Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan hidayah-
Nya penelitian ini dapat diselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metodelogi dan Historiografi.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penulisan
penelitian ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang
timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima kasih
kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penlisan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari
Allah S.W.T.
Walaupun disadari dalam penulisan penelitian ini masih ada kekurangan,
namun diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan juga dunia pendidikan.
Surakarta, 6 Januari 2010
(Penulis)

( Fitriana Heni Hapsari )


DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
BAB I. PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
E. Kajian Sumber
F. Metode Penelitian
G. Kerangka Teori
H. Sistematika Penulisan
PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah.


Dari masa ke masa pers Indonesia senantiasa mendapatkan intervensi
ataupun ganjalan dari pemerintah. Sejak munculnya pers pada jaman Hindia
Belanda, pemerintah telah membatasi gerak pers dengan menerapkan Presbreidel
Ordonnantie yang digunakan untuk mencabut ijin penerbitan kepada media cetak
yang dianggap membahayakan pemerintah Hindia-Belanda. Tindakan-tindakian
tersebut sering diambil dikarenakan sering terjadi tabrakan kepentingan antara
pihak pemerintah dan kalangan pers, tak terkecuali pada masa Orde Baru, yakni
masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Pada pemerintahan awal orde baru pers Indonesia mendapatkan
kebebasan dalam melaksanakan kegiatannya dalam bidang jurnalistik. Pers boleh
meliput apapun sejauh pers tidak menentang kekuasaan yang anti komunis. Dari
situ munculah harapan akan kebebasan pers yang diakui. Hal tersebut juga
ditekankan dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. 32 tanggal 12 Desember
1966. Diantaranya adalah, pasal 4 yang mengatur bahwa pers nasional tidak
dikenakan sensor dan pembredelan. Pasal 5 mengatur bahwa kebebasan pers
sesuai dengan hak asasi warga Negara dijamin. Pasal 8 ayat 2 menyatakan
pendirian surat kabar tidak perlu SIT dari pemerintah ( Masduki : 20003)
Tetapi, sejak awal 1970-an masalah mulai muncul. Lambat laun kebebasan
mulai dikekang, terutama menjelang dilaksanakannya pemilu 1971. Secara
perlahan musuh politik presiden Soeharto mulai muncul, orang-orang yang tidak
puas terhadap pemerintahan baru berani berbicara lantang. Peristiwa-peristiwa
semacam ini tidak luput dari liputan pers. Liputan yang dilakukan pers ikut
menyulut komponen lain untuk menentang pemerintah. Puncaknya yakni
peristiwa Malari 1974 yang menentang penggunaan produk buatan Jepang. Sejak
peristiwa tersebut, pemerintah mulai melakukan kontrol terhadap pers. Karena
pers mulai dianggap membahayakan stabilitas negara.
Sejak saat itulah berbagai usaha pengekangan terhadap pers terutama
media cetak mulai gencar dilakukan. Beberapa bentuk pengendalian pers yang
dilakukan oleh pemerintah orde baru antara lain, menjadikan PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia ) sebagai korporatisme Negara. PWI merupakan organisasi
yang menampung seluruh wartawan Indonesia pada masa itu yang pada tujuannya
merupakan wadah untuk melindungi serta memajukan pers serta wartawan
Indonesia sesuai dengan kode etik jurnalistik. Namun pada kenyataannya PWI
justru merupakan tangan panjang dari pemerintah yang digunakan untuk
mengekang kebebasan wartawan dalam bertugas serta selalu bekerja sama dengan
pemerintah dengan cara membenarkan segala tindakan pembredelan yang
dilakukan pemerintah orde baru kepada perusahaan penerbitan. PWI bahkan tidak
segan untuk mencabut keanggotaan seseorang apabila wartawan tersebut dinilai
telah mengeluarkan pemberitaan dan statement yang berseberangan dengan
pemerintah.http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Intervensi-
Pemerintah-Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-
Syahri.pdf.
Pemerintah Orde Baru telah menciptakan mekanisme kontrol yang efektif
terhadap pers. Kontrol itu bisa berupa slogan-slogan, seperti pers yang bebas dan
bertanggung jawab atau interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat.
Untuk memenuhi harapan ini, yang diperlukan bukan saja penggelaran aparatur
represif dari negara untuk mengendalikan oposisi dan pembangkangan, tetapi juga
upaya-upaya mengendalikan dan memanipulasi system reproduksi ideasional
demi meratakan jalan bagi pengoperasian hegemoni Pemerintah. Perekayasaan isu
menjadi efektif karena kontrol kekuasaan terhadap media massa, sehingga
kekuasaan bisa menentukan apa yang boleh dimuat dan tidak boleh dimuat dalam
hampir semua media massa resmi melalui budaya telepon , pembinaan , ancaman
pembredelan dan kontrol melalui saham yang ditanamkan di media massa yang
bersangkutan.
Telepone sebagai media komunikasi paling utama pada waktu itupun tak
luput digunakan sebagai media pemberian peringatan secara halus dari pegawai
pemerintahan ke pihak media penerbitan yang dirasa telah berani menyalahi
peraturan pemerintah. Kebijakan ekstrim pemerintah terkait dengan pengekangan
gerak pers Indonesia adalah pencabutan SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan
Pers) yang dahulunya merupakan SIT (Surat Ijin Terbit. SIT pada awalnya
digunakan sebagai syarat suatu penerbitan untuk diakui keabsahaannya kemudian
dicabut dan diganti dengan SIUPP lewat ketentuan-ketentuan pada Peraturan
Menteri Penerangan RI No 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers (DR.J.CT. Simorangkir, SH:1986). Hal tersebut dilakukan demi
memudahkan pemerintah untuk mengontrol serta mempersulit pers dalam
bergerak membeberkan fakta dan informasi kepada masyarakat.
Situasi pemerintah yang otoriter pada masa orde baru tidak bisa menjamin
berlakunya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Hal tersebut tentunya akan
berdampak negatif baik dari segi politik yang dijalankan pemerintah pada waktu
itu yang akhirnya pasti akan berimbas kesegala aspek kahidupan. Hal tersebut
dikarenakan tumpulnya kritik terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintahan yang
tidak mendapatkan kritik dari masyarakatnya cenderung akan bersifat otoriter
bahkan bertindak tanpa ada pertimbangan dari segala lapisan masyarakat.
Dampaknya kebijakan hanya menguntungkan satu pihak saj, dalam hal ini tentu
saja pemerintah.
Selain itu kurangnya publikasi atau terlalu banyaknya fakta yang ditutup-
tutupi menandakan tidak adanya transparansi dari pemerintah yang dampaknya
adalah skeptisisme dari rakyat akan masalah dalam yang dialami negaranya.
Skeptisisme itu sendiri muncul akibat ketidaktahuaan rakyat terhadap situasi yang
terjadi di dalam negaranya. Akhirnya daya nalar kritis dari rakyat sendiri lah yang
dikorbankan. Kebebasan pers dikekang bukan hanya dari media massa saja tetapi
juga pers dari kalangan mahasiswa. Dengan diberlakukannya NKK/BKK pers
mahasiswa juga ikut dibredel penyebabnya juga sama yakni peristiwa MALARI.
Banyak Lembaga Pers Mahasiswa yang akhirnya menjadi korban seperti Gelora
mahasiswa UGM, Almamater IPB, Media ITS, Kampus ITB, dan Salemba UI.
(A. Surjomihardjo dan L. Suryadinata: 1980)
Intervensi-intervensi tidak sehat yang dilakukan pemerintah kemudian
membawa keluarnya peraturan-peraturan baru yang semakin mempersempit ruag
gerak pers. Sejumlah produk hukum muncul pada era ini yaitu: (i) UU No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers; (ii) UU No. 4 Tahun 1967
tentang Penambahan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers; (iii) UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan tentang UU No. 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers; dan (iv) Peraturan Menteri
Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Berbagai
produk hukum itu menunjukkan dominasi negara yang penuh kediktatoran untuk
melibas kebebasan pers tanpa dengan tegas menunjukkan batas-batas dan lingkup
kebebasan pers itu sendiri.
Yang lebih menggambarkan ketidak adilan yang dialami oleh pers pada
masa orde baru adalah kesalahan-kesalahan yang ditimpakan kepada pers oleh
pemerintah tidak dibuktikan melalui pengadilan. Setiap kesalahan yang
ditimpakan kepada pers tidak pernah dibuktikan secara hukum. Penafsiran secara
sepihak oleh pemerintah sering dilakukan. Salah satu yang menonjol dalam
periode ini adalah seringkali ukuran-ukuran yang dipakai untukmelaksanakan
kebebasan pers berbeda. Ukuran tentang apa yang boleh dimuat dan tidak boleh
dimuat tidak pernah konsisten setiap waktu. Contoh yang menimpa majalah
mingguan Fokus, Fokus dibredel dikarenakan memuat artikel yang berisi daftar
200 orang kaya di Indonesia, tetapi untuk kasus berita yang sama lima tahun
kemudian tidak menjadi persoalan.
Dari uraian-uraian diatas kemudian melatarbelakangi penulis untuk
mengadakan penelitian mengenai kebijakan pengekangan pers oleh pemerintah
orde baru. Pers yang pada dasarnya memegang peranan yang signifikan sebagai
pengotrol kebijakan pemerintah justru berbalik dikontrol oleh pemerintah. Namun
dengan segala kekangan-kekangan yang dilakukan oleh pemerintahan pers tetap
dapat bertahan walaupun sudah banyak kasus badan penerbitan yang mengalami
pembredelan selama berkali-kali.
Walaupun pers tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik pada waktu
itu namun tak dapat dipungkiri kekangan-kekangan yang dilakukan pemerintah
adalah wujud dari ketakutan akan kekuatan pers yang dapat sewaktu-waktu
menggulingkan kekuasaan. Sehingga dalam penelitian ini pun penulis juga
berusaha mengungkapkan bagaimana cara-cara pers bertahan dalam menghadapi
tekanan-tekanan bertubi-tubi dari pemerintah sekaligus bagaimana ia dapat
memerankan peranannya di sela-sela intervensi dari pemerintah.

B. Pembatasan Masalah.
Penelitian ini mengulas mengenai kebijakan pemerintah yang mengekang
kebebasan pers pada masa Orde Baru. Jurnalistik pers berarti proses kegaitan
mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita
melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah kepada
khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya. Apabila jurnalistik mengarah
kepada prosesnya, pers lebih mengarah kepada media, dan yang menjadi sorotan
pada penelitian ini adalah media penerbitan cetak atau yang menjadi produk
paling utamanya yakni surat kabar. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai
segala UU, peraturan-peraturan ataupun kebijakan pemerintah orde baru yang
mencoba menggerogoti kekuatan dari pers.
Scope permasalahan yang dikaji dalam masalah ini yakni mengenai
perkembangan pers di Indonesia. Baik mengenai bagaimana bentuk pergerakan
pers maupun arah gerak pers sesuai dengan kode etik jurnalistik yang berlaku
pada waktu itu. Sedang dari segi spasial yang menjadi pembahasan utama dari
penelitian ini adalah masa Orde Baru dimana pada masa itu banyak kontroversi-
kontroversi yang ditimbulkan dari peraturan-peraturan pemerintah yang
cenderung bersifat otoriter tanpa adanya kritik yang intensif dari seluruh lapisan
masyarakat.

C. Rumusan Masalah.
Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana keadaan pers masa masa Orde Baru?
2. Bagaimana peraturan dan kebijakan pemerintah orde baru terhadap
kehidupan pers pada masa itu?
3. Bagaimana usaha dan tindakan yang diambil oleh kalangan pers untuk
bertahan menanggapi peraturan pemerintah masa orde baru?
D. Tujuan dan Manfaat.
1) Tujuan
Tujuan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain :
1. Penulis dapat mengetahui keadaan pers pasa awal masa Orde Baru.
2. Penulis dapat mengetahui peraturan dan kebijakan pemerintah orde baru
terhadap kehidupan pers pada masa itu.
3. Penulis dapat mengetahui usaha dan tindakan yang diambil oleh kalangan
pers untuk bertahan menanggapi peraturan pemerintah masa orde baru.
2) Manfaat
a) Manfaat Teoritis :
1) Memberikan sumbangan kepada ilmu sejarah pada umumnya dan sejarah
pers pada khususnya.
2) Menambah perbendaharaan tulisan tentang sejarah pers di Indonesia.
3) Mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiah dalam menganalisa
kebijakan pemerintah orde baru terhadap kehidupan pers.
b) Manfaat Praktis :
1) Sebagai bahan masukan atau informasi serta bahan perbandingan bagi
peneliti berikutnya dalam hal atau masalah yang sama
2) Memberikan gambaran yang jelas kepada mahasiswa program sejarah dan
mahasiswa program lain yang ingin mengetahui sejarah pers di masa orde
baru

E. Kajian Sumber
1. Buku
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku yang
merupakan sumber-sumber sejaman sebagai sumber primer ataupun yang tidak
sejaman sebagai sumber sekunder. Buku-buku tersebut antara lain disebutkan
dibawah ini.
Buku dari Edward C. Smith, yang berjudul Sejarah Pembredelan Pers di
Indonesia. Buku ini terbit pada tahun 1983 diterbitkan oleh PT Grafiti Press
Jakarta. Hal-hal yang dimuat dalam buku ini adalah mengenai latar belakang
maraknya kasus pembredelan pers di Indonesia beserta kasus-kasus penjelasan
satu persatu mengenai kasus tersebut. Buku ini bukan hanya menyoroti pada masa
Orde Baru saja tetapi jauh padasaat munculnya pers pertama kali yakni akhir abad
ke 19 pada jaman pemerintahan Hindia Belanda.
Buku yang kedua adalah buku yang berjudul Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers Indonesia, karangan Abdurrachman Surjomihardjo
dan Leo Suryadinata. Buku ini ditulis pada tahun 1980 dan Cet. Pertama
diproduksi oleh Deppen-Leknas, Jakarta. Secara umum buku ini memaparkan
mengenai Sejarah Pers di Indonesia sejak jaman berdirinya. Tidak hanya pers
nasional, pers local maupun dearah pun mendapatkan ruang di dalam buku ini.
Beberapa perkembangan pers yang menarik pun dimuat di dalam buku ini, baik
kemajuan-kemajuannya ataupun kemunduran terkait dengan kebijakan yang
diterapkan pemerintah pada masing-masing masa. Ulasan yang paling pokok
dalam buku ini mengacu pada perkembangan pers pada masa Orde Baru. Yang
lebih menarik lagi, di dalam buku ini dimuat dokumen-dokumen mengenai
peraturan-peraturan ataupun UU yang dikeluarkan pemerintah mengensi pers dan
penerbitan dimulai sejak jaman kolonial Belanda.
Sumber Pustaka yang digunakan penulis selanjutnya antara lain buku
yang berjudul Pers SIUPP dan Wartawan dikarang oleh DR. J. CT. Simorangkir,
SH, diterbitkan oleh penerbit Gunung Agung, Jakarta pada tahun 1986. Dalam
buku ini mengupas mengenai digantinya SIT menjadi SIUPP lewat ketentuan
Peraturan Menteri Penerangan RI No 01/PER/MENPEN/1984. Di dalam buku ini
disebutkan bahwa yang boleh mendirikan usaha penerbitan adalah warga Negara
yang tidak memiliki keterlibatan dengan G/30S/PKI. Buku ini juga memuat kode
etik wartawan yang digunakan sebagai landasan hukum wartawan dalam
melaksanakan tugasnya.
Buku yang selanjutnya adalah buku karangan Masduki yang diterbitkan
oleh UII Pers Jogjakarta pada tahun 2003. Buku ini berjudul Kebebasan Pers dan
Kode Etik Jurnalistik. Di dalam buku ini dijelaskan secara gamblang mengenai
ancaman-ancaman apa saja yang ditujukan kepada pers pada jaman Orde Baru.
Bagaimana langkah-langkah pemerintah Orde Baru untuk membatasi kebebasan
pers. Buku ini menjjelaskan pula kebebasan-kebebasan apa saja yang harus
dimiliki oleh pers namun yang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Serta
bagaimana kebebasan pers yang diatur pada masa Orde lama dibandingkan
dengan pada masa Orde Baru.
2) Arsip.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers. Dalam UU ini dijelaskan mengenai fungsi, hak, dan kewajiban pers sesuai
dengan semangat proklamasi dan pancasila, serta menjunjung nilai-nilai dalam
dekrit presiden 1956. Peraturan ini keluar pada masa orde lama.
Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.
03/PER/MENPEN/1969. Di dalamnya mengatur tentang Lembaga Surat Ijin
Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang bersifat umum.
Dikeluarkan setelah tumbangnya Orde Lama dan berganti menjadi Orde Baru.
Kemudian, Surat Keputusan Nomor : KEP-007-PK/1974 tentang
pencabutan ijin cetak surat kabar “harian Indonesia raya”. Dikeluarkan oleh
Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya.
Surat Keputusan menteri Penerangan Republik Indonesia No.
20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 tentang pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT) surat kabar
harian “Indonesia Raya” dikeluarkan oleh Menteri Penerangan republik
Indonesia.
3) Sumber On-Line
Sedangkan untuk sumber Online atau yang berasal dari internet, penulis
mendownload makalah karangan Moch. Syahri yang merupakan dosen Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Makalah ini
berjudul Intervensi Pemerintah Terhadap Kebebasan Pers dan Munculnya
Eufimisme, disampaikan pada Seminar Akademik tahun 2002. Di download pada
alamat http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-
Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-Syahri.pdf pada
tanggal 10 Desember 2009. Pada dasarnya makalah ini mengungkapkan mengenai
banyaknya intervensi dari pemerintah Orde Baru dalam dunia jurnalistik di
Indonesia pada masa itu. Yang menarik dari makalah ini disebutkan pula
bagaimana cara-cara kalangan pers untuk mengantisipasi serta menanggulangi
peraturan-peratura pemerintah yang bersifat ketat dan otoriter.
Media online lain yang digunakan oleh penulis berasal dari alamat
http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1816 dengan judul artikel Kebebasan
Pers ala Soeharto. Artikel ini adalah karangan dari Agnes Samsoery wartawan
dari Suara Pembaruan Daily, di download pada 10 desember 2009. Dalam artikel
iini disebutkan instansi-instansi penerbitan mana saja yang menjadi korban
pembreidelan surat kabar oleh pemerinah Orde Baru.

F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang akan dilakukan ini metode historis yaitu dengan
langkah-langkah mengumpulkan sumber ( heuristic ), melakukan kritik terhadap
sumber yang telah ada, menginterpretasikan data yang ada dan menganalisa data
tersebut, kemudian tahap terakhir adalah Historiografi ( penulisan ).
Dalam menentukan metode penelitian penulis banyak menggunakan
sumber-sumber pustaka. Seperti yang telah dijelaskan dalam kajian sumber,
sumber-sumber yang digunakan oleh penulis sebagian besar adalah mengenai
sejarah pers serta perkembangannya pada jaman Orde Baru. Sebisa mungkin
penulis memilih sumber-sumber yang memiliki kelengkapan data-data di
dalamnya, berasal dari sumber yang dapat dipercaya pula yakni Monumen Pers
Nasional. Diantara berbagai macam sumber tersebut memuat beberapa kesamaan
yakni banyak ditemukan kasus pembreidelan Penerbitan serta intervensi dari
pemerintah sejak jaman munculnya pers pertama kali. Dalam menyusun penelitian
ini penulis tentunya meninjau persaturan-peraturan yang digunakan oleh
pemerintah dalam melaksanakan intervensinya dan peraturan-peraturan tersebut
tentunya ada di dalam buku yang dijadikan sumber penelitian ini.
Dalam hal kredibilitas ataupun otentitas tenntunya penulis lebih banyak
memasukkan sumber-sumber yang sejaman, untuk menjaga keakuratan data serta
kebenaran fakta. Seperti Undang-undang ataupun peraturan Menteri Penerangan
mengenai kebijakan terhadap pers.
Untuk menjamin kredibilitas dari sumber-sumber tersebut penulis
pelakukan perbandingan antara sumber yang satu dengan yang lainnya dan
tentunya yng sejaman. Dilakukan dengan mengambil kelebihan dari sumber yang
satu kemudian ditambah dengan fakta-fakta dari sumber yang lain agar dapat
mengurangi kelemahan-kelemahan di setiap sumber. Untuk mendapatkan data dan
fakta sumber penelitian yang paling akurat.
Dari situ penulis dapat mngungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi karena buku-
buku tersebut mengungkapkan fakta-fakta yang sama dan saling berhubungan.
Dengan begitu memudahkan penulis untuk merangkaikan fakta-fakta serta
mengungkapkan kebenaran mengenai intervensi yang dilakukan pemerintah Orde
Baru terhadap Pers dan Jurnalistik di Indonesia. Kemudian merangkainya menjadi
sebuah pelitian mengenai “KEHIDUPAN PERS DI INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU ( STUDI TENTANG PERATUTARN PEMERINTAH ORDE
BARU TERHADAP KEBEBASAN PERS)”

G. Kerangka Teori
1) Teori Pers tanggung jawab Sosial.
Secara teoritis sistem pers yang dianut di Indonesia adalah system pers
Tanggung Jawab Sosial. Pemikiran dasar teori ini sebagai berikut (Peterson,
1986:83), bahwa kebebasan, mengandung di dalamnya suatu tanggungjawab yang
sepadan; dan pers, yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam
pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat
dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat
modern. Asal saja pers tahu tanggung-jawabnya dan menjadikan itu landasan
operasional mereka.

2) Landasan Konstitusional kebebasan Pers Indonesia.


Di Indonesia, landasan konstitusi yang dipakai adalah pasal 28 UUD 1945
yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang .
Dengan mengacu pada pasal tersebut, secara nyata kebebasan pers mendapat
jaminan yang cukup kuat untuk melaksanakan fungsinya, yaitu :
a. melayani sistem politik dengan menyediakan ruang diskusi bagi
masyarakat untuk berdebat terutama dalam masalah kebijakan publik,
b. menjadi anjing penjaga dan hak-hak perorangan warga negara (control
sosial), dan
c. membiaya finansial secara mandiri (Peterson, 1986:84).
Kontrol sosial yang dimaksud bahwa pers memposisikan sebagai kakuatan
ke-empat (four estate) untuk mengontrol lembaga-lembaga politik lain yaitu
eksekutif, yudikatif, dan legislatif dalam menjalankan fungsinya. Jika ada
penyelewengan yang dilakukan oleh ke tiga lembaga tersebut maka pers akan
mengontrol lewat pemberitaan dan pada akhirnya publik akan tahu dan ikut
berpartisipasi dalam proses keputusan suatu. kebijakan lewat diskusi di media.
Selanjutnya secara operasional pers harus dapat menghidupi diri sendiri
tanpa meminta bantuan kepada pemerintah. Ini diperlukan untuk menghindari
tekanan-tekanan dari pihak pemerintah. melaksanakan tugas tersebut pers
Indonesia mempunyai Undang-Undang (UU) yang dijadikan landasan
operasionalnya yaitu UU tentang pers. Hingga sekarang, sudah tiga kali UU
tentang pers mengalami revisi, yaitu UU No. 11 Tahun 1966. Kemudian direvisi
dengan UU No. 21. Tahun 1982, dan terakhir derevisi de-ngan munculnya UU.
No. 40 Tahun 1999. Disamping itu ada beberapa keputusan menteri dan pertauran
pemerintah.

H. Sistematika Penulisan
BAB I, merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, kajian sumber, metode
penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan. Dari penelitian ini dapat diperoleh hasil


antara lain bahwa kehidupan pers diawal-awal orde baru sempat merasakan
kebebasaan pers sebelum terjadi peristiwa MALARI 1974. Sejak saat itu
pengekangan serta intervensi diberikan secara bertubi-tubi terhadap kalangan pers
yang dirasa terlalu ekstrem. Dimulailah pembredelan-pembredelan pers secara
membabi buta. Pers yang searah dengan pemikiran orde barulah yang pada
akhirnya dapat bertahan. Dengan begitu bergeserlah fungsi pers pada masa orde
baru yakni menjadi alat pemerintah untuk menyebarkan doktrin-doktrin dan
propagandanya.

Bab III Pemaparan mengenai Peraturan-peraturan pemerintah yang


mengekang pers. Di dapatkan informasi mengenai enam bentuk pengendalian per
oleh Negara pada amsa orde baru, antara lain :
1. Menjadikan PWI ( Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai
korporatisme Negara.
2. Membudayakan telephone dan peringatan sebagai pembinaan politik.
3. Pembatalan SIUPP sebagai rule by using law.
4. Penguasaan saham penerbit pers.
5. Dibentuknya wartawan KORPRI.
6. Kekuasaan yang koersif terhadap wartawan.
Kemudian munculah peraturan-peraturan yang mengiringi pembredelan
surat kabar nasional bahkan “Sinar Harapan” dikenakan pembredelan berulang
kali antara lain :
Pertama, pada 1965, tidak diizinkan terbit dari tanggal 2 sampai 7 Oktober
1965. Ketika itu situasi masih simpang siur setelah terjadi pemberontakan G30S.
Agar tidak mengacaukan situasi, penguasa memerintahkan melarang terbit semua
surat kabar di Jakarta, termasuk Sinar Harapan (SH). Hanya dua surat kabar,
yakni
Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, yang membawakan suara pihak Angkatan
Bersenjata, tetap terbit.
Kedua, pada 1973, tepatnya 2 sampai 11 Januari, SH dilarang terbit oleh
Pelaksana Khusus Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Daerah Jakarta Raya (Laksus Pangkopkamtibda Jaya) karena menyiarkan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) sebelum disampaikan
Presiden pada sidang DPR. pemberedelan kali ini hanya dilakukan terhadap SH.

Ketiga, 21 Januari-3 Februari 1978, karena memberitakan aksi-aksi


mahasiswa tujuh koran Ibukota diberedel, yakni SH, Kompas, Pelita, Merdeka,
Pos Sore, Indonesia Time, dan Sinar Pagi.
Surat kabar lain yang mengalami nasib sama adalah) surat kabar harian
“Indonesia Raya” yang dibredel lewat Surat Keputusan menteri Penerangan
Republik Indonesia No. 20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 tentang pencabutan Surat Ijin
Terbit (SIT).

Bab IV mengenai cara kalangan pers surat kabar untuk bertahan ditengah
terpaan intervensi dari pemerintah namun tetap bisa menjalankan fungsinya
dengan baik. Walaupun banyak ganjalan yang diberikan oleh pemerintah tidak
berarti pers berdiam diri dan tidak melakukan kontrol terhadap pemerintah.
Berbagai upaya dilakukan untuk menyiasati keadaan tersebut. Seorang wartawan
senior, Jakob Oetama pernah mengemukakan, agar tetap selamat, pers Indonesia
harus berlaku seperti kepiting bebelok jika terhalang batu. Salah satu yang
digunakan adalah penggunaan bahasa eufimisme dalam melaporkan suatu
peristiwa yang sensitif.
Eufimisme merupakan gaya bahasa yang menuntut pembaca untuk bisa
melihat hal yang tersirat. Akibatnya muncullah dalam khasanah surat kabar kata-
kata diamankan untuk mengganti kata ditangkap, diminta keterangan untuk
mengganti-kan kata hukuman, penyesuaian harga untuk menggantikan istilah
kenaikan harga, perbedaan pendapat untuk menggambarkan adanya perpecahaan
dalam organisasi, kekurangan gizi untuk me-nggantikan kata kelaparan.
Kata-kata yang demikian merupakan produksi media un-tuk membungkus
sebuah fakta agar kelihatan lebih halus. Bagi sebagian kalangan penggunaan
bahasa eufimistik mendapat dukungan, karena dianggap lebih sopan atau untuk
sopan santun. Tetapi, bagi pers sebetulnya tidak bisa diterima, hal tersebut sama
saja dengan menutupi kebenaran yang sebenarnya. Fakta yang ditulis bukanlah
fakta yang sesungguhnya. Seringkali kata-kata yang digunakan tidak merujuk ke
fak-ta yang ada . Gaya penulisan eufimistik memaksa pembaca yang tidak kritis
menelan mentah-mentah kebenaran, atau buat mereka yang kritis harus mengais-
ngais fakta dan kebenaran dari balik berita itu. Namun dengan cara seperti itulah
pers masa orde baru mengakali situasi agar tetap bisa bertahan ditengah intervensi
dari pemerintah agar tetap bisa memberikan berita kepada masyarakat walaupun
terkadan fungsi kontrol sosial sendiri menjadi kurang maksimal.

Bab V merupakan penutup yang berisi :


a. Kesimpulan.
Di masa Orde Baru nasib pers sangat mengkhawatirkan. Pers harus
mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan
kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa
perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan
media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan perss di masa
lalu.
Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui
model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita
lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa
atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan
kesalahan yang dilakukan oleh Pers. Sentuk lain dari hegemoni negara atas pers di
tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde
Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak
menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan
di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang
obyektif tidak dapat dirasakan.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang.
Bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan
politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru
mendorong resistensi dan represi negara.
b. Implikasi dan Konsekwensi Logis.
Implikasi yang dihasilkan dari penulisan penelitian ini antara lain dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi pembaca untuk melihat situasi pada jaan orde
baru lewat kacamata pers. Dari peraturan yang ditetapkan terhadap media cetak
dapat dianalisis bahwa Orde Baru memiliki sifat otoriter dan represif dalam
mengeluarkan kebijakan. Yang akhirnya dapat digunakan sebagai pembelajaran
kepada para pembaca mengenai baik buruknya pemerintahan Orde Baru.
Bagi dunia sejarah sendiri, penelitian ini dapat digunakan sebagai media
pembelajaran kepada generasi muda tentang perkembangan sejarah pers yang
diwarnai pasang surut serta krisis-krisis yang menderanya. Untuk dunia
pendidikan penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi
pembelajaran yang menambah wawasan anak didik terhadap sejarah pers masa
orde baru pada khusunya serta kebijakan orde baru pada umumnya.

c. Saran.
Akhirnya saran yang dapat diberikan penulis demi kemajuan historiografi
di Indonesia pada khususnya serta dunia pendidikan sejarah pada umumnya,
antara lain :
1. Untuk para pendidik sejarah hendaknya memperdalam bacaan mengenai
sejarah perkembangan pers, karena pers berperan penting dalam
menciptakan pergerakan revolusi dan reformasi di Indonesia.
2. Untuk para calon pendidik sejarah bacalah sebanyak-banyaknya sumber-
sumber sejarah yang kredibel dan otentik sebagai bekal sebelum terjun ke
dunia pendidikan.
3. Untuk semua pembaca perluas wawasan dengan membaca surat kabar,
karena lewat berita-berita yang disebarkan dalam surat kabar kita akan
lebih peka terhadap kondisi sosial dan berpikir lebih kritis dalam
menanggapi kebijakan pengusa.
DAFTAR PUSTAKA

Edward C. Smith. 1983. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia.Jakarta : PT


Grafiti Press.
A. Surjomihardjo dan L. Suryadinata Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers
Indonesia.1980. Jakarta: Deppen-Leknas.
DR. J. CT. Simorangkir, SH.1986.Pers SIUPP dan Wartawan.Jakarta: Gunung
Agung.
Masduki. 2003. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jogjakarta: UII Pers.

Arsip :
Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No. 03/PER/MENPEN/1969.
Surat Keputusan Nomor : KEP-007-PK/1974 tentang pencabutan ijin cetak surat
kabar “harian Indonesia raya”.
tentang Lembaga Surat Ijin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers
yang bersifat umum.
Surat Keputusan menteri Penerangan Republik Indonesia No. 20/SK/DIRJEN-
PG/K/1974 tentang pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT) surat kabar harian
“Indonesia Raya”.

Data-data :
http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Intervensi-Pemerintah-
Terhadap-Kebebasan-Pers-dan-Munculnya-Eufimisme-Moch.-
Syahri.pdfhttp://rajasidi.multiply.com/journal/item/1816
KEHIDUPAN PERS DI INDONESIA
PADA MASA ORDE BARU
( STUDI TENTANG PERATURAN PEMERINTAH ORDE BARU
TERHADAP KEBEBASAN PERS)

Oleh :

Fitriana Heni Hapsari K4407018

PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

Anda mungkin juga menyukai