Anda di halaman 1dari 9

SEKOLAH BERTARAF RAKYAT SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN

(Studi Kasus SMP Alternatif Yayasan Albanna, Karang Satria, Tambun Utara,
Bekasi)

Abstrak
Tulisan ini ingin menjelaskan bahwa sekolah terbuka sebagai sekolah alternatif bagi
kalangan masyarakat bawah. Sekolah terbuka ini menggunakan kurikulum yang
terapkan oleh DIKNAS. Sekolah terbuka Al-Banna terletak di Karang Satria Kab.
Tambun Utara Bekasi yang notabenenya terletak di pemukiman yang padat
penduduk, sehingga sekolah terbuka ini didirikan Bapak Surono dan kawan-kawan
untuk menunjang pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi
maupun lingkungan.

Latar Belakang
Tingginya minat lapangan kerja memicu untuk mengambil jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, namun hal itu tidak diimbangi dengan roda perekonomian yang kian
meningkat membuat peserta didik sulit dalam melanjutkan pendidikanya. Tujuan
pendidikan tersirat dalam UU No.2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan
bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
Sepertinya hanya untuk kalangan tertentu tujuan pendidikan tersebut dapat di tempuh,
terutama oleh kalangan masyarakat yang mampu untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.

Sekolah layaknya seperti sarana pe-label-an stratifikasi sosial, dilihat dari mampu atau
tidaknya masyarakat untuk mengambil pendidikan. Sekolah-sekolah umum terutama
yang elit mengklasifikasikan masyarakat yang ekonomi rendah, dan masyarakat yang
ekonomi tinggi, mereka terpaksa mencari sarana pendidikan yang setara dengan
keadaan ekonomi mereka. Sarana pendidikan terpecah berdasarkan garis ekonomi
konsumennya, sehingga muncul lembaga pendidikan non-formal, seperti lembaga
privat, PKBM, dll.

Dalam tulisan ini menganalisis sekolah terbuka di daerah Karang Satria, Tambun
Utara, Bekasi, yaitu SMP Alternatif Yayasan Albanna. Terdapat keunikan dari
sekolah terbuka Al-banna itu sendiri yaitu siswa yang mengikuti sekolah di Al Banna
memiliki ijazah yang sama seperti sekolah umum lainnya (bukan mendapatkan ijazah
paket B) padahal sekolah tersebut memiliki status sekolah terbuka (SMPT). Selain itu
keunikan lainnya yaitu jika ingin masuk ke sekolah Al Banna maka harus mengikuti
persyaratan yang telah ditetapkan oleh sekolah Al Banna tersebut. Persyaratan itu
terdiri dari; (1) harus meminta surat keterangan tidak mampu dari desa, (2) setelah itu
dari pihak sekolah Al Banna melakukan survey ke rumah calon peserta didik yang
ingin mendaftar di sekolah Al Banna tersebut.

Pokok permasalahan dalam tulisan ini ialah, Bagaimana proses pembelajaran SMP
Alternatif Yayasan Al-banna? Bagaimana respon masyarakat terhadap SMP Alternatif
Yayasan Al-banna? Permasalahan tersebut akan dijawab pada bagian analisis.

Konteks Historis
Pemerintah selalu menyerukan pendidikan gratis untuk masyarakat dengan anggaran
dana pemerintah sebesar 20%, dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan
nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.1
Faktanya tingkat ekonomi masyarakat serta ketidakmerataan dalam penyaluran dana
pendidikan menjadi program pemerintah tersebut hanyalah wacana. Terdapat
stratifikasi dalam pendidikan yang dilihat berdasarkan tingkat ekonomi dan daya
kognitif anak. Sebab itu tahun 1979/1980 mulai di rilis SMP Terbuka. SMP Terbuka
dinilai sangat berhasil karena telah dilaksanakan di seluruh propinsi dan tercatat pada
tahun 1998/1999 telah dikembangkan di 2.356 lokasi dengan siswa 280.000 orang.2

SMP Terbuka adalah program yang mulai dirintis oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1979/1980
dalam upaya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak tamatan Sekolah
Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang berusia 13-15 tahun atau maksimal 18
1
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29 (diakses
pada 12 Desember 2010)
2
http://omie.student.umm.ac.id/2010/01/29/pendidikan-alternatif-di-indonesia/ (diakses pada12
Desember 2010)
tahun yang kurang beruntung, karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas
transportasi, kondisi geografis atau menghadapi kendala waktu yang tidak
memungkinkan mereka untuk mengikuti pelajaran pada SMP regular. SMP Terbuka
merupakan lembaga pendidikan formal yang tidak berdiri sendiri tetapi merupakan
bagian dari SMP Induk yang dalam menyelenggarakan pendidikannya menggunakan
metode belajar mandiri.3

Yayasan Al-Banna adalah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dhuafa
dan sosial. Alhamdulillah dalam bidang pendidikan sampai dengan saat ini Yayasan
telah mengelola sebuah Sekolah Menengah Pertama Alternatif yang telah berjalan
kurang lebih selama tujuh tahun yakni tepatnya mulai tanggal 01 Juli 2003 melalui
Program Pendidikan Sekolah Gratis untuk dhuafa dan anak jalanan dengan jumlah
siswa sebanyak 157 siswa.4

Proses pembelajaran pada dasarnya dilakukan sama seperti sekolah umum,


perbedaannya yang harus ditekankan bahwa seorang guru harus mempunyai sifat
keras dan tegas kepada anak karena peserta didik SMP Terbuka ini memiliki latar
belakang sejarah pendidikan yang berbeda dari orang tuanya, dan lingkungannya pun
berbeda, jadi secara otomatis seorang guru haruslah mengajar lebih ekstra. Peserta
didik di sekolah ini berbeda secara kognitif, peserta didik sulit untuk memahami
pelajaran yang diberikan. Seorang guru mau tidak mau harus mengulang 2-3 kali
materi yang diajarkan supaya anak mudah memahaminya.

Berdasarkan jadwal yang ada kegiatan belajar pembelajaran dilakukan setiap hari
senin sampai sabtu dimulai pukul 16.00 wib namun karena SMP Terbuka ini
menggunakan SDN 01 Karang Satria, anak-anak SMP Terbuka harus menunggu
murid Sekolah Dasar selesai belajar. Jadi terkadang mulai pukul 17.00 wib dan selesai
pukul 20.00 wib.

Untuk hari sabtu anak harus sekolah di sekolah induknya yaitu SMPN 1 Tambun
Utara proses pembelajaran berlangsung seperti halnya sekolah biasa yang dimulai dari
pukul 07.00 dan selesai pukul 12.00. Materi yang didapat siswa juga disesuaikan jadi
3
Ibid., http://omie.student.umm.ac.id/2010/01/29/pendidikan-alternatif-di-indonesia/ (diakses pada12
Desember 2010)
4
Profil SMP Alternatif Yayasan Albanna, 2009
pada hari itu semua mata pelajaran diajarkan. Kemudian sorenya si anak tetap masuk
sekolah di Masjid sebagaimana jadwal yang telah ada.
Table 1 Kegiatan Pembelajaran
Hari Waktu Tempat
Senin-Jumat 16.00-20.00 SDN 01 Karang Satria
Sabtu 1) 07.00-12.00 1) SMP Tambunan Utara
2) 16.00-20.00 2) Masjid
sumber 1 (Hasil Observasi SMP Alternatif Yayasan Al-banna: 2010)

Dalam seragam sekolah selama proses pembelajaan peserta didik disamakan dengan
sekolah umum lainnya, karena sistem pembelajaran masih di bawah Departemen
Pendidikan Nasional. Namun untuk pakaian olahraga tidak ada karena dalam mata
pelajaran Jasmani dan Olahraga tidak ada dalam muatan kurikulum.

Table 2 Seragam sekolah


Hari Seragam
Senin-selasa Putih biru
Rabu-kamis Batik
Jumat Muslim
Sabtu Pramuka
sumber 2 (Hasil Observasi SMP Alternatif Yayasan Al-banna: 2010)

Keterangan:
Setiap peserta didik diberikan seragam putih biru gratis mulai dari topi, baju,
rok/celana, badge, ikat pinggang, osis, dasi, dan sepatu. Namun untuk baju batik dan
baju muslim setiap anak di bebankan untuk membayar 10.000. Akan tetapi bagi yang
tidak mampu hanya semampunya saja.

a. Mata Pelajaran

Untuk mata pelajaran di SMP Terbuka sama halnya sekolah SMP pada umunya yakni
terdiri dari: IPA IPS, Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, PKN.
Kesenian, TIK, dll. Namun bedanya di smp terbuka ini tidak terdapat mata pelajaran
olahraga dan Bahasa Sunda. Akan tetapi ketika uts atau uas mata pelajaran ini selalu
di ujikan karena soal-soalnya dari Diknas. Perbedaan standar keluluan belajar minimal
dari SMP Umum dengan SMP Terbuka yaitu lebih rendah daripada SMP Umum.

Table 3 Mata Pelajaran SMP Alternatif Yayasan Al-banna


Standar Kelulusan Belajar Minimal
No Mata Pelajaran
VII VIII IX
1 Pendidikan Agama 61 61 61
2 Pendidikan Kewarganegaraan 61 61 61
3 Bahasa Indonesia 61 61 61
4 Bahasa Inggris 61 61 61
5 Matematika 61 61 61
6 Ilmu Pengetahuan Sosial 61 61 61
7 Ilmu Pengetahuan Alam 61 61 61
8 Seni Budaya 67 67 67
9 Jasmani,Olahraga,Kesehatan 72 72 72
10 Tekhnologi Informasi dan Komunikasi 72 72 72
sumber 3 (Hasil Observasi SMP Alternatif Yayasan Al-banna: 2010)

b. Prosedur Pendaftaran

• Pendaftaran di kediaman Pa Suhar (wakasek)

• Wawancara

• Survey kelayakan siswa

• Test

• Pengumuman

Tahap pertama ialah pendaftaran yang dilakukan di kediaman Pak Suhar dengan
mengisi beberapa formulir, setelah itu Pak Suhar melakukan interview kepada calon
peserta didik berupa pertanyaan tentang keadaan ekonomi orang tua dan tempat
tinggal. Pada tahap ketiga ini secara tersembunyi Pak Suhar melakukan survey
kelayakan calon peserta didik dilihat berdasarkan keadaan rumah dan isi rumahnya,
jika ternyata memang benar tergolong orang yang tidak mampu maka peserta didik
layak untuk masuk SMP Albanna. Pada tahap terakhir ialah test, fungsi dari test ini
sebagai bentuk pengukuran kemampuan calon peserta didik. Yang setelah itu pengajar
dapat mengetahui seberapa jauh kemampuan peserta didiknya.
c. Peserta Didik

Peserta didik SMP Alternatif Yayasan Al-banna diperuntukan untuk anak usia sekolah
SMP terutama bagi mereka yang tidak mampu menempuh sekolah regular (sekolah
umum), baik karena kemampuan ekonomi, jarak tempuh, dan lain-lain.
Kelas Jumlah
VII 53
VIII 41
IX 43

Analisis Sosiologi Dan Ekonomi


Tinjauan analisis sosiologi tentang sekolah terbuka melihat pada tingkatan kebutuhan
masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Pada lapisan bawah kebutuhan akan
pendidikan seperti mengambil air sumur yang dalam. Butuh tenaga yang ektra agar
bisa mendapatkan pendidikan. Kebutuhan tersebut tercipta seiring meningkatnya
zaman. Kecanggihan abad millenium ketiga ini tidak diimbangi dengan kemampuan
masyarakat, sektor pendidikan semakin mahal, dan daya saing untuk masuk sekolah
elit juga begitu ketat, belum lagi keadaan ekonomi yang mengharuskan masyarakat
menunda pendidikannya. Pendidikan bisa dikatakan proses pembangunan sebuah
Negara. Maju berkembangnya suatu Negara dapat terlihat dari tingginya pendidikan
dalam suatu Negara tersebut. Pemerintah yang tidak memahami esensi pendidikan
sebagai cikal bakal terjadinya modernisasi yang benar, hanya akan terjebak kepada
keinginan kecepatan pembangunan sambil mengorbankan unsur kemanusiaan.5
Tingkat ilmu pengetahuan peserta didik yang tidak seimbang dengan gencarnya
modernisasi yang begitu cepat, memaksa mengkotak-kotakkan pendidikan di
Indonesia. Peserta didik yang tidak mampu mengejar zaman secara tidak langsung
mencari pendidikan yang masih sepadan dengan tingkat kognitif peserta didik. Belum
lagi praktek kejahatan sekolah dalam penerimaan murid baru yang tidak lepas dari
semangat mencari uang dengan cara menaikkan harga kursi bagi calon siswa6 yang
memaksa mengeluarkan uang agar anaknya layak beratribut sekolah elit. Sekolah
terbuka masih menjadi sekolah yang tepat bagi peserta didik yang ingin mengambil
pendidikan karena ketidakmampuan ekonomi, maupun keadaan lingkungan.

Melihat hal tersebut munculnya Sekolah Terbuka, yang peserta didiknya


dilatarbelakangi masyarakat kelas bawah, keadaan ekonomi orang tuanya yang hanya
mampu untuk menyekolahkan, dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan penunjang pendidikan, seperti buku, LKS, dan seragam. SMP Alternatif
Yayasan Al-banna Tambun Utara (SMP Albanna-Red) merupakan sekolah terbuka
yang dibentuk oleh lembaga Yayasan Al-banna, pengajar SMP Albanna ini dipilih

5
Asep Saepudin, Percikan Pemikiran: Kepemimpinan dan Pendidikan, (Bogor: IPB Press, 2010)
hal.95
6
Muchlis R. Luddin, No Choices Education: Pendidikan Sebagai Pendorong Pemberdayaan
Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Mural, 2005) hal.126
atas dasar sukarelawan. SMP Albanna tidak memiliki gedung sekolahan namun masih
menyewa SDN Karang Ksatria 01, sewa dalam setahunnya sebesar Rp.4.000.000, hal
itu pun di nilai sangat mahal dikarenakan belum termasuk untuk sewa sekertariat yang
besarnya sama dengan sewa sekolahan. Selain kegiatan belajar mengajar di SDN
Karang Ksatria 01 juga melakukan kegiatan belajar di SMPN Tambun Utara (SMP
Tamara-Red) yang sebagai sekolah induk dari SMP Albanna. Saling keterhubungan
SMP Albanna dengan SMP Tamara sebagai suatu sistem penunjang pendidikan. Sisi
lain SMP Albanna dijadikan sebagai sekolah bagi rakyat kecil sisi lain SMP Tamara
sebagai sekolah bagi rakyat elit.

Pada tingkatan mikro sangat jelas untuk melihat SMP Albanna, sekolah bertaraf
“merakyat” ini diminati oleh kalangan masyarakat kelas bawah. Secara universal atau
tingkatan makro, Lembaga Pemerintah hanya melihat sisi secara luas tentang sekolah.
Mengukur rata lembaga pendidikan dengan biaya untuk kelas atas. Pendidikan
universal sebagai tujuan sosial memiliki pandangan utama dalam hal ekualitas dan
keadilan.7 Padahal di tingkat mikro kebutuhan akan sekolahan pun semestinya harus
terpenuhi, yang berkata lain adalah keadaan ekonomi mereka yang membuatnya
membisu untuk mengambil pendidikan. Di tingkat mikro ini diisi oleh sekolah-
sekolah terbuka, sedangkan pada tatanan makro diisi oleh sekolah-sekolah umum,
seperti SMP Tamara sebagai induk SMP Albanna.

Proses pembelajaran SMP Albanna dilakukan pada sore sampai malam hari, nampak
jelas perbedaan dengan sekolah umum. Sekolah umum proses pembelajarannya
dilakukan pagi hingga siang hari, karena waktu yang sangat efektif untuk belajar.
Akan tetapi ditarik keluar dari garis normal, kenyataannya banyak masyarakat yang
tidak bisa melaksanakan proses belajar pada pagi hari, dengan alasan waktu pagi
digunakan untuk mencari nafkah dan membantu orang tuanya. Perioritas orang tua
agar anaknya mengambil pendidikan sangat minim, dalam penafsiran mereka sekolah
hanya untuk kalangan yang mampu. Sekolah memang tak ubahnya seperti ladang
pencari uang, guru yang diistilahkan sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” hanya masa
lalu yang kini hilang. Atas keikhlasan dan ketabahan serta niat agar ilmunya manfaat,
pengajar SMP Albanna melakukan kegiatan pembelajaran dengan sukarela.

7
Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem,
(Jakarta: Adicita Karya Nusa, 2000) hal.68
Terkadang peserta didik SMP Albanna harus menunggu bubarnya anak SD, maklum
sekolah mereka bergantian. Yayasan memang tidak mencukupi untuk membangun
gedung sendiri, esensi mereka bukanlah itu tetapi bagaimana menyekolahkan
masyarakat kelas bawah agar bisa mendapat pendidikan murah.

SMP Albanna menjadi sekolahan yang bertaraf ”merakyat” dikarenakan memenuhi


kebutuhan masyarakat kelas bawah. Seperti yang diungkapkan Ibu Sumiyati.
”Saya mah nyekolahin anak di SMP Albanna karena terjangkau, kalo di sekolah lain
buat daftarnya aja udah mahal, belum lagi buat nebus buku sama seragam”.8

Begitu juga penguatan komentar dari salah satu peserta didik tentang alasan mengapa
memilih SMP Albanna sebagai sarana pendidikannya.
”kalo di SMP Albanna murah buat bayarannya, dan tidak membuat beban, bayaran juga
bisa dicicil dan kalo memang tidak ada ya ga apa-apa”9

Bentuk bantuan rupanya masih sebagai nyawa utama dalam SMP Albanna ini,
bantuan pemerintah berupa BOS nampaknya belum cukup dalam menunjang proses
belajar. Belum lagi dana tersebut terlebih dahulu masuk ke SMP Tamara. Tidak pasti
berapa nominal dana yang dikeluarkan karena pihak sekolah masih merahasiakan.
Peranan orang tua dalam mendorong kegiatan belajar mengajar begitu penting
sehingga apa yang diungkapkan Pak Suhar dalam wawancaranya;
”orang tua hanya di minat seiklashnya saja, karena uang tersebut akan kembali
untuk anaknya, seperti kami meminta infaq, mereka pun tidak merasa keberatan
dengan hal ini, karena bagi mereka sebagai tanda terimakasih”10

Pengajar memang butuh keiklhasan yang besar, selain mengajar peserta didik
berkemampuan rendah, juga gaji mereka tidak sebesar seperti pengorbanan mereka.
Mereka mempunyai kepuasan batiniyah atas jerih payah yang mereka korbankan.

Pada akhir analisis ini sekolah seperti SMP Albanna ini dalam perpektif Collins11
yang melihat di tingkat mikro, pendidikan pada kenyataannya selalu dilihat secara
luas dan umum. Collins berupaya menunjukan “seluruh fenomena makro” dapat
ditafsirkan sebagai “kombinasi dari kejadian mikro” dari tatanan makro dapat dilihat

8
Hasil wawancara dengan Ibu Sumiyati pada tanggal 25 Desember 2010, saat pembagian rapot.
9
Hasil wawancara dengan Wiwi pada tanggal 15 Desember 2010.
10
ss Hasil wawancara dengan Pak Suhar pada tanggal 15 Desember 2010
11
George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, “Edisi Keenam”, (Jakarta: Kencana,
2010) hal.485
suatu bentuk interaksi dalam tingkatan mikro. Dalam tingkat mikro ini terdapat
kebutuhan pendidikan dari kalangan terkecil namun belum terdeteksi bentuk solusi
kongkretnya oleh Lembaga Pendidikan Pemerintahan. Di tengah pendidikan yang
terkonsep sebagai perjuangan antar kelas, maka pendidikan harus diubah menjadi
kekuatan yang bisa membebaskan diri dari opresi kelas dominan.12 Dengan upaya
mengadakan sekolah terbuka akan memberi kesempatan untuk masyarakat yang
berada pada tatanan mikro.

Kesimpulan

Daftar pustaka
Luddin, Muchlis R. 2005. No Choices Education: Pendidikan Sebagai Pendorong
Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Mural.

Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Saepudin, Asep. 2010. Percikan Pemikiran: Kepemimpinan dan Pendidikan. Bogor:


IPB Press.

Soenarya, Endang. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan


Pendekatan Sistem. Jakarta: Adicita Karya Nusa.

Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern, “Edisi
Keenam”. Jakarta: Kencana.

Sumber Lain:
http://www.setneg.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29
http://omie.student.umm.ac.id/2010/01/29/pendidikan-alternatif-di-indonesia/

Lampiran

12
Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010) hal.173

Anda mungkin juga menyukai