Anda di halaman 1dari 10

Apa yang pertama kali terlintas di benak kita melihat penggusuran pemukiman

kumuh dan pedagang kaki lima di jalanan? Apa yang terpikir tentang kekerasan

dalam rumah tangga dan keterbatasan kaum perempuan? Sementara di sekitar

kita, anak-anak putus sekolah, kesehatan masyarakat menurun, permasalahan

lingkungan serta kehidupan sosial bangsa di mata dunia. Adakah yang merasa

hatinya tersentuh? Apa ada yang peduli? Banyak yang hatinya tersentuh, tapi

terlanjur lumpuh untuk tergerak. Hidup masa kini adalah hidup para penganut

hukum rimba. Hukum rimba zaman singa jadi raja, siapa kuat ialah pemenang.

Hukum rimba zaman millennium, siapa kuat (berani berspekulasi) ia berhak

memenangkan diri, siapa merasa lemah (takut berbagi) ia wajib menyelamatkan

diri. Taktik lama, menemukan posisi aman pribadi. Lalu apa tidak ada yang punya

jawaban untuk pertanyaan di atas?

Sejak kita duduk di bangku taman kanak-kanak, orang tua dan guru kita pasti

sering bertanya mengenai cita-cita kita. Dokter, polisi bahkan presiden, tergantung

bagaimana pikiran anak kecil kita bekerja. Siapa pun, apa pun, baik sadar atau pun

tak sadar, pasti punya cita-cita. Tumbuhan?Binatang? Tak terkecuali, hanya saja

mereka tidak pernah membicarakannya dengan kita para manusia. Bangsa?

Negara? Pasti dan wajib. Negara tanpa cita-cita adalah sekumpulan tanah tanpa

tujuan. Bangsa tanpa tujuan adalah segerombolan orang tanpa pedoman. Apa pun

tanpa pedoman adalah kehancuran. Bangsa kita Indonesia pun memegang prinsip

tersebut, atas dasar itulah kita kini mengenal apa yang di sebut Millenium

Development Goals (MDGs). Indonesia mempunyai cita-cita berarti masalah

terselesaikan, tentu saja tidak sesederhana itu. Justru dengan menempatkan MDGs

sebagai cita-cita jangka pendek, menimbulkan banyak kontroversi di negara kita.

1
Awal tahun 2008, bergaung dimana-mana mengenai target pencapaian MDGs

2010 diikuti usaha-usaha pencapaian yang (terlihat) sangat gencar. Tahun 2008

belum berlalu, tapi yang terdengar kini adalah kerasnya suara mendengungkan

Indonesia pasti berhasil mewujudkan MDGs 2015. Apa beberapa bulan yang lalu

pendengaran kita salah?Atau apakah memang batas pencapaian cita-cita bisa kita

ubah begitu saja?

Kita semua patut bingung, mungkin memang kita (seharusnya) memiliki target

kuantitatif mengenai pencapaian MDGs tersebut. Nyatanya, yang berwenang tidak

(atau belum) mengatur hal-hal semacam itu dalam rencana MDGs 2010. Dan

tentu saja akan memunculkan pertanyaan baru mengenai kapan MDGs akan

dinilai benar-benar tercapai.

Sekarang kita melihat eksposisi MDGs sebagai abstraksi cita-cita bangsa secara

utuh. Kita semua tahu ada delapan poin MDGs, yaitu : pengentasan kemiskinan,

pemerataan pendidikan dasar, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,

penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penanggulangan

HIV/AIDS serta penyakit berbahaya lainnya, penanggulangan masalah

lingkungan hidup serta yang terakhir membina kemitraan global demi

pembangunan bangsa. Dimana kedelapan poin tersebut disusun berdasarkan tiga

tema utama yaitu human development, human security dan human right1. Untuk

cita-cita yang baru, MDGs 2015, telah diatur mengenai target pencapaian MDGs

untuk setiap poinnya secara semi kuantitatif. Target tersebut disusun sebagai

berikut :

2
1. Penghapusan kemiskinan

• Target 1 : Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat

pendapatannya di bawah $1 perhari menjadi setengahnya antara tahun

1990-2015

• Target 2 : Menurunkan proporsi penduduk yang menderita

kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990–2015

2. Pencapaian pendidikan dasar untuk semua

• Target 3 : Memastikan pada tahun 2015 semua anak dimanapun,

laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar

3. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

• Target 4 : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat

pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang

pendidikan tidak lebih dari tahun 2015

4. Penurunan angka kematian anak

• Target 5 : Menurunkan angka kematian balita sebesar dua

pertiganya antara th 1990–2015

5. Meningkatkan kesehatan ibu

• Target 6 : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga

perempatnya antara tahun 1990–2015

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya

• Target 7 : Mengendalikan penyebaran HIV/AIDs dan mulai

menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015

3
• Target 8 : Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya

jumlah malaria dan penyakit lainnya

7. Menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan

• Target 9 : Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

dengan kebijakan dan program nasional

• Target 10: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa

akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta

fasilitas dasar pada 2015

• Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan

penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2015 1

Sementara mengenai kemitraan global untuk kepentingan pembangunan akan

diatur kemudian. Suatu kemajuan, namun masalah masih belum selesai. Pada

dasarnya masalah keberhasilan MDGs adalah masalah pengaturan negara secara

menyeluruh dalam segala bidang dimana masing-masing bidang sangat kompleks.

Bicara pengaturan apalagi menyangkut keseluruhan negara adalah hal yang bisa

katakan berpeluang nol, mustahil.

Kita bicara tentang teori. Perlu bukti? Sudah terbentang di depan mata kita, ini

hanya sebagai pengingat saja. Setiap poin MDGs melahirkan poin-poin

baru,dengan permasalahan yang sama pula. Semacam bercermin dalam cermin

dimana bayangan kita akan terlihat pada cermin-cermin berikutnya, hal itu yang

bisa kita sebut fraktal, mikrounit dalam sub unit, dalam unit, dalam super unit,

seterusnya,seterusnya. Poin pertama misalnya, pengentasan kemiskinan. Apa unit

di dalamnya, tentunya ada masalah perekonomian, di dalamnya ada krisis

4
moneter, di dalamnya ada lagi inflasi-deflasi. Sekadar contoh saja, sebelum kita

melihat fakta. Duta Besar Khusus PBB untuk Tujuan Pembangunan Milenium

Asia Pasifik, Erna Witoelar menegaskan, Pemerintah Indonesia memang tidak

memiliki kebijakan meminta penghapusan utang. Namun, Pemerintah Indonesia

mendorong pertukaran utang dan restrukturisasi utang sehingga Indonesia bisa

mencapai Delapan Tujuan Milenium dengan alternatif pembiayaan yang lain.2

Kutipan itu dimuat dalam salah satu harian ibu kota. Masalah spesifik tapi kita

tidak mencari suatu solusi di sini.

Kemudian issu pendidikan yang menekan negara kita, kurang apa lagi, mulai dari

subjek, hingga sarana prasarana. Angka putus sekolah yang tinggi, ada daerah

yang tidak tersentuh pendidikan, gedung sekolah yang bobrok, pengadaan buku

penunjang yang sangat minim, kurikulum negara yang labil, apa ada yang absen

hari ini? Semua masalah hadir. Tentu saja keinginan kita tidak muluk, hanya

mencapai target minimal adalah prestasi besar untuk negara yang sedang

berkembang seperti Indonesia. Sementara poin-poin lainnya sedang menunggu

untuk dibahas. Saatnya perempuan menjadi lebih berdaya, maju kaum perempuan,

stop kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pasti bisa, dan bla bla bla.

Banyak slogan dalam layanan masyarakat yang men-spirit-i langkah-langkah

kemajuan perempuan bangsa. Perempuan patut bangga (atau harus malu?), justru

pemberdayaan perempuan yang menjadi poin ketiga MDGs, bukannya

pemberdayaan laki-laki. Perempuan bangsa adalah aset, bayangkan negara kita

berjalan tanpa perempuan. Tidak, negara terlalu luas, bayangkan saja kehidupan

keluarga tanpa seorang ibu, kehidupan yang timpang adalah dampak mutlak dari

keadaan tersebut. Secara psikologi umum, perempuan secara alami selalu

5
bergerak untuk mendapatkan perhatian, ingin atau pun tak ingin, kaum hawa

selalu muncul dan menjadi perhatian dalam konteks positif maupun negatif. Kita

bukan sedang mengagung-agungkan perempuan, perempuan tidak lebih penting

dari laki-laki, karena itu poin MDGs yang ada adalah kesetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan. Terdapat dua inti yang tidak terpisahkan dalam poin

tersebut. Lalu apakah perempuan kini telah mulai berdaya? Teruslah bertanya.

Punya ibu? Tentu. Punya anak? Mungkin belum. Ibu dan anak bukan suatu hal

yang terpisah, namun dalam MDGs keduanya menjadi dua poin yang berbeda.

Tentu bukan tanpa tujuan, secara sederhana, permasalahan yang besar, kesehatan

ibu dan anak termasuk salah satu masalah besar, bila diuraikan menjadi lebih

spesifik akan lebih mudah mencari pemecahan yang spesifik pula. Penurunan

angka kematian anak dan peningkatan kesehatan ibu, itulah bagian IV dan V

dalam MDGs. Terlalu kompleks memang, pemecahan yang tepat bukan hanya

sekadar dengan pembangunan posyandu, kemudian pemberian penyuluhan bagi

ibu-ibu yang rata-rata melongo, memikirkan makan malam apa yang akan

dimasak untuk suami di rumah saat duduk mendengarkan penyuluhan. Akan lebih

kompleks lagi bila kita telaah lebih dalam, cara terbaik yang mungkin dilakukan

adalah perombakan kesehatan nasional secara besar-besaran. Apalagi hal ini akan

kempali berkorelasi dengan poin VI MDGs, pemberantasan HIV/AIDS, malaria

dan penyakit menular lainnya. Jelas ketiganya masuk dalam konteks

permasalahan kesehatan. Masalah kesehatan akan menyangkut sanitasi, dan

sanitasi berarti lingkungan di sekitar kita, kembali poin MDGs, menjamin

kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Selama ini kita selalu menyalahkan

alam atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di bumi. Hal-hal semacam

6
bencana tidak selalu merupakan kebetulan terjadi atau pun hukuman dari Tuhan,

kita tak pernah menilik bagaimana human error sering ambil andil dalam hal-hal

semacam itu. Yang marak, pemanasan global yang terjadi bukan hanya di

Indonesia, pemanasan global adalah milik dunia. Masalah lingkungan bukan

hanya tentang alam, namun juga tentang lingkungan kehidupan masyarakat. Satu

masalah, bagaimana lingkungan hidup akan baik bila tempat hidup masyarakat

masih jadi permasalahan. Ini kalimat panjang untuk kasus penggusuran. Padahal

telah ada pengeluaran Perpres No 36 tahun 2005 yang mengatur tata kota terutama

tentang penggusuran tempat-tempat kumuh.4 Apa daya manusia, adalah

pertanyaan (terkadang sebagai pernyataan), bukan untuk dijawab tapi untuk

menunjukkan kepasrahan. Bukankah idealisme manusia selalu mengarah pada

insting bertahan hidup, ada baiknya kita lebih berusaha agar bumi kita dapat kita

tinggali lebih lama lagi, bukannya bertindak egoistis, dengan pikiran bila bumi

hancur nanti tinggal terbang ke Mars sendirian.

Bagimana Indonesia dalam kehidupan sosialnya di dunia. Baik, bagus, akrab,

mungkin memang begitu. Kembali teori fraktal. Individu berteman dengan

individu lain, kemudian satu keluarga berteman dengan keluarga lain, begitu

seterusnya hingga satu negara pun berteman dan menjalin kemitraan dengan

negara lain. Menjalin kemitraan global untuk kepentingan pembangunan, itu dia

yang terakhir. Penting? Kalau boleh kita katakan bisa jadi poin ini paling penting.

Mungkin dari bahasanya terdengar agak pamrih, kita menjalin persahabatan dan

kerja sama karena memiliki kepentingan pembangunan, bila tidak, mungkin ini

hanya kesalahan penyusunan kalimat saja atau kelemahan teori bahasa.

7
Teori ketidakteraturan adalah teori abadi yang mendasari segala hal di bumi

bahkan di galaksi. Teori ketidakteraturan bahkan mendasari peraturan itu sendiri.3

Membingungkan memang. Kembali pada masalah jalannya usaha mewujudkan

MDGs, Indonesia seperti menerapkan sistem random dalam tingkat pencapaian

MDGs untuk sementara. Terlihat jelas, daerah yang pembangunannya berhasil

dan daerah terbelakang yang bahkan nyaris tak tersentuh sama sekali. Kita tidak

bisa menyalahkan satu pihak saja secara utuh, pemerintah terfokus pada pencarian

solusi, tapi tetap ada pihak menghambat kinerja pemerintah. Hal ini melahirkan

semacam bifurkasi, bukan hal yang terlalu negatif memang, bahkan justru

mungkin dapat dijadikan cermin refleksi untuk hasil yang lebih maksimal. Tentu

saja tujuan utama yaitu mencapai kesejahteraan rakyat.5

Bicara mengenai MDGs, pencapaian, masalah dan segala tetek bengeknya

memang masih terlalu luas. Kita mulai dari hal yang paling tampak, kesalahan.

Poin dari kesalahan hingga target MDGs di undur lima tahun ke depan ada pada

sistem. Bagaimana sistem kita berjalan adalah rangkaian lingkaran yang saling

berhubungan, sedikit rumit memang,mungkin semacam spiral namun dalam

bentuk datar. Seperti obat nyamuk bakar, ya perumpamaan yang lebih mendekati.

Sistem obat nyamuk, hanya sebuah istilah saja. Kesalahan sistem ini ada pada hal

yang sering kita elu-elukan yaitu kesetaraan. Terdengar sangat ideal memang,

betapa menyenangkannya bila poin-poin MDGs tersebut tercapai bersama-sama.

Namun justru di sana letak kekeliruannya, program mengatur agar masing-masing

poin memiliki derajat kepentingan yang sama. Apa yang terjadi? Usaha

pengentasan kemiskinan, pendidikan, masalah kesehatan dan lainnya memang

berjalan beriringan, namun lihatlah dari segi hasil. Tanyakan apakah semua

8
program yang dilaksanakan berhasil maksimal dan sesuai harapan.

Terjawab,bukan oleh teori tapi oleh bukti, bila hasil maksimal Indonesia tidak

akan perlu perpanjangan waktu lima tahun lagi.

Semakin panjang waktu semakin baik hasil bukan lagi prinsip yang patut dianut.

Contoh yang baik patut ditiru, itu prinsip. Coba lihat negara adikuasa seperti

Amerika, keberhasilan suatu hal juga ditentukan oleh waktu pencapaian, semakin

cepat, semakin baik. Tepat waktu bukanlah terburu-buru, tapi wujud menepati

komitmen yang telah kita sepakati sebelumnya.

MDGs merupakan satu kesatuan utuh dalam teori, seharusnya pelaksanaan pun

menyelaraskan keutuhan tersebut. MDGs bukan masalah sub unit atau poin-

poinnya, tak ada yang lebih penting di atas yang lain. Wajar saja bila kita berteori,

apalagi MDGs adalah salah satu topik menarik yang mengandung banyak

kontroversi. Tapi di balik itu semua, kesalahan terbesar kita, ini bukan masalah

teori.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Sri Suryani. Tujuan Pembangunan Milenium/Millenium Development

Goals (MDGs-2015). 2008. Available at:

http://bimacenter.com/content/view/161/182/.htm. Accessed October 15,

2008.

2. Kompas. Indonesia Bisa Alihkan Utang ke Program MDGs. 2005.

Available at: http://www.kompas.com/2007_04_01_archive.html.

Accessed October 15, 2008.

3. Haqiqie Suluh. Teori Chaos, Bifurkasi, Fractal, Strange Attractor dan

Pemahaman Kita. 2008. Available at:

http://www.haqiqie.wordpress.com/read/suluhnumpang/2008/09/26.htm

Accessed October 15, 2008.

4. M. Berkah Gamulya. Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005: Indonesia

Khianati MDGs (Komitmen ke-7). 2005. Available at:

http://www.urbanpoor.or.id/id/press-release/koalisi-rakyat-tolak-perpres-

36-2005-indonesia-khianati-mdgs-komitmen-5.html. Accessed October

15, 2008

5. Anonim. Metro TV MDGs Award 2008. 2008. Available at:

http://www.metrotvnews.com/mdgs/mdgs2008.php. Accessed October 15,

2008

10

Anda mungkin juga menyukai