SP atau SJ. Diaz
dan Cartnal (1999) menyarankan bahwa jika tidak ada perbedaan dalam
pembelajaran, maka aktivitas belajar yang digunakan di kelas FTF mungkin hanya
sebagai efektif untuk pembelajaran online. Oleh karena itu, jika ditemukan dalam
penelitian ini bahwa gaya belajar tidak berbeda secara signifikan antara kelompok
online dan FTF, maka kegiatan belajar yang sama harus efektif untuk kedua
kelompok siswa yang dirasakan oleh siswa; dan, akibatnya, hipotesisnya adalah
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas kegiatan belajar di antara
kedua kelompok, dan perbedaan dalam kejadian di luar bukan hasil gaya belajar.

99
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Inventori Preferensi Modalitas digunakan untuk mengukur metode asupan


informasi yang paling efisien bagi siswa. Instrumen tersebut mengukur kekuatan
modalitas visual, pendengaran, dan kinestetik / taktil untuk meningkatkan
efisiensi. Skor tinggi dalam modalitas visual akan menunjukkan pengetahuan
visual yang rumit yang akan mendapatkan keuntungan dari teks, grafik, dan
grafik. Pembelajar pendengaran lebih memilih kuliah FTF. Ini menunjukkan
bahwa seorang visual learner mungkin menemukan pembelajaran online lebih
efektif. seorang pendengar audit, dan, akibatnya, preferensi peserta didik mungkin
mempengaruhi hasil.

III. METODOLOGI
Bagian kedua pembelajaran bertemu bersama untuk sesi pertama di ruang
kelas (FTF) untuk pengenalan dan demonstrasi pembelajaran mengakses database
perpustakaan online dan Web. Bagian FTF dilanjutkan untuk bertemu FTF setiap
minggu. Bagian online "bertemu" melalui perangkat lunak pengelolaan dan email
WebBoard. Pembelajaran ini dirancang untuk menggunakan kegiatan dan
penilaian yang sama. Untuk memastikan bahwa kedua kelompok diberi informasi
dan aktivitas yang sama, perlu menggunakan surat untuk beberapa kegiatan untuk
kelompok FTF. Meskipun ada kegiatan opsional yang dipresentasikan melalui e-
mail untuk pesertadidik FTF, satu-satunya aktivitas e-mail yang merupakan
persyaratan adalah ujian (tiga ujian); Oleh karena itu, bagian pembelajaran ini
secara akurat dapat diklasifikasikan sebagai pembelajaran FTF dan bukan
pembelajaran Web-enhanced (Boettcher1999).

Kegiatan Pembelajaran Online Tata Muka (FTF)


Pretest WebBoard Email
Perkuliahan I WebBoard Kelas
Perkuliahan II WebBoard Kelas
Diskusi Kelompok WebBoard Kelas
Presentasi WebBoard Kelas
Review WebBoard Email
Posttest WebBoard Email
Ujian Email Email

100
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Tabel 1 menunjukkan aktivitas belajar dan lokasi kegiatan. Diskusi di
bagian online mencakup topik dan kegiatan yang sama seperti di bagian FTF..
Semua ujian untuk kedua bagian adalah buku terbuka, diserahkan secara
individual kepada setiap siswa melalui e-mail, kembali ke instruktur dengan cara
yang sama, dinilai dalam waktu dua belas jam, dan kembali ke siswa. Tes statistik
yang digunakan dalam analisis data termasuk uji t , chi-square, koefisien korelasi
product-moment, analisis varians, dan koefisien korelasi rank order. Pesertadidik
dipersilahkan memilih sendiri bagian dimana untuk mendaftar; Namun,
kebanyakan siswa hanya sedikit atau tidak memiliki pengetahuan tentang
pembelajaran online.
Tabel 2 menunjukkan informasi pemberi kerja, usia, dan pekerjaan untuk
kedua kelompok. Karena riwayat kerja (jam kerja per minggu, usia, dan
pengalaman kerja) mungkin berdampak pada jumlah jam yang tersedia bagi siswa
untuk berpartisipasi, uji chi-kuadrat adalah berjalan pada jenis kelamin, usia, dan
seperangkat variabel pekerjaan untuk menentukan apakah kedua kelompok
berbeda secara signifikan. Meskipun siswa online tampaknya sedikit lebih tua,
dengan beberapa tahun pengalaman kerja, hasilnya menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut. Variabel pengetahuan
media dapat mempengaruhi apakah seorang siswa memilih Pembelajara online
atau pembelajaran FTF, juga Sebagian sukses dalam pembelajaran online, akan
pengalaman beprior dengan kursus teknologi yang disempurnakan atau online.
Dari total 62 siswa, hanya 18 yang memiliki pengalaman dengan peningkatan
teknologi dan 6 dengan pembelajaran online; Dengan demikian, jumlahnya
menunjukkan sedikit pengalaman dengan teknologi dalam mata kuliah di antara
kedua kelompok tersebut. Para siswa diminta untuk menilai kompetensi mereka
sendiri dalam penggunaan e-mail, penggunaan Web, dan penggunaan database
perpustakaan online di awal dan akhir pembelajaran.
Tabel 2. Demografi Kelompok

Demografis Online System Tatap Muka


Karyawan 92% 97%
Karyawan lebih dari 10 41% 46%

101
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

tahun
Rasio Pria/Wanita 60//40 20/80
a
N = 25. bN = 36.

Penilaian menunjukkan tidak ada perbedaan kompetensi yang signifikan


untuk e-mail atau penggunaan Web antara kedua kelompok. Tidak ada yang
menggunakan perpustakaan online pada awal pembelajaran. Kedua kelompok
meningkatkan kompetensi mereka hingga 50% sampai 80% selama pembelajaran
Survei prakiraan dan survei Postcourse Surveys A, yang meminta gender, usia,
informasi pekerjaan, pengalaman online, dan pengetahuan media, diberikan
kepada kedua mata kuliah. Survei postcourse diberikan secara anonim melalui e-
mail setelah nilai telah disebarluaskan ke siswa. Sebagai tambahan atas
pertanyaan yang telah disebutkan di atas, survei tersebut mencakup pertanyaan
mengenai keefektifan pembelajaran dalam uraian kursus dan deskripsi siswa.

IV. ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN


Penghargaan Siswa Penting untuk dicatat bahwa tingkat retensi 84% sama
untuk dua bagian. Alasan penarikan tidak diketahui. Tidak ada perbedaan
signifikan antara usia siswa di dua bagian pembelajaran pada awal semester;
Namun, pada akhir masa jabatan, karena penarikan, persentase siswa
nontradisional (> 22 tahun) telah meningkat di bagian online dari 73% menjadi
91% kelas, di mana persentase FTF siswa nontradisional hanya meningkat hanya
3 Ini akan menunjukkan bahwa siswa yang menarik diri dari bagian online lebih
cenderung menjadi siswa kelas tradisional daripada mereka yang mengundurkan
diri. Kedua bagian tersebut, bagaimanapun, melihat tingkat kejenuhan siswa usia
tradisional (18-22) lebih tinggi daripada siswa yang lebih tua. Efektivitas
Pembelajaran Untuk mendapatkan keefektifan pengajaran secara umum, siswa
FTF diminta untuk membandingkan keefektifannya pembelajaran ini untuk
belajar mengikuti pembelajarans FTF khas lainnya.
Seperti dicatat dalam Tabel 3, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua
kelompok dalam penilaian terhadap efektivitas pembelajaran kursus. Setelah

102
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
menyelesaikan pembelajaran, 95% siswa online mendapatkan preferensi
pembelajara online mengenai pembelajaran FTF.
Tabel 3. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas FTF Online


Perbandingan Pembelajaran Perbandingan Perbandingan
Online Dengan Pembelajaran Pembelajaran Online Pembelajaran Online
FTF (%) Dengan Pembelajaran FTF Dengan Pembelajaran FTF
(%) (%)
Pembelajaran
 Lebih Efektif 37 32
 Sama Efektif 63 64
 Kurang Efektif 0 4
Catatan: FTF = tatap muka. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua
mata kuliah tersebut (p <.05).

Kemungkinan kemudahan penggunaan perangkat lunak, aktivitas Internet,


dan e-mail, didukung oleh metodologi pembelajaran, meningkatkan sikap siswa
terhadap pengalaman online mereka, memotivasi kinerja dan kesuksesan mereka
dalam hubungan intim, dan, pada akhirnya, sikap mereka. Mengambil
pembelajaran online lebih jauh (Atkinson dan Kydd 1997; Davis 1989).

Efektivitas Kegiatan Pembelajaran

Pesertadidik diminta untuk mengevaluasi keefektifan masing-masing


komponen utama pembelajaran dalam kaitannya dengan pembelajaran mereka.
Tujuannya untuk memastikan adanya perbedaan yang mungkin berdampak pada
keefektifan metodologi online dibandingkan dengan FTF, untuk menyelidiki
hubungan antara gaya belajar dan keefektifan, serta memberikan informasi untuk
desain pembelajaran masa depan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kedua bagian tersebut, efektivitas kegiatan berbagai kursus, kecuali pretest dan
tinjauan bab, yang secara signifikan lebih efektif untuk bagian online.
Pemeriksaan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam setiap aktivitas,
persentase siswa yang menilai aktivitas tersebut "sangat efektif," kecuali diskusi,
lebih tinggi pada bagian online. Penjelasan yang mungkin adalah bahwa siswa
online lebih rendah dari aktivitas yang diposkan untuk bergantung pada

103
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

pembelajaran mereka, sedangkan siswa FTF merasa bahwa mereka memiliki


dukungan informal dari rekan mereka untuk belajar. "Diskusi" di bagian online
mungkin tidak seefektif diskusi FTF untuk siswa, beberapa siswa memiliki
pengalaman sebelumnya dengan diskusi virtual. Menarik untuk dicatat bahwa
kegiatan pembelajaran yang disampaikan melalui pencatatan kepada mahasiswa
FTF dipandang kurang efektif untuk pembelajaran mereka daripada untuk orang-
orang yang kurang mendapatkan pembelajaran didalam kelas.

FTF (Face to Face) Online


Sangat Efektif Kurang Sangat Efektif Kurang
Aktivitas Efektif % Efektif Efektif % Efektif
% % % %
Pretest 56 31 13 64 32 4
Perkuliahan I 75 25 0 86 14 0
Perkuliahan II 31 50 19 50 45 5
Diskusi 88 12 0 73 27 0
Kelompok
Tugas 50 50 0 73 27 0
Persentasi Siswa 32 50 18 45 45 10
Ulasan 56 38 6 86 14 0
Postest 50 44 6 68 32 0

Meskipun hampir semua siswa bereaksi positif terhadap strategi.


Keteguhan, mungkin lebih sulit bagi siswa FTF untuk menyesuaikan diri dengan
menerima instruksi melalui e-mail daripada secara lisan di kelas. Beberapa dari
mereka berkomentar selama jangka waktu tentang volume e-mail yang luar biasa
yang mereka terima, namun ketika ditanya apakah kegiatan ini harus dihentikan,
jawabannya adalah sebaikny dihentikan. Instruksi Pembelajaran Untuk
menentukan sejauh mana kedua kelompok tersebut Dengan cara yang sama,
daftar deskriptor kursus disusun dari gagasan yang disampaikan oleh instruktur
universitas dan diambil dari evaluasi siswa di perkuliahan yang lain. Para siswa
diberi daftar ini di akhir pembelajaran dan diminta memeriksa deskriptor yang
mereka rasa sesuai dengan pembelajaran. Mereka bisa memilih beberapa atau
sebanyak yang mereka inginkan. Secara keseluruhan, ada korelasi amoderate (r =
0,626) antara kedua kelompok. Lima buku yang paling sering dipilih, dipilih oleh

104
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
setidaknya 70% siswa di kedua kelompok, "menyenangkan", "belajar banyak,"
"menarik," "berbagi ide," dan "interaktif karena dari korelasi moderat, kesamaan
dalam deskriptor yang paling sering digunakan , dan kesamaan yang dirasakan
dalam efektivitas Pembelajaran, kita dapat merasa nyaman bahwa kedua bagian
itu setara dalam presentasi mata pelajaran. Oleh karena itu, perbandingan nilai tes
dan penilaian akhir dapat dibuat tanpa mempertimbangkan perbedaan dalam
metode pembelajaran.

Preferensi dan Gaya Belajar

Untuk mengetahui efek gaya belajar terhadap kesuksesan dalam


pembelajaran, para siswa diminta untuk melengkapi Inventori Preferensi
Preferensi Pembelajaran. Dari siswa online paling sukses (nilai A atau A-), 40%
memilik gaya visual sebagai pilihan mereka. sedangkan 66% sebagai pilihan
kinestetik mereka. Dari siswa FTF paling sukses (nilai A atau A-), 43% memiliki
gaya visual pilihan mereka, sedangkan 43% memiliki kinestetik sebagai pilihan.
Tidak ada hubungan antara nilai-nilai pembelajaran dan nilai akhir di kedua
kelompok. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa 66% siswa online dan 60% siswa
FTF memilih mata pelajaran dengan gaya visual, sedangkan hanya tiga siswa dari
keseluruhan populasi memilih mata pelajaran dengan gaya audio sebagai gaya
pilihan mereka.
Uji statistik nilai akhir dan gaya belajar (NT, NF, SP, SJ) dari kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara gaya dan tingkat
keberhasilan pada tingkat probabilitas 0,05. Namun, menarik untuk dicatat pada
Tabel 5 bahwa meskipun NTs terdiri dari persentase yang jauh lebih kecil dari
total kelompok online, semua siswa NT berhasil menjadi siswa sukses (A atau A-
grade). Tabel juga menunjukkan bahwa sekitar sepertiga SJs dalam kursus FTF
adalah siswa sukses. Meskipun secara statistik kita menolak hipotesis penelitian
yang ada dalam penelitian ini, bahwa SJs akan lebih berhasil dalam kelas FTF dan
NT di bidang pembelajaran online, fakta bahwa semua PB berhasil dalam kursus
online dan bahwa persentase SJ lebih besar pada kelas FTF, dengan hanya yang
ketiga berhasil, menunjuk pada perlunya penelitian lebih lanjut di bidang ini. Tes

105
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

statistik menunjukkan korelasi positif rendah antara nilai akhir dan tipe introversi
untuk kedua kelompok. Dari siswa online, 49% tipe introversi, dimana 53%
memperoleh nilai AORA. Lima puluh tiga persen kelompok FTF adalah tipe
introversi, dimana 50% adalah siswa yang berhasil. Karena nilai akhir dipengaruhi
oleh partisipasi, yang mungkin memiliki variabel lain yang bekerja dengannya,
penelitian lebih lanjut harus didorong untuk menentukan apakah ada hubungan
antara tipe pembelajaran dan efektivitas dan kepuasan yang dihasilkan dengan
nilai course.
Tabel 5. Hubungan Antara Gaya Belajar dan Kesuksesan

Online FTF(Face to Face)


Kelompok Kesuksesan Kelompok Kesuksesan
Tipe/Jenis Total Total
(%) (%)
SJ 59 59 80 33
SP 3 0 6 0
NF 24 14 7 0
NT 14 100 7 7
Catatan: SJ = sensasi / penjurian; SP = sensasi / persepsi; NF = intuisi / perasaan;
NT = intuisi / pemikiran
Test Skor tes rata-rata adalah 88,1% untuk kelompok online dan 86,2%
untuk kelompok FTF. Meskipun nilai tes rata-rata lebih tinggi untuk kelompok
Online, hasil uji t tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat
kemiripan antara kedua kelompok. Nilai akhir Rata-rata akhir adalah 3,5 (4,0
skala) untuk bagian online dan 3.35 untuk bagian FTF Sekali lagi, kita melihat
nilai sebenarnya lebih tinggi di bagian online tapi tidak signifikan.

Kesimpulan

Penelitian membandingkan dua bagian dari pembelajaran yang sama-yang


diajarkan FTF dan yang diajarkan pula pada pembelajaran online. Meskipun
penelitian ini tidak memberi kesempatan kepada siswa, demografi usia,
pengalaman kerja, dan pengetahuan mediasi sebelumnya tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Tingkat penahanan 84%
identik untuk kedua kelompok, Namun, atrisi untuk siswa tradisional/Reguler (18-

106
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
22 tahun) lebih tinggi daripada siswa nontradisional (NonReguler), terutama di
kelas online. Hasil penelitian ini mendukung temuan penelitian sebelumnya
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai-nilai tes, tugas, nilai
partisipasi, dan penilaian akhir yang utama; Namun, nilai aktual untuk kelompok
online sedikit lebih tinggi. Sembilan puluh enam persen (96%) siswa online
menganggap pembelajaran tersebut lebih efektif daripada pembelajaran FTF,
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam menilai
efektivitas pembelajaran. Kegiatan pembelajaran individual (pretest, perkuliahan1,
perkuliahan II, diskusi kelompok, tugas, presentasi siswa, review bab, dan
posttests) dinilai untuk efektivitas belajar oleh orang-orang yang berprestasi.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara penilaian kedua kelompok untuk
setiap aktivitas kecuali dua kegiatan opsional - tinjauan ulang dan tinjauan bab.
Kegiatan utama pembelajaran serupa efektifitasnya untuk kelompok online dan
FTF. Hal ini mungkin akan mempermudah dalam kegiatan FTF yang dapat
digunakan untuk mengikuti pembelajaran. nekourses dengan hasil pembelajaran
serupa untuk para siswa.

Untuk mengetahui gaya belajar siswa, dua instrumen digunakan:


Preferensi Preferensi Modality Preferensi (preferensi visual, pendengaran, dan
kinestetik / taktil) dan Inventori Temperatur Keirsey (introversion / extraversion
and NT, NF, SP, gaya SJ). Kira-kira dua pertiga dari masing-masing kelompok
adalah pelajar visual, dengan hanya tiga dari keseluruhan populasi peserta didik.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa sukses mereka (nilai
akhir A atau A-) dan preferensi belajar. Selain itu, tidak ada korelasi yang
ditemukan pada kelompok antara tipe pembelajaran finalgrades dan NT, NF, SP,
dan SJ. Menurut deskripsi dari keempat tipe tersebut (Keirsey dan Bates 1984),
kita dapat mengasumsikan bahwa SJ akan lebih berhasil dalam kelas FTF dan NT
dan lebih berhasil di kelas online. Karena kurangnya perbedaan signifikan antara
dua kelompok di antara dua kelompok dan preferensi belajar, dan korelasi rendah
atau tidak ada sama sekali antara tipe dan nilai pembelajaran, kita dapat
mengasumsikan bahwa pembelajaran dan tipe memiliki sedikit atau tidak ada

107
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

dampak pada nilai akhir dalam penelitian ini. Tidak ada bukti statistik bahwa jenis
preferensi belajar adalah prediktor kesuksesan yang baik secara online atau
Kursus FTF Hal ini mendukung temuan bahwa gaya belajar, pola pembelajaran
terhadap pengajaran berbasis Web, dan karakteristik siswa tidak berpengaruh
terhadap prestasi belajar berbasis Web (Shih et al 1998). Karena penilaian akhir
dipengaruhi oleh partisipasi, yang dipengaruhi oleh variabel lain seperti motivasi,
keluarga, dan komitmen kerja, penelitian penelitian dapat ditingkatkan dengan
memeriksa hubungan antara preferensi belajar dan gaya dengan efektivitas
kegiatan pembelajaran. Karena surveikollecting data untuk efektivitas anonim, ini
tidak mungkin ditentukan dalam penelitian ini. Meskipun siswa yang terpilih
sendiri mengikuti bagian online dan FTF, tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan pada demografi siswa, pengetahuan media, dan deskripsi kursus oleh
siswa di antara kedua bagian tersebut. Thestudy mendukung temuan dari banyak
penelitian lain di mana tidak ada perbedaan signifikan dalam nilai akhir atau nilai
tes yang ditemukan.

Hasil penelitian tidak boleh terlalu umum. Studi tersebut menunjukkan


bahwa kegiatan pembelajaran setara dapat sama efektifnya untuk pembelajaran
bagi kelompok online dan FTF. Namun, harus diingat bahwa kegiatan FTF dalam
penelitian ini harus diperluas agar mencakup aktivitas e-mail agar sesuai dengan
kekayaan instruksi online. Fakultas mungkin dapat menggunakan metodologi dan
materi FTF sebagai dasar dalam kursus online developing namun akan
menemukan media yang kondusif untuk memperluas penggunaan Web agar
pembelajaran lebih efektif. Demikian pula, begitu mereka memiliki taughtonline,
kemungkinan besar mereka akan melihat pentingnya menambahkan peningkatan
kualitas pada kursus FTF mereka.

Akhirnya, mengingat perbedaan yang tidak signifikan secara statistik


antara dua kelompok siswa dalam demografi, gaya belajar dan preferensi, persepsi
tentang efektivitas kursus dan tugas, deskripsi tentang hubungan intim, dan
kompetensi teknis, penelitian ini memberikan satu tambahan lagi pada kumpulan

108
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
literatur yang berkembang yang menegaskan kualitas pembelajaran online
seefektif pembelajaran FTF.

DAFTAR PUSTAKA

Arbaugh, J. B. 2000. Virtual classroom versus physical classroom: An exploratory


comparison of class discussion patterns and student learning in an asynchronous
Internet-based MBA course. Journal of Management Education 24 (2): 207–227.
Atkinson, M., and C. Kydd. 1997. Individual characteristics associated
withWorldWideWeb use: An empirical study of playfulness and motivation. The
DATA BASE for Advances in Information Systems 28 (2):53–62.
Boettcher, J. 1999, October. Tower ofWWWebble. Syllabus 13 (3): 50–52.
California Distance Learning Project. 2001. California Department of Education,
The California State University System [online], 17 May. Available online at
http://www.cdlponline.org
Clark, D. 1999. Getting results with distance education. The American Journal of
Distance Education 12 (1): 38–51.
Davis, F. 1989. Perceived usefulness, perceived ease of use and user acceptance
of information technology. MIS Quarterly 20 (2): 143–163.
Diaz, D., and R. Cartnal. 1999. Students’learning styles in two classes: Online
distance learning and equivalent on-campus. College Teaching 47 (4): 130–135.
Dobrin, J. 1999. Who’s teaching online? ITPE News 2 (12): 6–7.
Dutton, J., J. Dutton, and J. Perry. 1999. Do online students perform as well as
traditional students? [online], 15 March, 2000. Available online at
http://cuda.teleeducation.nbca/significantdifference
James, W. B., and D. L. Gardner. 1995. Learning styles: Implications for distance
learning. ERIC, ED 514 356.
Joy, E., and F. Garcia. 2000. Measuring learning effectiveness: A new look at no-
significant-difference findings. Journal of Asynchronous Learnings Network 4 (1)

109
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

[online], 15 May, 2001. Available online at


http://www.aln.org/alnweb/journal/Vol4_issue1/joygarcia.htm
Keirsey, D., and M. Bates. 1984. Please understand me: Character &
temperament types. Del Mar, CA: Prometheus Nemesis Book Company.
Martin, E. E., and L. Rainey. 1993. Student achievement and attitude in a satellite-
delivered high school science course. The American Journal of Distance
Education 7 (1): 54–61.
Modality Preference Inventory. 1999. [online], September. Available online at
http://www.mxctc.commnet.edu/c/c/survey.htm
Navarro, P., and J. Shoemaker. 1999. Economics in cyberspace:Acomparison
study. Discussion paper. University of California: Irvine Graduate School of
Management, 33.
Shih, C., T. Ingebritsen, J. Pleasants, K. Flickinger, and G. Brown. 1998. Learning
strategies and other factors influencing achievement via Web courses. ERIC, ED
422 876.
Souder,W. E. 1993. The effectiveness of traditional vs. satellite delivery in three
management of technology master’s degree programs. The American Journal of
Distance Education 7 (1): 37–53.
Trinkle, D. A. 1999, 6 August. Distance education: A means to an end, no more,
no less. The Chronicle of Higher Education, A60.
Verduin, J. R., and T. Clark. 1991. The foundations of effective practice. San
Francisco: Jossey-Bass.
Wade,W. 1999, October.What do students know and how do we know that they
know it? T.H.E. Journal 27 (3): 94–100.

110
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Oleh:

Dr. Muhammad Rusmin B, M.Pd.I.

Abstrak

Konsep dasar pendidikan karakter pertama pendidikan karakter


merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis
untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat; kedua penerapan pendidikan karakter
khususnya dalam pendidikan formal harus melibatkan semua stakeholders
pendidikan. Pendidikan karakter tidak sekedar diajarkan tapi yang
terpenting adalah dicontohkan dan diamalkan. Karena itu, keteladanan orang
tua di rumah, guru di sekolah dan pemimpin di masyarakat menjadi hal yang
urgen dalam mewujudkan tujuan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter dalam perspektif Islam secara substansial
memiliki kesamaan dengan pendidikan akhlak, karena pada dasarnya
pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai–nilai
spiritualitas dan religiusitas, karenanya pendidikan karakter dalam Islam
merupakan pendidikan sepanjang hayat yang menitikberatkan pada sikap
positif peserta didik yang bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah, akan tetapi pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga seorang individu menjadi paham,
mampu merasakan dan mau melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan
mulai sejak dini sampai dewasa, sebagaimana halnya pendidikan akhlak
dalam Istilah Islam.

Kata kunci: Pendidikan Karakter dan Perspektif Islam

111
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Eksistensi pendidikan karakter merupakan faktor yang fundamental,
karena ia sebagai pilar dan pondasi moral bangsa yang didukung dan dihayati
bersama oleh seluruh masyarakat. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat
perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa itu dalam
membangun peradaban di tengah tuntutan perkembangan kehidupan yang kian
kompleks.
Hubungan antara kualitas pendidikan karakater dan kemajuan bangsa amat
erat. Bangsa yang maju ditandai dengan kualitas karakter masyarakatnya yang
baik. Karakter baik merupakan persyaratan agar kompetensi yang dimiliki
seseorang dipakai secara bijaksana. Kompetensi hanya akan menjadi kekayaan
dan membawa maslahat bagi orang banyak apabila kompetensi tersebut disertai
dengan karakter baik. Sebaliknya orang yang berkompetansi tinggi namum
karakternya tidak baik cenderung akan memakai kompetensinya untuk hal-hal
yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, apabila dalam satu masyarakat
kerusakana karakter meluas, maka bangsa tersebut akan digerogoti sendiri oleh
warganya, atau dengan kata lain masyarakatnya akan melalukan tindakan merusak
diri sendiri.
Era globalisasi ditandai dengan munculnya supremasi ilmu pengetahuan
dan teknologi serta melemahnya pengaruh agama dan pendidikan dalam
kehidupan yang mengakibatkan karakter anak semakin terpuruk.117 Implikasinya
adalah rasionalisme yang cenderung sekuler telah merasuk pada semua dimensi
kehidupan manusia. Dogma-dogma agama yang absolut telah mengalami krisis

117
Rahmatunnair, Kontekstualisasi Budaya dan Membongkar Fakta Menuju Era Baru,
(Cet. I; Jakarta: Padamabo, 2005), h. 174.

112
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
vitalitas, sehingga manusia lebih menghargai individu untuk melakukan aktivitas
industri perdagangan dari pada aktivitas spiritual. Ini kemudian melahirkan pola
sikap individualisme dan materialisme yang memungkinkan munculanya
pelanggaran ajaran agama.
Dalam konteks tersebut, ditemukan signifikansi terhadap vitalisasi karakter
dalam membendung arus globalisasi yang menawarkan sikap dan prilaku yang
tidak mendidik. Oleh karena itu, harus ditegaskan bahwa satu konklusi bahwa
karakter merupakan salah satu elemen pokok agama yang tidak dapat dilepaskan
dari ajaran Islam. Bahkan mengabaikan aspek karakter hampir dapat dikatakan
sebagai pengingkaran agama secara keseluruhan. Era globalisasi dengan segala
identitasnya ternyata menawarkan dua alternatif bagi manusia. Di satu pihak dapat
menjadi sarana peningkatan kualitas manusia dalam mengembangkan potensinya.
Sementara di pihak lain justru dapat menjerumuskannya pada jurang kehancuran,
yang pada gilirannya menyebabkan tercabiknya identitas kemanusiaannya.
Fakta memperlihatkan bahwa dalam 20 tahun terakhir ini perilaku warga
masyarakat banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur. Misalnya, sikap
mementingkan diri sendiri; menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan,
termasuk dengan cara-cara yang melanggar hukum seperti korupsi dan memeras
warga masyarakat; budaya memilih jalan pintas; budaya konflik dan saling curiga;
saling mencela/menjatuhkan; budaya mengerahkan otot (massa); dan budaya tidak
tahu malu.
Khusus dunia pendidikan, perilaku menyimpang di kalangan peserta didik
semakin meningkat. Misalnya, banyak dari mereka yang terjerat narkoba,
pergaulan bebas, tawuran antar pelajar dari tahun ke tahun semakin meningkat di
beberapa kota besar dan premanisme.Di samping itu, sejak kebijakan ujian
nasional diterapkan sebagai standar kelulusan, perilaku tidak jujur saat ujian telah
dilakukan secara berjamaah oleh guru, peserta didik dan pihak terkait.
Dari tahun ke tahun jumlah kriminalitas semakin meningkat. Kenakalan
remaja yang cukup mengkhawatirkan tersebut semakin hari semakin meningkat.
Kemerosotan karakter anak itu agaknya terjadi pada semua lapisan masyarakat,

113
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

hal ini tampak pada banyaknya kasus yang benar-benar nyata, sehingga pada
akhirnya kesemuanya terbias dampaknya pada Bangsa.
Fenomena tersebut mendapat respon yang serius sehingga dirumuskan
tujuan pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa, yaitu seperti yang
diakomodasi dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab 2 Pasal 3, yang berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.118
Rumusan tujuan pendidikan nasional di atas memberikan gambaran
kriteria manusia Indonesia yang ingin dicapai, yaitu: manusia religius, manusia
penggali dan pengamal ilmu pengetahuan, manusia yang memiliki kecakapan
sebagai perwujudan nyata dan aplikasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-
hari, manusia kreatif yang memiliki kemandirian dengan sikap hidup dinamis,
memiliki semangat hidup, kepedulian terhadap masyarakat dan bangsa, berjiwa
demokratis, serta manusia memiliki karakter.
Karakter berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya,
yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis,
kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta
ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur,
menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut,
setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin,
antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien,

118
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003)
(Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 7.

114
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
menghargai waktu, pengabdian/ dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah,
cinta keindahan (estetis, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.119

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan upaya membentuk


karakter bangsa maka pendidikan karakter mutlak diterapkan dalam pendidikan
yang bukan hanya menuntut proses saja, tetapi dibutuhkan kateladanan dari orang
yang lebih dewasa. Dengan demikian keteladanan tidak hanya dipakai dalam
kegiatan pembelajaran di kelas saja akan tetapi juga di luar kelas. Seorang
pendidik hendaknya memiliki kesadaran yang tinggi, bahwa sesungguhnya peserta
didik akan mengamati sosok atau figur gurunya, dengan sendirinya peserta didik
akan menirunya dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. Keteladanan
mempunyai landasan yang kuat dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam QS al-
Ahzaab/33: 21.

َّ ‫ٱألخ َر َوذَ َك َر‬


َ‫ٱَّلل‬ ِ ‫وم‬ َّ ْ‫سنَة ِل َمن َكانَ يَر ُجوا‬
َ َ‫ٱَّللَ َوٱلي‬ َ ُ ‫ٱَّلل أ‬
َ ‫سوة ٌ َح‬ ِ َّ ‫ول‬ ُ ‫لَّقَد َكانَ لَ ُكم فِي َر‬
ِ ‫س‬
‫َكثِير‬
Terjemahnya:

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.120
Mengacu pada ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa konsep
keteladanan sudah diberikan oleh Allah swt. dengan cara mengutus para Rasul,
terutama Nabi Muhammad saw. untuk menjadi panutan bagi umat Islam.
Demikian halnya seorang pendidik harus menjadi panutan bagi peserta didiknya,
baik dari segi perkataan, perilaku maupun dari segi penampilan dan lain
sebagainya, sebagai bentuk aplikasi dari pendidikan karakter tersebut. Apabila
dicermati secara historis pendidikan karakter zaman Rasulullah saw. maka dapat
dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada

119
M. Fauzil Adhim, Positive Parenting: Cara-Cara Islami Mengembangkan Karakter
Positif Pada Anak Anda (Cet. II; Bandung: Mizan, 2006), h. 42.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta
120

Media, 2012), h. 923.

115
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

keberhasilan adalah keteladanan. Rasulullah saw. mendidik tidak hanya melalui


kata-kata saja, tetapi lebih banyak memberikan keteladanan dalam mendidik
umatnya. Karena itulah, keteladanan dikatakan sebagai metode yang sangat
efektif dalam pendidikan karakter.

Pada masa reformasi keinginan membangun karakter bangsa terus


berkobar bersamaan dengan munculnya euforia politik sebagai dialektika
runtuhnya rezim orde baru. Keinginan menjadi bangsa yang demokratis, bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pendidikan karakter bangsa di
Indonesia kembali menjadi topik hangat sejak 2010. Pembangunan budaya dan
karakter bangsa dicanangkan oleh Pemerintah dengan diawali‘ Deklarasi
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai gerakan nasional pada Januari
2010. Hal ini ditegaskan ulang dalam Pidato Presiden pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional, 2 Mei 2011) yang memilih tema “Pendidikan Karakter
sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa; Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”.
Bahkan dalam sambutan memperingati Hardiknas tersebut, Menteri Pendidikan
Nasional M. Nuh menegaskan bahwa mulai tahun ajaran 2011/2012, pendidikan
berbasis karakter akan dijadikan sebagai gerakan nasional, mulai dari Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya
pendidikan nonformal dan informal. Karakter yang hendak dibangun, menurut
Mendiknas, bukan hanya karakter berbasis kemuliaan diri semata, akan tetapi
secara bersamaan membangun karakter kemuliaan bangsa. 121
Sejak itu, pendidikan karakter menjadi perbincangan hangat ditingkat
nasional. Meskipun sebelumnya, wacana tentang pentingnya pendidikan karakter
telah banyak disuarakan para pemerhati pendidikan, khususnya dalam forum-
forum ilmiah. Pendidikan karekter sangat penting diterapkan dalam pendidikan,
karena pendidikan karakter menekankan dimensi etis spiritual dalam proses
pembentukan pribadi peserta didik.

121
Menteri Pendidikan Nasional Sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada Peringatan
Hari Pendidikan Nasional tahun 2011, Senin, 2 Mei 2011.

116
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Pada intinya pendidikan karakter sebagai istilah payung (umbrella term)
yang acap kali digunakan dalam mendeskripsikan pembelajaran peserta didik
dengan sesuatu cara yang dapat membantu mereka mengembangkan berbagai hal
terkait moral, kewargaan, sikap tidak suka memalak, menunjukkan kebaikan,
sopan santun dan etika, perilaku, bersikap sehat, kritis, keberhasilan, menjunjung
nilai tradisional, serta menjadi makhluk yang memenuhi norma-norma sosial.122
Pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta
didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan akhlak, nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak. Berdasarkan asumsi tersebut, penulis menyusun makalah yang berjudul
Pendidikan Karakter.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok masalah


makalah ini adalah bagaimana pendidikan karakter? Agar pembahasan lebih
mendalam, penulis merumuskan tiga submasalah yang menjadi pusat perhatian
dalam penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dasar pendidikan karakter?
2. Bagaimana pendidikan karakter dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana urgensi pendidikan karakter dalam pembangunan Bangsa dan
Negara?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep dasar pendidikan
karakter
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendidikan karakter dalam
perspektis Islam

122
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012), h. 44.

117
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendidikan karakter dalam


pembangunan Bangsa dan Negera

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Pendidikan Karakter


Pengertian pendidikan karakter berasal dari dua akar kata yaitu pendidikan
dan karakter. Sebelum dibahas tentang pendidikan karakter terlebih dahulu
dibahas tentang pendidikan dan karakter secara rinci.
1. Pengertian Pendidikan
Pengertian pendidikan secara komprehensif, ditegaskan dalam Undang-
Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bab I
pasal 1, ayat 1 yang berbunyi:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual
keagamaan, pengendalian diri, karakter, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 123
Pengertian pendidikan dalam rumusan Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, menggambarkan bahwa
pendidikan yaitu menyelaraskan antara pertumbuhan fisik dan pertumbuhan
mental, jasmani dan rohani, pengembangan individu dan masyarakat serta
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, pendidikan bagi
kehidupan umat manusia merupakan suatu kebuuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat.

123
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th. 2003),
op.cit., h. 3.

118
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Tanpa pendidikan maka mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup
berkembang sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahterah dan bahagia menurut
konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan sebagai suatu hasil peradaban
bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri
termasuk di dalamnya nilai dan norma masyarakat yang berfungsi sebagai filsfat
pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya
sekaligus menunjukkan sesuatu warga negara berpikir serta berperilaku secara
turun temurun hingga pada generasi berikutnya yang dalam perkembangannya
akan sampai pada tingkat peradaban yang maju, atau dengan kata lain
meningkatnya nilai-nilai kehidupan dan pembinaan kehidupan yang lebih
sempurna.
Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dikemukakan bahwa pendidikan adalah pendidikan berasal dari kata didik, yang
mengandung arti pengarahan, perbuatan, hal, cara dan sebagainya. 124 Dari definisi
tersebut diperoleh gambaran bahwa pendidikan pada hakikatnya dimaknai
bimbingan dan pengarahan. Namun dalam perkembangannya, arti pendidikan
yang berarti bimbingan atau pengarahan tersebut meluas ke pemaknaan yang
bermacam-macam, misalnya pertolongan, pengarahan, mendewasakan seseorang
atau sekelompok orang dan selainnya.
Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan
sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan merupakan usaha
sadar dan terncana untuk mendewasakan peserta didik.125 Pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Atau
dapat pula dikatakan bahwa pendidikan secara terminologi adalah sebagai

124
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV
(Jakrata: Gramedia, 2008), h. 204.
125
Hasabullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Edisi Revisi V; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 1.

119
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

perubahan sikap dan prilaku seseorang dalam usaha mendewasakan melalui


pengajaran dan pendidikan.126
Pengertian tersebut memberi makna bahwa pendidikan merupakan segala
usaha seseorang kepada orang lain untuk menjadikannya lebih dewasa dan
berkembang baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Pada prinsipnya pendidikan
merupakan suatu upaya untuk menambah kecakapan, keterampilan, pengertian
dan sikap melalui belajar dan pengalaman yang diperlukan untuk memungkinkan
manusia mempertahankan dan melangsungkan hidupnya, pada gilirannya dapat
mencapai tujuan hidupnya, dan melahirkan manusia yang mampu menghadapi
berbagai tantangan masa depan.
2. Pengertian Karakter
Secara etimologis pengertian karakter dalam Kamus Cerdas Bahasa
Indonesia Terbaru adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. 127 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), karakter berarti: Sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Atau bermakna bawaan hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, dan watak. Karakter
juga diartikan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.128
Istilah karakter, dalam bahasa Inggris character dan dalam bahasa
Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter. 129 Kata karakter dalam bahasa
Inggris: character secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein

126
Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan (Cet. I;
Bandung: Alfabeta, 2011), h. 3.
127
Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia Terbaru (Cet.
II; Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan, 2003), h. 300.
128
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV, h.
301.
129
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi (Cet. II; Bandung:
Alfabeta, 2012), h. 1.

120
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
yang berarti “to engrave” diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan.130 Kata charassein diartikan pula dengan membuat tajam dan
membuat dalam.131 Sedangkan menurut Wynnie dalam Achmad Mubarok istilah
karakter diambil dari bahasa Yunani charassein yang berarti mengukir hingga
terbentuk pola dan ‘to mark’ (menandai).132 Istilah ini lebih fokus pada tindakan
atau tingkah laku.
Mengacu pada beberapa definisi di atas maka dapat dimaknai bahwa
karakter merupakan keadaan asli yang ada dalam diri seseorang yang menbedakan
antara dirinya dengan orang lain atau dengan kata lain ciri khas yang
membedakan antara dirinya dengan orang lain. Karakter merupakan bawaan
individu dalam menyikapi suatu hal, atau dapat diartikan karakter sebagai sifat
bawaan seseorang yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat dari
individu itu sendiri.
Sedangkan secara terminologis karakter menurut Lickona adalah,
“Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior”133. Menurut Lickona, good character (karakter
mulia) meliputi moral khowing (pengetahuan tentang kebaikan), kemuadian moral
feeling (lalu menimbulkan komitmen/niat terhadap kebaikan), dan akhirnya moral
behavior (benar-benar melakukan kebaikan).134
Pengertian karakter dikemukakan para ahli, yang dikutip oleh Heri
Gunawan di antarnya sebagai berikut:

a. Hornby dan Parnwell mendefinisikan bahwa karakter adalah kualitas


mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.

130
Kevin Ryan & Karen E Bohlin, Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life (San Francisco: Jossey Bass, 2004), h. 5.
131
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi, h. 1.
132
Achmad Mubarok, Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa
(Jakrata: Gramedia, 2012), h. 101.
133
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books, 1991), h. 51.
134
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, h. 54.

121
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

b. Hermawan Kartajaya mendefinisikan bahwa karakter adalah ciri khas yang


dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia). Ciri khas tersebut
adalah asli dan mengakar pada karakter benda atau individu tersebut dan
merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,
berujar, serta merespon sesuatu.

c. Tadkirotun Musfiroh mendefinisikan bahwa karakter adalah mengacu


kepada serangkaian sikap (attitudes), periulaku (behaviors), motivasi
(motovations), dan keterampilan (skill).

d. Simon Philips mendefiisikan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai


yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan
perilaku yang ditampilkan.

e. Sedangkan imam Al-Gazali menganggap bahwa karakter lebih dekat


dengan akhlak, yaitu spontanitas mausia dalam bersikap, atau melakukan
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul
tidak perlu dipikirkan lagi.135

Sehubungan dengan pendapat di atas, Muchlas Samani dan Hariyanto


mengutip pendapat Helen G. Douglas yang mengatakan bahwa “character isn’t
inherited, one buailds its daily by the way one thinks and acts, though by though,
action by action”.136 Artinya: Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang
dibangun secara berkesinambungan hari demi hari, melaui pikiran dan perbuatan,
pikiran demi pikiran, dan tindakan demi tindakan.
Karakter dimaknai pula sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun bangsa dan negara.137 Doni Koesoema, memahami bahwa
karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau
karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari

135
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi, h. 2-3.
136
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, h. 41.
137
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, h. 41.

122
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. 138 Furqon mengemukakan
beberapa pengertian karakter yaitu (1) Karakter adalah sifat nyata dan berbeda
yang ditunjukkan oleh individu, (2) karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik
tolak etis atau moral, (3) karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh
individu.139
Winnie mengatakan dalam Fatchul Mu’in bahwa kata karakter memiliki
dua pengertian karakter. Pertama ia menunjukkan bagaimana seorang bertingkah
laku atau bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau
rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang
berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.
Kedua istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian). Seseorang
baru bisa disebut orang yang berkarakter apabilah tingkah lakunya sesuai dengan
kaidah moral.140
Dalam hal ini akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan
kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan
fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup
bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan
kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak
bermoral.
Arismantoro menjelaskan karakter sebagai penggambaran tingkah laku
dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun
implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian kerena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun
karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan ke lingkungan sosial, keduanya

138
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Cet.
IV; Jakarta: Grasindo, 2010), h. 81.
139
Nurachman, N., Pendidikan Karakter di Sekolah dan Keluarga (Cet. III; Jakarta: PT.
Gramedia, 2011), h. 59.
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik (Cet. I; Jakarta:
140

ar-Ruzz Media, 2011), h. 160.

123
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas


individu.141
Dari beberapa pendapat tersebut penulis berasumsi bahwa karakter adalah
kualitas atau kekuatan mental atau akhlak individu yang merupakan keperibadian
khusus yang menjadi pendorong dan penggerak serta yang membedakan dengan
individu lain. Seseorang dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai
dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan
moral dalam hidupnya.
Karakter merupakan ciri khas dari seseorang individu seperti ahlak, sifat,
kepribadian yang mampu melakukan hal-hal yang baik seperti tertanam dalam
nilai-nilai karakter. Jika seseoorang sudah mampu menerapkan nilai-nilai karakter
maka akan baik pula sikap atau ketrampilannya.
Karakter merupakan perpaduan antara moral, etika, dan akhlak. Moral
lebih menitikberatkan pada kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku manusia
atau apakah perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, atau benar atau salah.
Sebaliknya, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, berdasarkan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tertentu, sedangkan akhlak
tatanannya lebih menekankan bahwa pada hakikatnya dalam diri manusia itu telah
tertanam keyakinan di mana keduanya (baik dan buruk) itu ada.
3. Pengertian Pendidikan Karakter
Dari konsep pendidikan dan karakter yang sudah dijelaskan di atas maka
muncul istilah pendidikan karakter (character education), yang diartikan sebagai
upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap,
dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengannilai-nilai luhur yang
menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri,
masyarakat dan lingkungannya. 142 Pendidikan karakter merupakan sebuah proses

141
Arismantoro, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Mendidik Anak
Berkarakter (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 81.
142
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 17.

124
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh embangkan dalam kepribadian
seseorang sehingga menjadi satu dalam prilaku kehidupan orang terssebut.
Donie Koesoema mengungkapkan bahwa pendidikan karakter adalah
usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri. 143 Berdasarkan
pendapat di atas dapat diasumsikan bahwa pendidikan karakter merupakan
pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif saja, akan tetapi
lebih berorientasi pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri peserta
didik, dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yaitu berupa pengajaran
nilai-nilai karakter yang baik.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih
dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal
yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana
yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (domain perilaku).
Pendidikan karakter erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus
dipraktekan atau dilakukan seseorang. Karenanya, pendidikan karakter dimaknai
sebagai pendidikan nilai yang mengarahkan dan mengembangkan etika, tanggung
jawab dan kepedulian peserta didik melalui penekanan aspek nilai-nilai positif
harian di sekolah ke dalam tiap-tiap aspek pembentukan karakter yang tujuannya
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik
buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
B. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam
Pendidikan karakter dalam ajaran Islam sudah dikenal 15 abad yang lalu
yang lebih dikenal dengan sebutan akhlak yang berasal dari istilah “akhlaq”
adalah bentuk jama dari “khuluq” yang artinya tingkah laku, tabiat, watak,

143
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, h.
194.

125
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

perangai, atau budi pekerti.144 Akhlak berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar
‫ خلق‬yang berarti mencipta, membuat atau menjadikan.145 Akhlak pada dasarnya
mengajarkan seseorang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan seperti kebenaran,
kejujuran, keindahan, amanah, tidak menyakiti perasaan orang lain dan
sejenisnya.

Pengertian akhlak secara terminologi, sebagai berikut:


1. Menurut Ibnu Maskawaih dalam Subarsono, mengatakan bahwa kata
“akhlaqun” adalah suatu kondisi jiwa yang memberikan dorongan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang tanpa memerlukan pemikiran.146

2. Wahyudin mengemukakan bahwa akhlak adalah merupakan sifat yang


tumbuh dan menyatu didalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah
terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang. Seperti sifat sabar,
kasih sayang, atau sebaliknya pemarah, benci, dendam, iri, dan dengki
sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.147

3. Zakiah Daradjat mengatakan bahwa akhlak adalah kelakuan yang timbul


dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan
kebiasaan yang menyatu membentuk satu kesatuan tindakanakhlak yang
ditaati dalam kenyataan hidup sehingga dapat membedakan mana yang
baik dan yang buruk.148

4. Imam Al-Ghazaly mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam


jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.149

144
Subarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara,
2009), h.129.
145
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, (Cet. IV;
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 363.
146
Subarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, h. 84.
147
Wahyudin, Akhlak Tasawuf, (Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h.4.
148
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam, Keluarga dan Sekolah, (Cet. XII; Jakarta: CV
Ruhama, 2005), h. 5.
149
Imam Al-Ghazaly, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t), h. 56.

126
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
5. Ibrahim Anis bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.150
Dari definisi di atas, dapat diasumsikan bahwa akhlak merupakan sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang darinya lahirlah macam-macam perbuatan, baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Artinya akhlak
merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa setiap manusia, kemudian
melahirkan suatu perbuatan yang mudah untuk dilakukan tanpa harus melalui
pemikiran yang lebih lama. Maka apabila sifat tersebut melahirkan suatu tindakan
yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, tindakan tersebut
dinamakan akhlak yang baik. Tetapi apabila sifat tersebut melahirkan suatu
tindakan yang tercela, maka dinamakan akhlak yang buruk.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, pendidikan karakter
mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter (watak). Hanya
pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam, sedangkan pendidikan karakter
terkesan barat dan sekuler, tetapi bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada
kenyataannya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bila sejauh ini
pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada
tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan
pendidikan akhlak sarat dengan informasi ideal dan sumber karakter baik, maka
memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini
sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang
kuat dengan nilai–nilai spiritualitas dan religiusitas.
Bahkan pendidikan karakter merupakan misi utama yang menjadi amanah
Rasulullah Muhammad saw. Hal tersebut sebagaimana bunyi sebuah hadits:

‫ قا َ َل‬:َ‫يرة قاَل‬ ْ ‫ع ْن اَب‬


َ ‫ي هُ َر‬ َ ‫ي صا َ ِل ْح‬ ْ ‫ع ْن اَب‬ َ ‫ْبن َح ِكيْم‬ْ ‫عن القَ ْعقاع‬ َ ‫عجْ الَ ْن‬ ْ ْ‫ع ْن ُم َح َّمد‬
َ ‫بن‬ َ
)‫(ر َواه احمد‬ َ ‫ار َم األ َ ْخالَق‬ِ ‫ اِنَّـ َما بُ ِعثْتُ ِألُت َ ِـم َم َم َك‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَي ِه ًو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫َر‬
151

150
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), h. 202.

127
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Artinya:

Dari Muhammad bin Ajlan dari al-Qa’qa bin Hakim dari Abu Shalih dari
Abu Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya aku diutus
ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR
Ahmad).
Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa akhlak yang baik merupakan
sebuah misi kerasulan. Dalam hal ini bukan hanya akhlak yang baik secara
horizontal (kepada Tuhan) tetapi juga secara vertikal (kepada sesama makhluk).
Dalam kehidupan sosial kemanusiaan, pendidikan bukan hanya melahirkan
pembelajaran yang bermaksud untuk membawa manusia menjadi sosok yang
potensial. Akan tetapi proses tersebut juga bernuansa pada upaya pembentukan
masyarakar yang berakhlak, karena akhlak sebagai salah satu ajaran pokok dalam
Islam meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam pengertian bahwa
manusia dalam berhabl min Allah dan berhabl min al-nas, harus berdasarkan
akhlak yang mulia, yaitu sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan hadis.
Jika dalam akhlak penilaian baik dan buruk berdasarkan al-Qur’an dan
hadis maka pada etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran
dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. 152
Sementara pada karakter penilaian baik dan buruk berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.153
Setelah menganalisis beberapa istilah di atas maka dapat dipahami bahwa
akhlak dan karakter, pada prinsipnya memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama menentukan hukum untuk menilai baik dan
buruknya perbuatan yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan perbedaannya
terletak pada sumber hukum yang dijadikan sebagai acuan untuk menentukan baik
dan buruk.

151
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Jilid II (Beirut: Dar al-
Fikr, 1991), h. 381.
152
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 97.
153
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, h. 4.

128
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat lebih dipertegas lagi bahwa antara
akhlak, dan karakter, masing-masing memiliki perbedaan dan persamaan.
Perbedaannya terletak pada sudut pandang keilmuan, yaitu Islam memandang
baik dan buruk itu sebagai akhlak, para filosof mengenal baik dan buruk sebagai
etika, orang Barat mengenal baik dan buruk tersebut sebagai moral dan sebagian
juga menganggap sebagai karakter. Adapun persamaannya yaitu semua istilah
tersebut berkaitan dengan penilaian terhadap baik dan buruk.
Persamaan dari pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak adalah
sama-sama membahas tentang usaha yang dilakukan untuk membentuk perilaku
yang baik, yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku untuk menjadikan
manusia yang bermartabat tinggi dan tidak hina. Sedangkan perbedaan antara
keduanya tampak bahwa pendidikan karakter diterapkan pada lingkungan sekolah,
karena memang program dari pemerintah yang diterapkan dalam pendidikan.
Pendidikan akhlak diterapkan di lingkungan keluarga atau lingkungan rumah atau
merupakan tata cara dalam melakukan segala hal, jadi lebih condong ke dalam
teknis untuk berperilaku yang terpuji.
Pada dasarnya dalam Islam sangat menganjurkan pendidikan karakter, hal
ini dipertegas oleh Tamyiz Burhanudin, bahwa karakter adalah sama dengan
akhlak, karena pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut.154
Sofan Amri mempertegas bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi peserta didik, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang

154
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), h. 39.

129
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. 155 Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Islam adalah
pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam. Pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Pendidikan nilai karakter yang dimaksud nilai-nilai agama, norma-norma
sosial, peraturan hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah
dikelompokkan menjadi lima yaitu : (1) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan Tuhannya; (2) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan diri sendiri; (3) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia; (4) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan lingkungan; (5) serta nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan kebangsaan.156
Kemudian merinci secara ringkas kelima nilai-nilai tersebut yang harus
ditanamkan kepada peserta didik yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber
dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga
disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang

155
Sofan Amri, dkk. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, (Jakarta:
PT. Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 45.
156
Kementerian Pendidikan Nasional, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 34.

130
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta
damai, dan cinta persatuan.
Pendidikan karakter penanaman nilai dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif)
sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Berbagai penjelasan di atas, yang berkaitan dengan pendidikan karakter
dalam perspektif Islam, maka dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter dalam
Islam sama halnya dengan akhlak. Sehingga pendidikan karakter dalam pespektif
Islam lebih menitikberatkan pada sikap peserta didik, yang hal tersebut pada
kehendak positif yang dibiasakan, sehingga dia mampu menimbulkan perbuatan
dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran lebih dahulu dalam kehidupan
sehari-hari.
Semakin jelas bahwa pendidikan karakter dalam perspektif Islam memang
diidentik dengan kata-kata akhlak, sehingga pendidikan tersebut selalu bermuara
pada akhlak. Pendidikan karakter dalam perspektif Islam lebih menitikberatkan
pada sikap peserta didik, yang hal tersebut pada kehendak positif yang selalu
dibiasakan, sehingga mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa
pertimbangan pemikiran terlebih dahuludalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran yang harus dihafal.
Pendidikan karakter dalam perspektif Islam merupakan keseluruhan proses
pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan
kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-
keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral pancasila, dan
sebagainya yang mendukung pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan
karakter dalam perspektif Islam akan berjalan sepanjang hayat, sebagai proses
perkembangan ke arah manusia kaffah (sempurna). Oleh karena itu, pendidikan
karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa.

131
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Konsep dasar pendidikan karakter pertama pendidikan karakter


merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat; kedua
penerapan pendidikan karakter khususnya dalam pendidikan formal harus
melibatkan semua stakeholders pendidikan. Keberhasilan pendidikan
karakter dilakukan dalam tiga tahap, knowing the good, loving the good,
dan acting the good yaitu dimulai dengan pemahaman karakter yang baik,
mencintainya, dan melaksanakan atau meneladani karakter tersebut
sebagai suatu kebiasaan. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak
sekedar diajarkan tapi yang terpenting adalah dicontohkan dan diamalkan.
Karena itu, keteladanan orang tua di rumah, guru di sekolah dan pemimpin
di masyarakat menjadi hal yang urgen dalam mewujudkan tujuan
pendidikan karakter.

2. Pendidikan karakter dalam perspektif Islam secara substansial memiliki


kesamaan dengan pendidikan akhlak, karena pada dasarnya pendidikan
karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai–nilai spiritualitas dan
religiusitas, karenanya pendidikan karakter merupakan pendidikan
sepanjang hayat yang menitikberatkan pada sikap positif peserta didik
yang bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga seorang individu menjadi paham, mampu

132
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
merasakan dan mau melaksanakannya, sehingga mampu menimbulkan
perbuatan baik dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai proses
ke arah manusia yang sempurna. Oleh karena itu, pendidikan karakter
memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa,
sebagaimana halnya pendidikan akhlak dalam Istilah Islam.

B. Saran

Kaitannya dengan penerapan pendidikan karakter, perlu diperhatikan


bahwa transformasi nilai karakter yang baik yang akan menunjang pembangunan
sumber daya manusia dan pembangun Bangsa dan Negara yang didalamkan tidak
cukup dilakukan hanya dengan membaca, mempelajari, mendiskusikan, ataupun
berfilsafat tentang nilai-nilai karakter tersebut, yang jauh lebih penting adalah
mengimplementasikan dalam bentuk praktik nyata pada kehidupan sehari-hari
yang bukan hanya dilaksanakan dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam
pendidikan informal dan nonformal. Hendaknya para pendidik, menjadi teladan
bagi peserta didik, orang tua menjadi teladan bagi keluarga, dan pemimpin bagi
masyarakat.

133
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, M. Fauzil. Positive Parenting: Cara-cara Islami Mengembangkan


Karakter Positif Pada Anak Anda. Cet. II; Bandung: Mizan, 2006.
Amri, Sofan. dkk. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran.
Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011.
Anis, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972.
Arismantoro. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Mendidik Anak
Berkarakter. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008.
Burhanudin, Tamyiz. Akhlak Pesantren: Solusi bagi Kerusakan Akhlak.
(Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam, Keluarga dan Sekolah. Cet. XII; Jakarta: CV
Ruhama, 2005.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syamil Cipta
Media, 2012.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi
IV. Jakrata: Gramedia, 2008.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi. Cet. II;
Bandung: Alfabeta, 2012.
Al-Ghazaly, Imam. Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr,t.t.
Hasabullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Edisi Revisi V; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Imam Ahmad bin Hambal. Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Jilid II. Beirut: Dar
al-Fikr, 1991.
Kementerian Pendidikan Nasional, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter.
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Cet. IV; Jakarta: Grasindo, 2010.
Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:
Bantam books, 1991.
Makawimbang, Jerry. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Cet. I;
Bandung: Alfabeta, 2011.
Menteri Pendidikan Nasional Sambutan Menteri Pendidikan Nasional pada
Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011, Senin, 2 Mei 2011.
Mubarok, Achmad. Pendidikan Karakter dalam Membangun Peradaban Bangsa.
Jakrata: Gramedia, 2012.

134
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Munawwir, Achmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Cet. IV;
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik. Cet. I;
Jakarta: ar-Ruzz Media, 2011.
Nurachman, N. Pendidikan Karakter di Sekolah dan Keluarga. Cet. III; Jakarta:
PT. Gramedia, 2011.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Rahmatunnair. Kontekstualisasi Budaya dan Membongkar Fakta Menuju Era
Baru. Cet. I; Jakarta: Padamabo, 2005.
Ryan, Kevin & Karen E Bohlin. Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass, 2004.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Cet. II;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Subarsono. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Cet. IX; Jakarta: Bina
Aksara, 2009.
Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan. Kamus Cerdas Bahasa Indonesia Terbaru.
Cet. II; Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan, 2003.
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) (UU RI No. 20 Th.
2003). Cet. V; Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Wahyudin. Akhlak Tasawuf. Cet. IV; Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2011.

135
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENGARUH LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI


BELAJAR
MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Irma, S.Pd.I., M.Pd.


Institut Parahikma Indonesia
Email: irmaimran@parahikma.ac.id

Abtract:

This research discuss some problems, they are: (1) How does
learning environment of Islamic education student?, (2) How does learning
achievement of Islamic Education Department student? And (3) Are there
any influences between learning environment toward learning achievement
of Islamic Education Department student?
Population of this research is student of Islamic Education
Department 2014 Tarbiyah and Teaching Faculty of Alauddin State Islamic
University of Makassar, there are 194 people. In proportionally sampling
15% with sample taking technique, random sampling so that got sample 30
people. Data collecting technique in this research such as questionnaire and
document, so that got the data that analyzed using descriptive statiscs
technique.
The result of this research showed that student learning environment
of Islamic Education Department 2014 Tarbiyah and Teaching Faculty of
Alauddin State Islamic University of Makassar, getting score 65 (good)
because in interval 60-66 that adequate category and student learning
achievement of Islamic Education Department 2014 Tarbiyah and Teaching
Faculty of Alauddin State Islamic University of Makassar, getting score
3,59 in interval 3,51-3,75 in very good category. The result of hypotheses
test that t0= 34.39796 and ttable= 2.048 where is t0 > ttable so that H0 rejected
Ha accepted. So that, from this research can be concluded that student
learning environment influence to student learning achievement Islamic
Education Department 2014 Tarbiyah and Teaching Faculty of Alauddin
State Islamic University of Makassar.

Keywords: Learning Environment and Learning Achievement

136
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENDAHULUAN

Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini, manusia tidak


diciptakan berbulu tebal untuk melawan udara dingin, ia tidak bertaring kuat
untuk membunuh mangsanya, iapun tidak pandai berlari cepat untuk menghindar
dari musuh-musuhnya. Tetapi manusia mempunyai alat yang sangat tangguh yang
menyebabkan ia dapat bertahan hidup di dunia ini. Alat itu adalah akal budi. 157
Karenanya manusia butuh pendidikan untuk membentuk akal budi.
Pendidikan ada dua faktor yang dapat memberikan pengaruh, yaitu; faktor
internal dan eksternal, yang mana keduanya sangat berpengaruh dalam kehidupan
seseorang, sejak pertama kali duduk dibangku sekolah tidak terkecuali sampai
pada perguruan tinggi. Pendidikan erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,
terlihat dengan jelas oleh kita bahwa setiap manusia mempunyai caranya sendiri
untuk belajar, mereka yang biasanya banyak bicara dengan mereka cenderung
pendiam dalam kesehariannya tentunya sangatlah berbeda.
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri mahasiswa
itu sendiri, yang di dalamnya berupa keadaan rohani dan jasmani, intelejensi,
bakat, minat, motivasi dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal itu sendiri
meliputi hal-hal yang ada diluar diri mahasiswa, yang termasuk dalam hal ini
lingkungan tempat tinggal (keluarga), lingkungan belajar, lingkungan masyarakat.
Lingkungan belajar merupakan salah satu faktor eksternal dalam kegiatan belajar
yang tentunya dapat membawa pengaruh pada prestasi belajar mahasiswa, tidak
terkecuali mahasiswa Pendidikan Agama Islam.
Lingkungan belajar yang kondusif akan membantu mahasiswa dalam
mencapai prestasi yang lebih, dibandingkan dengan mahasiswa yang lingkungan
belajarnya tidak mendukung sama sekali. Dengan demikian penulis tertarik untuk
mengangkat hal tersebut dalam penelitiannya dengan judul “Pengaruh

157
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi (Cet II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), h.11

137
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan


Agama Islam”
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dikemukakan perumusan masalah pokok yaitu:
1. Bagaimana lingkungan belajar mahasiswa jurusan Pendidikan Agama
Islam?
2. Bagaimana prestasi belajar mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam?
3. Apakah ada pengaruh antara lingkungan belajar mahasiswa terhadap
prestasi belajar mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam?

KAJIAN TEORETIS
Lingkungan mencakup semua pengaruh, kemungkinan dan kekuatan yang
melingkungi individu, yang dapat mempengaruhi usahanya dalam mencapai
kestabilan kejiwaan dan jasmani dalam kehidupannya. Lingkungan ini
mempunyai tiga segi, yakni lingkungan alami dan materi, lingkungan sosial,
kemudian individu dengan segala komponennya, bakat pembawaan dan
pikirannya tentang dirinya.158
Lingkungan belajar merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar, lingkungan belajar dapat dibagi menjadi tiga bagian secara garis
besar159 diantaranya: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat.
Prestasi (achivement) dalam kamus psikologi adalah pencapaian atau hasil
yang telah dicapai. Secara pendidikan atau akademis, prestasi merupakan satu
tingkat khusus perolehan atau hasil keahlian dalam karya akademis yang dinilai
oleh guru, lewat tes-tes yang dibakukan.160
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang relatif tetap
sebagai hasil adanya pengalaman, dalam hal ini tidak termasuk perubahan

158
Mustafa Fahmi, Penyesuaian Diri (Jakarta:Bulan Bintang, 1982), h.14
159
Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.248
160
J.P.Chaplin,Kamus Lengkap Psikologi, h.5

138
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
perilaku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat fisik, penyakit, obat-obatan,
atau perubahan karena pematangan.161
Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yakni
perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya
di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang menyangkut seluruh aspek tingka
laku.162
Belajar menurut Gagne, belajar tarjadi apabila suatu situasi stimulus
bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami
sesuatu itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.163
Pengertian belajar memang selalu berkaitan dengan perubahan, baik yang
meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yang hanya terjadi pada
beberapa aspek dari kepribadian kehidupan individu. 164 Pada referensi yang lain
menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan yang bukan
hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan.165
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan pengertian belajar,
karenanya ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, di mana penulis
dapat menarik suatu kesimpulandari beberapa pengertian yang diungkapkan di
atas yakni perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, dalam arti
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak
dianggap sebagai hasil dari belajar.

161
Alex Sobur,Psikologi Umum, h.218
162
Nurwanita, Psikologi Pendidikan (Makassar: Yayasan Pendidikan Makassar, 2003),
h.60
163
M.Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),
h.84
164
Alex Sobur,Psikologi Umum, h.219
165
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),h.36

139
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Belajar sebagai proses atau aktivitas yang disyaratkan oleh banyak faktor-
faktor, secara garis besar, dalam hal ini Alex Sobur 166 membagi menjadi dua garis
besar, yaitu:
Faktor endrogen atau disebut juga faktor internal, yakni semua faktor yang
berada dalam diri individu
Faktor ekstrogen atau disebut juga faktor eksternal, yakni semua faktor
yang berada di luar diri individu, misalnya orang tua, guru, atau kondisi
lingkungan di sekitar individu.167 Faktor ini terdiri dari beberapa cakupan, di
antaranya:
1) Faktor keluarga
2) Faktor sekolah
3) Faktor lingkungan lain.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menurut pendekatannya merupakan penelitian Expost
facto. Penelitian Expost facto adalah penelitian yang menunjuk kepada perlakuan
variabel bebas X telah terjadi sebelumnya sehingga peneliti tidak perlu
memberikan perlakuan lagi, tinggal melihat efeknya pada variabel terikat Y. 168
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif karena gejala-gejala hasil
pengamatan berwujud angka-angka dan dianalisis dengan menggunakan teknik
statistik. Lokasi penelitian berlangsung pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Pendekatan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam Angkatan 2014 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Alauddin Makassar, yang terdiri dari lima kelas, berjumlah 194 orang mahasiswa.

166
Alex Sobur,Psikologi Umum, h.244
167
Alex Sobur,Psikologi Umum, h.244
168
Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2009),h. 56

140
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
jumlah populasi berkisar antara 101-500 maka penetapan sampel pada penelitian
ini sebanyak 15% dari jumlah populasi169, sehingga jumlah sampel minimal yaitu
15% x 194 = 29.1. Sehingga dibulatkan menjadi 30 orang mahasiswa sebagai
sampel. Metode pengumpulan data antara lain: angket dan dokumentasi, dan
teknik pengolahan analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan
analisis statistik regresi berganda.
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian, diperoleh hasil bahwa rata-rata lingkungan
belajar mahasiswa adalah 60. Hasil ini tergolong tinggi sedangkan rata-rata
prestasi belajar mahasiswa adalah 3.59 termasuk tingkat kualifikasi tinggi.
Adapun hasil analisis pada pegujian statistik yaitu uji t, diperoleh hasil uji
hipotesis t hitung ( t0) = 34.39796 > dari t tabel yakni 2.048. Jadi, H0 ditolak dan Ha
diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat pengaruh antara
lingkungan belajar terhadap prestasi belajar Mahasiswa angkatan 2014 Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin
Makassar.
Hasil penelitian yang disusun oleh peneliti menunjukkan bahwa
lingkungan belajar berpengaruh terhadap prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin
Makassar yaitu, semakin mendukung lingkungan belajar maka semakin tinggi
pula prestasi belajar dan sebaliknya semakin tidak mendukung lingkungan belajar
maka semakin rendah pula prestasi belajar. Belajar sebagai suatu tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. 170
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan prestasi belajar
kaitannya dengan lingkungan belajar adalah sarana dan prasarana, hubungan
mahasiswa dengan mahasiswa, dosen dengan mahasiswa, dan lingkungan sekitar
yang kondusif untuk proses pembelajaran.

169
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h.224
170
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), h.90.

141
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENUTUP
Berdasarkan anlisis regresi sederhana yang peneliti gunakan terhadap variabel
lingkungan belajar dan prestasi belajar mahasiswa, maka peneliti berkesimpulan
bahwa;
1. Lingkungan belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
memperoleh skor nilai 65 (baik), karena berada pada interval 60-66 yang
berkategori sedang.
2. Nilai Prestasi belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam,
memperoleh skor nilai sebesar 3.59, yang berada pada interval 3.51-3.75
yang berkategori sangat memuaskan.
3. Lingkungan Belajar berpegaruh Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam.
Hasil penelitian ini mempunyai implikasi bahwa untuk meningkatkan
prestasi belajar yang tinggi pada mahasiswa dapat dilakukan dengan
meningkatkan motivasi belajar yang tinggi dan suasana yang baik dalam
lingkungan belajar.
Peningkatan prestasi belajar yang tinggi pada mahasiswa dapat dilakukan
dengan memberikan wadah agar dapat meningkatkan motivasi yang tinggi dengan
mempunyai dukungan motivasi belajar yang kuat baik dari dalam diri maupun
orang lain dan selalu dibimbing dengan baik. serta fasilitas kampus yang
memadai. Selain itu, peningkatan prestasi belajar dalam lingkungan keluarga juga
dapat dilakukan dengan cara selalu menjadikan lingkungan kampus yang kondusif
di mana suasana yang tenang dan nyaman untuk belajar, tidak bising, aman,
nyaman, bersih dan rapi. Dalam proses pembelajaran diperlukan situasi atau
keadaan yang nyaman. Dengan kata lain, lingkungan harus mendukung, sehingga
proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.

142
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
DAFTAR PUSTAKA

A.M,Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.


2003.
Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011.
Baru Algensindo. 2009.
Burhan, Nurgiantoro. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta. 2010.
Chaplin J.P. Kamus Lengkap Psikologi.Jakarta: Cet XVI; RajaWali Pers. 2011.
Darajat, Zakia. Ilmu Pendidikan Islam. Cet XI; Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Depertemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.
2008.
Fahmi, Mustafa. Penyesuaian Diri. Jakarta: Cet I;Bulan Bintang. 1983.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. 2001.
Hasbullah. Dasar-dasar Pendidikan Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Ihsan, H Fuad. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Cet.III; Rineka Cipta. 2003.
Indonesia, Republik. Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Misbahuddin dan Iqbal Hasan, Analisis Data Penenlitian dengan Statistik, Edisi
ke-2. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Nursalam. Statistik untuk Penelitian.Makassar: Alauddin University Press. 2011.
Nurwanita. Psikologi Pendidikan. Makassar: Yayasan Pendidikan Makassar.
2003.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2010
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Cet II; Bulan
Bintang. 1982.
Sobur Alex. Psikologi Um um. Bandung: Pustaka Setia 2003.
Sommeng, Sudirman. Psikologi Umum dan Perkembangan. Makassar: Alauddin
University Press. 2012.
Sudjana, Nana dan Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar
Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabet.2014.
Syah Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010
Tiro, Muhammad Arif. Dasar-dasar Statistika, Edisi Revisi. Makassar:
Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2000.

143
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENGARUH TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH


TERHADAP KINERJA GURU DI SMA NEGERI 3 POLEWALALI
KABUPATEN POLEWALI MANDAR

NURHIKMAH
Institut Parahikma Indonesia
Nurhikmah@parahikma.ac.id

ABSTRACT

The aims of the study were to: (1) describe the headmaster’s
emotional intelligence in SMA Negeri 3 Polewali, Polewali District of
Polewali Mandar Regency; (2) describe the teachers’ performance in SMA
Negeri 3 Polewali, Polewali District of Polewali Mandar Regency; (3)
describe the significant influence of the headmaster’s emotional intelligence
on the teachers’ performance in SMA Negeri 3 Polewali, Polewali District
of Polewali Mandar Regency; The study was a quantitative research with
the ex-post facto type of research i.e. to look for a causal relationship that
was not manipulated or treated by the researcher. It was employed the
normative-theological, juridical, and psychological approaches. The
population was all 56 teachers in SMA Negeri 3 Polewali and 56 people
were taken as samples using saturated sample. Analyzed using descriptive
and inferential statistical analysis techniques. The results of the study
revealed that: (1) the descriptive analysis result of the headmaster’s
emotional intelligence in SMA Negeri 3 Polewali was generally in the
medium category with a frequency of 19 of 56 teachers or 34%, (2) the
descriptive analysis result of the teachers’ performance in SMA Negeri 3
Polewali was generally in the high category with a frequency of 19 of 56
teachers or 34%, (3) the result of inferential analysis was obtained t count =
6.442 > ttable = 2.7, so Ho was rejected and H1 was accepted meaning that
there was a significant influence of the headmaster’s emotional intelligence
on the teachers’ performance in SMA Negeri 3 Polewali.

Keywords: emotional intelligence, and teachers’ performance.

144
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PENDAHULUAN

Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang


pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan
kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh. Pemerintah dalam hal ini Menteri
Pendidikan Nasional telah mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu
Pendidikan” dan lebih terfokus lagi, setelah diamanatkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Bab II, Pasal 3 menyebutkan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.171

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menghasilkan


sumber daya yang berkualitas. Pendidikan dengan berbagai programnya
mempunyai peranan penting dalam proses memperoleh dan meningkatkan kualitas
kemampuan profesional individu. Melalui pendidikan, seseorang dipersiapkan
untuk memiliki bekal agar siap tahu, mengenal dan mengembangkan metode
berpikir secara sistematik supaya dapat memecahkan suatu masalah. Upaya
mencapai tujuan pendidikan di sekolah peranan sumber daya manusia sangatlah
diperlukan, maka hadirnya guru yang memiliki kinerja tinggi sangat dibutuhkan,
agar proses pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam pendidikan


pada umumnya, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran,
dimana proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara

171
Undang-Undang RI Tentang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, h.5-6.

145
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

keseluruhan172. Begitu pentingnya komponen guru yang sangat menentukan


terhadap terselenggaranya pendidikan yang bermutu, hanya dengan guru-guru
yang kompeten, profesional dan memiliki kepribadian yang baik maka kegiatan
pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan berkualitas. Mengingat begitu
pentingnya posisi guru dalam proses pembelajaran maka sangatlah wajar apabila
fenomena tentang rendahnya kualitas pendidikan akan menunjuk guru sebagai
tumpuan kesalahan atau diduga guru sebagai penyebabnya.

Orang yang bekerja di suatu tempat dengan kondisi secara psikologis,


sosial dan lingkungan fisik yang memungkinkan, maka orang itu cenderung akan
menghasilkan kinerja yang optimal. Sebaliknya apabila seseorang bekerja pada
situasi dan kondisi yang lain, baik secara psikologis, sosial dan lingkungan kerja
yang tidak mendukung orang itu, maka cenderung melakukan pekerjaan yang
tidak optimal.
Sedangkan menurut Sutalaksana dkk dalam bukunya Teknik Perancangan
Sistem Kerja menyatakan bahwa:
Faktor yang mempengaruhi kinerja guru dapat dibagi menjadi dua yaitu
kelompok diri dan kelompok situasional seperti bakat, sifat, minat, usia,
jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, motivasi, dan sebagainya,
sedangkan faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar kerja
seperti faktor fisik pekerjaan dan faktor sosial pekerjaan.173

Sedangkan menurut Samsoel M tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah,


mengemukakan bahwa:
Peningkatan kualitas kinerja guru di pengaruhi faktor dari dalam guru itu
sendiri (internal) dan faktor lain dari luar (eksternal). Faktor internal yakni
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual,
motivasi, penguasaan atas materi pelajaran, penguasaan guru atas metode
pengajaran, dan kualitas pendidikan. Adapun faktor eksternal yakni sarana
prasarana pendidikan, peserta didik, kurikulum, manajemen sekolah,

172
Rusman, Model-Model Pembelajaran; Mengembangkan Profesionalisme Guru
(RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014), h.58.
173
Sutalaksana dkk, Teknik Perancangan Sistem Kerja (Bandung: Institut Teknologi
Bandung, 2006), h. 55.

146
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kepemimpinan kepala sekolah, kompensasi, rekrutmen guru, status guru di
masyarakat, dukungan masyarakat, dan dukungan pemerintah.174

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran dan tugas guru
yang begitu dominan terhadap keberhasilan program dan mutu pendidikan tidak
mudah dilakukan apabila guru tidak melakukan koordinasi dengan warga sekolah,
khususnya kepala sekolah. Faktor kemamuan manajerial kepala sekolah serta
kemampuan dalam mengolah emosi atau kecerdasan emosional kepala sekolah
dipandang memiliki peranan penting bagi peningkatan kinerja guru.
Koordinasi yang baik oleh kepala sekolah melahirkan pencapaian tujuan
sekolah, serta tujuan dari para individu yang ada di lingkungan sekolah.
Disamping itu, keterpaduan kerja guru dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran serta penciptaan situasi yang kondusif merupakan prasyarat
keberhasilan tujuan sekolah. Kehadiran kepala sekolah sebagai motor penggerak,
penentu arah kebijakan sekolah, serta menentukan bagaimana tujuan-tujuan
sekolah dan pendidikan yang ada di sekolah yang dipimpinnya untuk
direalisasikan maka dituntut untuk senantiasa meningkatkan kinerja. Peningkatan
kinerja dapat dilihat dengan mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien. Seorang kepala sekolah nantinya dituntut untuk memiliki keterampilan
khusus dalam kepemimpinannya.175
Selain dari kemampuan manajerial, dalam Permendiknas RI Nomor 13
tentang Standar Kepala sekolah/ Madrasah terdapat 5 kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang kepala sekolah yaitu kompetensi kepribadian, manajerial,
kewirausahaan, supervisi, dan sosial.176 Akan tetapi dalam penelitian ini peneliti
akan mengkaji lebih jauh dua kompetensi yaitu kompetensi manajerial dan
kompetensi sosial kepala sekolah kaitannya dengan kemampuan kepala sekolah
dalam mengolah emosi (kecerdasan emosional).

174
Samsoel M , Jurnal Kepemimpinan Kepala Sekolah Vol .1( Yogyakarta: UGM, 2007),
h. 9.
175
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2004), h. 126.
176
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah, h. 5.

147
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Berkaitan dengan Kompetensi sosial dalam hal ini yang dimaksud dengan
kompetensi sosial adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien baik dengan peserta didik, guru, orang tua/wali dan
masyarakat sekitar sehingga seseorang yang memiliki kompetensi sosial akan
nampak menarik, empati, kolaboratif, suka menolong, menjadi panutan,
komunikatif dan kooperatif.177

Untuk menjalankan peranan tersebut dibutuhkan kemampuan kepala


sekolah dalam mengolah emosi (kecerdasan emosional) khususnya dalam
berkomunikasi untuk melahirkan suasana kooperatif dan menciptakan kontak
manusiawi antar pihak yang terlibat seperti guru, staf dan peserta didik.

Menurut Agus Efendi, dalam bukunya “Revolusi Kecerdasan Abad 2”


menegaskan, bahwa:

Keceradasan itu beragam, menurutnya ada tiga ragam kecerdasan yaitu: IQ


(Intellegence Questient), EQ (Emotional Questient), dan SQ (Spitual
Questient).178
Banyak contoh membuktikan pemimpin dalam hal ini kepala sekolah yang
memiliki kecerdasan otak atau IQ (Intellegence Questient), memiliki gelar yang
tinggi belum tentu sukses berkiprah didunia pekerjaan bahkan sering sekali yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang memiliki akhlak lebih
berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal
(IQ) padahal yang diperlukan sebernarnya adalah bagaimana mengembangkan
kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan berdaptasi
yang kini menjadi dasar penilaian baru dalam hal ini EQ (Emotional Questient).
Saat begitu banyak orang yang berpendidikan tampak begitu menjanjikan namum
kariernya mandek. Atau lebih buruk lagi, tersingkir akibat kurangnya kecerdasan
hati mereka.

177
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Cet.III; Rosda
Karya, 2007), h. 176.
178
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 (Bandung: Cet; 1, 2005), h .81.

148
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Adapun aspek kecerdasan emosi menurut Salovey dalam Edhin Nasution,
antara lain: (1) Mengenali emosi diri (2) Mengelola emosi (3) Memotivasi diri
sendiri (4) Mengenali emosi orang lain (5) Membina hubungan. 179. Berdasarkan
hasil observasi ditemukan beberapa hal yang dianggap sangat berpengaruh
terhadap peningkatan kinerja guru yakni: 1) Kepala sekolah kurang mampu
mengelola emosi dengan baik hal ini terlihat ketika ada pekerjaan yang tidak
berjalan dengan baik kadang kepala sekolah langsung marah dan meninggalkan
rapat, 2) Kepala sekolah kadang memarahi guru tanpa memperhatikan kondisi.
Berdasarkan uraian diatas terdapat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi
dalam upaya pencapain tujuan pendidikan khususnya mengenai peningkatan
kinerja guru, sehingga dalam rangka ikut berpartisipasi meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah Negeri, khususnya dalam rangka meningkatkan kinerja
guru di SMA Negeri 3 Polewali Kabupaten Polewali Mandar melalui kemampuan
kepala sekolah dalam mengolah emosionalnya, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional
Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru di SMA Negeri 3 Polewali Kabupaten
Polewali Mandar”.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi (emotional intelligence-EI) muncul dan terkenal sejak
Daniel Goleman menerbitkan bukunya Emotional Intelligence, pada tahun 1995.
Menurutnya, kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri.180 Kecerdasan emosi
memberi kita kesadaran akan perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Emotional
Intelligence juga mengajarkan dan menanamkan rasa empati, cinta, motivasi dan
kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.

179
Edhin Nasution, Psikologi Manajemen, h. 143.
180
Daniel Goleman, Emotional Intelligence,diterjemahkan oleh T. Hermaya, Kecerdasan
Emosional, h. 13.

149
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional mengandung


beberapa pengertian, pertama, kecerdasan emosi tidak hanya bersikap ramah pada
saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan
misalnya sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi
mengungkap kebenaran yang selama ini dihadapi. Kedua, kecerdasan emosi
bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa
memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga
terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerjasama
dengan lancar menuju sasaran bersama.181 Kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengelola, mengendalikan, menetralisir potensi emosi dalam hati manusia,
sehingga sisi positifnya selalu berada di permukaan dan sisi negativnya selalu
terkendali dan dinetralisis.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk mengelola dan mengendalikan perasaan
dengan inteligensi sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang
memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama.

Salovey dalam Edhin Nasution, dalam devinisi dasar tentang kecerdasan


emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi
lima kemampuan utama, yaitu sebagai berikut:

a. Mengenali emosi diri, merupakan suatu kemampuan untuk mengenali


perasaan ketika perasaan itu terjadi.

b. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani persaan


agar terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu.

c. Motivasi diri sendiri, memotivasi dalam diri individu berarti memiliki


ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan an mengendalikan dorongan

181
Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence, diterjemahkan oleh: Alex Tri
Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi (Cet. V; Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 9.

150
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme,
gairah, optimis, dan keyakinan diri.

d. Mengenali emosi orang lain (empati) disebut juga dengan empati.


Kemampuan mengenali emosi merupakan kemampua seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli terhadap orang lain.

e. Membina hubungan, kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu


keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan
dasar dalam keberhasilan membina hubungan. 182

Menurut Yunuarita Adi, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi


kecerdasan emosi antara lain:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang
mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber
yaitu jasmani dan dari segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan
kesehatan individu, apabila fisik/ kesehatan terganggu dapat memungkinkan
mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup
didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal menurut Yunuarita Adi adalah stimulus dan lingkungan
dimana kecerdasan emosi berlangsung, meliputi:
1) Stimulus itu sendiri : kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan
kecerdasan emosi tanpa distorsi.
2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses
kecerdasan emosi: objek lingkunangan yang melatarbelakangi
merupakan kebetulan yang sangat sulit dipisahkan.183

182
Edhin Nasution, Psikologi Manajemen, h. 143
183
Yunuarita Adi, Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak (Cet; 1; Yogyakarta,: Teranova
books, 2012), h. 15.

151
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor


yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara internal dan
eksternal. Secara Internal yaitu factor dari dalam yaitu jasmani dan rohani, secara
eksternal diantarnya meliputi stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan
emosional berlangsung.

Keuntungan dari pikiran emosional adalah dapat membaca realitas emosi


dalam sekejap serta membuat penilaian singkat secara natural yang bias
menunjukkan apa yang perlu dicurigai , siapa yang harus dipercaya dan siapa
yang menderita. Kekurangan fikiran emosional adalah tentu saja karena dibuat
dalam sekejap mata, kesan dan penilaiannya dapat keliru dan salah orang. 184

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-


komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai
faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional

B. Konsep Kinerja Guru

Kinerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu yang dicapai,
prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja. Istilah kinerja memiliki
pengertian kualitas kerja yang dimiliki dan diaktualisasikan oleh seorang yang
dapat dijadikan standar ukur kemampuan dan profesionalitas.185
Menurut Bambang Kusriyanto dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara
mengemukakan bahwa:
Kinerja adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga
kerja per-satuan waktu (lazimnya per-jam) dan kinerja juga sebagai
ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan
dengan produktivitas, sedangkan kinerja karyawan adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. 186

184
Nafis, M.W, Sembilan Jalan untuk Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual, h. 139
185
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (
Jakarta: Edisi. III, 2011), h. 570.
186
A.A.Anwar Prabu Mangkunegara. Evaluasi Kinerja Sekolah Dasar. h. 9.

152
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau kelompok orang
dalam suatu organisasi sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing
dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara illegal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika .
Dalam Undang-Undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen pasal I ayat I dimaksudkan adalah;
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik,
mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.187

Pendapat Asnawir dalam Rusman mengatakan bahwa, “guru adalah


pengajar yang memiliki kemampuan dam kecakapan yang lebih memadai”. Para
Guru di Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang
terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya yaitu
tang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta menguasai IPTEK dalam
mewujudkan masyarakat yang berkualitas.188

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulakan bahwa guru adalah


seseorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan,
idealnya selalu tampil secara profesional dengan tugas utamanya adalah mendidik,
mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi dan
mengembangkan kurikulum, selain itu juga guru bukan hanya sekedar pemberi
ilmu pengetahuan kepada peserta didik di depan kelas akan tetapi guru juga
sebagai tenaga yang profesional yang akan menjadikan murid-muridnya mampu
merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah-masalah yang dihadapi.
Mengacu pada pengertian tersebut kinerja guru dapat di ukur dari input
yang diberikan pada proses pembelajaran dan seberapa besar output yang
dihasilkan berupa kualitas peserta didik. Dalam pengertian lain kinerja guru

187
Rahman Getteng, Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika, h.93.
188
Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru, h. 15.

153
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi dari hasil yang dicapai dalam proses
pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja
dapat dirtikan sebagai kemampuan kerja seseorang baik secara kualitas maupun
kuantitas dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawab yang ada padanya atau
wujud perilaku seorang atau organisasi dengan orientasi prestasi.
Basyaruddin mengatakan bahwa kinerja guru adalah mendesain program
pengajaran, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi
penilaian.189 Mengacu pada pengertian tersebut kinerja guru dapat diukur dari
input yang diberikan pada proses pembelajaran dan seberapa besar output yang
dihasilkan berupa kualitas peserta didik. Dalam pengertian lain kinerja guru
sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi dari hasil yang dicapai dalam proses
pembelajaran.
Ondi Saondi dan Ari Suherman mengemukakan bahwa:
Kinerja guru merefleksikan kesuksesan maka dipandang penting untuk
mengukur karakteristik tenaga kerjanya dari tiga elemen yang saling
berkaitan yaitu keterampilan, upaya sifat keadaan dan kondisi
erksternal.190

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kinerja guru yang


dimaksudakan adalah kemampuan kerja guru yang diukur berdasarkan hasil kerja
guru yang terefleksi dalam menyusun perencanaan pembelajaran, proses
pembelajaran dan evaluasi/penilaian yang dihasilkannya atau dengan kata lain
keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Berkaitan dengan kinerja guru dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar, terdapat tugas keprofesionalan guru menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20 (a) Tentang Guru dan Dosen, guru

189
Muh. Basyaruddin Usman, Guru Profesional dan Implimentasi Kurikulum (Cet.1.
Jakarta: Ciputat, 2006), h. 9.
190
Ondi Saondi & Ari Suherman, Etika Profesi Keguruan., h.21

154
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.191
Kemudian Georgia Department of Education telah mengembangkan
Teacher Performance Assessment Instrument yang kemudian dimodifikasi oleh
Depdiknas menjadi Alat Penilaian Kemampuan Kinerja Guru (APKG). Alat
Penilaian Kemampuan Guru meliputi: (1) Rencana Pembelajaran (teaching plans
and material) atau sekarang disebut dengan respen atau RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran), (2) Pelaksanaan Pembelajaran (classroom
procedure), dan hubungan antar pribadi (interpersonal skill); dan , (3) Penilaian
Pembelajaran.192
Senada dengan uraian di atas, selanjutnya Menurut Rusman, aspek
penilaian terhadap kinerja guru dapat dilakukan dengan tiga kegiatan
pembelajaran di kelas yaitu:
a. Perencanaan pembelajaran
Tahap perencanaan dalam kegiatan pembelajaran adalah tahap yang
berhubungan dengan kemampuan guru menguasai bahan ajar. Kemampuan guru
dapat dilihat dari cara atau proses penyusunan program kegiatan pembelajaran
yang dilakukan oleh guru.
b. Pelakasanaan kegiatan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran di kelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan
yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media, sumber
belajar dan pengguanaan metode serta strategi pembelajaran. Semua tugas tersebut
merupakan tugas serta tanggung jawab guru yang secara optimal dalam
pelaksanaannya menuntut kemampuan guru. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran,
meliputi:
1) Pengelolaan kelas
2) Penggunaan media dan sumber belajar
3) Penggunaan metode pembelajaran

191
Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
Dan Dosen, h. 75.
192
Rusman, Model-Model Pembelajaran; Mengembangkan Profesionalisme Guru, h.75

155
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

c. Evaluasi atau penilaian pembelajaran


Penilaian hasil belajaran adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk
mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses
pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini, seorang guru dituntut memiliki
kemampuan dalam pendekatan dan cara-cara evaluasi, penyusunan alat-alat
evaluasi, pengelolaan dan penggunaan hasil evaluasi.193
Kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas , kemampuannya
akan terwujud apabila memiliki keterampilan dan motivasi yang memadai. Untuk
itu Unsur yang harus dipahami dalam mekaji kinerja guru adalah kemampuan
dasar mengajar dan kecakapan guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan kinerja guru adalah
kemampuan dan usaha guru untuk melaksanakan tugas pembelajaran sebaik-
baiknya dalam perencanaan program pengajaran, pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran. Kinerja guru yang dicapai harus
berdasarkan standar kemampuan profesional selama melaksanakan kewajiban
sebagai guru di sekolah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Kuantitatif adalah
pengumpulan informasi dari suatu sampel dengan menggunakan pertanyaan atau
pernyataan melalui angket yang dapat menggambarkan populasi. Adapun jenis
penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian eks post fakto. Dimana eks
post fakto, yakni suatu penelitian yang mencari hubungan sebab akibat yang tidak
dimanipulasi atau diberi perlakuan oleh peneliti.194 Variabel bebas (X) yang terdiri
dari: kemampuan manajerial (X1) dan kecerdasan emosional (X2). Variabel terikat
(Y) yang terdiri dari kinerja guru di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali
Kabupaten Polewali Mandar.

193
Rusman, Model-Model Pembelajaran; Mengembangkan Profesionalisme Gur, h. 75-
78.
194
Musfiqon, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), h. 68.

156
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh guru di SMA Negeri 3
Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar sebanyak 56 orang,
yang terdiri dari 44 orang guru tetap dan 12 orang guru tidak tetap. penulis
mengambil seluruh populasi dijadikan sampel dalam penelitian ini yang berjumlah
56 orang guru. Dalam penelitian ini disebut penelitian populasi atau sampel jenuh.
Analisis statistic inferensial dengan menggunakan teknik korelasi product
moment untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara keterampilan mengajar
dengan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dan Budi Pekerti. Adapun rumus product moment sebagai berikut :

N XY   X    Y 
Rxy=
Keterangan :
N X 2

 N X  N Y 2  N Y 
2 2

Rx y : Angka indeks korelasi “r” product moment
N : Banyaknya subjek
∑x y : Jumlah hasil perkalian antara skor x
∑x : Jumlah seluruh skor x
∑y : Jumlah seluruh skor y

HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah di SMA Negeri 3
Polewali Kabupaten Polewali Mandar
Tabel 4.1 Rekapitulasi Penilaian Variabel Kecerdasan Emosional Kepala
Sekolah di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten
Polewali Mandar.
Sko Kategor
N0 Indikator r Rerata i
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
1 mengolah emosi diri 2,55
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
2 mengendalikan diri, 2,52

157
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Keyakinan kepala sekolah terhadap Setuju


kemampuannya dalam melaksanakan
3 tugas (percaya diri), 2,49
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
4 mengendalikan diri pada situasi apapun 2,58
Kemampuan kepala sekolah untuk Setuju
5 senantiasa dapat dipercaya 2,61
Kemampuan Kepala Sekolah dalam
6 menempatkan diri (adaptabilitas) 2,37 Tidak Setuju
Kemampuan Kepala Sekolah untuk
7 senantiasa berprestasi, 2,38 Tidak Setuju
Kemampuan Kepala Sekolah untuk Setuju
menciptakan kreativitas dalam berbagai
8 hal (Inisiatif), 2,41
Kemampuan Kepala Sekolah untuk
9 senantiasa bersikap optimis 2,37 Tidak Setuju
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
10 memahami emosi orang lain 2,45
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
11 Mengembangkan Orang Lain 2,48
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
12 Mengatasi Keragaman 2,46
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
13 memimpin 2,5
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
14 berkomunikasi 2,50
Kemampuan Kepala Sekolah dalam Setuju
15 melaksanakan manajemen konflik 2,54

158
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Selanjutnya gambaran Kecerdasana Emosional Kepala Sekolah di SMA
Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat
dalam tabel berikut
Tabel 4.1.124
Kategorisasi Variabel Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah
N Kategori Interval Frek Persenta
o. uensi se (%)
1 Sangat Tinggi 155 – 159
8
. 14
2 Tinggi 32
150 -154
. 18
3 Sedang 146 -149
19
. 34
4 Rendah 142 – 145
8
. 14
Sangat Rendah 138 – 141
3
5 6
Jumlah
56
100
Sumber Data: Analisis angket kecerdasan emosional kepala sekolah.
Data pada tabel 4.1.124 diperoleh gambaran kecerdasan emosional kepala
sekolah di SMA Negeri 3 Polewali bahwa, pada kategori sangat tinggi sebanyak 8
orang atau 14 % , kategori tinggi sebanyak 18 orang atau 32 % , kategori Sedang
sebanyak 19 orang atau 34 % , kategori rendah sebanyak 8 orang atau 14 % , dan
kategori sangat rendah sebanyak 3 orang atau 6 %. Hasil tersebut
menggambarkan bahwa kecerdasan emosional kepala sekolah di SMA Negeri 3
Polewali berada pada kategori Sedang dan signifikan karena jumlah persentasenya
sebesar 34 % .

159
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Sajian Variabel Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah di SMA Negeri 3


Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat dalam
diagram berikut :

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa 19 dari 56 guru di


SMA Negeri 3 Polewali memiliki kecerdasan emosional yang baik dengan
persentase 34% yaitu berada pada kategori sedang .
B. Kinerja Guru di SMA Negeri 3 Polewali Kabupaten Polewali Mandar
Tabel 4.1.175: Rekapitulasi penilaian Kinerja Guru di SMA Negeri 3
Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar.
Skor
N0 Aspek-Aspek Rerata Kategori
Kemampuan Guru dalam
1 memahami Program Semester 2,59 Setuju
Kemampuan Guru dalam membuat
2 Silabus, 2,47 Setuju
Kemampuan Guru dalam membuat
3 RPP, 2,43 Setuju
4 Kemampuan Guru dalam membuat 2,57 Setuju

160
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Agenda
Kemampuan Guru dalam
Melaksanakan Kegiatan
5 Pendahuluan, 2,48 Setuju
Kemampuan Guru dalam
melaksanakan kegiatan Inti dalam
6 proses pembelajaran, 2,49 Setuju
Kemampuan Guru dalam menutup
7 pembelajaran, 2,43 Setuju
Kemampuan Guru dalam
8 melaksanakan teknik penilaian, 2,38 Tidak Setuju
Kemampuan Guru dalam
melaksanakan kegiatan program
9 remedial 2,42 Setuju
Kemampuan Guru dalam
malaksanakan Analisis ulangan
10 harian 2,48 Setuju

Selanjutnya gambaran Kinerja Guru di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan


Polewali Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.176
Kategorisasi Variabel Kinerja Guru
N Kategori Interval Frek Pers
o. uensi entase (%)
1 Sangat Tinggi 103 – 106
12
. 21
2 Tinggi 99 – 102
19
. 34
3 Sedang 96 – 98
12
. 21
4 Rendah 93 – 95
11
. 20
Sangat Rendah 90 – 92
2
5 4
Jumlah 56 100
Sumber Data: Analisis skala kinerja guru.

Data pada tabel 4.1.176 diperoleh gambaran kinerja guru di SMA Negeri 3
Polewali berada pada kategori sangat tinggi sebanyak 12 orang atau 21 % ,
kategori tinggi sebanyak 19 orang atau 34 % , kategori Sedang sebanyak 12 orang
atau 21 % , kategori rendah sebanyak 11 orang atau 20 % , dan kategori sangat

161
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

rendah sebanyak 2 orang atau 4 %. Hasil tersebut menggambarkan bahwa kinerja


guru di SMA Negeri 3 Polewali berada pada kategori Tinggi dan signifikan
karena jumlah persentasenya sebesar 34 %
Sajian Variabel kinerja guru di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan
Polewali Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat dalam diagram berikut :

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa 19 dari 56 guru di SMA


Negeri 3 Polewali menyatakan setuju bahwa kinerja guru sudah dilaksanakan
dengan baik yaitu berada pada presentase 34%.

C. Pengaruh Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah (X2) terhadap Kinerja


Guru (Y) di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali Kabupaten
Polewali Mandar.
Pada penelitian ini pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x2)
terhadap kinerja guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali digunakan statistik

162
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
inferensial untuk menguji hipotesis. Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x2)
terhadap kinerja guru (y). Pengolahan data digunakan untuk melihat besar
kecilnya sumbangan (kontribusi) variabel (x2) terhadap variabel (y) tersebut.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya dapat diketahui dengan
menggunakan analisis regresi lineahr yang menggunakan aplikasi SPSS 20.
Berdasarakan hasil perhitungan tersebut, diperoleh nilai perhitungan yang
disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 5.11.b: Hasil Analisi regresi
Nilai Statistik
Nilai Linear Keterangan
Parametrik
R ,431a
Pola Positif
R squre ,186
F 12,300
Pola Pengaruh
Sig. F 0,001
T 3,152
Siqnifikansi
Sig. T 0,003
Berdasarkan perhitungan diatas diketahui perolehan data koefisien korelasi
dengan analisis produc momen Nilai R = 0,431 dan R square = 0,186
memberikan arti bahwa pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x2)
terhadap kinerja guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali
Kabupaten Polewali Mandar terdapat hubungan positif dan dan berdasarkan
pedoman nilai koefisien korelasi dan kakuatan hubungan tergolong rendah atau
tidak kuat. Arah hubungan antara variabel diketahui bernilai posistif Artinya, jika
pengetahuan kecerdasan emosional kepala sekolah (x2) naik maka kinerja guru (y)
juga ikut naik tetapi tingkat pengaruh antar variabel rendah dan tidak kuat.
Berdasarkan nilai R square = 0,186 diperoleh indeks sumbangan
pengaruh kecerdasan Emosional kepala sekolah (x2) terhadap kinerja guru (y)
sebesar 18,6 selebihnya sebanyak 81,4 dipengaruhi oleh faktor lain. Sehingga dari
data tersebut memiliki pola positif artinya terdapat hubungan antara variable (x 2)
dan (y) searah. Maksud searah disini, semakin tinggi kecerdasan emosional kepala
sekolah (x2), maka semakin meningkat kinerja guru (y). Begitu juga sebaliknya,

163
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

semakin kecil kecerdasan emosional kepala sekolah (x2), maka semakin rendah
pula kinerja guru (y).
Berdasarkan tabel anova di atas, dapat dianalisis kaidah pengujian
berdasarkan perbandingan antara Fhitung dan Ftabel, Nilai Fhitung dari table anova
sebesar = 12,300 nilai Ftabel dari table F= 3,17. Sehingga diketahui bahwa
pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x2) terhadap kinerja guru (y) di
SMA Negeri 3 Polewali diperoleh probabilitas (sig) > Dari table anova nilai
probabilitas (sig) = 0,01 dan nilai taraf signifikan = 0,05. sehingga keputusan
data hasil penelitian Model regresi linier sederhana dapat digunakan untuk
memprediksi kecerdasan emosional kepala sekolah (x2) terhadap indeks kinerja
guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali .
Berdasarkan uji –t untuk membuat hipotesis dalam bentuk kalimat
tentang ada atau tidaknya pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x 2)
terhadap kinerja guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali
Kabupaten Polewali Mandar. Kaidah pengujian Jika , ttabel < thitung <ttabel, maka
Ho diterima. Jika, thitung >ttabel , maka Ho ditolak. Berdasarkan tabel coeeficiens
(α) diproleh nilai tHitung = 3, 152 Nilai ttabel diperoleh 2,7 sehingga
Membandingkan ttabel dan thitung ternyata thitung = 3,152 > ttabel = 2,7 maka Ho
ditolak dan H1 diterim, sehingga tedapat pengaruh kecerdasan emosional kepala
sekolah (x2) terhadap kinerja guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan
Polewali Kabupaten Polewali Mandar. Pengujian siqnivikan menentukan kriteria
pengujian diperoleh coeefficients ( α ) diperoleh nilai sig = 0,00 Nilai α, karena
uji dua sisi maka nilai α-nya dibagi 2, sehingga nilai α = 0,05/2 = 0,025. Sehingga
diketahui bahwa tedapat pengaruh kecerdasan emosional kepala sekolah (x2)
terhadap kinerja guru (y) di SMA Negeri 3 Polewali Kecamatan Polewali
Kabupaten Polewali Mandar.

164
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Yunuarita. Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak. Yogyakarta, Cet; 1:


Teranova books, 2012.

Ahmadi, Abu. Metode Kurikulum IKP, Pengantar Dakdik Metode Krikulum PBM.
Jakarta. Remaja Rosda karya, 2000.

Ahrens, Maulin. Fungsi-fungsi Administarasi pengajaran. UGM Yogyakarta,


1998.

Akadum. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan, 1999.

Asfandiyar, Andi Yudha. Kenapa Guru Harus Kreatif. Cet. III; Bandung: Mizan
Pustaka, 2009.

Depdiknas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang


Guru dan Dosen. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Darmadi, Hamid. Kemampuan dasar Mengajar Landasan Konsep dan


Implementasia. Cet. 1; Bandung: Alfabeta, 2009.

E Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT Remaja Rosda


Karya, 2004.

-------------. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Cet.III; Bandung, Rosda


Karya, 2007.

-------------. Standar Kompetensi dan Sertifikasi guru. Cet. IV; Bandung: Rosda
Karya, 2009.

Efendi , Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Cet; 1: Bandung, 2005.

Faizah, Dewi Utami. Keindahan Belajar dalam Perspektif Pedagogi . Ed. I; Cindy
Grafika, 2008.

Getteng, Abd. Rahman. Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika. Cet. III;
Yogyakarta: Graha Guru, 2011.

Goleman, Daniel. Working with Emotional Intelligence, diterjemahkan oleh: Alex


Tri Kantjono Widodo, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak
Prestasi. Cet. V; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

165
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

------------------. Emotional Intelligence diterjemahkan oleh T. Hermaya,


Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Ginanjar, Ary. ESQ. Cet. 17, Jakarta: Penerbit Arga, 2004.

Ginanjar, Yusup. Pengaruh Budaya Organisasi, Gaya Kepemimpinan dan Time


Budget Pressure Terhadap Kinerja Auditor . E-Jurnal: Digilib UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta 2009.

Hasan, Iqbal. Pokok-Pokok Materi Statistik I. Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Hurlock,E.B.Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang


kehidupan. edisi kelima; Jakarta: Erlangga. 1993.

J. Supranto. Statistik Teori dan Aplikasi. Cet. VII; Jakarta: Erlangga, 2008.

Jaenuddin, Ujang. Psikologi Kepribadian. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.

Judge, Timothy A dan Stephen P, Robbins. Perilaku Organisasi (Organizational


Behaviour). Jakarta:Salemba Empat, 2009.

Khairil, & Danim Sudawan . Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Cet. I;
Bandung: Alfabeta, 2010.

Mappanganro. Pemilikan Kompetensi Guru. Makassar, Alauddin Press, 2010.

Musfiqon. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.

Mangkunegara, A.A.Anwar Prabu. Evaluasi Kinerja Sekolah Dasar. Jakarta :


Refika Aditama, 2005.

Nafis M.W, Sembilan Jalan untuk Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual.
Jakarta:Hikmah PT Mizan Publika, 2006.

Nasution, Edhin. Psikologi Manajemen. Bandung : Pustaka Setia, 2010.

Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, Edisi Ravisi. Jakarta: Gaja Grafindo
Persada, 2008.
---------------. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2010.

Pasiak T. Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosince dan Al-Qur’an. Bandung:


Mizan, 2002.

166
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi. III, 2011.
----------------------------------------------------------. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Putro Eko Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran. Cet V; Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2013.

Riduwan. Dasar-Dasar Statistika. Cet. VIII; Bandung: Alfabeta, 2010.

Rusman. Model-model Pembelajaran; Mengembangkan Profesionalisme Guru.


Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.

---------. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.


Cet 5; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran. Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.

Siagin. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif, dan


R&D Cet.XIII; Bandung: Alfabeta, 2011.

----------. Metode Penelitian Kombinasi: Mixed Method. Bandung: Alfabeta, 2013.

Suherman, Ari & Saondi, Ondi. Etika Profesi Keguruan. Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2010.

Sutalaksana dkk. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Bandung: Institut Teknologi


Bandung, 2006.

Usman, Muh. Basyaruddin. Guru Profesional dan Implimentasi Kurikulum. Cet.


Jakarta: Ciputat, 2006.

Usman, Husaini. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2008.

Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional Ed. II. Cet. XXV; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.

Undang-Undang SISDIKNAS 2003, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003.


Cet. II; Jakarta: Fokus Media, 2003.

Uno, B. Hamzah. Profesi Kependidikan. Cet. VIII; Jakarta: Bumi Akasara, 2011.

167
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Dr. Abdul Syukur Abu Bakar, Lc., M. Ag.


Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Alauddin Makassar, DPK di Fakultas Pendidikan
Universitas Islam Makassar

Abstrak
Pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang terencana, praktis dan
memiliki tujuan yang ingin dicapai. Demikian pentingnya tujuan tersebut,
sehingga tidak mengherankan jika banyak dijumpai kajian yang serius
alangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Beragam buku yang mengkaji
mengenai pendidikan, dan senantiasa berusaha untuk merumuskan
tujuannya, baik secara umum maupun secara khusus.
Sistem Pendidikan Islam ada yang mengenal dengan sistem pendidikan
tradisional bukan mederen, sehingga beranjak dari hal tersebut peneliti ingin
mengulas lebih jauh tentang sistem pendidikan Islam sehingga mampu di
Inplementasikan dengan baik.
I. PENDAHULUAN
Kata Kunci:
Secara kultural,Sistem_Pendidikan_Islam
pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi
dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud
mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang
dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of
values.195
Saat ini, dirasakan ada keperihatinan sangat mendalam tentang adanya
dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Dikenal bahkan diyakini, adanya “sistem
pendidikan agama” dan pendidikan umum. Kedua sistem tersebut lebih dikenal
dengan pendidkan tradisional dan pendidikan moderen.
Berbagai istilah yang kurang elok hadir dipermukaan seperti, adanya
fakultas agama dan fakultas umum, sekolah agama dan sekolah umum bahkan

195
Hasbullah, Dsar-dasar Ilmu Pendidikan, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1999),h,
149

168
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa
dukungan Iptek dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. 196
Kedua sistem pendidikan tersebut, kemudian diupayakan adanya integrasi
antara keduanya menyusul unsur-unsur yang terlibat di dalam sistem pendidikan.
Secara formal, sistem pendidikan agama (Islam) mendapat peluang dan
kesempatan untuk berkembang secara dinamis yang pada akhirnya membawa
sistem pendidikan umum menuju ke arah sistem pendidikan nasional.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pendidikan Islam
Sistem Pendidikan Islam merupakan satuan kata yang mengandung
kesatuan makna atau arti antara sistem dan pendidikan Islam. Olehnya itu,
sebelum sampai kepada pengertian tersebut, maka terlebih dahulu akan dijelaskan
kedua istilah tersebut.
1. Pengertian Sistem
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” (mengumpulkan) yang
berarti suatu kesatuan bermacam-macam hal menjadi suatu keseluruhan dengan
bagian-bagian yang tersusun dari dalam.197
Sistem adalah suatu keseluruhan yang bulat yang tersusun dari bagian-
bagian yang bekerja sendiri-sendiri (independen) atau bekerja sama-sama untuk
mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan.198
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sistem adalah
jumlah keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bekerja sama untuk mencapai
hasil yang diharapkan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan.
2. Pengertian Pendidikan Islam

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999),


196

h. 3
Hasan Shadily, Insekolpedia Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru, Van Houve, 1980),
197

h. 3205
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Kritis dan Praktis Berdasarkan
198

Pendekatan Inter disipliner (cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 104

169
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Beberapa pakar pendidikan mendefinisikan pengertian pendidikan Islam,


di antaranya adalah:
H. A. Rahman Getteng menyatakan bahwa:
Pendidikan Islam adalah upaya pembinaan dan pengembangan potensi
manusia agar tujuan kehadirannya di dunia ini sebagai hamba Allah dan sekaligus
khalifah Allah, tercapai sebaik mungkin.199
Dr. Zakiyah Darajat, dkk menyatakan bahwa:
Pendidikan Islam adalah usaha, kegiatan yang dilakukan oleh pendidik
untuk membentuk manusia yang berkepribadian manusia. 200
Dr. Ahmad Tafsir mendefinisikan:
Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada
seseorang agar ia berkembang secara maksimal dengan ajaran Islam. 201
Dari pengertian istilah tersebut di atas, (Sistem dan Pendidikan Islam)
apabila dipadukan, maka dapat disimpulkan bahwa Sistem Pendidikan Islam
adalah keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bekerja sama atau unsur-unsur
yang disusun secara teratur dan saling berkaitan dalam rangka membentuk
manusia yang berkepribadian muslim yang berdasarkan nilai-nilai ajaran agama
Islam yang berdasar dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

B. Pengaruh Sistem Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Nasional


1. Sistem Pendidikan Islam
Untuk menunjang suatu keberhasilan dan mencapai tujuan pendidikan
Islam, maka unsur-unsur pendidikan sebagai suatu kesatuan unsur yang sifatnya
operasional, situasional dan non situasional merupakan alat yang relati penting.

A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam dalam Pembangunan (Ujungpandang:


199

Yayasan Al-Ahkam, 1997), h. 25


Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 28
200

201
Aham Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prepektif Islam, (Bandung: Rosda Karya,
1992), h. 32.

170
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Pada bagian ini penulis hendak menguraikan unsur-unsur pendidikan yang
tentunya sangat menunjang suatu sistem pendidikan.
Menurut pandangan Islam, unsur-unsur pokok dalam operasional
pendidikan Islam terbagi ke dalam 5 bahagian yaitu:
1. Pembacaan Al-Qur’an
Dalam hal ini tidak langsung sebagaimana mestinya, karena pembacaan al-
Qur’an hanya sebutan dan sekedar bisa membaca, tidak sampai pada tingkat
pemahaman dan pengamalannya.
2. Tazkiyah atau penyucian
Dalam hal ini penyucian jiwa dan budaya agar tumbuh dan berkembang secara
maksimal dan tidak menyimpang dari tujuan ajaran agama Islam. Hal ini pun
bisa sebagai melaksanakan acara-acara ritual yang sakral (termasuk suci dari
pengaruh agama Hindu dan Budha).
3. Ta’lim atau pengajaran al-Kitab
Hal ini dimaksudkan agar berkembang budaya tulisan. Pengajaran ini hanya
sampai pada tarap baca tulis Arab, latin atau melayu di kalangan mereka, hanya
terbatas dan tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
4. Al-Hikmah
Pengajaran al-Hikmah dimaksudkan untuk mengembangkan budaya dan
kemampaun berfikir dan berfilsafat. Hal ini boleh dikatakan tidak ada.
5. Al-Ilmu
Pengajaran al-Ilmu dimaksudkan agar tumbuh berkembang ilmu pengetahuan
di segala bidangnya termasuk teknologi, ternyata boleh dikatakan tidak ada
sama sekali.202
Di samping itu, Sistem Pendidikan Islam memiliki ciri-ciri khusus anata
lain:
1. Sistem ibadah, sistem ini tidak terbatas pada ibadah yang sudah dikenal
seperti rukun Islam tetapi pengertiannya lebih daripada itu. Yaitu kebaktian

Muhaimin, et al, Dasar-Dasar Pendidikan Islam (Cet. I; Surabaya: Karya Aditama,


202

1996), h. 88.

171
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

yang hanya ditujuakan kepada Allah swt, mengambil petunjuk hanya


darinya saja tentang persoalan dunia maupun akhirat.
2. Pembinaan rohani adalah menciptakan hubungan yang terus menerus antara
roh dan Allah swt dalam keadaan apapun dan pada seluruh kegiatan berfikir
dan merasa, sebab rohani adalah landasan tempat sandaran eksistensi manusia
serta dengan roahani itulah seluruh alam ini berhubungan. Oleh karena itu,
rohani perlu dibina secara khusus.
3. Pembinaan intelektual, dalam hal ini disadari bahwa akal merupakan
kekuatan untuk membangkitkan daya fikir sehingga perlu dibina tenaga akal
dalam pembuktian dan pencarian kebenaran.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Sistem Pendidikan Islam dengan
ciri khususnya pada masa itu masih bersifat statis dan tradisional, materi
pengajarannya masih terbatas pada bidang tertentu saja. Keadaan seperti ini terus
berlangsung sampai adanya sistem pendidikan yang dibawa oleh orang-orang
Barat yang kemudian diadopsi menjadi suatu sistem pendidikan yaitu Sistem
Pendidikan Nasional
1) Unsur-unsur Situasional
Sistem Pendidikan Islam dalam perspektif unsur situasi pendidikan dibagi
ke dalam lima bahagian yaitu:
a. Pendidik
Dalam konteks pendidikan islam “Pendidik” sering disebut dengan
“murabbi, mu’allim, muaddib” yang ketiga term tersebut mempunyai
penggunaan tersendiri menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan
dalam konteks Islam. Di samping itu, istilah pendidik kadangkala disebut
melalui gelarnya seperti al-Ustaz dan Al-Syekh.
Tetapi dalam teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan

172
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi
afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.203
Seorang pendidik akan mampu melaksanakan fungsinya dengan baik
apabila memiliki hal-hal sebagai berikut.
1) Kewibawaan
Wibawa diartikan sebagai sikap dan penampilan yang dapat
menimbulkan rasa segan dan hormat, sehingga anak didik merasa
diayomi dan ada perlindungan.
2) Memiliki sikap tulus dan pengabdian
Sikap tulus ikhlas timbul dari hati yang rela berkorban untuk anak didik,
diwarnai juga dengan kejujuran, ketabahan dan kesabaran.
3) Keteladanan
Seorang pendidik bukan hanya ditangkap perkataannya akan tetapi sikap
dan prilakunya akan ditangkap dan dihayati oleh anak didik. Oleh karena
itu, seorang pendidik harus mampu menjadi teladan, sebagaimana misi
Nabi Muhammad saw yang lahir ke muka bumi ini menjadi tauladan bagi
ummatnya.204
b. Anak didik
Sama halnya dengan teori Barat, anak didik dalam pendidikan Islam
adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun
secara psikologi untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga
pendidikannya.
Definisi tersebut, memberi arti bahwa anak didik merupakan anak yang
belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Anak
kandung adalah anak didik dalam keluarga, murid adalah anak didik di

203
Ahmad Tafsir, h. 74-75.
204
Khadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), h.
108-110.

173
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

sekolah, anak-anak penduduk adalah anak didik masyarakat disekitarnya, dan


anak-anak umat beragama menjadi anak didik rohaniawan agama. 205
c. Tujuan Pendidikan
Tujuan umum pendidikan secara universal adalah mewujudkan
kedewasaan anak didik. Kedewasaan yang dimaksud adalah termasuk
kedewasaan psikis sebagai wujud kemampuan bertanggung jawab sendiri
terhadap sikap, cara berfikir, bertingkah laku, maupun kepada Allah swt. 206
Adapun tujuan pendidikan Islam untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya yakni pribadi yang ideal menurut ajaran islam, yakni meliputi
aspek individual, sosial dan aspek intelektual. 207
d. Alat Pendidikan
Alat pendidikan merupakan unsur penting dalam pendidikan, karena
tanpa alat tidak akan terjadi sentuhan pendidikan. Tanpa ada alat pendidik
dan anak didik, maka tidak akan terjadi sentuhan pendidikan. 208
e. Struktur Sosio Kultural
Proses pendidikan tidak pernah terlepas dari struktur kemasyarakatan
dan kebudayaan di sekitanya. Struktur masyarakat dan kebudayaan yang
berbeda-beda itu, merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi situasi
pendidikan. Di samping unsur-unsur yang telah diuraikan.209
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur situasional dalam
Sistem Pendidikan Islam mencakup pendidik, anak didik, tujuan pendidikan, alat
pendidikan dan sosio kultural yang merupakan unsur-unsur yang secara
situasional sangat mempengaruhi berlangsungnya sebuah proses pendidikan.

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikirian Pendidikan Islam, (Kajian Filosofis dan
205

Kerangka Dasar Operasionalisasinya,) (Cet. I; I; Bandung: PT. Trigendan Karya, 1993), h.


177.
Hadari Nawawi, h. 120.
206

A. Rahman Getteng, h. 35.


207

208
Hadari Nawawi, h. 125.
209
Hadari Nawawi, h. 127.

174
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dengan demikian, pendidikan Islam sebagai sebuah sistem sangat membutuhkan
unsur-unsur tersebut.
2) Unsur-unsur Non Situasional
a. Lembaga-Lembaga pendidikan Islam
1. Keluarga
Keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan
melalui pendidikan Islam, yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah
keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai
dengan syari’at Islam.
Berdasarkan Al-quran dan al-Sunnah maka tujuan terpenting dari
pembentukan keluarga adalah:
- Mendirikan syari’at Allah dalam segala permasalahan rumah tangga.
- Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis.
- Mewujudkan Sunnah Rasulullah saw dengan melahirkan anak-anak shaleh
sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran kita.
- Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak.
- Menjaga citra anak agar anak tidak melakukan penyimpangan-
penyimpangan.210
2. Sekolah
Lembaga sekolah merupakan pembinaan lanjutan dari nilai yang telah
diletakkan dasar-dasarnya dalam lingkungan keluarga.
3. Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan ketiga
setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini telah
mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga
dan berada di luar pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh
pendidikan tersebut tampak lebih luas.211

210
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat
(Ce. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 139-144.
211
Hasbullah, h. 55

175
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Selain lembaga-lembaga pendidikan tersebut di atas, Hasan Langgulung


dalam bukunya Asas-asas Pendidikan Islam menyebutkan bahwa Islam mengenal
lembaga Pendidikan sejak detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
Saw. Rumah al-Arqam bin Abi Al-Arqam merupakan lembaga pendidikan yang
pertama, Mesjid sebagai lembaga pendidikan yang kedua dalam Islam. Sejak
didirikannya Mesjid pertama di Kuba, Kuttab semacam Khalaqah atau sistem
belajar jama’ah dan da’wah jama’ah sebagai lembaga ketiga dalam pendidikan
Islam. Pada zaman Bani Abbasiyah muncullah Darul Al-Hikmah sebagai lembaga
pendidikan Islam yang keempat, yang mulanya hanya sebagai lembaga
terjemahan oleh Khalifah al-Ma’mun di Bagdad sehingga berkembang menjadi
Universitas-universitas Islam.212
b. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Secara umum, kurikulum pendidikan Islam meliputi ilmu-ilmu sunnatullah
dan ilmu-ilmu dinullah. Ilmu-ilmu sunnatullah meliputi tentang kimia, anatomi,
tata surya, fisika, meteorologi, matematika, biologi, dan sebagainya. Sedangkan
ilmu-ilmu dinullah meliputi ilmu-ilmu tentang ilmu Al-Qur’an dan Tafsirnya,
ilmu hadis, ushul fiqhi, tauhid, mualamah, dan sebagainya.
c. Administrasi dan Pembiayaan Pendidikan dalam Islam
Pendidikan Islam tanggung jawab individu dan masyarakat, ini berarti
bahwa administrasi dan pembiayaan pendidikan islam merupakan kewajiban
individu dan masyarakat bahkan pemerintah. Untuk hal ini diwujudkan dalam dua
sistem operasional yaitu sentraliasasi dan desentralisasi. 213

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-
212

Husna, 1992), h. 111.


213
Hasan Langgulung, h. 115.

176
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa unsur adimistrasi dan pembiayaan
pendidikan dalam islam merupakan dua hal yang sangat menunjang keberhasilan
sebuah proses pendidikan dan oleh karenanya keduanya merupakan unsur yang
sangat penting dalam pendidikan islam.
2. Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan yang dibawa oleh orang-orang Barat terasimilasi
dengan Sistem Pendidikan Islam yang telah berkembang di Nusantara akhirnya
menjadi satu sistem pendidikan yaitu Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana yang dikehendaki oleh UU 45
adalah satu sistem integrasi antara pendidikan dan pengajaran pada sekolah
modern model pemerintahan Kolonial dan Sistem Pendidikan Islam yang pada
umumnya masih bercorak tradisional.214
Menurut Muhaimin dkk., proses asimilasi antara sistem pendidikan yang
dibawa orang-orang Barat dengan Sistem Pendidikan Islam yang terkesan
dualistis tersebut menjadi satu sistem pendidikan, yaitu Sistem Pendidikan
Nasional, tanpak jelas dilakukan oleh msyarakat dan bangsa Indonesia dengan
jalan.

1. Mensosialisasikan sekolah-sekolah modern warisan kolonial Belanda ke


dalam sistem pendidikan dan pengajaran agama dalam kurikulumnya, secara
teratur dan seksama. Dengan demikian, diharapkan sekolah-sekolah modern
tersebut menjadi bersendi agama dan berkebudayaan bangsa.

2. Pemberian bantuan dan tuntunan kepada Pesantren dan Madrasah agar mampu
meningkatkan mutu pendidikan dan perannya sebagai alat serta sumber
pendidikan kecerdasan bangsa. Untuk itu, Sistem Pendidikan Islam harus
dikembangkan menjadi sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat
modern setaraf dengan sekolah-sekolah modern.215
Usaha asimilasi tersebut dipermatang oleh UU NO. 2 tahun 1989 sebagai
berikut :

214
Muhaimin, h. 93.
215
Muhaimin, h. 94.

177
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan


kebangsaan Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Tidak
dapat disangkal bahwa pendidikan Islam baik sebagai sistem maupun
kelembagaan, merupakan warisan budaya bangsa yang berurat berakar pada
masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan
Islam akan merupakan bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional."216
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sistem Pendidikan Islam dan
Sistem Pendidikan Nasional bila dilihat dari aspek prosesnya, terdapat saling
mempengaruhi sebab sebelum menjadi sebuah sistem dalam sebuah Sistem
Pendidikan Nasional, terlebih dahulu terjadi proses assimilasi antara Sistem
Pendidikan Islam yang tradisional dengan sistem pendidikan warisan kolonial
yang modern.

III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan pembahasan ini sebagai berikut:
1. Sistem Pendidikan Islam adalah keseluruhan dari bagian-bagian yang saling
bekerja sama atau unsur-unsur yang disusun secara teratur dan saling
berkaitan, dalam rangka membentuk manusia yang berkepribadian muslim
berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan
al-Sunnah.
2. Unsur-unsur Pendidikan Islam adalah saling terkait dan berantai baik secara
operasional, maupun situasional, dan non situasional. Dengan demikian,
maka antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya merupakan satu
kesatuan perangkat secara teratur membentuk suatu totalitas yang terpadu dari
suatu kegiatan. Akhirnya terbentuk suatu sistem pendidikan yang disebut
Sistem Pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
3. Sistem Pendidikan Islam dan Sistem Pendidikan Nasional bila dilihat dari
aspek prosesnya adalah saling mempengaruhi. Hal ini nampak dalam usaha

216
Muhaimin, h. 96.

178
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
masyarakat dan pemerintah, akhirnya pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H. M. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Kritis dan Praktis


Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara,
1996.

Darajat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Getteng, A. Rahman. Pendidikan Islam dalam Pembangunan. Ujungpandang:


Yayasan Al-Ahkam, 1997.

Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1992.

Mastuhu. Memberdayakan Sistim Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos, 1999.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikirian Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya). Cet. I; I; Bandung: PT.
Trigendan Karya, 1993.

Muhaimin, et.al. Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Cet. I; Surabaya: Karya


Aditama, 1996

An-Nahlawi Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.


Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Nawawi, Khadari. Pendidikan Dalam Islam. Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1991

Shadily, Hasan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Prepektif Islam. Bandung: Rosda Karya,
1992.

179
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

INOVASI SISTEM PENDIDIKAN

Muhammad Anwar. HM217

Abstrak

Pendidikan adalah segala. Peradaban yang baik merupakan


salah satu hasil dari pendidikan yang baik. Ketika suatu
komunitas ingin mencapai tujuan dengan baik, maka
pendidikanlah kunci jawabannya. Namun, seiring dengan
pergeseran zaman dan waktu, pendidikan juga mengalami
perubahan dalam pola dan metode pengajarannya. Selain itu,
faktor usia, tempat, kecanggihan teknologi juga membentuk
terhadap pola pembelajaran dalam pendidikan. Karenanya,
seiring bergulirnya waktu sekaligus tuntutan zaman yang
dihadapi, maka sangat diperlukan adanya inovasi dalam
pendidikan itu sendiri. Hal ini semata untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat selaku unsur utama dalam sistem
pendidikan tersebut. Tulisan di bawah ini menggambarkan
tentang pentingnya pendidikan sesuai dengan tahapannya dan
sekaligus tuntutan untuk melakukan inovasi.

Key Word: Pendidikan, Inovasi, SDM

A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan
yang sangat signifikan pada berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dalam
kehidupan ekonomi, sosial, budaya maupun pendidikan. Perubahan tersebut
banyak membawa manfaat, tetapi di sisi lain juga membawa manusia ke
persaingan global yang semakin ketat. Karena itu agar mampu berperan dalam
persaingan global, perlu diupayakan pengembangan dan peningkatan kualitas

217
Dosen tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar.

180
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai
tujuan pembangunan bangsa.
Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas SDM, peran pendidikan
sangat dibutuhkan, sebab pendidikan merupakan sarana untuk membangun watak
bangsa (Nation Character Building). Oleh karena itu, kualitas pendidikan harus
senantiasa ditingkatkan sebab masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa
kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk kemandirian.
Dapat dikatakan eksistensi dan daya survival suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas SDM yang dimiliki bangsa tersebut. Semakin tinggi kualitas SDM suatu
bangsa, makin eksis bangsa tersebut, sebaliknya semakin rendah kualitas SDM
suatu bangsa, pertanda semakin bergantungnya bangsa tersebut terhadap bangsa
lain.218
Sebagai salah satu negara berkembang, kualitas SDM bangsa Indonesai
terhitung rendah, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara maju
bisa dikatakan sangat tinggi.219 Rendahnya kualitas SDM ini salah satunya
diakibatkan rendahnya mutu pendidikan jika dibanding dengan Negara lain. Jika
dilihat secara lebih spesifik lagi dalam proses pembelajaran, terbukti hasil-hasil
pengajaran dan pembelajaran di berbagai bidang studi selalu kurang memuaskan
berbagai fihak (stakeholder).

218
Jacques Attali (1991) seorang penulis berkebangsaan Perancis, dalam buku Millenium:
Winners and Lossers in the Coming World Order baranggapan bahwa memasuki millennium
ketiga, manusia tersegmentasi menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok pemenang (the
winners) dan kelompok pecundang (the Lossers). Kelompok pemenang adalah mereka yang
terdidik (educated), otonom secara peribadi, berketrampilan, berdaya adaptibilitas tinggi, memiliki
kemampuan ekonomi kuat, dan menguasai multiakses. Adapun ciri-ciri the Lossers ditandai
dengan kemampuan ekonomi rendah, berpendidikan rendah, tidak dimiliki keterampilan
professional yang memadai, akses informasi terbatas, underestimate, daya adaptasi rendah, gizi
dan kesehatan yang memprihatinkan, dan tempat bermukim yang seadanya. Lihat: Rohadi
Wicaksono, ”Mengapa Harus Konstruktivistik”, dalam http//www.artikelpendidikan.com (19 Juli
2017).
219
Menurut catatan Human Development Report tahun 2003 versi UNDP Human
Development Indek (HDI) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di peringkat 112
dari 126 negara, dan satu peringkat di bawah Vietnam. Indonesia berada jauh dibawah Filipina
(85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30) dan Singapura
(28). Lihat: Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2003), h. 1.

181
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Hal itu disebabkan dua hal: pertama, perkembangan kebutuhan dan


aktivitas di berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja
lembaga pendidikan atau melaju terlebih dahulu dibanding dengan proses
pengajaran dan pembelajaran. Akibatnya hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran
tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan yang diarungi siswa. Kedua, pandangan
dan temuan baru tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma,
falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada saat ini tidak memadai atau tidak
cocok lagi.220
Berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pendidikan
dan pengajaran diatas menuntut adanya pembaharuan pendidikan, sehingga
diharapkan mutu dan hasil pendidikan semakin baik dan meningkat. Pembaharuan
(inovasi) pendidikan tersebut dilakukan supaya pendidikan dapat selalu adaptif
terhadap perubahan dan perkembangan zaman, sekaligus agar tidak terjadi
kesenjangan antara idealitas dan realitas.

B. Urgensi Inovasi Sistem Pendidikan


Inovasi merupakan suatu ide, gagasan, praktik atau obyek/benda yang
disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok
untuk diadopsi.221 Inovasi pada dasarnya merupakan hasil pemikiran cemerlang
yang bercirikan hal baru bisa berupa praktik-praktik tertentu ataupun berupa
produk dari suatu hasil olah pikir dan olah teknologi yang diterapkan melalui
tahapan tertentu, yang diyakini dan dimaksudkan untuk memecahkan persoalan
yang timbul dan memperbaiki suatu keadaan tertentu ataupun proses tertentu yang
terjadi di masyarakat.
Dengan demikian yang dimaksud inovasi pendidikan adalah inovasi dalam
pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Inovasi ini dapat

220
Luk-luk Nur Mufidah, “Pembelajaran Kuantum yang Menyenangkan”, dalam http:
//pakb.wordpress (2 April 2018)
221
Inovasi juga berarti suatu perubahan baru menuju ke arah perbaikan atau berbeda dari
yang ada sebelumnya, dilakukan dengan sengaja dan berencana. Fuad Ihsan, Dasar-dasar
Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 191.

182
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
berupa ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal baru bagi
seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan.222
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk kegiatan yang sifatnya
pembaruan atau inovasi dalam pendidikan. Pada dasarnya inovasi pendidikan itu
sendiri telah melalui berbagai tahap sebagaimana diidentifikasi oleh Ashby
sebagai berikut: Tahap pertama terjadi ketika pendidikan anak dilakukan secara
langsung oleh orang tua. Pada tahap ini lembaga pendidikan sekolah belum ada
dan media yang digunakan juga masih sangat primitif. Materi pelajarannya pun
sebatas pengetahuan orang tua berdasarkan pengalaman yang mereka miliki.
Tahap Kedua terjadi ketika masyarakat/orang tua mulai sibuk dengan
peran di luar rumah sehingga tugas pendidikan anak sebagian digeser dari orang
tua pindah ke guru atau dari rumah ke sekolah. Pada tahap ini mulai muncul
profesi guru. Tahap Ketiga ditandai dengan adanya penemuan alat untuk
keperluan percetakan yang mengakibatkan lebih luasnya ketersediaan buku.
Tahap keempat terjadi sebagai akibat ditemukannya bermacam-macam alat
elektronika yang bisa menunjang proses belajar siswaseperti radio, telepon, TV,
computer, LCD proyektor, perekan internet, LAN, dan sebagainya. 223
Berdasarkan tahapan-tahapan di atas dapat dikatakan bahwa pada saat ini
telah terjadi tahap keempat inovasi pendidikan yang ditandai dengan adanya
pemanfaatan teknologi canggih baik perangkat lunak (software) maupun
perangkat keras (hardware) dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi
teknologi baru itu adalah untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
berkualitas sehingga dapat meningkatkan kompetensi, kemampuan, keterampilan
dan daya saing perserta didik dalam suatu program pendidikan pada jenjang, jenis
maupun jalur tertentu.224 Inovasi pada tahap ini tentu saja bukan merupakan
tahapan terakhir pembaharuan pendidikan, sebab pembaruan itu harus terus–
222
Ibrahim, Inovasi Pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pendidikan Tinggi, 1988), 51. JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2011
223
Aric Ashby, The Fourth Revolution, Instructional Technology in Higher Education,
(New York: Carnegie Commision in Higher Education, 1972).
224
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), 297.

183
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

menerus dilakukan tanpa memiliki ujung akhir. Persoalan pendidikan senantiasa


ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu ada sehingga pembaharuan
pendidikan tidak akan pernah diakhiri.
Terlebih lagi dalam abad informasi seperti saat ini tingkat obsolescence
dari program pendidikan di Indonesia menjadi sangat tinggi. Hal ini dapat terjadi
karena perkembangan teknologi yang digunakan oleh masyarakat dalam sistem
produksi barang dan jasa yang begitu cepat. Dunia produksi dapat
mengembangkan teknologi dengan kecepatan yang amat tinggi karena harus
bersaing dengan pasar ekonomi secara global, sehingga perhitungan efektivitas
dan efesiensi harus menjadi pilihan utama.
Sebaliknya dunia pendidikan tidak dapat dengan mudah mengikuti
perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat, disebabkan sangat sulit
diterapkannya perhitungan-perhitungan ekonomi yang mendasarkan pada prinsip
efektivitas dan efesiensi terhadap semua unsurnya. Tidak semua pembaharuan
pendidikan dapat dihitung atas dasar efesiensi dan untung rugi karena pendidikan
memiliki misi penting yang sulit dinilai secara ekonomi, yakni misi
kemanusiaan.225
Perlu ditekankan bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi
institusi pendidikan adalah menumbuh kembangkan subyek didik ke tingkat
normatif yang lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang
positif. Oleh karena itu, inovasi apa pun yang dilakukan dalam pendidikan tidak
semata-mata atas pertimbangan efektivitas dan efesiensi, tetapi harus tetap
mengacu pada upaya pembentukan manusia sejati yang memiliki
kesadaranterhadap realitas dan mampu bertindak mengatasi dunia serta realitas
yang dihadapinya. Sehingga dapat dihasilkan manusia yang mampu menggeluti
dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti
manusia mampu memahami keberadaan dirinya.

225
Suyanto & Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 2000), 18.

184
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Dengan kata lain inovasi dalam pendidikan masih sangat diperlukan dalam
upaya menghasilkan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan generasi yang
memiliki kecerdasan nalar, emosional, dan spiritual, bukan manusia yang kerdil,
pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.

C. Bentuk-bentuk Inovasi Sistem Pendidikan


Model-model inovasi pendidikan telah banyak dilontarkan dalam berbagai
bentuk, tujuannya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, antara
lain: usaha pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan efisiensi dan
efektifitas pendidikan, dan relevansi pendidikan. Kesemuanya dimaksudkan agar
inovasi yang dilakukan bisa diadopsi dan dimanfaatkan untuk perbaikan dan
pemecahan persoalan pendidikan di Indonesia. Dari sekian upaya itu terdapat dua
isu utama yang perlu disoroti yaitu pembaruan kurikulum, dan peningkatan
kualitas pembelajaran.226
Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap
dinamika sosial, relevan dan tidak overload, serta mampu mengakomodasi
keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi. Sedangkan kualitas
pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan.
Untuk itu secara mikro harus ditemukan metode atau pendekatan pembelajaran
yang lebih efesien di kelas dan lebih memberdayakan potensi siswa. Kedua hal
inilah yang menjadi fokus inovasi pendidikan di Indonesia.
1. Inovasi dalam kurikulum
Dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan nasional pemerintah telah
melakukan berbagai usaha, salah satunya dengan penyempurnaan
kurikulum.227Langkah ini harus dilakukan guna merespon tuntutan terhadap
kehidupan berdemokrasi, globalisasi dan otonomi daerah. Adapun bentuk inovasi

226
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran…., 2
227
Kurikulum disini tidak bias diartikan sebatas subjek pelajaran saja tetapi mencakup
berbagai aktifitas yang dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah sebagaimana
diungkapkan oleh Saylor dan Alexander: “...School curriculo is the total of the school to bring
about desired outcome’s in school and in out of the situation. In short the curriculum is the
school’s program for learners”, Galen J Saylor and Alexander M. William. Curriculum Planing
for Better teaching and Learning. (New York: Holt, Rinchat, 1960), 4.

185
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

kurikulum itu adalah dengan merubah pola penyelenggaraan pendidikan yang


sentralistik, monolitik dan uniformistik, menjadi lebih demokratis. Selama ini
keputusan-keputusan pendidikan selalu dilaksanakanberdasarkan hierarkhi
birokrasi yang terkesan otoriter sehingga pihak bawahan harus melaksanakan
seluruh keinginan pihak atasan.
Kurikulum yang bersifat sentralistik seperti ini dirasa sangat menghambat
inovasi dan mempengaruhi out put pendidikan, sebab kurikulum yang
terpusathanya akan menghasilkan out put manusia robot tanpa inisiatif.228 Oleh
karena itu berdasarkan amanah Undang-undang Sistem pendidikan Nasional
nomor 20 tahun 2003 pasal 4 dan pasal 11 maka pendidikan sekarang menganut
sistem desentralistik dan lebih demokratis.229
Konsekwensi dari desentralisasi itu adalah diterapkannya kurikulum yang
berbasis kompetensi (competency based curriculum) sebagai penyempurnaan dari
kurikulum sebelumnya yang cenderung berorientasi pada isi (content based
curriculum). Kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan berbasis
kompetensi agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Dengan kompetensi
sebagai dasar pengembangan kurikulum akan dijamin adanya fleksibilitas dalam
pencapaian penguasaan kompetensi. Pendekatan ini menekankan identifikasi
kompetensi dasar setiap bidang studi yang indikator-indikatornya dapat membantu
guru menentukan strategi dan teknik pengajarannya.
Di samping itu kompetensi dasar dan indikator-indikatornya akan
membantu anak memahami apa yang harus mereka kuasai.230 Berpangkal pada
pendekatan ini pemerintah kemudian mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan

228
Lihat: Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Prenada media, 2004), 206.
229
Pasal 4 (1) menegaskan bahwa pendidikan harus diselenggarkan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa. Adapun pasal 11 (1) menekankan kewajiban
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa
diskriminatif. Lihat Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah tentag Pendidikan, (Jakarta: DEPAG RI, 2006), 9, 11.
230
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran…., 2.

186
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Pendidikan yang memberikan otonomi bagi tiap satuan pendidikan untuk
menyusun dan mengembangkan sendiri kurikulumnya berdasarkan karakteristik
peserta didik dan kepentingan daerah masing-masing. Kebijakan ini bukan berarti
menghilangkan unsur-unsur nasional dan menimbulkan fanatisme daerah, tetapi
dalam rangka memberikan perimbangan yang proporsional antara kurikulum
nasional dan daerah (lokal).
2. Peningkatan kualitas pembelajaran
Peningkatan kualitas pembelajaran harus dilakukan agar mencapai
peningkatan kualitas hasil pendidikan. Faktor penentu utama keberhasilan upaya
itu adalah pendidik. Di tangan pendidikan kurikulum akan hidup dan bermakna.
Di tangan pendidik pula metode penyajian menjadi hidup dan menarik bagi
peserta didik. Begitu pula alat pendidikan baik material maupun non material
dapat digunakan oleh pendidik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya.
Dengan demikian pendidik memegang kunci yang penting dalam upaya
peningkatan kualitas pembelajaran. Semua pembaruan yang menyangkut upaya
peningkatan kualitas pendidikan harus mempertimbangkan keikutsertaan. Michael
G. Fullan (1991) dalam bukunya The New Meaning of Educational Change
berpendapat “Educational Change depends on what teacher do and think—it’s as
231
simple and as complex as that. Keikutsertaan guru di sini bukan dalam arti
fisik semata, tetapi yang lebih penting lagi keikutsertaan secara mental yang
didukung oleh kemampuan profesionalnya. Dapat dikatakan upaya peningkatan
hasil pendidikan harus dilakukan dengan peningkatan kualifikasi guru. Dalam
rangka upaya ini pemerintah telah menerbitkan Undang-undang nomor 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen, yang khusus mengatur tentang kualifikasi,
kompetensi dan sertifikasi guru.232
Dengan kekuatan hukum ini diharapkan akan muncul guru-guru
profesional yang kreatif mencari strategi dan pendekatan baru dalam
pembelajaran. Pencarian pendekatan dan strategi inilah yang menimbulkan

231
Suyanto & Djihad Hisyam, Refleksi....., 19.
232
Peraturan ini terdapat pada Bab IV Pasal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13. Lihat: Direktorat
Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang......, 88-89.

187
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

berbagai macam inovasi dalam pembelajaran. Diantara inovasi itu adalah adanya
kecenderungan untuk mengedapkan pembelajaran yang berorientasi kepada
peserta didik, dengan indikator keberhasilan terletak pada kesejahteraan anak
didik. Anak didik sejahtera jika aktivitas belajarnya menyenangkan dan
menggairahkan. Model pembelajaran seperti ini antara lain: humanizing of the
classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the
accelerated learning.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah
yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus
asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi
di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh
John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal:(1) menyadari diri sebagai suatu
proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, (2) mengenali konsep
dan identitas diri, dan (3) menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan
yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting
pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.233
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan
konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar
membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan
belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka
mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan
apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat
lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara
mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham,
dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh

233
Abd. Rachman Assegaf, dkk, ”Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan”
dalam: http//: www.ditpertais.net, tanggal 2 Maret 2002.

188
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus
adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat,
menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi
pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi
pembelajaran.234
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam
interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik
pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode
tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu
menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat
loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar
yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu
konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru
akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang
monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira
dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan
kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem
perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode
penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu
yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas
utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia
mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang
melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh)
di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa

234
Hisyam Zaini, dkk, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD
IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 112.

189
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga


mencapai harmoni (diorkestrasi).235
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat.
Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung
secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier
menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan
Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai
learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan
mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar
dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning
by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan
melakukan refleksi). Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan
upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai
persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran
fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk
menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.236
Berbagai inovasi di atas dilakukan dengan tujuan agar pendidikan dapat
berdaya guna dan berhasil guna. Akan tetapi dalam pelaksanaan inovasi itu sendiri
ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut;
1. Inovasi yang dilakukan harus sesuai dengan karakteristik peserta didik
sehingga mempunyai implikasi positif bagi kemudahan belajar peserta
didik.
2. Tidak ada satu inovasi pun yang bisa dianggap paling benar sepanjang
belum dapat dibuktikan efektifitas dan efisiensinya terhadap hasil belajar
yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan peserta dididk dalam kurun

235
Luk-luk Nur Mufidah, “Pembelajaran Kuantum.......
236
Abd. Rachman Assegaf, dkk, ”Kondisi.........

190
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
waktu tertentu. Oleh karena itu setiap inovasi harus terus dilaksanakan
sampai berhasil.
3. Inovasi selalu diwarnai dengan ketidakpastian mengenai efektifitasnya
terhadap kualitas pembelajaran. Oleh karena itu perlu disadarai bahwa
inovasi yang berhasil di suatu tempat belum tentu berhasil di tempat lain.
4. Inovasi dalam pembelajaran dapat dilaksanakan baik pada sektor
pendidikan formal, nonformal maupun informal pada segala macam
bentuk jalur dan jenjang pendidikan yang terkait dengan berbagai bidang
kehidupan.

D. Penutup
Inovasi pendidikan merupakan proses yang akan terus terjadi karena
didorong oleh adanya faktor luar dan faktor dari dalam diri manusia sendiri serta
adanya interaksi antara keduanya. Faktor dari dalam diri misalnya keinginan dan
kebutuhan serta adanya potensi untuk meningkatkan dan memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sedang faktor luar adalah perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungan kehidupan manusia sendiri. Interaksi antara faktor dari luar dan dari
dalam ini meyebabkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta adanya inovasi yang tiada henti. Dikarenakan pendidikan merupakan sarana
untuk membentuk manusia menjadi pribadi unggul yang siap menghadapi
tantangan zaman, maka pendidikan juga harus siap merespon segala perubahan
zaman itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa inovasi dalam dunia
pendidikan merupakan sebuah keharusan.

191
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

DAFTAR PUSTAKA

Ashby, Aric. The Fourth Revolution, Instructional Technology in Higher


Education. New York: Carnegie Commision in Higher Education, 1972.

Assegaf, Abd. Rachman, dkk, ”Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam


Pendidikan” dalam: http//: www.ditpertais.net, tanggal 2 Maret 2002.

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia. Jakarta: Prenada media, 2004.

Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI.

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentag Pendidikan.Jakarta: DEPAG RI,


2006.

Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya


dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. 2003

Nur Mufidah, Luk-luk, “Pembelajaran Kuantum yang Menyenangkan”, dalam


http: //pakb.wordpress (2 April 2008)

Saylor, Galen J and Alexander M. William. Curriculum Planing for Better


Teaching and Learning, New York: Holt, Rinchat, 1960.

Suyanto & Djihad Hisyam. Refleksi dan reformasi Pendidikan di Indonesia


Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita KaryaNusantara, 2000.

Warsita, Bambang. Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya. Jakarta:


Rineka Cipta, 2008.

Wicaksono, Rohadi. ”Mengapa Harus Konstruktivistik”, dalam


http//www.artikelpendidikan.com (19 Juli 2007).

Zaini, Hisyam, dkk, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:


CTSD IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

192
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

BENTUK PERANAN GURU DALAM


MEMBERIKAN PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN

Sophia Azhar237
Fakultas Tarbiyah & Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Abstract
Indonesia, as many experts mention, has interminable problems of
leadership. As a country in which Muslims are the majority, everyone
should realize that all are born as a leader who shall have the
responsibility upon people’s welfare. But in reality, Indonesians are
not wellbeing physically or spiritually. It absolutely defines that a
leader should possess leadership knowledge to lead people, not only
depend on the God’s will solely. A leader is not an innate. For this
purpose, teachers have the responsibility and important role to
succeed the educational leadership as earlier as possible. This article
is a descriptive discussion which is aimed at describing the roles of
teacher as motivator, leader, problem solver and students’ ally in
modeling the leadership. The discussion shows that all the four roles of
teachers give positive effect in gaining the learning objectives of
educational leadership.

Keywords: motivator, leader, problem solver, educational leadership

Pendahuluan
Permasalahan yang terus dirasakan oleh masyarakat Indonesia
dalam kehidupan berbangsa seperti tidak berkesudahan baik dalam hal
politik, ekonomi, budaya, sosial dan bahkan dalam hal kehidupan
beragama.Semua masalah tersebut seperti gelombang laut yang datang
saling bergantian dan kadang bersamaan menerpa semua aspek

237
Penulis adalah dosen tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar,
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

193
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

kehidupan.Masalah seakan-akan adalah suatu keharusan yang mesti hadir


dalam keseharian sebagai sebuah identitas dari sebuah bangsa besar yang
bermasalah.
Banyak pakar dan para ahli yang sudah mencoba memberikan
solusi terhadap berbagai masalah negeri ini, dan kedepan dipastikan akan
terus lebih banyak lagi yang pada akhirnya banyak diantara mereka
berpendapat bahwa permasalahan tersebut berhulu kepada permasalahan
tentang kepemimpinan. Pemimpin yang tangguh diyakini akan menjadi
problem solver yang hebat bagi semua permasalahan yang ada di bangsa
ini.
Indonesia mengalami krisis akan kepemimpinan, padahal sebagai
bangsa yang beragama dan mayoritasnya penduduknya beragama Islam,
kepemimpinan diyakini sebagai sebuah kodrat yang sudah menyatu
kedalam kehidupan manusia semenjak manusia tersebut dilahirkan. Allah
SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
ۡ َ َ ْ ٓ ُ َ َۖ ٗ َ َ ِ َ ۡ
َ ‫ت َع ُل ف‬
ُ ‫ِيها َمن ُي ۡف‬ ٞ ِ َ ٰٓ َ ۡ َ َ َ ۡ
َ ِ‫سِد ف‬
‫يها‬ ‫ِإَوذ قال َر ُّبك ل ِل َملئِكةِ إ ِ ِّن َجاعِل ِِف ٱۡلۡرض خل ِيفة قالوا أ‬

َ َ َ َ َ ۡ َ ِٓ َ َ َ َ ُ ِ َُ َ َ ۡ َ ُ ِ َُ ُ َۡ َ َٓ َ ِ ُ َۡ َ
‫ّن أعل ُم َما َل ت ۡعل ُمون‬ ِ ِ ‫ويسفِك ٱدلِماء وَنن نسبِح ِِبمدِك ونقدِس لك َۖ قال إ‬

Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamuketahui.”

Jelaslah, bahwa ayat ini menjelaskan bahwa setiap manusia


terlahir sebagai pemimpin dimana dalam kaitannya sebagai makhluk sosial,
sebagai pemimpin, manusia tentunya harus dapat mensejahterakan manusia
yang lain. Namun demikian, ketegasan ayat ini sepertinya belum mampu

194
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
dimanifestasikan secara nyata oleh para pemimpin Indonesia saat ini,
sehingga segala bentuk permasalahan seperti yang disampaikan diatas
masih saja membelenggu masyarakat Indonesia.Padahal Hadis daripada Ibnu
Amr R.A , Rasulullah SAW bersabda:
"Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan
dipertanggungjawabkan atas kepimpinannya." (Hadis Muttafaq Alaih)

Jadi kepemimpinan dalam Islam adalah sebuah amanah yang akan


menetukan derajat seseorang disisi Allah SWT dan akan dimintai
pertanggung jawabannya. Dengan demikian, siapapun yang menjadi
pemimpin di Indonesia tentu diyakini telah menyadari tentang hal ini,
sehingga dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin harusnya selalu
menjauhkan masyarakat dari segala bentuk permasalahan. Namun
kenyataannya, setelah lebih kurang 71 tahun lepas dari masa penjajahan
yang menyengsarakan, masyarakat Indonesia masih harus menerima
kenyataan bahwa para pemimpin belum mampu membuat mereka dapat
menikmati kemerdekaan itu dalam arti yang sesungguhnya yaitu sejahtera
lahir dan batin, walaupun pemimpin di negeri ini telah berganti dari wakt
ke waktu. Allah SWT berfirman dalam Surat Yunus ayat 14 sebagai
berikut:
َ ُ َ َ َ ُ َۡ َ ٰٓ َ ُ َٰ َ ۡ َ َ َّ ُ
ِ ‫ك ۡم َخلئِف ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض ِم ۢن َب ۡع ِده ِۡم ِلَنظ َر ك ۡيف ت ۡع َملون‬ ‫ثم جعلن‬

Artinya :
“Kemudian Kami jadikan kamu (Wahai umat Muhammad) khalifah-
khalifah di bumi menggantikan mereka yang telah dibinasakan itu,
supaya Kami melihat apa pula corak dan bentuk kelakuan yang kamu
akan lakukan.”

Jadi, berdasarkan firman tersebut, dapatlah dipahami bahwa


siapapun yang menjadi pemimpin untuk menggantikan kepemimpinan yang
telah berjalan, tetaplah dituntut bertanggung jawab dalam menjalankan
amanahnya sebagai pemimpin untuk mensejahterakan masyarakat
Indonesia lahir dan batin, tanpa harus menyalahkan keadaan ataupun orang
lain, apalagi menyalahkan pemimpin yang sebelumnya.

195
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Melihat kepada apa yang sudah disampaikan di atas dan kembali


kepada kenyataan yang memperlihatkan bahwa kehidupan masyarakat
Indonesia yang mayoritas belum sejahtera, maka tidaklah salah bila krisis
kepemimpinan memang menjadi suatu masalah yang harus diatasi sesegera
mungkin. Manusia Indonesia memang terlahir sebagai pemimpin, tetapi
kodrat sebagai pemimpin saja terbukti tidak cukup untuk bisa memimpin
Indonesia yang luas dan memiliki ratusan juta penduduk ini. Oleh karena
itu, kepemimpinan haruslah diasah dan untuk mengasahnya memerlukan
ilmu khususnya ilmu sebagai pemimpin.
Mengasah ilmu kepemimpinan kepada seseorang tentu sebaiknya
dimulai sedini mungkin yaitu ketika usia masih belia sehingga kharakter
kepemimpinan yang di inginkan bisa terbentuk dan terpatri sedari awal dan
bisa di implementasikan dalam perjalanan hidup yang dilalui pada segala
kesempatan dan profesi yang dimiliki. Oleh sebab itu, peranan guru sedari
awal untuk mencapai tujuan ini tentulah sangat menetukan. Gurulah yang
meletakkan dasar-dasar bangunan kepemimpinan pada manusia Indonesia,
karenanya, di era globalisasi, khususnya di masa kesepakatan Masyarakat
Ekonomi Asean sudah diberlakukan, guru tidak lagi dituntut sekedar
menjalankan profesi sebagai pendidik dan pengajar tetapi jauh dari pada itu
guru harus bisa menjalankan berbagai peranan yang dapat menunjang
keberhasilan siswa dalam berbagai aspek termasuk aspek kepemimpinan.
Berdasarkan gejala dan permasalahan yang disampaikan di atas,
pada tulisan ini penulis ingin menyampaikan tentang 4 bentuk peranan
yang dapat dilakukan oleh guru dalam memberikan pendidikan
kepemimpinan bagi siswa, yaitu: (1) guru sebagai motivator; (2) guru
sebagai pemimpin; (3) guru sebagai problem solver; dan (4) guru sebagai
sahabat siswa. Rumusan masalah yang penulis angkat dalam penulisan ini
adalah bagaimana bentuk peranan guru sebagai motivator, pemimpin,
problem solver dan sahabat siswa dalam memberikan pendidikan

196
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
kepemimpinan kepada siswa.
Tulisan ini bermanfaat untuk bertambahnya pengetahuan dan
wawasan guru, praktisi dan pemerhati pendidikan tentang peranan guru
dalam memberi pendidikan kepemimpinan. Tumbuhnya motivasi dan
inisiatif guru dalam meningkatkan keterampilan mengajar pendidikan
kepemimpinan.

Pembahasan
1. Guru sebagai Motivator
Banyak cara yang bisa diterapkan guru dalam memberikan
pendidikan kepemimpinan kepada siswa. Namun demikian, apapun cara
yang dipakai, satu hal yang harus dipastikan adalah bahwa materi yang
disampaikan tersebut bisa diterima dan dimengerti oleh siswa dengan baik,
tidak membuat mereka kehilangan semangat belajar, mengantuk atau
kehilangan tujuan pembelajarannya. Oleh sebab itu, cara mengajar tersebut
haruslah menimbulkan motivasi dan minat yang tinggi dari siswa. Sebagai
motivator, guru dituntut menjadi peribadi yang menyenangkan,
mengembirakan, menghibur, bisa mengendalikan dan melarutkan emosi
siswa dalam pendidikan kepemimpinan yang disampaikannya.

Tidaklah sulit sesungguhnya menjadi guru yang motivator bagi


siswa, karena pada dasarnya setiap orang adalah motivator terbaik bagi
dirinya sendiri, dan selanjutnya tinggal menularkannya kepada orang lain
(baca: siswa) dengan baik pula. Berikut adalah syarat guru sebagai
motivator dalam memberikan pendidikan kepemimpinan (Hendra Riofita,
2014):

a. Memperhatikan Penampilan
Guru sebaiknya menyesuaikan penampilannya dengan siswa.
Sebagai seorang motivator, menempatkan penampilan yang sesuai dengan
siswa adalah sebuah keharusan bagi guru. Penampilan yang tepat akan
menunjang keyakinan para siswa terhadap pendidikan kepemimpinan yang

197
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

diberikan. Walau bagaimanapun, kesan pertama yang menggoda dari


seorang guru bisa didapatkan siswa dari penampilan guru tersebut. Akan
sangat sulit bagi siswa menerima input tentang pendidikan kepemimpinan
dari guru yang penampilannya tidak meyakinkan, sekalipun input itu
sesungguhnya sangat berharga.
b. Dikenal dan Disukai Siswa
Mengacu pada konteks public relations, ada tiga tipe siswa yang
ditemui guru dalam kegiatan belajar mengajarnya, yaitu 1). siswa yang
kenal guru dan menyukai guru tersebut; 2). siswa yang kenal guru tapi
tidak menyukai guru tersebut; dan 3). siswa yang tidak kenal guru sehingga
tidak peduli dengan guru tersebut. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
singkat, diawal pembelajaran tentang pendidikan kepemimpinan, guru
sebaiknya membuat ice breakingyang berkaitan tentang pendidikan
kepemimpinan tersebut namun sekaligus bisa menyatukan dirinya dengan
siswa, dan membuat mereka semua suka kepada dirinya. Jangan pernah
berharap siswa akan bisa termotivasi belajar dengan guru yang tidak
disukai atau yang tidak dipedulikan.

Oleh sebab itu, permainan-permainan komunikatif atau cerita-


cerita motivasi berikut brain storming yang diarahkan penekananannya
pada materi kepemimpinan yang akan diberikan, adalah langkah-langkah
ice breaking yang bisa dilakukan oleh guru untuk menonjolkan
performancenya membuat dikenal dan disukai oleh siswa.
c. Berkomunikasi Efektif
Komunikasi adalah sarana yang dipakai oleh guru dalam
memberikan pendidikan kepemimpinan kepada siswa.Semua orang bisa
berkomunikasi tapi tidak semua orang bisa berkomunikasi efektif sehingga
bisa diterima oleh lawan bicaranya. Oleh sebab itu, sebagai orang yang
akan memberikan pendidikan kepemimpinan, guru sebaiknya menguasai
teknik berkomunikasi yang efektif agar mampu menemukan persamaan

198
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
makna dengan siswa, yaitu memastikan bahwa segala materi yang
disampaikannya bisa dengan gamblang dan mudah untuk diterima dan
dimengerti. Untuk itu, sebelum menyampaikan materi pengajaran, guru
sebaiknya terlebih dahulu mengatasi faktor-faktor hambatan yang bisa
mengganggu komunikasi efektifnya dengan siswa. Faktor hambatan
tersebut di antaranya adalah:
1. Usia
Karena siswa yang belajar usianya lebih muda daripada usia guru,
sebaiknya guru menggunakan komunikasi dengan kosa kata dan intonasi
yang mengayomi dan menyayangi.
2. Jeniskelamin
Bila berbicara kepada siswa wanita, guru sebaiknya menyentuh hatinya
dan sebaliknya bila berbicara dengan siswa pria, guru sebaiknya
menyentuh logikanya. Dengan demikian, sudah tidak saatnya lagi guru
memandang sama antara siswa perempuan dan pria ketika melakukan
komunikasi dengan mereka.
3. Faktor budaya
Adalah hal yang baik bagi guru untuk mengenal budaya siswa, karena
berkomunikasi dengan siswadari budaya/etnis A tentu akan berbeda
dengan siswadari budaya/etnis B. Oleh sebab itu, kemauan guru untuk
mempelajari latar belakang budaya/etnis tertentu akan memudahkannya
berkomunikasi efektif dengan siswa.
4. Waktu
Sebaiknya guru juga memperhatikan waktu ketika terjadinya komunikasi.
Komunikasi yang dilakukan di pagi hari yang masih segar tentu akan
berbeda caranya dengan komunikasi yang dilakukan di siang hari yang
bernuansa lapar dan mengantuk, dimana siswa sebaiknya lebih banyak
disegarkan dengan kegiatan-kegiatan aplikatif dan komunikatif tentang
kepemimpinan daripada mendengarkan ceramah. Karena itu, kemampuan
dalam menimbang waktu, akan membantu guru untuk bisa berkomunikasi
efektif dengansiswa.

199
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Bila faktor-faktor yang menghambat untuk terjadinya komunikasi


efektif dalam penyampaian pendidikan kepemimpinan dengan siswa di atas
bisa diatasi, maka selanjutnya guru berkomunikasi sebagai motivator dalam
memberikan materi pendidikan kepemimpinan kepada siswa. Adapun
teknik komunikasi sebagai motivator tersebut menurut Hendra Riofita
(2014) adalah sebagai berikut:
1. Dapatkan perhatian siswa untuk pendidikan kepemimpinan yang
diberikan Menggunakan yel-yel atau kata-kata yang menyemangatkan
adalah cara yang bisa dilakukan guru untuk mendapatkan perhatian
sekaligus menyemangati siswa. Disampingitu, menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan tentang kepemimpinan yang dapat mengundang
rasa ingin tahu lebih mendalam dari siswa, juga dapat dilakukan untuk
mendapatkan perhatian mereka tentang materi pendidikan kepemimpinan
yang akan didiberikan.
2. Dapatkan ketertarikan siswa untuk pendidikan kepemimpin yang
diberikan Setelah perhatian siswa didapatkan, rubahlah perhatian mereka
tersebut menjadi ketertarikan terhadap pendidikan kepemimpinan yang
diberikan. Menggunakan alat peraga, memainkan permainan yang
komunikatif atau menampilkan cerita-cerita kepemimpinan yang juga
komunikatif berikut brain stormingnya adalah langkah-langkah yang bisa
dilakukan guru untuk mendapatkan ketertarikan siswa. Bila ketertarikan
siswa ini sejatinya sudah didapatkan, maka tugas guru selanjutnya adalah
melanjutkan konsistensinya dalam menjaga ketertarikan mereka melalui
kegiatan belajar mengajar yang mengedepankan learning by doing dan
learning by experience dengan pendekatan kedewasaan yang
menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran
tentang pendidikan kepemimpinan tersebut.
3. Buat siswa berhasrat untuk mendalami materi tentang
pendidikan kepemimpinan. Setelah guru berhasil mendapatkan ketertarikan

200
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
siswa dalam belajar pendidikan kepemimpinan, guru selanjutnya harus dapat
meningkatkan ketertarikan mereka tersebut menjadi sebuah hasrat untuk
mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada yang sudah dibahas. Hal ini
dapat dilakukan dengan memancing mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pendapat-pendapat yang lebih mendalam tentang materi
pendidikan kepemimpinan.Semakin banyak pertanyaan atau pendapat yang
muncul, bisa dipastikan bahwa siswa sangat berhasrat untuk tahu tentang materi
pendidikan kepemimpinan tersebut.
4. Arahkan siswa untuk melakukan tindakan sesuai dengan materi
pendidikan kepemimpinan yang disampaikan. Sebagai motivator, guru harus
dapat mengarahkan dan menggairahkan siswa untuk melakukan berbagai
tindakan praktis yang berkaitan dengan materi pendidikan kepemimpinan yang
sudah diberikan. Jika langkah pertama, kedua dan ketiga di atas sudah
dilakukan dengan baik, maka langkah terakhir ini adalah langkah pembuktian
keberhasilan seorang guru dalam menyampaikan materi tentang pendidikan
kepemimpinan.

Setelah syarat dan teknik komunikasi sebagai motivator terpenuhi,


guru harus memperhatikan secara khusus tentang materi pendidikan
kepemimpinan yang sesuai dan dibutuhkan oleh siswa. Materi pendidikan
kepemimpinan tersebut harus mampu memotivasi siswa untuk bisa berubah
secara pola pikir, tingkah laku dan sikap mental yang sejalan dengan
standar kompetensi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi
tujuan pengajaran pendidikan kepemimpinan.
Guru harus menempatkan diri sebagai penyedia fasilitas dan
kesempatan untuk terjadinya perubahan tersebut dengan mengemas materi-
materi inspiratif dari awal sampai dengan akhir pembelajaran. Oleh sebab
itu, guru harus bisa membuat siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar
sehingga dari aktivitas yang mereka lakukan, guru dapat mengetahui
kharakter mana yang bisa berubah, sedang berubah atau tidak bisa berubah
untuk kemudian diambil tindakan tersendiri sebagai langkah lanjutan dari
hasil proses belajar mengajar tentang pendidikan kepemimpinan tersebut.

201
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Sebagai motivator bagi siswa dalam belajar pendidikan


kepemimpinan, guru harus menjadi model untuk apa yang disampaikannya.
Guru dituntut harus bisa memberikan bukti-bukti dan contoh-contoh
konkrit terhadap apa yang disampaikannya guna menumbuhkan
kepercayaan dan motivasi siswa.
Disamping itu, sebagai wujud dari pendekatan kedewasaan, guru
juga tidak boleh menempatkan dirinya sebagai orang yang lebih pintar dari
siswa, agar mereka bisa lebih terbuka kepadanya. Keterbukaan siswa akan
memudahkan guru untuk memberikan input pengajaran kepada mereka.
Terakhir, sebagai motivator, guru benar-benar harus
mengedepankan kemauan (bukan kemampuan) untuk menularkan materi
pendidikan kepemimpinan yang diajarkannya kepada siswa sehingga apa
dan bagaimanapun kondisi siswa yang dihadapi, guru tetap bertanggung
jawab penuh untuk bisa membuat mereka berubah sesuai dengan tujuan
dan kompetensi pembelajaran pendidikan kepemimpinan.
2. Guru sebagai Pemimpin
Untuk memberikan pendidikan kepemimpinan, guru sendiri
tentunya haruslah bersikap dan bertindak sebagai pemimpin ketika
memberikan pendidikan kepemimpinan tersebut. Ada banyak alasan yang
membuat guru dikatakan sebagai pemimpin didalam kelas dan salah
satunya adalah karena guru berperan sebagai dirigen di depan kelas yang
mengarahkan dan menuntun siswa mencapai tujuan pembelajaran
pendidikan kepemimpinan yang telah ditetapkan. Sebagai pemimpin, guru
harus dapat menggugah dan menginspirasi siswa untuk mencapai
kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan dibidang kepemimpinan.

Oleh sebab itu, guru merupakan sosok yang digugu dan ditiru alias
menjadi suri tauladan bagi para siswanya, sehingga tidak difungsikan untuk
mengubah siswa, tapi lebih cocok sebagai agent of change, agar siswa bisa
mengubah diri mereka sendiri sebagai akibat dari keteladanan yang telah

202
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
diberikan.

Selanjutnya, sebagai pemimpin, guru meminimalkan aktivitasnya


di dalam kelas dan membuat siswa proaktif dalam mengekspresikan
penguasaan mereka terhadap pelajaran mengenai pendidikan
kepemimpinan. Guru sejatinya hanya sebagai fasilitator yang bertanggung
jawab penuh dalam mengawal aktivitas para siswa untuk kemudian
memberikan penilaian yang autentik semenjak proses belajar mengajar
dimulai, agar setiap langkah dalam pencapaian tujuan bisa diukur dengan
cermat.

Ada beberapa sifat yang harus dipenuhi oleh guru untuk menjadi
pemimpin yang dapat memfasilitasi dan menginspirasi para siswa untuk
belajar materi pendidikan kepemimpinan (Hendra Riofita, 2014), yaitu:
a. Visioner
Guru dengan visi yang hebat akan memiliki komitmen dan rasa percaya
diri yang tinggi dalam mengemban misi pembelajaran pendidikan
kepemimpinan didalam kelas dan sekaligus akan mampu
mengidentifikasi arah dan tujuan pembelajaran pendidikan kepemimpinan
yang tepat, sehingga selalu bisa fokus dalam pencapaian hasil.
Selanjutnya, karena guru merupakan sumber keteladanan bagi siswa
untuk berubah, maka guru yang visioner pastinya memiliki kompetensi
sikap, pengetahuan dan keterampilan yang tepat dalam pelajaran
pendidikan kepemimpinan yang diampunya. Oleh sebab itu, guru yang
kompeten, sudah pasti akan menjadi model yang sesuai bagi para siswa
untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan mereka.
b. Tangguh
Guru harus memiliki kepribadian pemimpin yang tangguh dan memiliki
semangat yang tidak pernah menyerah dalam menularkan keberhasilan
bagi siswa. Hal ini bisa dibuktikan dengan kecekatan guru dalam
mengambil tindakan.Oleh karena itu, dengan tindakan dan pemikiran
yang akurat, guru semestinya selalu bisa mengendalikan dan menciptakan

203
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

situasi yang tepat bagi para siswa dalam belajar pendidikan


kepemimpinan.
c. Batukarang
Guru adalah sosok yang tegar dan sabar seperti batu karang, sehingga bisa
menyikapi setiap kesulitan yang ditemuinya sebagai sebuah peluang
dalam memberikan pendidikan kepemimpinan. Dengan demikian, guru
tidak hanya harus sanggup bertahan dalam setiap kesulitan, tapi juga
harus bisa mengatasinya dengan baik agar pekerjaannya sebagai pendidik
bisa dituntaskan. Untuk hal ini, tentu saja sikap yang bersungguh-
sungguh dan penuh cinta terhadap pekerjaan merupakan hal konkret yang
harus dimiliki oleh guru.
d. Rendah hati
Guru tidak membuat murid minder untuk bertukar pikiran tentang
pendidikan kepemimpinan yang diberikannya. Agar hal ini bisa dengan
mudah diwujudkan, sebaiknya guru tidak lagi menempatkan siswasebagai
orang yang memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang lebih
rendah daripada yang dimilikinya, tetapi justru menempatkan mereka
sebagai mitra yang sejajar dalam berdiskusi dan bertukarfikiran.

Pembelajaran pendidikan kepemimpinan yang tepat, sehingga selalu bisa


fokus dalam pencapaian hasil. Selanjutnya, karena guru merupakan
sumber keteladanan bagi siswa untuk berubah, maka guru yang visioner
pastinya memiliki kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
tepat dalam pelajaran pendidikan kepemimpinan yang diampunya. Oleh
sebab itu, guru yang kompeten, sudah pasti akan menjadi model
yangsesuai bagi para siswa untuk meningkatkan kompetensi
kepemimpinan mereka.

e. Pembaca Berita di Televisi.


Guru sebaiknya bisa seperti pembaca berita di televisi yang yang bisa
menyampaikan banyak pesan secara jelas kepada siapapun. Karena itu,

204
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
selain mengasah kemampuan berkomunikasi yang efektif, guru juga
dituntut untuk bisa memiliki banyak wawasan, pengetahuan dan gagasan
tentang pendidikan kepemimpinan. Disamping itu, seperti pembaca berita
di televisi, guru sebaiknya juga mengemas diri dan dan materi pendidikan
kepemimpinannya dengan menarik pula. Guru dengan materi pelajaran
yang tidak menarik akan dengan mudah membuat siswa bosan, dan
kebosanan itu tentu akan mendekatkan siswa padakegagalan.
f. Komputer
Guru harus seperti komputer yang memiliki kemampuan berfikir yang
cepat dan tepat agar segala permasalahan yang muncul dalam
memberikan pendidikan kepemimpinan dapat diselesaikan dengan cepat
dan tepat pula.
g. Palangmerah
Guru harus bisa juga seperti palang merang merah yang selalu siap hadir
membantu siswa keluar dari setiap kerumitan dan permasalahan yang
dihadapi dalam mengikuti pendidikan kepemimpinan.
h. Kembangapi
Guru harus bertindak seperti kembang api yang bersinar terang benderang
di kegelapan malam ketika mengajarkan materi pendidikan
kepemimpinan agar kebahagian dan keceriaan bisa ditaburkan kepada
siswa sepanjang proses pembelajaran.
i. Salesman
Guru harus bisa menjadi salesman yang selalu menawarkan ide dan
gagasan yang cemerlang ketika memberikan pendidikan kepemimpinan
kepada siswa.
j. Semut
Guru harus bisa menjadi seperti seekor semut dalam hal kekompakan dan
kerjasama, artinya, guru harus bisa menciptakan kerjasama dan iklim
interaksi yang kompak dengan siswa ketika memberikan pendidikan
kepemimpinan.

205
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Guru dituntut memikliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam


menjalankan aktivitas-aktivitasnya sebagai pengajar untuk materi
pendidikan kepemimpinan karena guru yang kreatif dan inovatif akan
selalu memunculkan nuansa baru yang menyegarkan sehingga
penyampaian materi pendidikan kepemimpinan tersebut menjadi tidak
membosankan bagisiswa.
k. Pelayan
Guru harus bertindak sebagai pelayan yang prima bagi para siswanya
dalam mempelajari materi pendidikan kepemimpinan yang diberikan agar
segala kebutuhan dan kesulitan siswa dalam belajar tersebut bisa
difasilitasi dengan baik.

3. Guru sebagai Problem Solver


Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang pendahuluan,
semua manusia tanpa terkecuali termasuk para siswa di sekolah terlahir
sebagai pemimpin. Sayangnya potensi mereka sebagai pemimpin tersebut
tanpa disadari sering tenggelam akibat pengaruh pengaruh lingkungan.
Lingkungan yang tidak tepat, sering membuat para siswa terperangkap
dalam permasalahan yang bila tidak diatasi sedari awal, tidak hanya akan
membunuh potensi kepemimpinan mereka, tapi lebih jauh dari pada itu,
juga dapat menjadikan pribadi mereka menjadi pribadi yang tidak
mumpuni bagi masa depan bangsa.

Oleh sebab itu, sekolah sebagai salah satu lingkungan utama yang
memainkan peranan dalam manjaga, menumbuhkan dan mengembangkan
potensi kepemimpinan tersebut, sebaiknya selalu memacu siswa dalam
mengembangkan potensi kepemimpinan mereka melalui proses belajar
mengajar di dalam kelas yang diampu oleh para guru. Guru harus
berkelanjutan membentuk dan membangun kharakter kepemimpinan
tersebut dengan menciptakan pribadi-pribadi yang kritis dan kreatif melalui

206
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
pelajaran-pelajaran pendidikan kepemimpinan yang mengedepankan
problem solving, seperti studi kasus, diskusi, debat, dan brain storming.
Dengan demikian, bila penguasaan pelajaran pendidikan kepemimpinan
didapatkan melalui problem solving, maka setuju atau tidak, gurupun
dituntut untuk berperan sebagai problem solver yang membantu siswa
untuk menguasai dan mengimplementasikan hasil dari pelajaran pendidikan
kepemimpinan yangdiberikan.

Karakter yang seharusnya melekat pada para siswa, dengan


kharakter yang sedang mereka jalani, karena pada hakekatnya, kharakter
yang ada dan yang sedang mereka jalani belum tentu pantas untuk
pekembangan dan kebaikan mereka sebagai pemimpin dimasa depan. Oleh
karena itu, sebagai problem solver, dalam authentic assessment yang
dipedomani dari kurikulum 2013, guru tidak akan mencari benar atau salah
terhadap sikap perilaku siswa, tapi akan menilai dan mengarahkan sikap
dan perilaku mana yang seharusnya menjadi karakter kepemimpinan
mereka.

Jelaslah sekarang, menjadi problem solver bukanlah sebuah


keharusan tapi kewajiban yang seharusnya sudah melekat pada identitas
diri seorang guru. Menjadi problem solver tentu membutuhkan
keterampilan tersendiri yang terkadang tidak harus di dapat dari forum-
forum formal tapi juga bisa didapat dari forum-forum non formal. Tindakan
mengamati perilaku dan tingkah laku para pemimpin, para senior (termasuk
guru senior dan kepala sekolah) atau orangtua di rumah, untuk kemudian
berkeinginan mempelajari segala hal-hal positif dari mereka (terutama
dalam hal-hal yang berkaitan dengan problem solver) adalah cara mudah
dan bermanfaat bagi seorang guru dalam menjadi problem solver untuk
para siswanya. Semua permasalahan besar dan kecil, yang terjadi di
lingkungan dan kehidupan yang dijalani, adalah ajang latihan yang tepat
bagi guru untuk belajar dan berlatih menjadi problem solver yang handal.

Salah dalam menentukan dan mendefinisikan permasalahan tentu

207
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

akan salah dalam memberikan solusi. Bila hal ini terjadi, selain masalah
siswa tidak akan pernah terpecahkan, juga akan bisa menimbulkan
permasalahan yang baru bagi siswa atau bahkan bagi guru sendiri. Karena
itu, pendekatan yang tidak reaktif terhadap penyelesaian masalah, teruslah
dikembangkan seiring peningkatan kedewasaan yang mengikuti
pertambahan usia guru. Jika diperlukan, tidak ada salahnya bila guru
menuliskan secara rinci tentangbeberapa rumusan dan ruang lingkup dari
permasalahan yang akan diselesaikan.
a. Bangunlah kesepakatan dengan pihak-pihak yang dipandang harus terlibat
dalam penyelesaian masalah siswa tentang pendidikan kepemimpinan.
Berperan seperti layaknya seorang dokter yang mendapatkan kepercayaan
penuh untuk menyembuhkan pasien, tentu menjadi tugas utama guru agar
legitimasi dalam menyelesaikan masalah tidak mendapatkan resistensi.
Jika dipandang perlu, maka ajaklah para pihak tersebut untuk ikut aktif
dalam menyelesaikan masalah melalui pembagian peranan, agar
dukungan yang didapat dari mereka nyataadanya.
b. Buatlah rencana pemecahan masalah tentang pendidikan kepemimpinan
dengan berbagai macam alternatifnya. Semakin berat permasalahan siswa
yang akan dipecahkan, tentu harus semakin bijak dalam menyusun langkah-
langkah solusi bagi setiap alternatif tersebut. Terhadap alternatif-alternatif yang
disusun, sebaiknya guru mendasarkannnya pada tingkat resiko yang akan
diambil, biaya yang akan dikeluarkan, waktu yang akan diperlukan dan hal-hal
penting yang lainnya.

c. Melakukan simulasi terhadap semua alternatif solusi yang sudah dibuat,


agar tingkat keberhasilan dari solusi yang dipilih benar-benar bisa
meminimalkan atau menghilangkan resiko, berbiaya murah baik secara materi
maupun non materi, tidak menghabiskan energi, dan yang pasti, solusi itu tepat
dan tidak mendatangkan masalah yang baru, maka guru sebaiknya melakukan
simulasi terhadap semua alternatif solusi mengenai permasalahan siswa tentang
pendidikan kepemimpinan.

208
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
d. Tentukan solusi dan segera untuk mengimplementasikannya dalam
memberikan pendidikan kepemimpinan. Keberhasilan solusi tidak bisa
diharapkan terjadi begitu saja, tapi harus diukur efektifitasnya pada setiap
langkah yang dilakukan. Karena itu, kemauan semua pihak yang memegang
peranan dalam penyelesaian masalah untuk melakukan pengendalian terhadap
apa yang dilakukan, merupakan sebuah keharusan. Jadi, semakin banyak pihak
yang diberi peranan oleh guru dalam penyelesaian masalah tersebut, maka
semakin banyak pulalah pihak-pihak yang harus dipantau dan dinilai oleh guru
tentang keefektifan langkah mereka.
e. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Guru adalah tempat
bergantungnya para siswa untuk meraih masa depan mereka sebagai pemimpin
yang cemerlang dan gemilang bagi kepentingan nusa, bangsa dan agama. Adalah
kewajiban guru untuk menjadi problem solver bagi para siswanya dalam setiap
kondisi yang ada, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, hanya semangat yang tidak
pernah pudarlah yang akan membuat guru bisa menjadikan siswa lebih hebat
daripada dirinya, termasuk dalam hal menjadi problem solver.

4. Guru sebagai Sahabat Siswa

Sahabat adalah orang yang dengannya seseorang menjadi pribadi


yang memiliki arti dan tempat untuk saling berbagi.Dengan sahabat
seseorang memiliki kebebasan untuk berekspresi yang terkadang tidak
berbatas tapi mampu untuk saling memahami dan menghargai. Dengan
sahabat seseorang bisa menunjukkan jati diri yang sebenarnya tanpa
dikhawatirkan oleh hal-hal yang akan menjatuhkan integritas diri.
Ringkasnya, sahabat adalah orang terpercaya yang bisa memahami diri
seseorang apa adanya dalam segalasituasi.

Pada profesi apapun juga yang dilakoni, tidak terkecuali pada


profesi sebagai seorang guru, alangkah indah dan mudahnya hidup ini bila
bisa bersahabat dengan siapa saja termasuk dengan para siswa. Bersahabat
dengan para siswa tentu akan mampu membuat tujuan dari proses belajar
mengajar, termasuk tujuan dalam pemberian pendidikan kepemimpinan

209
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

yang dilakukan guru, akan menjadi lebih mudah untuk dicapai.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru


untuk bisa menjadi sahabat bagi para siswa dalam memberikan pendidikan
kepemimpinan (Hendra Riofita, 2014):
a. Mengenal kharaktersiswa

Siapapun orangnya, hanya bisa bersahabat dengan orang yang


dikenal dan bisa diterima kharakternya. Oleh sebab itu, bagi guru, berusaha
menjadi karakter yang dikenal dan disukai oleh siswa adalah sama
wajibnya dengan berusaha untuk mengenal dan menyukai karakter siswa
itu sendiri.

Dengan kata lain, hanya dengan saling mengenal karakterlah


jalinan interaksi ala orang bersahabat dapat dilakukan guru dengan siswa
sehingga penyampaian pendidikan kepemimpinan dapat dilakukan melalui
interaksi yang lebih mudah. Namun demikian, harus diakui bahwa dengan
latar belakang siswa yang tidak homogen, tentu tidak mudah bagi guru
untuk mengenal karakter siswa secara satu persatu. Oleh sebab itu,
penguasaan akan psikologi anak dalam pendidikan, mau tidak mau
seyogyanya haruslah dikuasai oleh guru dengan baik agar bisa memberikan
materi pendidikan kepemimpinan yang tepat dan sesuai bagi setiap
kharakter siswa.
b. Kemampuan berkomunikasi yangefektif

Seorang sahabat akan selalu didengar perkataannya, karena itu,


apapun yang dikatakan oleh seorang sahabat, akan selalu efektif untuk bisa
diterima. Hal ini disebabkan karena ketika menyampaikan sesuatu hal,
seorang sahabat selalu mengedepankan sisi empati dan simpati alias bisa
menempatkan diri pada posisi lawan bicaranya. Jadi, karena komunikasi
merupakan sarana bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa dalam
memberikan pendidikan kepemimpinan, sudah selayaknyalah guru juga

210
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
mengedepankan sisi empati dan simpati ketika berbicara kepada siswa,
tidak hanya ketika menyampaikan pendidikan kepemimpinan, tapi juga
ketika berbagi dan menggali potensi siswa mengenai kepemimpinan itu
sendiri, baik didalam maupun di luar kelas.

Oleh sebab itu, kemampuan guru untuk berkomunikasi yang


efektif layaknya seperti seorang sahabat yang berbicara, haruslah
dikedepankan agar makna kepemimpinan yang disampaikan bisa dengan
efektif diterima siswa. Semakin efektif cara guru berkomunikasi dengan
siswa, akan semakin mudah bagi guru untuk memahami kebutuhan siswa.
Semakin guru memahami kebutuhan siswa akan semakin mudah pula untuk
mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan pembelajaran pendidikan
kepemimpinan.
c. Membangun Kepercayaan.
Seorang sahabat selalu bisa dipercaya dan diandalkan untuk berbagi
tentang hal apa saja, termasuk tentang hal yang sangat privacy sekalipun. Oleh
sebab itu, seorang sahabat akan selalu menjaga integritas yang sudah dibangunnya
agar tetap bisa dipercaya. Dengan demikian, bilalah seorang guru ingin
menempatkan dirinya sebagai sahabat siswa, maka tentu guru seyogyanya
menjaga integritas agar selalu bisa dipercaya. Karenanya, selalu bisa menjadi
tauladan terhadap apa yang disampaikan, jujur dalam berkata-kata, amanah dalam
mengelola hal-hal yang bersifat privacy, adalah contoh hal yang bisa dilakukan
guru untuk membangun kepercayaan sebagai sahabat bagi siswa.
Bila hal ini dilakukan, maka bisalah dipastikan bahwa siswa akan
terbuka kepada gurunya tentang segala hal terutama tentang hal-hal yang
menghambat pencapaian tujuan pembelajaran pendidikan kepemimpinan untuk
kemudian bisa diambil langkah-langkah yang tepat bagi guru dalam
memberisolusinya.
d. Membangun kerjasama

Tidak bisa diingkari bahwa sesungguhnya setiap orang selalu


mencari orang- orang yang bisa dipercaya untuk diajak bekerjasama.
Karena itu, semakin dekat hubungan seseorang akan semakin mudahlah

211
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

untuk bisa dipercaya dalam bekerjasama. Kedekatan hubungan alias


kekerabatan tidak hanya bisa dibangun dalam keluarga tapi juga bisa
dengan orang lain yang sudah dipercaya, dan orang lain tersebut salah
satunya sering ditemui dalam wujud sahabat.

Dengan sahabat, seseorang bersedia jatuh bangun dalam berusaha,


rela berkorban dan mengambil resiko bagi kepentingan bersama. Semakin
hebat bangunan sebuah persahabatan, maka semakin hebat pula bangunan
kerjasama yang akan terbentuk. Di sekolah, guru dan siswa tidak bisa jalan
sendiri-sendiri dalam menyukseskan tujuan pembelajaran pendidikan
kepemimpinan. Mereka harus menjalankan fungsi masing-masing dan siap
mempertanggung jawabkannya pada cara dan pola yang sudah ditetapkan
guna mencapai tujuaan pembelajaran pendidikan kepemimpinan tersebut.

Oleh karena itu, guru dan siswa harus bersatu dalam bangunan
kerjasama yang solid, minimal mencontoh bangunan kerjasama seperti
yang diuraikan diatas. Selalu menjadi orang yang visioner, berjiwa
kepemimpinan yang handal dan bisa menjadi problem solver adalah
hakekat kepribadian yang sebaiknya dimiliki guru sebagai modal utama
dalam membangun, mengarahkan, mempertahankan dan mengembangkan
kerjasama yang bersahabat dengan siswa dalam menyukseskan tujuan
pembelajaran pendidikan kepemimpinan.
e. Selalu berupaya menjaga kebersamaannya dengan siswa, baik secara
formal maupun non formal, baik di sekolah maupun di luar sekolah
Hanya dengan kebersamaan yang terjagalah persahabatan bisa
langgeng. Selalu menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan siswa,
selalu mencari celah untuk bisa berkomunikasi dengan siswa, selalu
memasukkan unsur- unsur edukasi dalam setiap interaksi dengan siswa,
adalah beberapa cara yang bisa dilakukan guru untuk menjaga kebersamaan
yang bersahabat dengan siswa sehinggga pemberian pendidikan
kepemimpinan bisa dilakukan setiap saat.

212
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Kesimpulan :
1. Setiap manusia tidak terkecuali manusia Indonesia, terlahir sebagai
pemimpin, karena itu setiap orang di negeri ini berhak diasah
kepemimpinannya sedini mungkin dan guru memiliki kewajiban untuk
pemenuhan hak tersebut.
2. Banyak bentuk peranan yang dapat dilakukan guru dalam memberikan
pendidikan kepemimpinan kepada siswa diantaranya adalah berperan
sebagai motivator, pemimpin, problem solver dan sahabat bagisiswa.

3. Dalam menjalankan peranan sebagai motivator, pemimpin, problem


solver dan sahabat siswa dalam memberikan pendidikan kepemimpinan,
guru sebaiknya memakai pendekatan kedewasaan, learning by doing dan
learning by experience agar siswa dapat mengeluarkan segala potensi
yang mereka miliki untuk kemudian dibenarkan bila belum benar dan
ditingkatkan bila sudah benar.

213
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Daftar Pustaka

Cambel, Linda, Bruce, Dickinson. 2004, Metode Praktis Pembelajaran.Jakarta:


Intuisi Press
Dryden Gordon & Vos Jeannette. 2000. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa
Hendra Riofita. 2014. Padamu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Menjadi Guru
Ideal). Peknabaru: PT. Subentra
James M. Kouzes dan Barry Z. Posner.Leadership Learning.Yogyakarta: Pustaka
Baca
K.H. Toto Tasmara. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema
Insani Munandar,
S. C. U. 1999. Mengembangkan bakat dan kreativitas anak Sekolah. Jakarta: PT.
Gramedia.
Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan yang Unggul. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar PEGG, Mike. 1994. Kepemimpinan Positif. Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo.
Ramayulis. 2002. Ilmu Penddikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Rohmat.2010. Kepemimpinan Kependidikan Konsep dan Aplikasi. Purwokerto:
STAIN Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses
Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

214
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

HAKEKAT HIDUP MANUSIA DAN


HUBUNGANNYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Saidah A. H.

Abstrak
Tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang baik (al-insan al-
shalih) yang sudah pasti bersifat universal dan sudah pasti diakui semua
orang dan semua aliran tanpa mempersoalkan di manapun negerinya dan
apapun agamanya . Banyak sekali sebetulnya apa yang dikemukakanoleh para
ahli muslim tapi kesemuanya pada esensinya sama dengan di atas. Selain itu
bahwa pendidikan itu juga untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dasar dan
tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan
tujuan ajaran Islam atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Hakekat dan tujuan
hidup manusia adalah Hakekat dan tujuan hidup manusia yang dihubungkan
dengan hakekat dan tujuan pendidikan Islam adalah mendidik individu yang
saleh dengan memperhatikan perkembangan rohaniah, emosional, sosial,
intelektual dan fisik, mendidik anggota kelompok sosial yang saleh, baik dalam
keluarga maupun masyarakat muslim .

Kata Kunci: Hakekat hidup manusia, Tujuan pendidikan Islam

PENDAHULUAN
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap
sampai ke titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Secara garis besarnya pengertian itu mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Seperangkat
teknik atau cara untuk memberikan pengetahuan, keterampilandan tingkah laku.
(2) Seperangkat teori yang maksudnya untuk menjelaskan dan membenarkan
penggunaan teknik dan cara-cara tersebut. (3) seperangkat nilai, gagasan atau cita-
cita sebagai tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan,

215
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

keterampilan dan tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus
diberikan .238
Imam Al-Gazali sebagaimana disimpulkan oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
pada dasarnya mengemukakan dua tujuan pokok pendidikan Islam: (1) untuk
mencapai kesempurnaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan; dan (2)
sekaligus untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani hidup
dan penghidupannya guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
239

Mengutip Sayyid Quth, bahwa sesungguhnya tujuan pendidikan adalah


untuk mewujudkan manusia yang baik (al-insan al-shalih) yang sudah pasti
bersifat universal dan sudah pasti diakui semua orang dan semua aliran tanpa
mempersoalkan di manapun negerinya dan apapun agamanya . Banyak sekali
sebetulnya apa yang dikemukakanoleh para ahli muslim tapi kesemuanya pada
esensinya sama dengan di atas. Selain itu bahwa pendidikan itu juga untuk
menyempurnakan akhlak manusia.
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan
dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Dari kedua
sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah
keislaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. 240
Lebih lengkap kongres se-Dunia ke II tantang pendidikan Islam tahun
1980 di Islamabad, merumuskan bahwa:Tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh
dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa,akal pikiran (inteletual), diri
manusia yang rasional; perasaan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya

238
Lihat Lihat M. Arifin,, Ilmu Pendidikan Islam Cet.II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h.
18-19
239
Lihat dalam , Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Infinite Press, 2004), h.56-57
240
Lihat Sayyid Quthub, Sistem Pendidikan Islam (Cet.IV; Jakarta: Bina Ilmu, 1998), h.
7-9

216
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa,baik secara individual maupun
kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia.Pendidikan.241
Jika dipahami dari pengertiannya maka kita bisa menggolongkan sebagai
satu disiplin keilmuan yang mandiri, yaitu ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan
merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui
riset. Riset tersaji dalam bentuk konsep-konsep, maka ilmu pendidikan dapat
dibataskan sebagai sistem konsep pendidikan yang dihasilkan melalui riset. 242
Disini kita akan menentukan objek formal ilmu pendidikan yang maha
luas, luasterbatas tetapi juga diartikan sempit. Dalam pengertian maha luas,
Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan
seseorang, bisa berupa pengalaman belajar sepanjang hidup, tidak terbatas pada
waktu, tempat,bentuk sekolah, jenis lingkungan dan tidak terbatas pada bentuk
kegiatannya. Pengertian kemaha-luasan tersirat pada tujuan pendidikannya.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pengertian pendidikan
Islam, tujuan dan hakekat pendidikan Islam serta hakekat dan tujuan hidup
manusia yang merupakan esensi dasar tujuan dan hakekat hidup manusia itu
sendiri.

I. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan kerap diartikan secara longgar dan dapat mencakup
berbagai persoalan yang luas. Namun demikian, pendidikan sebenarnya dapat
ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari
segi pandang individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti

241
Lihat dalam Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Cet.V; Jakarta : Bumi Aksara,
2004), h. 25-27
242
Lihat M.Arifin, op.cit., h. 9

217
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

pewaris kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan. Dari segi individu pendidikan berarti
pengembangan potensi-petensi yang terdalam. Pandangan lainnya adalah
pendidikan yang ditinjau dari segi masyarakat dan dari segi individu sekaligus.243
Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai sekumpulan pewaris
kebudayaan dan pengembang potensi-potensi. Pada pengembangannya pendidikan
dipahami orang tidak hanya dari tiga sudut pandang di atas, bahkan melahirkan
teori-teori baru yang tentu saja sangat positif bagi kegiatan pengkajian. Namun,
tidak hanya sampai di situ, perkembangan ini pula telah melahirkan berbagai
keracunan dari pengertian pendidikan itu sendiri.244
Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung
kontiniu/berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang
diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan
berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi
pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh
berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya. 245
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy
of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu
menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah
pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Theodore Meyer Greene
mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan
adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang
bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang
menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.246

243
Lihat Azra, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju
Milenium baru (Cet.I; Jakarta : Logos, 1999), h. 9-11
244
Lihat Ibid., h. 11
245
Lihat M. Arifin,, Ilmu Pendidikan Islam Cet.II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993), h. 18
246
Lihat dalam Oliver Leamen, Pengantar Filsafat Islam (Cet.I; Jakarta : Rajawali,
1989), h.11-12

218
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian
dihubungkan dengan Islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan
pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik
karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya,
dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan
“ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu
mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta
lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama
lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam;
informal, formal, dan non-formal247

B. Tujuan dan Hakekat Pendidikan Islam


Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek
tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam
mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep
dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip
prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling
utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang
dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada
hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun
keinginan manusia.
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya
dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya,
yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu
membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.
Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.. Selain itu,
sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan
menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak
terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai

247
Lihat Ibid., h.14

219
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang


makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan
misinya adalah “Rahmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan
dunia yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan
harmonis.248
Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari
tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan
hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an
ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus menjadi
tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk tujuan yang bersifat
teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami karena mereka
menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar kebenaran hanya
kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan terukur.249
Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama
Islam dalam dua hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; b) mendidik peserta didik untuk mempelajari
materi ajaran Islam. Sehingga pengertian pendidikan agama Islam merupakan
usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk
berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan materi-
materi tentang pengetahuan Islam. 250

Menurut Al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :


1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang
berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan
rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di
dunia dan di akhirat.

248
Lihat Abidin Ibnu Rusyd, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan (Cet.I;
Yogyakarta : Pustaka Pajar, 1998), h. 42-44
249
Lihat op.cit., h. 58
250
Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar (Cet.II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), h. 24-25

220
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
2.Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan
kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3.Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan
masyarakat.
Dengan demikian dapat diambil suatu pemahaman bahwa tujuan
pendidikan Islam itu mengandung tiga hal yaitu berkaitan dengan
masalah individu, masyarakat dan pofesionalisme. Sehingga apabila tiga
hal tersebut dapat dicapai maka tujuan pendidikan pun tercapai. 251
Menurut Al Abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan Islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.252
Dari apa yang disampaikan Al Abrasyi tersebut nampak pendidikan akhlak
pada posisi yang sentral sehingga muara dan tujuan pendidikan adalah
terbentuknya akhlak anak.
Menurut Asma Hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan Islam dapat
diperinci menjadi:
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan Islam menjadi :

1. Bahagia di dunia dan akhirat.


2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat
islam.
4. Akhlak mulia.253
Bila tujuan pendidikan seperti apa yang disampaikan oleh Asma Hasan al
Fahmi dan Munir Mursi, maka tujuan pendidikan adalah pengembangan akal dan
akhlak yang dalam akhirnya dipakai untuk menghambakan diri kepada Allah
SWT.

251
Lihat Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan (Cet.II; Jakarta
:: Rajawali Pers, 1996),h. 25-27.
252
Lihat dalam Ibid ., h. 28
253
Lihat dalam Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta : Al-
Husna, 2000), h. 42-43

221
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Sedangkan menurut Ahmad D Marimba menyebutkan empat tujuan


pendidikan :

1 Tujuan berfungsi menghakhiri usaha


2. Tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi
pandangan kedepan kepada tujuan.
3. Tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan
tujuan lain.254

C. Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia Menurut Islam


Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa
manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan
dan lingkungan. Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan di dunia barat,
dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh
pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang
mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh
lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang
mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan
lingkungannya (konvergensi) 255
Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani
sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan
dalam surah al Qashash ( 28 ) ; 77 : 
َ ٓ َ َ ۡ ُّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َّ ‫ك‬ َ َٰ َ َ ٓ َ
‫ٱدلن َياَۖ َوأ ۡحسِن ك َما أ ۡح َس َن‬ ِ ‫ٱَّلل ٱدل َار ٱٓأۡلخ َِرة َۖ وَل تنس ن‬
‫صيبك مِن‬ ‫َو ۡٱب َتغِ فِيما ءاتى‬

ۡ ۡ ُّ ُ َ َ َّ َّ َۡ َ َ َ ۡ ۡ َ َ َ َ َ ُ َّ
َ ‫سد‬
‫ِين‬ ِ ‫ب ٱل ُمف‬‫ُي‬ ِۖ ِ ‫ٱَّلل إ ِ َۡلك َۖ وَل تبغِ ٱلفساد ِِف ٱۡل‬
ِ ‫ۡرض إِن ٱَّلل َل‬

Terjemahnya: Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)

254
Lihat Amhad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta: Bina Ilmu 1996),
h. 14-15
255
Lihat Sidi Gazalba, Sistematika Buku Pertama Pengantar Kepada Dunia Filsafat
(Cet.V; Jakarta : Bulan Bintang, 1990), h. 67-68

222
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.256

Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak


dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia
mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan
kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata
yang digunakan :
1) Kata Nadzara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan”
2) Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 : “Maka apakah
mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3) Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang
dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin
manusia”.
4) Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya
(kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”
5) Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak
dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran”.
6) Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh

256
Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Bina Restu

223
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan


keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
7) Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi
Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-
apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat
al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan
kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.257
Selanjutnya perlu manusia pembenahan jasmani yang sehat, kuat serta
terampil. Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti
ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani,
karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki
ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang
diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan. Para pendidik Muslim sejak
zaman permulaan - perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya
pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan.
Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam Al-
Quran surat Hud (11); 37 :
َ ُ ۡ َّ ْ َ َ َ َّ َ ُ َ ۡ َ َ ُۡۡ
‫ٱص َنعِ ٱلفلك بِأع ُين ِ َنا َو َو ۡحي ِ َنا َوَل تخَٰ ِط ۡب ِِن ِِف ٱَّل‬
‫ِين ظل ُم ٓوا إِن ُهم ُّمغ َرقون‬ ۡ ‫َو‬

Terjemahnya: “Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu
kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu
karena meeka itu akan ditenggelamkan”.258

Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh


adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat,
sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi.

257
Lihat dalam Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet.I; Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999), h.. 23-26
258
Departemen Agama RI., op.cit., h. 217

224
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai
berikut :
a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.
b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi. 259
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal.
Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat
ditangkap oleh indera. Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat
menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan
potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu,
menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.
Dengan demikian tujuan umum pendidikan Islam sejalan dengan tujuan
agama Islam itu sendiri, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk,
bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah SWT sehingga memperoleh
kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian sesungguhnya pendidikan Islam
merupakan kumpulan metode dan alat tradisional, tetapi sekaligus rasional sosial
dan ilmiah empiris yang digunakan para ulama dan pendidik dalam melatih serta
mengembangkan individu, masyarakat, dan umat manusia agar bertaqwa dan
tunduk kepada Allah swt. 260
Hal tersebut diungkapkan dalam Al-Quran surah al-Jum’ah ( 62 ) ; 2:
ٗ َُ َ ُِِۡ
َ َٰ‫وَل ِم ِۡن ُه ۡم َي ۡت ُلوا ْ َعلَ ۡيه ۡم َء َايَٰتِهِۦ َويُ َز ِك ِيه ۡم َويُ َع ِل ُِم ُه ُم ۡٱلك َِت‬ َ ََ َّ َ ُ
‫ب‬ ِ ِ ‫س‬‫ر‬ ‫ن‬ٔ ‫م‬
ِ ِ ‫ٱۡل‬ ‫ِف‬
ِ ‫ث‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ِي‬
‫ٱَّل‬ ‫هو‬

ُّ َ َ َ َُۡ ْ ُ َ ََ ۡ ۡ َ
ٖ ِ ‫وٱۡل ِكمة ِإَون َكنوا مِن قبل ل ِِف ضل َٰ ٖل مب‬
‫ي‬

Terjemahnya:. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.261

259
Lihat Ali Imron, Belajar dan Pembelajaran ( Jakarta : Pustaka Jaya, 1996), h. 96-97
260
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan, (Cet.II; Jakarta: :
Rajawali Pers, 1996), h. 57-58.
261
Departemen Agama, op.cit., h. 516

225
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Dalam ayat tersebut diatas dapat diambil sebuah pemahaman bahwa


manusia yang memiliki pengetahuan akan dapat mencapai kepada Tuhanya,
sehingga akan menjadi orang yang bertaqwa.
Selanjutnya menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam
ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki
agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya. 262
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut
Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ( ) ; 56 : 
ۡ ُ َۡ َ َ َ
ُ ُ ۡ َّ َ ۡ ‫ٱۡل َّن َو‬
ِ ‫ٱۡلنس إَِل َِلَعبد‬
‫ون‬ ِ ِ ‫وما خلقت‬

Terjemahnya: “Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Ku”.263

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada
menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah
Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua
amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah.
Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia
dapat mengamalkannya dengan cara yang benar. Ibadah ialah jalan hidup yang
mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa
perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah. Dari
tujuan umum pendidikan Islam yang berpusat pada ketaqwaan dan kebahagiaan
serta kemampuan-kemampuan yang diinginkan dapat tujuan khusunya sebagai
berikut :

262
Lihat dalam Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Cet.II; Jakarta :
Logos, 1999), h. 67-68.
263
Departemen Agama, op.cit., h. 386

226
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
1. Mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan perkembangan
rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik
2. Mendidik anggota kelompok sosial yang saleh, baik dalam keluarga
maupun masyarakat muslim
3. Mendidik manusia yang saleh bagi masyarakat insani yang besar. 264
Ketiga hal tersebut menjadi salah satu tujuan khusus yang hendak dicapai
dalam tujuan pendidikan Islam. Individu-individu dalam kelompok masyarakat
merupakan komponen masyarakat terkecil, sehingga apabila dari setiap individu
berhasil dalam meraih tujuan dari pendidikan maka dengan sendirinya akan
membentuk kelompok masyarakat yang telah meraih tujuan itu juga. Dan pada
akhirnya tujuan secara luas akan tercapai juga. 265
Bila dicermati dari tujuan dan hakekat hidup manusia di dunia ini dan
dilihat dari tujuan dan hakekat pendidikan Islam, sangat relevan karena tujuan dan
hakekat pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia paripurna (Insan Kamil)
yang dicintai oleh Allah swt.

III. KESIMPULAN

1. Tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidup manusia dan nilai-nilai


yang terkandung di dalamn esensi filsafatnya, yakni memberi petunjuk
akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk
individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.
2. Dari berbagai macam pendapat tentang tujuan pendidikan Islam pada
akhirnya puncak tertinggi yang akan di tuju adalah menjadi seorang
manusia yang beriman dan bertaqwa, yang memiliki kemampuan jasmani
dan rohani, sehat akal fikiran, berbudaya dan berakhlak mulia menuju
manusia yang sempuna atau insan kamil.
3. Hakekat dan tujuan hidup manusia yang dihubungkan dengan hakekat dan
tujuan pendidikan Islam adalah mendidik individu yang saleh dengan

264
Lihat Mastuhu, op.cit., h. 87-88 dan bandingkan dengan Ibnu Miskawaih, Tahzib al-
Akhlaq, (Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, tanpa tahun), h. 217
265
Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (cet.IV; Jakarta : Logos, 2001), h. 86-
87

227
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

memperhatikan perkembangan rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan


fisik, mendidik anggota kelompok sosial yang saleh, baik dalam keluarga
maupun masyarakat muslim

DAFTAR PUSTAKA

Arifin,M.,Ilmu Pendidikan Islam Cet.II; Jakarta : Bumi Aksara, 1993

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam Cet.I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999

Azra, Azyumardi , Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium


baru Cet.I; Jakarta : Logos, 1999.
Azizy,Qodri Ahmad, Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar
Cet.II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000

Daradjat,Zakiah., Ilmu Pendidikan Islam Cet.V; Jakarta : Bumi Aksara, 2004.

Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya Semarang: Bina Restu,1999.

D. Marimba, Ahmad Filsafat Pendidikan Islam Cet.I; Jakarta: Bina Ilmu 1996

Gazalba, Sidi, Sistematika Buku Pertama Pengantar Kepada Dunia Filsafat


Cet.V; Jakarta : Bulan Bintang, 1990

Hitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam Yogyakarta: Infinite


Press, 2004

Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, tanpa


tahun

Ibnu Rusyd, Abidin, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan Cet.I;


Yogyakarta : Pustaka Pajar, 1998

Imron, Ali, Belajar dan Pembelajaran Jakarta : Pustaka Jaya, 1996

Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Cet.II; Jakarta ::


Rajawali Pers, 1996

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam Cet.I; Jakarta : Al-Husna, 2000

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam Cet.II; Jakarta : Logos, 1999

Nata, Abuddin , Filsafat Pendidikan Islam Cet.IV; Jakarta : Logos, 2001


Oliver, Leamen, Pengantar Filsafat Islam Cet.I; Jakarta : Rajawali, 1989

Quthub, Sayyid. , Sistem Pendidikan Islam Cet.IV; Jakarta: Bina Ilmu, 1998.

228
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Imlementasi Nilai Partisipasi, Transparansi dan Akuntabilitas


Guru Agama Islam dalam Meningkatkan motivasi peserta didik
Di Madrasah Aliyah Negeri Gura batai
Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara

Abdullah Muhammad
Institut Parahikmah Indonesia

ABSTRAK

Jurnal ini membahas tentang Imlementasi Nilai Partisipasi, Transparansi dan


Akuntabilitas Guru Agama Islam dalam Meningkatkan motivasi peserta didik di
Madrasah Aliyah Negeri Gurabatai Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara
Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif yang dilaksanakan di Kel. Gurabatii
Kecamatan Tidore Selatan Provinsi Maluku Utara, dengan pendekatan
pedagogis, sosiologis dan psikologis. Hasil penelitian menunjukan Pertama
bahwa dengan menerapkan nilai Partisipasi, Transparansi dan Akuntabilitas
sehingga kualitas semangat siswa semakin baik, yaitu mampu mengaplikasikan
nilai Partisipasi, Transparansi dan Akuntabilitas. Dalam kehidupan keseharian
peserta didik.

Kata Kunci : Guru Agama Islam, Partisipatif, Transparansi, Akuntabilitas dan


Peserta Didik

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tatanan kehidupan masyarakat yang kurang sempurna merupakan akibat
dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat pada
krisis yang berkepanjangan, krisis yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
sebenarnya bersumber dari rendahnya kualitas, kemampuan dan semangat kerja.
Secara jujur bahwa bangsa dapat dikatakan bahwa bangsa ini belum mampu
mandiri dan terlalu banyak dikendalikan pihak asing. Meskipun agenda reformasi
terus digulirkan untuk terus memperbaiki sendi-sendi kekuatan dengan menetapkn
prioritas tertentu, namun hal tersebut belum mampu secara kaffah
(menyeluruh).266

266
Umaedi, Manejmen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (CEQM,2014), h.1.

229
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Peningkatan sumber daya manusia merupakan persyaratan mutlak untuk


mencapai tujuan pembangungan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas
SDM adalah pendidikan, sehingga kualitas pendidikan harus senantiasa
ditingkatkan sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan, dilaksanakan
secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada
kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi dan dilandasi oleh keimanan dan
ketakwaan (IMTEK).
Dewasa ini upaya peningkatann mutu pendidikan terus dilakukan oleh
berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingya
peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan
pengembngan watak bangsa Nation Character Building. Untuk kemajuan
masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas pendidikanya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu
pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan
merupakan sebagaian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia
secara menyeluruh.267
Kejayaan suatu bangsa dan Negara itu ditentukan oleh sejauh mana
masyarakat tersebut memahami akan pendidikan, pendidikan yang baik dan
bermutu bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengatahuan tetapi lebih dari itu
yaitu mentranfer nilai, untuk mencapai nilai yang baik dan bermutu maka
pentingnya guru yang bermutu dan berakhlak mulia.
Guru merupakan kunci keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Guru
adalah sales agent dari lembaga pendidikan. Baik atau buruknya perilaku atau
cara mengajar guru akan sangat mempengaruhi citra lembaga pendidikan, oleh

267
E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK
(bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 31.

230
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
sebab itu sumber daya guru harus dikembangkan baik melalui pendidikan,
pelatihan, dan kegiatan lain agar kemampuan profesionalnya lebih meningkat. 268
Dalam beberapa literatur kependidikan pada umumnya, istilah pendidik
sering diwakili oleh istilah guru. Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadrari
Nawawi adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di
sekolah/kelas. Secara lebih khusus ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang
bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab
dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.269
Dengan demikian yang penulis maksudkan Guru Agama Islam adalah guru
yang bertugas memberi matari pembelajaran pada sekolah-sekolah yang berada
dibawah lembaga Departemen Agama. Dan merupakan figur dan teladan bagi
kehidupan masyarakat dan lebih khusus adalah guru agama Islam sebagai
pembinaan karakter di sekolah.
Peran, tugas, dan tanggung jawab guru bukan hanya sebatas pagar
sekolah, tetapi bisa dikatakan di mana saja mereka berada, baik di rumah maupun
lingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa guru merupakan
benteng pertahanan dan penyelamat generasi masa depan. guru agama adalah
guru yang mengajarkan illmu pengatahuan agama dengan harapan agar siswa bisa
memiliki ilmu dan akhlak yang baik, untuk itu, guru agama islam madrasah
Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara berusaha untuk
mencapai target yaitu dengan menerapkan tiga nilai dasar manajmen berbasis
sekolah yaitu, akuntabilitas, transparansi dan akuntabilitas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok permasalahan
dalam Jurnal ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian Manajeman Berbasis Sekolah dan Bentuk dan Profil
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara?

268
Buchari Alma dkk, Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar (Cet.
II; Bandung : Alfabeta, 2009), h. 123.
269
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997),
h. 62.

231
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

2. Bagaimana Bentuk dan Hasil dari Penerapan Nilai Manajeman Berbasis


Sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov.
Maluku Utara?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah dan Profil Madrasah Aliyah
Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara
1. Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah
Sekolah sebagai unit pelaksanaan pendidikan formal yang terdepan
dengan berbagai macam keragaman, kondisi lingkungan yang berbeda satu
dengan yang lainnya maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam
melaksaanakan perannya untuk mengupayahkan peningkatan kualitas
pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai
keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mrngatur dan mengurus dirinya
sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah
sebagai institusi yang otonom diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses
koordinatif untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.270 Konsep pikiran tersebut
telah mendorong unculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan
mutu pendidikan yang berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam
kegiataan pendidikan. Pendekatan inilah yang dikenal dengan manajemen
peningkatan muru pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality
Management/School based Quality Improvement) 271
Secara bahasa Manajement Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar.dan

270
Soebagio Admodiwirio. Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Ardadizyajaya.
2000), h. 5-6.
271
Suryosubroto, Manejemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h.
204-205.

232
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan
makna leksikal tersebut maka MBS daapaat diartikan sebagai penggunaan sumber
daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran.
Manajmen Berbasis Sekolah diartikan sebagai model pengelolaan yang
memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar pada
sekolah, memeberikan fleksebilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi
secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, kariyawaan) dan
masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuan). Untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan
dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stekholder yang ada.272
Pengertian lain Manajemen Berbasis Sekolah menurut para ahli antara lain
adalah merupakan salaah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan
masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi yang ditunjukan
dengan pernyataan polotik dalan Garis-garis Besar Haluan Negara.273
Denim secara sederhana mendenfinisikan Manajemen Berbasis Sekolah
sebagai desentralisasi kewenangan pembuatan keputusan pada tingkat sekolah.
Defenisi memberikan penjelasan bahwa melalui MBS, pihak sekolah dan para
stakeholder mempunyai wewenang untuk membuat keputusan sesuai dengan
sistem pendidikan nasional. Keputusan yang diambil menyangkut seluruh aspek
yang berhubungan dengan sikap pelaksanaan pendidikan di lingkungan sekolah
berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan adanya kewengan ini, pihak sekolah
dapat mengidentifikasi setiap masalah dan kendala yang dihdapi dalam proses

272
Departemen Pendidikan Nasional, ManajemenPeningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Konsep Dasar (Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Ditjen SLTP, 2002), h. 10.
273
E Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Impementasi
(Bandung: Remaja Rosdakarya,2007), h. 11.

233
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

pendidikan di sekolah sekaligus mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk


masalah tersebut.274
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yusuf Hadi Miarso dengan
mendefenisikan Manajemen Pendidikan Sekoolah sebagai pelimpahan wewenang
pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan
pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan-aturan akuntabilitas yang
berkaitan dengan sumber tersebut.275 Pengelolah sekolah harus mampu
mempertanggung jawabkan setiap sumber daya yang ada. Pemberian wewenang
kepala sekolah dibatasi pada pemanfaatan sumber daya yang berdasarkan pada
pertanggung jawaban pengelolah sekolah kepada setiap sumber daya tersebut.
Dengan demikian, pihak sekolah tidak hanya bertanggung jawab terhadap
pimpinan lebih tinggi atau instansi pemerintahan tetapi juga kepada stakeholder.
Defenisi lain juga dikemukakan oleh Myers dan Stonchiil yang
mendefenisikan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah strategi untuk
memberikan pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan
secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara
individual.276
Menurut Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah adalah alternatif
sekolah sebagai dari desentralisasi pendidikan.277Berdasarkan dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah
sebuah upaya yang dilakukan untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki

274
Sudarwan Denim, Konsep dan Teori Manajemen Berbasis Sekolah (Jakarta; Direktorat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat,Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi), h.
22.
275
Yusufhadi Miraso, Menyamai Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004),
h. 728.
276276
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi, (Jakarta: PT.
Grasindo, 2003), h. 3.
277
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi, h. 2.

234
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
dengan kebijakan dan kewenangan sekolah itu sendiri dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan.
Secara yuridis, MBS merupakan sebuah semangat otonomi yang juga
didasari oleh undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, manjamin bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan
prinsip Manajemen Berbasis Sekolah. Kemudian Rencana Strategis Depdiknas
Tahun 2005-2006, bagian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun,
dinyatakan bahwa pengembangan kapasitas dilaksanakn dalam rangka penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah.278 MBS adalah sistem manajemen yang bertumpuh
pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah setempat. Sekolah diharapkan
mengenali seluruh infrastruktur yang beradah di sekolah, seperti guru, peserta
didik, dan sarana prasarana, fenesial, kurikulum serta informasi.279
Berdasarkan pengertian di atas, MBS pada hakekatnya adalah penyerasian
sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan
semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang tekait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
peningkatan mutu sekolah atau mencapai tujuan pendidikan nasionl.
2. Profil Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov.
Maluku Utara
Kedatangan Islam di Nusantara merupakan salah satu peristiwa sejarah
yang menarik dan telah menjadi bahan perdebatan para sejarawan. Persolan kapan
dan dari mana datangnya Islam pertama kali di Nusantara, telah memunculkan
paling kurang tiga teori.280 Akan tetapi teori-teori itu dapat dikatakan belum final,
sehingga meskipun sudah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini,
masih terbuka kesempatan bagi munculnya penafsiran-penafsiran baru atau paling

278
Nurkhalis, Manajemen Berbassis Sekolah: Teori Model dan Aplikasi, h. 2.
279
Departemen Pendidikan Nasional, h. 15.
280
Ketiga teori itu adalah : a) Islam datang pertama kali ke Nusantara pada abad VII H /
XII M melalui Gujarat/India Bagian Barat; b) Islam datang langsung arab (Mekkah-Madinah) pada
abad I H / VII M; dan c) Islam datang langsung dari Persia.

235
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

tidak penilain ulang berdasarkan penelitian atas sumber-sumber sejarah yang


ada.281
Berdasarkan fakta historis, ternyata penyebaran Islam di berbagai wilayah
di Nusantara tidaklah berlangsung bersamaan. Islam masuk ke wilayah Ternate
dan Tidore lebih awal di Maluku Utara di bandingkan dengan Islam masuk di
daerah Sulawesi. Kota Tidore Kepulauan pada tahun 1999 sebelum terjadi
kerusuhan di Maluku Utara, kota Tidore Kepulauan masih digabungkan dengan
penduduk non muslim namun, setelah terjadi kerusuhan pada tahun 1999 (perang
antar umat Islam dan non Muslim) maka non muslim pun tidak ada lagi di kota
Tidore Kepulauan.
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan Provinsi
Maluku Utara yang mempunyai karakteristik`8w tersendiri, berbeda dengan
sekolah umum, dengan program pendidikan agama yang lebih banyak. Berada
dalam lingkungan pesisir, masyarakat umumnya yang bermata pencaharian
nelayan. Selain itu, ada juga petani, pegawai swasta dan pegawai negeri. Terletak
di Kelurahan Gurabati kecamatan Tidore Selatan Provinsi Maluku Utara.
Keberadaan Madrasah ini sangat menggembirakan. menurut Dra.Sumarni
Umar, MPdI., bahwa berada ditengah-tengah masyarakat yang haus pendidikan
agama. lingkungan yang keras, dimana penduduknya lebih mementingkan
mencari uang di laut dan di darat. Dengan adanya lembaga pendidikan Islam para
orang tua dan masyarakat merasa punya tempat untuk mempercayakan anak-anak
mereka dibina pada madrasah tersebut.282
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan Provinsi
Maluku Utara, adalah; satu-satunya sekolah negeri yang berciri khas agama yang
berada di Kelurahan Gurabati Kecamatan Tidore Selatatan, yang pada awalnya

281
Lihat Azyumardi Azra (ed.) Perspektif Islam di Asia Tenggara, dalam bukunya
Muljono Damapolii Pasantren Moderen IMIM Pencetak Muslim Moderen ( Cet. I; Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2011), h. 90.
282
Dra. Hj. Sumarni Umar, MPdI., Kepala Sekolah Madrsah Aliyah Negeri Gurabati
Kecamatan Tidore Selatan. Wawancara, Tidore 6 Maret 2019.

236
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
merupakan kelas jauh dari MAN Ternate. Dan didirikan pada tahun 1989
kemudian pada tahun 11 Maret 2002 di Negrikan oleh Menteri Agama RI dan di
tetapkan sebagai sekolah Negeri dengan nama Madrasah Aliyah Negeri
Gurabati.283
Pengakuan salah satu alumni, bahwa peserta didik Madrasah Aliyah Negeri
Gurabati Kecamatan Tidore Selatan dari tahun ke tahun selalu mendapatkan nilai
yang maksimal ketika mengikuti ujian Nasional. 284 Madrasah Aliyah Negeri
Gurabati Kecamatan Tidore Selatan awalnya bertempat di samping kanan Stadion
Gurabati Kecamatan Tidore Selatan Jl. Rum Soasio. Dan kemudian di pindahakan
di belakang Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Gurabati. 285
Peserta Didik Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan
berasal dari berbagai kelurahan di Kota Tidore Kepuluan diantaranya adalah
kelurahan Dokiri, Tugiha, Tomalou, dan berbagai macam kelurahan lainya. Dan
juga ada dari kecamtan Tidore Utara, seperti bobo, Mareku, dan Ome.
Keberadaan Madrasah ini, semakin hari mengalami kemajuan, baik dari
jumlah peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, sarana prasarana.
Karakteristik yang dimiliki lewat pendidikan agamanya semakin mendapat tempat
di hati masyarakat. Letak geografisnya sangat strategis untuk pengembangan
pendidikan Islam.
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan Provinsi
Maluku Utara berstatus Negeri pada tanggal 11 Maret 2002. Dengan identitas
sebagai berikut :286
Nama Madrasah : Madrsasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamtan
Tidore Selatan

283
Data Dokumen Piagam Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
tahun 1989.
284
Yunus, Alumni Pertama, Madrsah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 3 Maret 2019.
285
Karim, Tokoh Pendiri Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamtan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 27 Pebruari 2019.
286
Data, Dokumen Kurikulum Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore
Selatan Tahun 2019.

237
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

NSS : 000211212002
Status : Negeri
SK Pendirian : KMA. Nomor 48 Tahun 2002 tanggal 11 Maret
2002
Alamat :
a. Jalan : Jalan Raya Rum Soasio

b. Kelurahan : Gurabati

c. Kecamatan : Tidore Selatan

d. Kota : Tidore Kepulauan

e. Provinsi : Maluku Utara

Kepala sekolah yang pertama setelah berubah status di Negrikan adalah


Drs. Umar Kabes. Setiap lembaga mempunyai visi, misi dan tujuan dalam
mengembangkan diri menjadi lembaga yang cakap penuh potensi, dipercaya,
disegani, dihargai, diimpikan, di tengah-tengah masyarakat. Madrasah Aliyah
Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan Provinsi Maluku Utara juga
mempunyai visi, misi dan tujuan dalam memajukan sekolah tersebut.
Adapun visinya adalah “ Unggul dalam Ilmu Pengatahuan, Iman dan
Taqwa”.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka Madrasah Aliyah Negeri Gurabati
Kecamatan Tidore Selatan merumuskan misi sebagai berikut :
a. Meningkatkan semua kenerja warga sekolah.

b. Melakasanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif

c. Meningkatkan aktifitas akademik atau non akademik.

d. Meningkatkan hubungan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah.

238
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Tujuan pendidikan Madrsah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore
Selatan sebagai berikut :
a. Meningkatkan prilaku disiplin, tertib dan akhlak mulia pendidik, tenaga
kependidikan dan peserta didik.

b. Meningkatkan pengatahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan minat dan


bakat peserta didik.

c. Mengembangkan kepribadian manusia yang utuh bagi pendidik, tenaga


kependidikan dan peserta didik.

d. Mempersiapkan peserta didik sebagai bagian dari anggota masyarakat yang


mandiri dan berdaya guna.

e. Mempersiapkan peserta didik agar melanjutkan pendidikan ke jenjang yang


lebih tinggi.

f. Kondisi peserta didik.287

Dalam mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan


Tidore Selatan Provinsi Maluku Utara ke depan, pengelola lembaga senantiasa
menjalin kerja sama yang baik dengan pemerintah baik lokal, maupun pusat,
kementerian agama, lingkungan masyarakat setempat, tokoh-tokoh
masyarakat/pemudah, dan para orang tua murid
Hubungan pendidik dan tenaga kependididkan serta seluruh personil yang
ada dalam lingkungan Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore
Selatan terjalin dengan baik. Baik hubungan kekerabatan maupun profesi.
Kerukunan dan jalinan kasih yang tercipta itu penulis amati pada saat mereka
saling bertemu menyapa dan berjabat tangan, bercanda terlebih pada saat
melaksanakan rapat. Begitu juga terhadap peserta didik dengan guru merupakan
orang tua kedua. Tercipta keakraban yang baik, pada pagi hari guru dengan setia
menunggu peserta didik di depan pintu gerbang sekolah sambil berjabat tangan.

287
Sumber Data : TU Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan
Provnsi Maluku Utara.

239
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Maksud filosofinya adalah anak tersebut senantiasa dekat dengan gurunya, kasih
sayang diberikan oleh orang tua dirumah, dapat diaplikasikan guru di sekolah.288
B. Bentuk dan Hasil dari Penerapan Manajeman Berbasis Sekolah di
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku
Utara
1. Bentuk Bentuk Penerapan Manajeman Berbasis Sekolah di Madrasah
Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Prov. Maluku Utara
Manajmen berbasis sekolah bertujuan untuk meningkatkan kenerja sekolah
melalui pemberian wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar kepada
sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelolah sekolah yang
baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kenerja sekolah
yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektifitas, produktifitas, dan
inovasi pendidikan.289 Adapun bentuk bentuk penerapan manajeman sekolah
yang dilakukan guru agama di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati adalah sebagai
berikut :
a. Peningkatan Partisipasi
Partisipasi adalah proses dimana satakeholder (warga sekolah dan
masyarakat) terlibat aktif baik secara individual maupun kolektif, secara
langsung maupun tidak langsung, dalam pengambilan keputusan, pembuatan
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan / pengevaluasian
pendidikan sekolah.290

288
Hasan Abdullah, Guru Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 10 April 2019
289
Departemen Pendidikan Nasional, h. 39.
289
PH Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah: Partisipasi, Transparansi, Akuntabilitas
dan Generating Activity (Bluten Pelangi Pendidikan: Edisi V, 2006), h. 34.

290
Hasan Abdullah, Guru Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 10 2019.

240
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (siswa guru dan kariyawan) dan
masyarakat didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi
pendidikan. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan
dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai
rasa memiliki terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan
bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya, makin besar tingkat partisipasi maka makin besar pula rasa memiliki
dan tanggung jawabnya. Peningkatan partisipasi yang dilakukan oleh guru agama
di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati adalah dengan cara sebagai berikut :
a. Kegiatan Donasi
Kegiatan donasi dilakukan dengan harapan siswa yang kurang mampu
dapat menikmati pendidikan dan terlebih khusus adalah pendidikan agama.
Sehingga siswa memahami nilai ajaran agama dengan baik. Untuk mampu
mengaplikasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Hal itu sejalan dengan
ungkapan Hasan Abdullah guru agama Islam Madrasah Aliyah Gurabati Kec.
Tidore Selatan.291 Dari hasil pengamatan peniliti bahwa bentuk bentuk kegiatan
partisipatif yang dilakukan oleh guru agama Islam berjalan dengan baik yaitu
konsisten guru agama Islam dalam berdonasi yaitu kartu kartu donasi terisi
dengan baik dan tepat waktu. Serta penyalurannya ke siswa dalam bentuk
pelunasan seluruh pembayaran yang berkaitan dengan kebutuhan siswa.
b. Peningkatan Tranparansi
Dalam ruang lingkup sekolah, transparansi adalah keadaan dimana setiap
orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengatahui proses dan
hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Transparansi merupakan
salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui MBS. Transparansi ini ditujukan
dalam semua kegiatan yang dilakukan sekolah yang meliputi pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang dan

241
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

sebagainya.292 Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa transparansi merupakan
sebuah sistem yang memungkinkan terselenggarannya komunikasi eksternal dan
internal dalam dunia pendidikan. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi yang secara langsung dapat diterima oleh stakeholder pendidikan.
Kebebasan informasi ini harus dapat dipahami sehingga penggunaannya benar-
benar ditujukan untuk pencapain tujuan.
Peningkatan transparansi dalam MBS ditujukan untuk membangun
kepercayaan dan keyakinan publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah
organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan berwibawa. Bersih dala arti
tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional. Pengelolaan yang tidak
transparan berdampak negatif bagi pengembangan sekolah karena masyarakat dan
orang tua murid akan meragukan apakah kalau mereka diminta untuk ikut
memikirkan kekurangan pendanaan pendidikan, sumbangan yang mereka berikan
akan benar-benar dimanfaatkan bagi kepentingan pendidikan atau akan terjadi
penyimpangan yang tidak diharapkan. Adapun kegiatan transparanasi yang
dilakukan guru guru agama di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati adalah setiap
kegiatan dilakukan secara terbuka yaiitu seperti kegiatan Isra, Mi’raj atau kegiatan
lainya dilakukan secara transparansi yaitu dengan pembuatan laporan yang sangat
jelas dan detil. Hal itu dapat dilihat ketika dokumentasi dari kegiatan kegiatan
tersebut dilaporkan. Disamping itu nilai transparansi ini dapat dimengerti oleh
siswa dan dapat di praktekan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini sesuai
dengan wawancara dengan Marwah Adjaran yang menyatakan bahwa :
Kegitan kegitan yang kami lakukan melibatkan siswa dalam hal keterbukaan
seperti kegiatan proses belajar dikelas, maupun kegitan diluar kelas seperti
kegiatan Isra Mi’raj dilakukan secar terbuka seperti laporan keuangan dan
lainya.293

292
PH Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah: Partisipasi, Transparansi, Akuntabilitas
dan Generating Activity, h. 34.
293
Marwah Adjaran Guru Mata Pelajaran Al Quran Hadis Madrasah Aliyah Negeri
Gurabati, Wawancara Tanggal 10 April 2019

242
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Hal itu sesuai dengan hasil pengematan peneliti bahwa kegiatan kegiatan
semuanya dilakukan dengan cara transparansi seperti kegiatan dalam proses
pembelajaran di kelas maupun kegiatan keagamaan yang dilakukan di lingkup
sekolah seperti kegiatan Isra Mi’raj semua hasil laporan dlakukan dengan baik dan
rapi.
Selanjutnya hal itu diperkuat oleh Hasan Abdullah Guru Pelajaran Bahasa
Arab Madrasah Aliyah Negeri Gurabati yang menyatakan bahwa :
Transparansi merupakan suatu hal yang tak bisa kita pisahakan dalam
kehidupan kita sebab transparansi dapat meningkatan saling kepercayaan kepada
kami selaku guru, begitupun demikian halnya dengan siswa, sehingga kegiatan
apa saja yang kami lakukan semuanya melibatkan siswa dalam kegiatan tersebut
baik proses belajar mengajar di kelas maupun kegiatan agama yang dilakukan di
lingkup sekolah kami seperti kegiatan Isra Mi,raj maupun kegaitan dzikir dan
kegiatan lainya.
c. Penginkatan Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban
atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggaraan
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau wewenang untuk meminta
keterangan atau pertanggung jawaban.294 Dengan demikian akuntabilitas adalah
bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan
program yang telah dilaksanakan berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan
dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa dan masyarakat.
Pada dasarnya, pengertian akuntabilitas yang diberikan oleh Slamet tidak
hanya berupa
pertanggung jawaban administratif keuangan saja, tetapi mencakup pula
penggunaan/ pemanfaatan dan hasil kenirjanya. Tujuan utama akuntabilitas adalah
untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kenerja sekolah sebagai salah satu
prasyarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan dapat dipercaya. Penyelenggara

294
PH Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah: Partisipasi, Transparansi, Akuntabilitas
dan Generating Activity, h. 37.

243
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan. Hasil


kerja kepada publik.
MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana
diungkapkan oleh Nurkolis antara lain yang pertama, sekolah lebih mengatahui
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya. Kedua sekolah lebih mengatahui kebutuhanya.
Ketiga keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan
dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.295 Dikatakan pula
bahwa manfaat dari Manajaemen Berbasis Sekolah antara lain :
a. Secara formal Manajemen Berbasis Sekolah bisa memahami keahlian dan
kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah.
b. Meningkatkan moral guru.
c. Keputusan yang diambil sekolah mempunyai akuntabilitas.
d. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan intruksionl yang
dikembangkan di sekolah.
e. Menstimulasi timbul pimpinan baru
f. Meningkatkan kualitas, kuantitas dan fleksebilias komunikasi tiap
komunitas sekolah dalam mencapai tujuan sekolah.296
Menurut Mulyasa menyatakan tentang manfaat Manajemen Berbasis
Sekolah adalah memberikan kebebasan dan kekuatan yang besar pada sekolah
disertai tanggung jawab.297 Lebih lanjut Supriono dan Achmad mendefenisikan

295
Nurkhalis, Manajemen Berbassis Sekolah: Teori Model dan Aplikasi. h. 45.
296
Nurkhalis, Manajemen Berbassis Sekolah: Teori Model dan Aplikasi. h.1
297
E Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Impementasi. h. 11.

244
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
Manajemen Berbasis Sekolah yaitu mengembangkan potensi sekolah sehingga
kesejahtraan lebih maju.298
Adapun nilai akuntabilitas yang diterapkan guru guru agama Madrasah
Aliyah Gurabati adalah setiap kegiatan selalu dilakukan dengan penuh tanggung
jawab hal itu bisa dapat dilihat ketika diberikan suatu amanah seperti penerimaan
mahasiswa baru, maupun kegiatan proses pembelajaran didalam kelas dilakukan
dengan rasa tanggung jawab, datang tepat waktu begitupun pulang tepat pada
waktunya. Hal itu berdasarkan hasil pengematan peneliti ketika berada dilokasi
penelitian.
C. Hasil dari Implementasi Nilai Partisipasi, Transparansi dan
Akuntabiliitas Guru Agama Islam di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati
Kec. Tidore Selatan Prov. Maluku Utara
Implementasi atau lebih dikenal dengan istilah pelaksanaan merupakan
upaya untuk merelesasikan program kerja yang ada di sekolah sebagai lembaga
pendidikan agar bisa berhasil dalam melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah
maka dibutuhkan strategi atau metode pelaksanaan. Adapun hasil dari penerapan
nilai paratisipasi, transpransi dan akuntabilitas di Guru Mata Pelajaran Islam di
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati adalah sebagai berikut :
a. Nilai Partisipasi
Hasil dari nilai partisipasi yang dilakukan oleh guru mata pelajaran agama
Islam di Madrasah Aliyah Negeri Gurabati yaitu memberikan hasil yang sangat
positif kepada siswa, sehingga siswa dapat menerapakannya dengan baik hal itu
bisa dapat dilihat ketika siswa yang berbulan bulan tidak datang sekolah dengan
alasan ekonomi bisa datang untuk datang kembali untuk melanjutkan sekolahnya.
Hal ini berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran agama Islam Hasan
Abdullah menyatakan bahwa :
Ekonomi peserta didik kami beragam ragam dan bermacam dengan ada yang
penghasilan orang tua berkisar 1.000000 hingga 3.000000 ada juga siswa yang
hanya memiliki pendapatan orang tua hanya 600000 hingga 1.000000 inilah

298
Supriono dan Achmad Sapari, Manajemen Berbasis Sekolah (Jawa Timur SIC, 2001),
h. 66.

245
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

yang kadang membuat siswa sebagian ikut orang tua untuk mencari nafkah
hingga mereka tidak aktif untuk mengikuti proses belajar mengajar di kelas.
Namun alhamdullailah setelah kami melakukan program program partisipasi
ini bisa dapat membantu biaya sekolah mereka.299

Hal itu juga dapat diperkuat dengan pernyataan Suhaimi, Jainal dan Rifkah
siswa Madrasah Aliyah Negeri Gurabati kelas XII IPA 3 mereka meyatakan
bahwa :
Bahwa kami awalnya sangat malas sekolah karena kami berpikir bahwa untuk apa
kami sekolah sebab ekonomi kami sangat susah kami kasian dengan orang tua
kami tapi alhamdulilah kami dibantu oleh para guru guru agama kami dengan
membayar kebutuhan sekolah seperti uang sewa mobil kami300

Berdasarkan hasil pengematan peneliti bahwa hasil dari nilai partisipasi


yang diterapkan oleh guru mata pelajaran Agama Islam Madrasah Aliyah Negeri
Gurabati bisa dinikmati dan dirasakan langsung oleh peserta didik seperti peneliti
amati pada saat peserta didik diberikan uang sewa mobil setiap bulannya.
b. Nilai Transpransi
Hasil dari nilai transparansi yang diterapkan oleh guru mata pelajaran
agama Islam Madrasah Aliyah Negeri Gurabati memberikan efek yang luar biasa
kepada peserta didik yaitu setiap kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik
dilakukan secara transparansi, hal sebelumnya mereka lakukan dengan cara
tertutup seperti kegitan OSIS atau kegitan Intra lainya namun setelah mereka
memahami pentingnya nilai transparansi sehingga apapun yang dilakukan siswa
dilakukan secara transparan, hal itu berdasarkan dengan pernyataan ketua OSIS
Fauzi Madrasah Aliyah Negeri Gurabati yang menyatakan bahwa :
Awalnya saya bersama teman teman melakukan kegiatan selalu tertutup
atau sebagian laporan pertanggung jawaban kami tidak masukan semua ke
laporan kami namun kami setelah mendengarkan penjelasan tentang nilai

299
Hasan Abdullah, Guru Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 10 Mei 2019.
300
Siswa kelas XII IPA 3 Madrasah Aliyah Negeri Gurabati wawancara, Tanggal, 10
Mei 2019.

246
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
transparansi akhirnya kami melakukan kegiatan dilakukan dengan cara
terbuka301

Hal itu diperkuat oleh pernyataan Hasan Abdullah guru mata pelajaran
agama Islam Madrasah Aliyah Negeri Gurabati yang menyatkan bahwa :

Alhamdulilah setiap kegiatan siswa sekarang semua dilakukan secara


terbuka yaitu laporan laporan kegiatan dilakukan dengan sangat rapi, nota
nota kegiatan dan sisa uang dilaporkan secara terbuka agar sedikit berbeda
dengan sebelumnya, sebelumnya kegiatan dilakukan hanya dilaporkan saja
tanpa ada nota nota kegiatan.302

Dari hasil pengamatan peneliti bahwa nilai transparansi yang diterapakan


oleh guru guru mata pelajaran agama Islam sangat memberikan efek yang positif
kepada peserta didik yaitu kegiatan peserta didik yang awalnya dilakukan secara
tertutup namun setelah memahami pentingnya nilai transparansi akhirnya kegiatan
yang dilakukan selalu dilakukan dengan cara terbuka seperti laporan keuangan
dan nota notanya hal itu seperti peneliti amati pada kegiatan pemilihan OSIS
kegiatan Pramuka maupun kegiatan lainya dilakukan secara terbuka. Dengan
laporan LPJ sangat jelas.
c. Nilai Akuntabilitas
Hasil dari nilai akuntabilitas yang diterapkan oleh guru guru mata
pelajaran agama Islam memberikan hasil yang sangat positif kepada peserta didik
Madrasah Aliyah Negeri Gurabati hal itu dirasakan langsung oleh siswa seperti
kegiatan kegiatan mereka lakukan dengan penuh tanggung jawab baik kegiatan di
dalam kelas seperti proses belajar mengajar maupun kegiatan lainya seperti
kegiatan OSIS, Pramuka, dan PMR mereka melakukannya dengan penuh rasa
tanggung jawab.
Hal itu berdasarkan dengan pernyataan ketua OSIS Madrasah Aliyah
Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan menyatakan bahwa :

301
Fauzi Ketua OSIS Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Wawancara,
Tanggal, Tanggal 10 Mei 2019
302
Hasan Abdullah, Guru Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kecamatan Tidore Selatan,
Wawancara, Tanggal 10 Mei 2019.

247
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

Kegiatan osis yang saya dan kawan lakukan awalnya hanya kami
menganggap bahwa kegiatan OSIS cuma kegiatan kegiatan biasa saja tapi
ketika setelah kami memahami nilai akuntabilitas yang diajarkan oleh guru
guru agama kami alhamdulilah kami bisa menerapkannya dengan baik
seperti kegiatan OSIS kami lakukan dengan rasa penuh tanggung jawab. 303
Selanjutnya hal itu juga diperkuat oleh ketua PMR Madrasah Aliyah
Negeri Gurabati Madrasah Aliyah Negeri Gurabti yang menyatakan bahwa :
Awalnya kegiatan PMR ini saya lakukan hanya biasa biasa saja dalam arti
saya jarang malakukannya dengan rasa penuh tanggung jawab tapi setelah
saya mengatahui bahwa pentingnya nilai akuntabilitas ini akhirnya saya
pun melakukannya rasa tanggung jawab.304

Dari hasil pengematan peneliti bahwa nilai akuntabilitas yang di terapkan


oleh guru guru mata pelajaran agama Islam Madrasah Aliyah Negeri Gurbati
sangat memberikan efek yang baik kepada peserta didik yaitu peserta didik bisa
menjalankanya dengan baik yaitu setiap kegiatan yang dilakukan oleh peserta baik
kegiatan OSIS, PMR, dan kegiatan pramuka peserta didik melaksanakan dengan
penuh tanggung jawab. Ha itu sebagaiman peneliti amati pada saat kegiatan
dilaksanakan.

III. Penutup
Kesimpulan
1. Partisipasi adalah salah masalah yang sangat penting di lingkup pendidikan
dengan nilai partisipasi akan memberikan keringanan kepada para peserta didik
yang membutuhkan sehingga nilai transparansi harus di miliki oleh seluruh
komponen sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan nilai. Adapun nilai
partisipasi yang diterapkan oleh guru guru mata pelajaran agama Islam sangat
memberikan dampak yang sangat positif kepada peserta didik.

303
Fauzi Ketua OSIS Madrasah Aliyah Negeri Gurabati Kec. Tidore Selatan Wawancara,
Tanggal, Tanggal 10 Mei 2019.
304
Ilham, Ketua PMR Madrasah Aliyah Negeri Gurabati, Kec. Tidore Selatan
Wawancara Tanggal, Tanggal 10 Mei 2019.

248
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI) GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523
2. Tujuan penerapan nilai transparansi dan akuntabilitas sangat dibuthkan di
lembaga pendidikan karena dengan transparan dan tanggung jawab, semua
lembaga akan bisa berjalan dengan baik. Untuk meningkatkan mutu pendidikan
maka perlu ditingkatkan nilai transparansi dan akuntabilitas oleh seluruh
komponen sekolah. Dan nilai transparansi dan akuntabilitas yang diterapakan
oleh guru guru mata pelajaran agama Islam memberikan hasil yang sangat
positif kepada peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Admodiwirio, Soebagio. Manajemen Pendidikan Indonesia Jakarta:


Ardadizyajaya. 2000
Departemen Pendidikan Nasional, ManajemenPeningkatan Mutu Berbasis
Sekolah Konsep Dasar Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Ditjen SLTP, 2002
Denim, Sudarwan. Konsep dan Teori Manajemen Berbasis Sekolah Jakarta;
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat,Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Miraso Yusufhadi , Menyamai Benih Teknologi Pendidikan Jakarta: Kencana,
2004.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Impementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya,2007
Mulyasa, E.Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan
KBK bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: PT.
Grasindo, 2003

249
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
INSTITUT PARAHIKMA INDONESIA (IPI)
GOWA
Volume 3 Nomor 1 2019 M / 1440 H
ISSN : 2599 - 1523

PH Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah: Partisipasi, Transparansi,


Akuntabilitas dan Generating Activity Bluten Pelangi Pendidikan: Edisi V,
2006.
Supriono, dan Achmad Sapari. Manajemen Berbasis Sekolah Jawa Timur SIC,
2001.
Suryosubroto, Manejemen Pendidikan di Sekolah Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2004.
Umaedi, Manejmen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah CEQM,2014.

250
251

Anda mungkin juga menyukai