Anda di halaman 1dari 21

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.

30
AKUNTANSI SEWA GUNA USAHA

Dalam rangka pengembangan Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) menjadi Standar


Akuntansi Keuangan (SAK), maka Pernyataan Prinsip Akuntansi Indonesia No. 6
tentang Standar Khusus Akuntansi Sewa Guna Usaha telah disesuaikan
seperlunya menjadi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 30
tentang Akuntansi Sewa Guna Usaha, yang telah disetujui dalam Rapat Komite
Prinsip Akuntansi Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1994 dan telah disahkan
oleh Pengurus Pusat lkatan Akuntan Indonesia pada tanggal 7 September 1994.

Pernyataan ini tidak wajib diterapkan untuk unsur yang tidak material (immaterial
items)

Jakarta, 7 September 1994

Pengurus Pusat

lkatan Akuntan Indonesia

Komite Prinsip Akuntansi Indonesia

Hans Kartikahadi Ketua

Jusuf Halim Sekretaris

Hein G. Surjaatmadja Anggota

Katjep K. Abdoelkadir Anggota

Wahjudi Prakarsa Anggota

Jan Hoesada Anggota

M. Ashadi Anggota

Mirza Mochtar Anggota

IPG. Ary Suta Anggota

Sobo Sitorus Anggota

Timoty Marnandus Anggota

Mirawati Soedjono Anggota


KATA PENGANTAR

Perkembangan perekonomian Indonesia yang sedemikian pesat, khususnya sejak


Pemerintah menggalakkan program deregulasi dan debirokratisasi pada awal
dasawarsa 1980-an, telah mendorong peningkatan kebutuhan yang mendesak
terhadap dana investasi yang harus dipenuhi melalui berbagai alternatif sumber
pembiayaan. Tidak terkecuali kebutuhan dana investasi yang dapat digali dari
salah satu alternatif sumber pembiayaan barang modal yang relatif baru di
Indonesia, yaitu sektor leasing atau sewa guna usaha.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, timbul kebutuhan yang mendesak pula


untuk menyediakan standar akuntansi keuangan yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk mencatat dan melaporkan transaksi-transaksi sewa guna usaha
sebagai salah satu cara pembiayaan di samping cara-cara pembiayaan
konvensional yang lazim dilakukan melalui sektor perbankan dan pasar modal.

Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 yang beriaku saat ini belum sepenuhnya dapat
memenuhi kebutuhan akan standar akuntansi keuangan untuk transaksi sewa
guna usaha. Menyadari hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Asosiasi
Leasing Indonesia (ALI), Direktorat Jenderal Moneter (DJM) serta Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) telah mengadakan kerjasama untuk menyusun Pernyataan
ini, yang dituangkan dalam Piagam Kerjasama tertanggal 10 Nopember 1989.

Berdasarkan Piagam Kerjasama tersebut, telah dibentuk suatu Tim Perumus


untuk menyusun Standar Khusus Akuntansi Sewa Guna Usaha, dengan susunan
anggota sebagai berikut:

Ketua Drs. Jusuf Halim (IAI)

Wakil Ketua Drs. Karnedi Djairan (DJM)

Sekretaris Drs. Budi Purwanto (ALI)

Anggota Drs. Taufieq Herman M.A (DJP)

Anggota Drs. Bambang Heryanto (DJM)

Anggota Dr. Wahjudi Prakarsa (IAI)

Anggota Drs. Sobo Sitorus (DJP)

Anggota Drs. M.V. Adhiprabawa (ALI)

Anggota Drs. Muchtar Tumin (DJP)

Anggota Drs. Victor Panjaitan (DJM)

Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 memuat konsep dasar, prinsip, prosedur,


metode dan teknik akuntansi yang merupakan norma umum dalam praktek
penyusunan laporan keuangan, khususnya yang ditujukan kepada pihak luar
(akuntansi keuangan). Untuk melengkapi dan mengembangkan buku PAI 1984,
maka diterbitkan seri "Pernyataan" dan "Interpretasi Prinsip Akuntansi Indonesia
(IPAI)". Di samping itu, sebagai pedoman dalam penyusunan laporan keuangan
industri atau jenis usaha tertentu, lkatan Akuntan Indonesia juga memandang
perlu untuk menerbitkan standar akuntansi dengan sebutan khusus. Setelah
diadakan pengkajian secara mendalam baik dari sudut pengetahuan maupun
praktek akuntansi, maka telah diperoleh kesepakatan untuk menggunakan istilah
"Standar Khusus Akuntansi" bagi setiap Pernyataan PAI yang khusus berlaku bagi
suatu industri atau jenis usaha tertentu.

Sehubungan dengan itu Prinsip Akuntansi Indonesia Pernyataan No. 6 ini disebut
"Standar Khusus Akuntansi Sewa Guna Usaha". Standar Khusus Akuntansi Sewa
Guna Usaha ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam perlakuan
dan pelaporan transaksi sewa guna usaha.

Jakarta, 19 September 1990

Pengurus Pusat

Ikatan Akuntan Indonesia

Prinsip Akuntansi Indonesia - Pernyataan No. 6 berjudul Standar Khusus


Akuntansi Sewa Guna Usaha telah disetujui dalam rapat komite Prinsip Akuntansi
lndoenesia pada tanggal 15 September 1990 dan telah disahkan oleh rapat
pengurus Pusat Ikatan Akuntan Indonesia pada tanggal 19 September 1990.

Jakarta, 19 September 1990

Pengurus Pusat

Ikatan Akuntan Indonesia

Komite Prinsip Akuntansi Indonesia

Hans Kartikahadi Ketua

Jusuf Halim Sekretaris

Hein G. Surjaatmadja Anggota

Katjep K. Abdoelkadir Anggota

Wahjudi Prakarsa Anggota


M. Ashadi Anggota

Mirza Mochtar Anggota

IPG. Ary Suta Anggota

Sobo Sitorus Anggota

Timoty Marnandus Anggota

Mirawati Soedjono Anggota


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

2. Jenis-jenis Sewa Guna Usaha

3. Pelaksanaan Transaksi Sewa Guna Usaha

STANDAR AKUNTANSI SEWA GUNA USAHA

1. Dasar Pertimbangan

2. Tujuan

3. Kriteria Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha

4. Perlakuan Akuntansi oleh Perusahaan Sewa Guna (Lessor)

5. Perlakuan Akuntansi oleh Penyewagunausaha (Lessee)

6. Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Sewa Guna Usaha oleh Perusahaan


Sewa Guna Usaha

7. Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Sewa Guna Usaha oleh Penyewa guna
usaha

TANGGAL BERLAKU

LAMPIRAN

Masalah Serta Perkembangan dalam Akuntansi Transaksi Sewa Guna Usaha


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kegiatan sewa guna usaha (leasing) diperkenalkan untuk pertama kalinya di


Indonesia pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama
Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep-
122/MK/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Pebruari
1974 tentang "Perijinan Usaha Leasing". Sejak saat itu dan khususnya sejak
tahun 1980 jumlah perusahaan sewa guna usaha dan transaksi sewa guna usaha
makin bertambah dan meningkat dari tahun ke tahun untuk membiayai
penyediaan barang-barang modal dunia usaha.

Hadirnya perusahaan sewa guna usaha patungan (joint venture) bersama


perusahaan swasta nasional telah mampu mempopulerkan peranan kegiatan
sewa guna usaha sebagai alternatif pembiayaan barang modal yang sangat
dibutuhkan para pengusaha di Indonesia, disamping cara-cara pembiayaan
konvensional yang lazim dilakukan melalui perbankan.

Perluasan cara-cara pembiayaan tersebut sejalan dengan definisi leasing atau


sewa guna usaha sebagaimana dituangkan dalam pasal 1 SKB Menteri Keuangan,
Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian tersebut diatas yang
menyatakan:

"Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan


barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala
disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama".

Definisi tersebut tampaknya hanya menampung satu jenis sewa guna usaha yang
lazim disebut finance lease atau sewa guna usaha pembiayaan. Namun demikian,
dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988
tanggal 20 Desember 1988, jenis kegiatan sewa guna usaha telah diperluas
sebagaimana tersirat dalam pasal 1 keputusan tersebut yang menampung
definisi-definisi berikut ini:

d. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara Finance Lease maupun Operating Lease untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.

e. Finance Lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha, di mana Penyewa Guna
Usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa
guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
f. Operating Lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha di mana Penyewa Guna
Usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha.

g. Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang


menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa
Guna Usaha (lessor). "

Ketentuan tersebut ternyata tidak banyak merubah pengertian dasar sewa guna
usaha di Indonesia karena hanya membuka peluang bagi perusahaan sewa guna
usaha untuk melakukan kegiatan usahanya dalam operating lease yang pada
hakekatnya merupakan usaha sewa-menyewa biasa.

Namun demikian, dengan terbukanya kemungkinan bagi perusahaan sewa guna


usaha untuk memperluas bidang usahanya yang mencakup baik sewa guna usaha
pembiayaan (finance lease) maupun sewa-menyewa biasa (operating lease)
maka dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan standar
akuntansi keuangan yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencatat dan
melaporkan transaksi-transaksi sewa guna usaha sesuai dengan karakteristik
serta ruang lingkup yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
tersebut. Kebutuhan ini terutama lebih dirasakan pentingnya mengingat selama
ini belum ada ketetapan tentang status hukum maupun perlakuan akuntansi yang
jelas mengenai transaksi sewa guna usaha.

Di samping itu, meskipun kegiatan sewa guna usaha di negara-negara maju


relatif lebih dikenal dan berkembang, perlakuan akuntansi atas transaksi sewa
guna usaha ternyata masih terbentur pada berbagai masalah pelik dan rumit
yang senantiasa menjadi obyek pertentangan.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam hubungan ini serta perkembangan


akuntansi sewa guna usaha diikhtisarkan dalam Lampiran.

2. Jenis-jenis Sewa Guna Usaha

Jenis-jenis sewa guna usaha yang sudah dikenal secara umum, termasuk dua
jenis sewa guna usaha yang telah ditampung dalam Keputusan Menteri Keuangan
tersebut, adalah sebagai berikut:

2.1 Finance Lease (Sewa Guna Usaha Pembiayaan)

Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha (lessor) adalah pihak
yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee)
biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan, atas nama perusahaan
sewa guna usaha, sebagai pemilik barang modal tersebut, melakukan
pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi obyek
transaksi sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha, penyewa guna usaha
melakukan pembayaran sewa guna usaha secara berkala di mana jumlah
seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa (residual value), kalau ada,
akan mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang dibiayai serta
bunganya, yang merupakan pendapatan perusahaan sewa guna usaha.

2.2. Operating Lease (Sewa-Menyewa Biasa)

Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha membeli barang modal
dan selanjutnya disewagunausahakan kepada penyewa guna usaha. Berbeda
dengan finance lease, jumlah seluruh pembayaran sewa guna usaha berkala
dalam operating lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini
disebabkan karena perusahaan sewa guna usaha mengharapkan keuntungan
justru dari penjualan barang modal yang disewagunausahakan, atau melalui
beberapa kontrak sewa guna usaha lainnya.

Dalam sewa guna usaha jenis ini dibutuhkan keahlian khusus dari perusahaan
sewa guna usaha untuk memelihara dan memasarkan kembali barang modal
yang disewagunausahakan sehingga, berbeda dengan finance lease, perusahaan
sewa guna usaha dalam operating lease biasanya bertanggungjawab atas biaya-
biaya pelaksanaan sewa guna usaha seperti asuransi, pajak maupun
pemeliharaan barang modal yang bersangkutan.

2.3. Sales-Type Lease (Sewa Guna Usaha Penjualan)

Sewa guna usaha jenis ini merupakan transaksi pembiayaan sewa guna usaha
secara langsung (direct finance lease) di mana dalam jumlah transaksi termasuk
laba yang diperhitungkan oleh pabrikan atau penyalur yang juga merupakan
perusahaan sewa guna usaha. Sewa guna usaha jenis ini seringkali merupakan
suatu jalur pemasaran bagi produk perusahaan tertentu.

2.4. Leveraged Lease

Transaksi sewa guna usaha jenis ini melibatkan setidaknya tiga pihak, yakni
penyewa guna usaha, perusahaan sewa guna usaha dan kreditor jangka panjang
yang membiayai bagian terbesar dari transaksi sewa guna usaha.

3. Pelaksanaan transaksi sewa guna uwha

Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa guna usaha dapat


dilaksanakan sebagai berikut:

3.1. Sewa Guna Usaha Langsung (Direct Lease)

Dalam transaksi jenis ini penyewa guna usaha belum pernah memiliki barang
modal yang menjadi obyek sewa guna usaha sehingga atas permintaannya
perusahaan sewa guna usaha membeli barang modal tersebut.

Tujuan utama penyewa guna usaha adalah mendapatkan pembiayaan melalui


sewa guna usaha untuk memperoleh barang modal yang dapat digunakan dalam
proses produksi.

3.2. Penjualan dan Penyewaan Kembali (Sale and Leaseback)

Dalam transaksi ini, penyewa guna usaha terlebih dahulu menjual barang modal
yang sudah dimilikinya kepada perusahaan sewa guna usaha dan atas barang
modal yang sama ini kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha antara
penyewa guna usaha (pemilik semula) dengan perusahaan sewa guna usaha.

4. Sewa Guna Usaha Sindikasi (Syndicated Lease)

Dalam sewa guna usaha sindikasi beberapa perusahaan sewa guna usaha secara
bersama melakukan transaksi sewa guna usaha dengan satu penyewa guna
usaha. Sewa guna usaha ini dilakukan karena nilai transaksi yang terlampau
besar atau karena faktor-faktor lain. Salah satu perusahaan sewa guna usaha
akan ditunjuk sebagai koordinator sehingga penyewa guna usaha cukup
berkomunikasi dengan perusahaan ini untuk melaksanakan segala sesuatu yang
menyangkut transaksi sewa guna usaha. Pelaksanaan transaksi ini dapat
dilakukan baik melalui sewa guna usaha langsung maupun penjualan dan
penyewaan kembali.

BAB II

STANDAR AKUNTANSI SEWA GUNA USAHA

1. Dasar Pertimbangan

Menurut ketentuan dalam pasal 3 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 dinyatakan bahwa sepanjang
perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal obyek
transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan sewa guna usaha. Dengan
demikian, selama jangka waktu sewa guna usaha, hak milik (legal title) atas
aktiva yang disewagunausahakan tetap berada pada perusahaan sewa guna
usaha meskipun berdasarkan suatu perjanjian sewa guna usaha tanggung jawab
atas penggunaan aktiva tersebut diserahkan kepada penyewa guna usaha.

Terlepas dari ketentuan tersebut, ditinjau dari aspek akuntansi, paragraf 35


Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan menyatakan
bahwa laporan keuangan lebih menekankan pada makna ekonomi (economic
substance) dari suatu peristiwa/transaksi daripada bentuk hukumnya (legal
form).

Oleh karena itu, apabila suatu transaksi sewa guna usaha yang berdasarkan
makna ekonominya merupakan pemindahan dari seluruh manfaat serta resiko
yang melekat pada kepemilikan suatu aktiva, maka transaksi tersebut harus
dipandang sebagai perolehan suatu aktiva dan terjadinya kewajiban (capital
lease) bagi penyewa guna usaha, dan suatu penjualan atau pembiayaan (finance
lease) bagi perusahaan sewa guna usaha.

Sebaliknya apabila suatu transaksi sewa guna usaha yang berdasarkan makna
ekonominya tidak merupakan suatu pemindahan seluruh manfaat dan resiko
yang melekat pada kepemilikan aktiva tersebut, maka transaksi tersebut harus
dipandang sebagai transaksi sewa menyewa biasa (operating lease) antara
perusahaan sewa guna usaha dengan penyewa guna usaha.

2. TUJUAN

Pernyataan ini dirumuskan berdasarkan beberapa alasan berikut ini:

(a) Diperlukan ketegasan tentang perlakuan dan pelaporan transaksi sewa guna
usaha yang dapat mengungkapkan status aktiva yang disewagunausahakan baik
bagi perusahaan sewa guna usaha maupun penyewa guna usaha.
(b) Perlu adanya pedoman tentang keseragaman perlakuan akuntansi transaksi
sewa guna usaha sehingga data keuangan yang disajikan dalam laporan
keuangan dapat dianalisis dan ditafsirkan dengan mudah oleh semua pihak yang
berkepentingan.

(c) Dengan meluasnya transaksi sewa guna usaha di Indonesia setelah kebijakan
deregulasi dan debirokratisasi, maka perlu diatur pengungkapan yang layak
dalam standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan para pemakai
laporan keuangan.

3. Kriteria Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha

Berhubung dasar pertimbangan utama yang digunakan adalah asas makna


ekonomi, maka suatu transaksi sewa guna usaha akan dikelompokkan sebagai
capital lease bagi penyewa guna usaha atau finance lease bagi perusahaan sewa
guna usaha apabila dipenuhi semua kriteria berikut ini:

(a) Penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang
disewagunausaha pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah
disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha.

(b) Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha
ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang
modal yang disewagunausaha serta bunganya, sebagai keuntungan perusahaan
sewa guna usaha (full payout lease).

(c) Masa sewa guna usaha minimum 2 (dua) tahun.

Kalau salah satu kriteria tersebut di atas tidak terpenuhi maka transaksi sewa
guna usaha dikelompokkan sebagai transaksi sewa menyewa biasa (operating
lease).

4. Perlakuan Akuntansi oleh Perusahaan Sewa Guna Usaha (Lessor)

4.1. Finance Lease

1 . Penanaman neto dalam aktiva yang disewagunausahakan harus diperlakukan


dan dicatat sebagai penanaman neto sewa guna usaha. Jumiah penanaman neto
tersebut terdiri dari jumlah piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga
opsi) yang akan diterima oleh perusahaan sewa guna usaha pada akhir masa
sewa guna usaha dikurangi dengan pendapatan sewa guna usaha yang belum
diakui (unearned lease income), dan simpanan jaminan (security deposit).

2. Selisih antara piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi)
dengan harga perolehan aktiva yang disewagunausahakan diperlakukan sebagai
pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income).

3. Pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara
konsisten sebagai pendapatan tahun berjalan berdasarkan suatu tingkat
pengembalian berkala (periodic rate of retum) atas penanaman neto perusahaan
sewa guna usaha.

4. Apabila perusahaan sewa guna usaha menjual barang modal kepada penyewa
guna usaha sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, maka perbedaan
antara harga jual dengan penanaman neto dalam sewa guna usaha pada saat
penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian
periode berjalan.

5. Pendapatan lain yang diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna


Usaha harus diakui dan dicatat sebagai pendapatan periode berjalan.

4.2. Operating Lease

1 . Barang modal yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat


sebagai aktiva sewa guna usaha berdasarkan harga perolehan.

2. Pembayaran sewa guna usaha (lease payments) selama tahun berjalan yang
diperoleh dari penyewa guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa.
Pendapatan sewa harus diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus
sepanjang masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha
mungkin dilakukan dalam jumlah yang tidak sama setiap periode.

3. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilakukan dalam jumlah


yang layak berdasarkan taksiran masa manfaatnya.

4. Kalau aktiva yang disewagunausahakan dijual maka perbedaan antara nilai


buku dan harga jual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian
tahun berjalan.

5. Perlakuan Akuntansi oleh Penyewagunausaha (Lessee)

5.1. Capital Lease

1. Transaksi sewa guna usaha diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan
kewajiban pada awal masa sewa guna usaha sebesar nilai tunai dari seluruh
pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus
dibayar oleh penyewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha. Selama
masa sewa guna usaha setiap pembayaran sewa guna usaha dialokasikan dan
dicatat sebagai angsuran pokok kewajiban sewa guna usaha dan beban bunga
berdasarkan tingkat bunga yang diperhitungkan terhadap sisa kewajiban
penyewa guna usaha.

2. Tingkat diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari


pembayaran sewa guna usaha adalah tingkat bunga yang dibebankan oleh
perusahaan sewa guna usaha atau tingkat bunga yang berlaku pada awal masa
sewa guna usaha.

3. Aktiva yang disewagunausaha harus diamortisasi dalam jumlah yang wajar


berdasarkan taksiran masa manfaatnya.

4. Kalau aktiva yang disewagunausaha dibeli sebelum berakhirnya masa sewa


guna usaha, maka perbedaan antara pembayaran yang dilakukan dengan sisa
kewajiban dibebankan atau dikreditkan pada tahun berjalan.

5. Kewajiban sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan
jangka panjang sesuai dengan praktek yang lazim untuk jenis usaha penyewa
guna usaha.
6. Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and leaseback)
maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah
yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga
jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai
keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau
kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya
amortisasi aktiva yang disewa guna usaha apabila leaseback merupakan capital
lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan
operating lease.

5.2. Sewa Menyewa Biasa {Operating Lease)

Pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan merupakan biaya sewa
yang diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus selama masa sewa guna
usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha dilakukan dalam jumlah yang
tidak sama setiap periode.

6. pelaporan dan pengungkapan Transaksi Sewa Guna Usaha oleh Perusahaan


Sewa Guna Usaha

6.1. Finance Lease

1. Aktiva dilaporkan berdasarkan urutan likuiditasnya, kewajiban dilaporkan


berdasarkan urutan jatuh temponya tanpa mengelompokkan ke dalam unsur
lancar dan tidak lancar (unclassified balance sheet).

2. Penanaman neto dalam aktiva yang disewagunausahakan harus dilaporkan


dalam neraca dengan rincian sebagai berikut:

Piutang Sewa Guna Usaha Rp xxxxx

Nilai Sisa Yang Terjamin - xxxxx

Pendapatan Sewa Guna Usaha Yang

Belum Diakui- (xxxxx)

Simpanan Jaminan - (xxxxx)

Penanaman Netto Sewa Guna Usaha Rp xxxxx

Penyisihan Piutang Sewa Guna Usaha

yang Diragukan (xxxxx)

Jumlah Penanaman Neto Rp xxxxx

3. Laporan laba rugi disajikan sedemikian rupa sehingga seluruh pendapatan


dilaporkan dalam kelompok yang terpisah dari kelompok biaya (single step).
Pendapatan sewa guna usaha harus dilaporkan sebagai komponen utama dalam
kelompok Pendapatan.
4. Jumlah penanaman neto dan pendapatan sewa guna usaha dalam sewa guna
usaha sindikasi dan leveraged leases harus dilaporkan oleh masing-masing pihak
secara proporsional sesuai dengan penyertaannya.

5. Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan


keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut:

Kebijakan akuntansi penting yang digunakan sehubungan dengan transaksi sewa


guna usaha.

Jumlah pembayaran sewa guna usaha paling tidak untuk 2 (dua) tahun
berikutnya.

Sifat dari simpanan jaminan yang merupakan kewajiban perusahaan sewa guna
usaha kepada penyewa guna usaha.

Piutang sewa guna usaha yang dijaminkan kepada pihak ketiga.

Sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases.

6. 2. Operating Lease

1. Barang modal yang disewagunausahakan dilaporkan berdasarkan harga


perolehan setelah dikurangi dengan akumulasi penyusutannya.

2. Aktiva yang disewagunausahakan dilaporkan secara terpisah dari aktiva tetap


yang tidak disewagunausahakan.

3. Perhitungan rugi laba harus disusun sedemikian rupa sehingga seluruh


pendapatan dilaporkan dalam kelompok yang terpisah dari kelompok biaya
(single step). Pendapatan sewa guna usaha harus dilaporkan sebagai komponen
utama dalam kelompok pendapatan.

4. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan dilaporkan secara terpisah dari


penyusutan aktiva yang tidak disewagunausahakan .

5. Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan


keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut:

Kebijakan akuntansi penting yang digunakan sehubungan dengan transaksi sewa


guna usaha.

Jumlah pembayaran sewa guna usaha paling tidak untuk 2 (dua) tahun
berikutnya.

Sifat dari simpanan jaminan (jika ada)

Aktiva yang disewagunausahakan yang dijaminkan kepada pihak ketiga.

Sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases.


7. Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi sewa Guna Usaha oleh
Penyewagunausaha

7.1. Capital Lease

1. Aktiva yang disewagunausaha dilaporkan sebagai bagian aktiva tetap dalam


kelompok tersendiri. Kewajiban sewa guna usaha yang bersangkutan harus
disajikan terpisah dari kewajiban lainnya.

2. Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan


keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut:

Jumlah pembayaran sewa guna usaha yang harus dibayar paling tidak untuk 2
(dua) tahun berikutnya.

Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan yang dibebankan dalam tahun


berjalan.

Jaminan yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.

Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya sehubungan


dengan transaksi sale and leaseback.

Ikatan-ikatan penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha


(major covenants).

7.2. Operating Lease

Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan


keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut:

- Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan yang dibebankan
sebagai biaya sewa.

- Jumlah pembayaran sewa guna usaha yang harus dilakukan paling tidak untuk
2 (dua) tahun berikutnya.

- Jaminan yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.

Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya sehubungan


dengan transaksi sale and leaseback.

Ikatan-ikatan penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha


(major covenants).
BAB III

TANGGAL BERLAKU

Pernyataan ini berlaku untuk transaksi sewa guna usaha yang dilakukan
selambat-lambatnya mulai tanggal 1 Januari 1991. Namun demikian penerapan
lebih dini dianjurkan.

Transaksi sewa guna usaha yang telah dilakukan sebelum tanggal 1 Januari
1991, perlakuannya harus mengacu pada pernyataan ini mulai tanggal 1 Januari
1991, tanpa perlu melakukan pernyataan kembali (restatement) terhadap laporan
keuangan yang telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya.

LAMPIRAN

MASALAH SERTA PERKEMBANGAN DALAM

AKUNTANSI TRANSAKSI GUNA USAHA

Sebagaimana telah disinggung dalam Bab Pendahuluan, meskipun tahap


perkembangan kegiatan sewa guna. usaha di negara-negara maju sudah jauh
lebih lanjut relatif terhadap perkembangannya di Indonesia, perlakuan
akuntansinya masih terbentur pada berbagai masalah pelik dan rumit yang
senantiasa menjadi obyek pertentangan.

Misalnya, Leaseurope (organisasi yang mewakili assosiasi-assosiasi leasing dari


16 negara-negara Eropa Barat) keberatan apabila kapitalisasi sewa guna usaha
dilakukan oleh penyewa guna usaha karena pertentangan hak atas aktiva yang
dikapitalisasi serta kerumitan yang inheren dalam penerapannya. Penolakan ini
menunjukkan bahwa proses penerapan International Accounting Standard (IAS)
17 di Eropa tidak selancar seperti yang diharapkan, karena belum adanya
kesepakatan di kalangan profesi akuntansi dan para praktisi mengenai perlakuan
akuntansinya.

Demikian pula halnya di Amerika Serikat di mana penerapan Statement of


Financial Accounting Standard (SFAS) 13 telah terbukti mengalami berbagai
kesulitan. Akibatnya, Statement tersebut terpaksa diikuti dengan berbagai tindak
lanjut di antaranya melalui beberapa SFAS dan FASB Interpretation.1

1 SFAS S22, "Changes in the Provision of Lease Agreements Resulting from Refunding of Tax Exempt Debt: SFAS 23,
"Inception of the Lease"; SFAS 26,"Profit Recognition on Sales-Type Leases of Real Estate"; SFAS 27, "Classification of
Renewals or Extensions of Existing Sales-Type or Direct Financing Leases"; SFAS 29, "Determining Contingent Rentals";
FASB Interpretation 19,"Lessee Guarantee of the Residual Value of Leased Property"; FASB

Interpretation 23, "Leases of Certain Property Owned by a Governmental Unit or Authority"; FASB Interpretation 24, "Leases
Involving Only Part of a Building"; FASB Interpretation 26, "Accounting for Purchase of a Leased Asset by the Lessee During
the Term of the Lease"; dan FASB Interpretation 27, "Accounting for a Loss on Sublease".

Meskipun baru berkembang pada tahap dini, situasi yang dihadapi di Indonesia
tidak jauh berbeda. Selama ini, perkembangan perlakuan akuntansi transaksi
sewa guna usaha yang diterapkan oleh perusahaan sewa guna usaha dan
penyewa guna usaha selama ini hanya mengacu pada berbagai sumber serta
ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini:

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri No. SE-499/MD/1984


tanggal 24 Januari 1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan
Perusahaan Leasing. Butir 5 Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa: "Neraca
dan Perhitungan Laba Rugi Perusahaan disusun berdasarkan finance method
dengan ketentuan sekurang-kurangnya harus dapat mencerminkan secara jelas
posisi investasi dalam leasing, aktiva lancar, aktiva tetap, hutang lancar/ jangka
pendek, hutang jangka panjang dan modal sendiri (equity) perusahaan pada
periode laporan".

Surat Edaran tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Keputusan


Presiden No. 61/1988 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988
tanggal 20 Desember 1988.

2. Exposure Draft Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) 1983 Pasal 13 Pada Bab III
tentang leasing menyatakan:

2.1. Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk


penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk
suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala, disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
sewa berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

2.2. Akuntansi untuk lease berlandaskan pada konsep makna ekonomi


("substance over form"), yaitu dengan melihat pada makna/hakekat dari
transaksi yang bersangkutan, apakah telah terjadi pemindahan secara substantial
atas manfaat dan risiko yang inherent dalam pemilikan aktiva yang disewakan.

Bila terjadi pemindahan risiko dan manfaat secara substansial dari lessor kepada
lessee, lease demikian dikategorikan sebagai "capital lease" oleh lessee, dan
merupakan "direct financing lease" atau "sales-type lease" bagi lessor. Bila terjadi
hal yang sebaliknya, baik lessor maupun lessee mempertanggungjawabkannya
sebagai operating lease.

2.3. Perlakuan akuntansi untuk lease dalam laporan keuangan lessee dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:

2.3.1. Capital lease. Direfleksikan dalam neraca dengan cara mencatat timbulnya
suatu aktiva dan kewajiban sebesar nilai terendah dari nilai tunai pembayaran
sewa minimum selama periode lease atau nilai wajar aktiva yang disewa pada
awal periode lease.

Selama masa sewa guna usaha setiap pembayaran sewa guna usaha akan
dialokasikan sebagai pengurang kewajiban serta biaya bunga. Aktiva yang
disewagunausaha berdasarkan capital lease serta akumulasi penyusutannya
harus disajikan dalam neraca lessee secara terpisah ataupun diungkapkan secara
wajar dalam catatan atas laporan keuangan. Demikian pula dengan kewajiban
karena suatu sewa guna usaha, harus dinyatakan dan dikelompokkan sebagai
kewajiban lancar atau kewajiban jangka panjang dalam neraca sesuai dengan
ketentuan yang lazim dilakukan. Penyusutan aktiva yang disewagunausaha yang
dibebankan terhadap pendapatan harus pula diungkapkan.

2.3.2. Operating lease. Pembayaran sewa guna usaha dalam suatu operating
lease dibebankan sebagai biaya sepanjang masa sewa guna usaha pada saat

terhutang .
Apabila pembayaran sewa guna usaha tidak dilakukan berdasarkan metode garis
lurus, biaya sewa guna usaha tetap harus diakui berdasarkan metode garis lurus
kecuali terdapat dasar lain yang lebih sistematis dan mencerminkan pola waktu
manfaat yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut.

2.4. Dari pihak lessor, perlakuan akuntansinya adalah sebagai berikut:

2.4.1. Direct financing lease. Pada neraca dicatat "tagihan pembayaran lease"
(lease payments receivable) sejumlah pembayaran sewa minimum ditambah
unguaranteed residual value. Selisih nilai tersebut dengan biaya atau nilai buku
aktiva yang disewakan, dicatat sebagai pendapatan yang ditangguhkan.

2.4.2. Sales-type lease. Perlakuan akuntansinya sama dengan direct financing


lease. Satu hal yang membedakan sales-type lease dengan direct financing lease
adalah adanya unsur "manufacturer's or dealer's profit" pada permulaan lease.

2.4.3. Operating lease . Lessor tetap mencatat aktiva yang disewakan sebagai
aktiva tetap dan menyusutkannya sesuai dengan kebijaksanaan penyusutan yang
normal. Pendapatan sewa harus dilaporkan dalam laporan laba rugi selama
jangka waktu lease.

Usul ini telah diputuskan untuk ditangguhkan dan tidak ditampung dalam Standar
Akuntansi Keuangan dengan catatan akan dikeluarkan dalam suatu pernyataan
tersendiri.

3. International Accounting Standard (IAS) NO. 17

3.1. Pengelompokan Sewa Guna Usaha

Pengelompokan sewa guna usaha oleh IAS didasarkan pada pandangan makna
ekonomi di mana risiko serta manfaat yang melekat pada kepemilikan aktiva
yang disewagunausahakan ada pada pihak lessor atau lessee dan bukannya
berdasarkan kontrak sewa guna usaha.

Suatu sewa guna usaha dikelompokkan sebagai finance lease apabila seluruh
risiko serta manfaat yang melekat pada kepemilikan diserahkan kepada lessee.
Sewa guna usaha jenis ini biasanya tidak dapat dibatalkan dan menjamin lessor
terhadap pengembalian modal maupun pendapatannya dalam penanaman sewa
guna usaha tersebut.

Sewa guna usaha yang tidak memenuhi kriteria ini dikelompokkan sebagai
operating lease.

3.2. Akuntansi Sewa Guna Usaha dalam Laporan Keuangan lessor

Dalam pasal 48 dinyatakan bahwa suatu aktiva berdasarkan finance lease harus
dicatat dalam neraca sebagai piutang sejumlah yang sama dengan penanaman
neto dalam sewa guna usaha dan bukannya sebagai aktiva tetap.

Sedangkan dalam pasal 49 dinyatakan bahwa pendapatan dalam finance lease


harus didasarkan pada suatu pola yang mencerminkan suatu tingkat
pengembalian berkala yang tetap dan harus diterapkan secara konsisten.
Dalam operating lease pendapatan sewa guna usaha harus diakui berdasarkan
garis lurus selama masa sewa guna usaha atau dengan dasar lain yang lebih
sistimatis dan tetap berdasarkan pola waktu pembentukan pendapatan.

Sedangkan penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus diterapkan


secara konsisten berdasarkan kebijaksanaan umum lessor dalam penyusutan
aktiva tetap lainnya.

Atas transaksi sewa guna usaha yang dilaporkan sebagai finance lease
pengungkapan yang layak harus dilakukan pada setiap tanggal neraca mengenai
jumlah bruto penanaman, pendapatan yang belum dihasilkan serta nilai sisa
aktiva yang dilease yang tidak terjamin. Dasar yang digunakan untuk pengakuan
pendapatan juga harus diungkapkan. Sedangkan apabila sebagian besar kegiatan
usaha lessor terdiri dari operating /ease, pada setiap tanggal neraca lessor harus
mengungkapkan jumlah aktiva berdasarkan pengelompokan aktiva serta
akumulasi penyusutannya.

3.3. Akuntansi Sewa Guna Usaha Dalam Laporan Keuangan Lessee

Dalam pasal 44 dinyatakan bahwa suatu finance lease harus dicerminkan dalam
neraca lessee dengan mencatat aktiva dan kewajiban sejumlah yang sama
dengan nilai pasar yang wajar atau dengan nilai tunai jumlah pembayaran sewa
guna usaha berkala pada saat permulaan masa sewa guna usaha.

Sedangkan dalam pasal 47 dinyatakan bahwa dalam operating lease pembebanan


biaya terhadap pendapatan harus merupakan biaya sewa (sewa guna usaha)
untuk periode akuntansi yang bersangkutan dan diakui berdasarkan metode yang
sistimatis serta mencerminkan pola waktu manfaat yang diperoleh lessee.

Dalam finance lease, alokasi pembayaran sewa guna usaha harus dilakukan
terhadap pengurangan pokok kewajiban lessee serta pembayaran bunga
berdasarkan tingkat bunga yang tetap terhadap sisa kewajiban lessee. Suatu
finance lease mengakibatkan timbulnya penyusutan atas aktiva yang
disewagunausahakan bagi lessee. Kebijaksanaan penyusutan aktiva yang
disewagunausaha harus diterapkan secara konsisten sesuai dengan
kebijaksanaan penyusutan aktiva tetap lainnya.

Apabila tidak ada kepastian bahwa lessee akan mendapatkan kepemilikan pada
akhir masa sewa guna usaha, nilai aktiva yang disewa guna usaha harus
disusutkan seluruhnya dalam jangka waktu yang lebih singkat daripada masa
sewa guna usaha atau umur ekonomisnya.

Dalam transaksi sale-leaseback yang dilakukan secara finance lease, kelebihan


hasil penjualan terhadap nilai buku tidak boleh segera diakui sebagai pendapatan
dalam laporan keuangan penjual (lessee) melainkan pengakuannya ditangguhkan
dan dialokasikan selama masa sewa guna usaha.

Apabila transaksi sale-leaseback ini dilakukan secara operating lease berdasarkan


nilai pasar yang wajar, laba atau rugi harus langsung diakui. Sedangkan apabila
nilai transaksi sale-leaseback itu dilakukan di atas nilai pasar yang wajar,
kelebihan terhadap nilai pasar yang wajar harus ditangguhkan pengakuannya dan
dialokasikan selama masa sewa guna usaha.

Pada setiap tanggal neraca, pengungkapan yang layak harus dilakukan terhadap
jumlah aktiva yang diperoleh melalui finance lease. Kewajiban yang berhubungan
dengan sewa guna usaha harus dinyatakan secara terpisah dari kewajiban lainnya
dengan membedakan bagian yang bersifat lancar dan jangka panjang.

Ikatan untuk pembayaran sewa guna usaha minimum berdasarkan finance lease
maupun dalam operating lease yang tidak dapat dibatalkan dan jangka waktunya
melebihi satu tahun, harus diungkapkan dalam bentuk ringkasan yang meliputi
jumlah serta masa berdasarkan jatuh tempo pembayarannya.

Pengungkapan juga harus dilakukan terhadap data penting seperti pembatasan-


pembatasan di bidang keuangan, pembaharuan serta opsi untuk membeli,
pembayaran sewa yang masih harus dilakukan serta ikatan-ikatan lainnya yang
ditimbulkan oleh adanya sewa guna usaha.

4. Statement of Financial Accounting Standard (SFAS) No. 13

4.1. Kriteria Pengelompokan Sewa Guna Usaha

SFAS No. 13 menentukan kriteria pengelompokan sewa guna usaha berdasarkan


suatu konsep makna ekonomi yaitu apabila suatu sewa guna usaha
memindahkan seluruh manfaat dan risiko yang melekat pada kepemilikan aktiva,
maka sewa guna usaha harus dipandang sebagai perolehan suatu aktiva dan
terjadinya suatu kewajiban bagi lessee, dan sebagai suatu penjualan atau
pembiayaan bagi lessor.

Dan apabila pada awal suatu sewa guna usaha terpenuhi salah satu dari kriteria
berikut, maka sewa guna usaha akan dikelompokkan sebagai capital lease bagi
lessee, apabila tidak, maka sewa guna usaha tersebut akan dikelompokkan
sebagai operating lease.

Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pada akhir masa sewa guna usaha terdapat pemindahan kepemilikan aktiva
yang disewagunausaha dari lessor kepada lessee.

2. Pada akhir masa sewa guna usaha terdapat hak opsi bagi lessee untuk
membeli aktiva yang disewagunausaha pada suatu tingkat harga yang lebih
rendah dari taksiran nilai pasar yang wajar pada saat hak opsi dilakukan.

3. Masa sewa guna usaha sama atau melebihi 75 % dari taksiran umur ekonomis
aktiva yang disewa guna usaha.

4. Nilai tunai pada awal masa sewa guna usaha atas pembayaran sewa guna
usaha minimum, tidak termasuk biaya

biaya pelaksanaan, sama atau lebih besar dari 90 % nilai

wajar aktiva yang disewagunausaha.

Sedangkan bagi lessor untuk dapat dikelompokkan sebagai direct financing lease
selain salah satu dari kriteria di atas, dua kriteria lain juga mutlak harus dipenuhi.
Apabila tidak maka sewa guna usaha tersebut akan dikelompokkan sebagai
operating lease.

Kedua kriteria tersebut adalah sebagai berikut:


1. Tertagihnya pembayaran sewa guna usaha minimum dapat

diramalkan.

2. Tidak terdapat ketidakpastian yang berarti terhadap jumlah

biaya yang merupakan beban lessor atas suatu sewa guna

usaha.

4.2. Akuntansi Sewa Guna Usaha Dalam Laporan Keuangan Lessor

Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa dalam direct financing lease pembayaran sewa
guna usaha minimum ditambah dengan nilai sisa yang tidak dijamin yang
diperhitungkan sebagai manfaat lessor harus dicatat sebagai penanaman bruto
dalam sewa guna usaha.

Selisih jumlah penanaman bruto dengan harga perolehan akan dicatat sebagai
pendapatan yang belum diakui yang akan dialokasikan selama masa sewa guna
usaha untuk menghasilkan suatu tingkat pengembalian berkala terhadap
penanaman neto dalam sewa guna usaha. Penanaman bruto dikurangkan dengan
pendapatan yang belum diakui, akan merupakan penanaman neto dalam sewa
guna usaha. Pengelompokan penanaman neto sebagai aktiva lancar dan aktiva
jangka panjang dalam neraca dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sedangkan dalam pasal 19 dinyatakan bahwa dalam operating lease, barang


modal yang menjadi obyek sewa guna usaha akan dicatat sebagai aktiva yang
disewagunausahakan, dan disajikan mendahului atau segera setelah aktiva tetap
dalam neraca lessor. Penyusutan dilakukan berdasarkan cara yang lazim
dilakukan lessor untuk penyusutan aktiva tetap lainnya dan akumulasi
penyusutannya dikurangkan atas penanaman dalam sewa guna usaha tersebut.

Pembayaran sewa guna usaha dalam operating lease akan dilaporkan sebagai
pendapatan selama masa sewa guna usaha pada saat terhutang oleh lessee
sesuai dengan ketentuan dalam kontrak sewa guna usaha.

Meskipun pembayaran sewa guna usaha berbeda dengan metode garis lurus,
namun pengakuan sebagai pendapatan dilakukan dengan metode garis lurus,
kecuali apabila terdapat dasar lain yang lebih sistematik dan mencerminkan pola
waktu pengurangan manfaat aktiva akibat penggunaan.

Pada setiap tanggal neraca dalam suatu direct financing lease harus diungkapkan
secara layak jumlah pembayaran sewa guna usaha minimum yang harus diterima
untuk setiap tahun sampai tahun kelima, nilai sisa yang tidak dijamin yang
diperhitungkan untuk manfaat lessor serta pendapatan yang belum diakui.
Sedangkan untuk operating lease harga perolehan aktiva yang
disewagunausahakan atau nilai sisanya apabila berbeda diungkapkan dengan
merinci berdasarkan sifat dan fungsi kelompok aktiva disertai dengan akumulasi
penyusutannya masing-masing. Jumlah pembayaran sewa guna usaha minimum
atas sewa guna usaha yang tidak bisa dibatalkan harus diungkapkan untuk setiap
tahun sampai tahun kelima berikutnya.

4.3. Akuntansi Sewa Guna Usaha Dalam Laporan Keuangan Lessee


Dalam pasal 10 dinyatakan bahwa dalam capital lease, lessee harus mencatat
barang modal sewa guna usaha sebagai aktiva, dan kewajiban pada suatu jumlah
yang sama dengan nilai tunai pembayaran sewa guna usaha minimum selama
masa sewa guna usaha pada saat permulaan sewa guna usaha. Dalam hal jumlah
yang ditentukan terhadap aktiva yang disewagunausaha melebihi nilai pasar yang
wajar pada saat permulaan sewa guna usaha, jumlah yang dicatat sebagai aktiva
dan kewajiban harus tetap berdasarkan jumlah nilai pasar yang wajar. Selama
masa sewa guna usaha setiap pembayaran sewa guna usaha akan dialokasikan
sebagai pengurang kewajiban serta biaya bunga.

Aktiva yang disewagunausaha berdasarkan capital lease serta akumulasi


penyusutannya harus disajikan dalam neraca lessee secara terpisah ataupun
diungkapkan secara wajar dalam catatan atas laporan keuangan. Demikian pula
dengan kewajiban karena suatu sewa guna usaha, harus dinyatakan dan
dikelompokkan sebagai kewajiban lancar atau kewajiban jangka panjang dalam
neraca sesuai dengan ketentuan yang lazim dilakukan.

Penyusutan aktiva yang disewagunausaha yang dibebankan terhadap pendapatan


harus pula diungkapkan. Sedangkan dalam pasal 15 dinyatakan bahwa biasanya
pembayaran sewa guna usaha dalam suatu operating lease akan dibebankan
sebagai biaya selama masa sewa guna usaha pada saat terhutang.

Apabila pembayaran sewa guna usaha tidak dilakukan berdasarkan metode garis
lurus, biaya sewa guna usaha tetap harus diakui berdasarkan metode garis lurus
kecuali terdapat dasar lain yang lebih sistematik dan mencerminkan pola waktu
manfaat yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut.

Pengungkapan yang layak harus dilakukan dalam direct financing lease terhadap
jumlah bruto aktiva yang disajikan berdasarkan sifat dan fungsi aktiva serta
jumlah pembayaran sewa guna usaha minimum setiap tahun sampai tahun
kelima.

Pengungkapan yang layak dalam operating lease yang tidak dapat dibatalkan
harus dilakukan terhadap jumlah pembayaran sewa guna usaha minimum untuk
setiap tahun sampai tahun kelima.

Pembayaran sewa guna usaha yang merupakan biaya dalam perhitungan rugi
laba yang disajikan harus pula diungkapkan.

Anda mungkin juga menyukai