Anda di halaman 1dari 8

Flu Burung

Epidemiologi
Menurut Widoyono (2005:95), kasus avian influenza meningkat dari tahun ke tahun:
Sampai bulan Juni 2007 sebanyak 313 orang di seluruh dunia telah terjangkit virus avian influenza
dengan 191 diantaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate=61%). Kasus penyakit ini meningkat
cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang
menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007 per tanggal 15
Juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 66%. Negara yang terjangkit sebagian
besar adalah Negara-negara di Asia (Thailand, Vietnam, Kamboja, China, dan Indonesia), tetapi saat
ini sudah menyebar ke Irak dan Turki.
Virus avian influenza banyak ditemukan pada jenis burung yang berpindah-pindah antara lain :
waterfowl, burung pantai, dan burung laut di seluruh dunia. Hal ini terbukti burung-burung tersebut
banyak berperan pada penularan pada ayam (Aksoro, 2005).
Dapat disimpulkan bahwa jalur penularan avian influenza adalah dari unggas ke manusia. Disisi lain
diperoleh 3 kasus avian influenza yang menyerang pada 1 keluarga di Thailand, didapati hanya 1 kasus
yang terinfeksi karena berhubungan langsung dengan unggas, sedangkan 2 kasus sisanya tidak
berhubungan dengan unggas tetapi hanya berhubungan dengan kasus 1. Dengan informasi tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa avian influenza juga dapat menular dari manusia ke manusia. Hal ini
diperjelas Richard, bahwa semua virus influenza memiliki kemampuan untuk bermutasi dengan
sangat cepat, sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya virus avian influenza yang mampu
menginfeksi dari manusia ke manusia dengan mudah (Nainggolan, Rumende, dan Pohan, 2006:1719).
Hingga Agustus 2005, sudah jutaan ternak mati akibat avian influenza. Sudah terjadi ribuan kontak
antar petugas ternak dengan unggas yang terkena wabah. Ternyata kasus avian influenza pada
manusia yang terkonfirmasi hanya sedikit diatas seratus. Dengan demikian walau terbukti adanya
penularan dari unggas ke manusia, proses ini tidak terjadi dengan mudah. Terlebih lagi penularan
antar manusia, kemungkinan terjadinya lebih kecil lagi.
Menurut Nainggolan, Rumende, dan Pohan, (2006:1719), “di Indonesia telah ditemukan kasus avian
influenza pada manusia, dengan demikian Indonesia merupakan Negara ke lima di Asia setelah
Hongkong, Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang terkena avian influenza pada manusia.”
Menurut Widoyono (2005:95), daerah yang padat populasi unggas dan manusia banyak ditemukan
kasus avian influenza :
Kasus avian influenza di Indonesia bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di Pekalongan,
Jawa Tengah pada bulan Agustus 2003. Sampai tahun 2006, penyakit ini sudah menyerang unggas di
29 provinsi yang mencakup 291 kabupaten/kota. Daerah-daerah yang memiliki populasi unggas yang
padat dan diikuti populasi penduduk yang padat lah yang akan mengalami banyak kasus pada
manusia. Sejak Juli 2005 sampai dengan pertengahan Juni 2007 tercatat terdapat 100 kasus dengan
80 kematian (CFR=80%). Sebagian besar kasus berasal dari Jawa dan Sumatra. Provinsi terbanyak
yang terjangkit penyakit ini adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Penyakit ini sudah
berjangkit di 11 provinsi dan 37 kabupaten/kota.
Kerugian karena avian influenza sangat bervariasi. Di kawasan Asia telah menyebabkan kematian
pada ayam yang tinggi dan menimbulkan kerugian secara fisik, psikologis, dan ekonomi pada
masyarakat.

Patogenesis
Menurut Adjid dan Dharmayanti (2005), dari unggas yang terinfeksi, virus avian influenza
dikeluarkan melalui percikan atau sekresi dari saluran pernafasan atau pencernaan. Penularan
penyakit avian influenza dari hewan terinfeksi ke hewan lainnya dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan feses, pakan, air, peralatan, dan baju yang terkontaminasi.
Menurut Adjid dan Dharmayanti (2005), Glikoprotein HA berperan dalam pengenalan inang.
Spesifitas reseptor virus influenza bervariasi tergantung dari inang darimana virus tersebut berasal.
Pada manusia, virus influenza mengenali sialiloligosakarida yang dideterminasi dengan N-asetylsialic
acid bergabung dengan 2,6 linkages, sedangkan pada unggas mengenali N-acetylsialic acid bergabung
dengan ikatan 2,3 linkages.
Menurut Nainggolan, Rumende, dan Pohan, (2006:1719), pathogenesis virus avian influenza adalah
sebagai berikut :
Virus avian influenza tersebar melalui udara, virus ini akan tertanam pada membran mukosa yang
melapisi saluran napas atau langsung memasuki alveoli. Virus yang tertanam pada membran mukosa
akan terpajan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor
spesifik yang dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies dari mana virus
berasal. Virus avian influenza manusia dapat berikatan dengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang
berasal dari membran sel dimana didapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan residu
galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus avian influenza dapat berikatan dengan membran sel
mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu 2,3 linkage. Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat
pada membran mukosa diduga sebagai penyebab mengapa virus avian influenza tidak dapat
mengadakan replikasi secara efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan
mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Tetapi virus
yang mengandung protein neuraminidase pada permukaannya dapat memecah ikatan tersebut.. Virus
selanjutnya akan melekat pada epitel saluran napas untuk kemudian bereplikasi dalam sel tersebut.
Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel
didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel
kolumnar bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian
mengalami piknosis. Bersamaan dengan terjadinya disintegrai dan hilangnya silia selanjutnya akan
terbentuk badan onklusi.
Pada penderita avian influenza, terjadi apoptosis pada sel epitel alveolus yang merupakan dampak
lansung dari infeksi virus tersebut dan dampak tidak langsung dari disregulasi sitokin pada sel yang
terinfeksi atau respon imun yang berlebihan. Infeksi primer limfosit pada manusia telah menunjukan
induksi apoptosis. Peningkatan apoptosis memicu limfopenia parah yang disebabkan replikasi virus
yang lebih aktif (Uiprasertkul et al, 2005).
Leukopenia terjadi pada penderita avian influenza. Disregulasi sitokin sistemik selama infeksilah yang
menyebabkan apoptosis besar-besaran di organ limfoid sehingga menyebabkan leukopenia.
Hal ini mnyebabkan tingginya jumlah kemokin dan sitokin pada kasus kematian avian influenza (De
Jong et al, 2006).
Mekanisme Pertahanan Tubuh
Penyakit influenza dimulai dengan infeksi virus pada sel epitel saluran napas. Virus ini kemudian
memperbanyak diri (replikasi) dengan sangat cepat hingga mengakibatkan lisis sel epitel dan terjadi
deskuamasi lapisan epitel saluran napas. Pada tahap awal, respons imun innate akan menghambat
replikasi virus, apabila kemudian terjadi re-exposure, respon imun adaptif yang bersifat antigen
spesifik mengembangkan memori imunologis yang akan memberikan respon lebih cepat. Replikasi
virus akan merangsang pembentukan sitokin proinflamasi termasuk IL-1, IL-6, dan TNF-α yang
kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dan menyebabkan gejala sistemik influenza seperti demam,
malaise, dan mialgia. Umumnya influenza bersifat self limiting dan virus terbatas pada saluran napas.
Sepuluh Infeksi strain H5N1 yang sangat patogen memicu respon imun yang tidak cukup sehingga
menyebabkan respon inflamasi sistemik. Kemampuan strain H5N1 untuk menghindari mekanisme
pertahanan tubuh (sitokin) berperan pada patogenitas dari strain ini. Pada infeksi H5N1, sitokin yang
diperlukan untuk menekan replikasi virus, terbentuk secara berlebihan (cytokine storm) yang justru
menyebabkan kerusakan jaringan paru yang luas dan berat. Terjadi pneumonia virus berupa
pneumonitis interstisial. Proses berlanjut dengan terjadinya eksudasi dan edema intraalveolar,
mobilisasi sel radang dan eritrosit dari kapiler sekitar, pembentukan membran hyalin dan juga
fibroblas. Sel radang akan memproduksi banyak sel mediator peradangan. Secara klinis keadaan ini
dikenal dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Difusi oksigen terganggu, terjadi
hipoksia/anoksia yang dapat merusak organ lain (anoxic multiorgan dysfunction).
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi avian influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang 2-4 hari. Manifestasi klinis
avian influenza terutama terjadi di sistem respiratorik, dengan gejala sama dengan gejala influenza
like illness yaitu batuk, pilek, dan demam (>38C). Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan,
mialgia, dan malaise. Keluhan lain dapat berupa diare dan konjungtivis. Perjalanan klinis avian
influenza umumnya sangat fatal dengan mortalitas sekitar 50% (Nainggolan, Rumende, dan Pohan,
2006:1720).
Kelainan laboratorium adalah leukopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Gangguan ginjal dapat
berupa peningkatan nilai ureum dan kreatinin. Kelainan foto toraks bisa berupa infiltrat bilateral luas
infiltrate difus, multilokal, atau tersebar, atau dapat berupa kolaps lobar (Nainggolan, Rumende, dan
Pohan, 2006:1720).
Diagnosis
Menurut Widoyono (2005:97), diagnosis avian influenza adalah :
1. Kasus tersangka (possible cases).
• Demam >38C, batuk, nyeri tenggorokan.
• Dan salah satu kriteria berikut :
Pernah kontak dengan penderita avian influenza.¬
Kurang dari 1 munggu terakhir pasien pernah mengunjungi peternakan di daerah endemik avian
influenza.¬
Bekerja di laboratorium dan kontak dengan sampel dari tersangka avian influenza.¬
2. Kasus mungkin (probable cases)
• Possible cases, atau
• Hasil laboratorium tertentu positif untuk virus avian influenza dengan antibodi monoklonal H5.
3. Kasus pasti (confirmed cases)
• Hasil kultur virus H5N1.
• Pemeriksaan PCR influenza H5 positif.
• Peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar 4 kali.
Pemeriksaan laboratorium:
• Mengisolasi virus (usap tenggorokan, tonsil, faring).
• Tes serologi.
• Merujuk ke laboratorium litbangkes.
Menurut Nainggolan, Rumende, dan Pohan, (2006:1720),diagnostik avian influenza dapat dilakukan
dengan :
Uji Konfirmasi :
• Kultur dan identifikasi virus H5N1.
• Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
• Uji Serologi
Imunofluorescence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan menggunakan antibodi monoklonal
influenza A H5N1.¬
Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1 sebanyak 4 kali dalam
paired serum dengan uji netralisasi.¬
Uji penapisan :¬
o Rapid Test untuk mendeteksi Influenza A.
o HI Test dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1.
o Enzyme Immunoassay (ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
Pemeriksaan Lain :
• Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, total limfosit. Umumnya
ditemukan leukopeni, limfositopeni, atau limfositosis relative dan trombositopeni
• Kimia : Albumin/Globulin, SGOT/SGPT, Ureum, Kreatinin, kreatinin kinase, Analisa Gas Darah.
Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan kreatinin kinase, analisa gas darah dapat normal atau abnormal. Kelainan
laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan.
• Pemeriksaan Radiologi : Pemeriksaan foto toraks PA dan lateral. Dapat ditemukan gambaran
infiltrate di paru yang menunjukan bahwa kasus ini adalah pneumonia.
Komplikasi
Kematian dan komplikasi biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), pneumonia, perdarahan paru, pneumothorax, sindrom sepsis dan bakteremia.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa menggunakan antiviral untuk influenza yang sebaiknya diberikan pada
awal infeksi yakni pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat antara lain :
1. Amantadin dan Rimantadin.
Menurut Louisa dan Setiabudy (2007:646), amantadin dan rimantadin memiliki mekanisme kerja
yang sama (terbatas pada influenza A saja) yaitu merupakan antivirus yang bekerja padad protein
membrane M2 virus, suatu kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan
pintu masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein-
protein selama proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengetur pH ke
kompartemen intraseluler, terutama apparatus golgi. Perubahan kompartemental pada pH ini
menstabilkan hemaaglutinin virus influenza A (HA) selama transport ke intrasel.
Dosis : Amantidin dan rimantidin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral.
Amantadin diberikan dalam dosis 200mg perhari (2 kali 100mg kapsul). Sedangkan rimantidin
diberikan dalam dosis 300mg per hari (2 kali sehari 150mg tablet).
Efek samping: kegelisahan, sulit konsentrasi, insomnia, dan hilang nafsu makan.
2. Inhibitor Neuraminidase (Oseltamivir, zanamivir).
Menurut Louisa dan Setiabudy (2007:647), oseltamivir dan zanamivir merupakan obat antivirus
dengan mekanisme kerja yang sama (terhadap virus influenza A dan B) yaitu inhibitor
neuraminidase, yaitu analog asam N-asetilneuraminat (reseptor permukaan sel virus influenza), dan
desain struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Asam N-asetilneuraminat
merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus berikatan dengan mukus, namun
yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim neuraminidase.
Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi. Neuraminidase juga penting untuk
pelepasan virus yang optimal dari sel terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas
infeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan
menurunkan tingkat keparahannya, jika penyakitnya kemudian berkembang.
Dosis : Zanamivir diberikan perinhalasi dengan dosis 20mg pr hari (2 kali 5mg, setiap 24 jam) selama
5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150mg per hari (2 kali 75mg kapsul, setiap 12 jam)
selama 15 hari.
Efek samping : Menurut Louisa dan Setiabudy (2007:647-649), zanamivir dapat ditoleransi dengan
baik dengan efek samping relatif ringan seperti gejala saluran nafas, gangguan saluran cerna, batuk,
dan penurunan fungsi paru yang reversible. Efek samping oseltamivir adalah mual, muntah, nyeri
abdomen yang biasanya akan hilang sendiri dalam 1-2 hari, sakit kepala juga kadang terjadi pada
penderita usia lanjut.
Departemen Kesehatan RI (2005) dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Pada kasus suspek flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75mg selama 5 hari. Simptomatik dan
antibiotik jika ada indikasi/
2. Pada kasus probable flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75mg selama 5 hari, antibiotik spektrum
luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada kasus pneumonia
berat, ARDS, Respiratory Care di ICU sesuai indikasi.
Sebagai profilaksis dapat digunakan oseltamivir 1x sehari dengan dosis 75mg selama lebih dari 7 hari
(hingga 6 minggu).
Nonmedikamentosa
Prinsip penatalaksanaan nonmedikamentosa avian influenza adalah : peningkatan daya tahan tubuh,
yaitu dengan cara istirahat, perbanyak minum air putih, dan memakan makanan yang bergizi.
Prognosis
Perjalanan klinis avian influenza umumnya berlangsung sangat prograsif dan fatal, sehingga sebelum
terfikir tentang avian influenza, pasien sudah meninggal karena kegagalan sistem pernapasan.
Mortalitas penyakit ini hingga laporan terakhir sekitar 50% (Nainggolan, Rumende, dan Pohan,
2006:1720).
Angka kematian avian influenza yang dilaporkan WHO pada 9 April 2010 adalah sebagai berikut :
• 5 dari 8 kasus (63%) di Azerbaijan.
• 0 dari 1 kasus di Bangladesh.
• 7 dari 9 kasus (78%) di Cambodia.
• 25 dari 38 kasus (66%) di China.
• 0 dari 1 kasus di Djibouti.
• 34 dari 109 kasus (32%) di Egypt.
• 135 dari 163 kasus (83%) di Indonesia.
• 2 dari 3 kasus (66%) di Iraq.
• 2 dari 2 kasus (100%) di Lao People's Democratic Republic.
• 0 dari 1 kasus di Myanmar.
• 1 dari 1 kasus (100%) di Nigeria.
• 1 dari 3 kasus (33%) di Pakistan.
• 17 dari 25 kasus (68%) di Thailand.
• 4 dari 12 kasus (33%) di Turkey.
• 59 dari 117 kasus (50%) di Viet Nam.
Keseluruhan 292 dari 493 kasus (59% kasus fatal) dari 26 December 2003 sampai 9 April 2010.

Daftar Pustaka
Adjid, A., Dharmayanti, I., 2005. Pencegahan Penularan Virus Avian Influenza dari Hewan ke
Manusia. National Seminar on “Avian Influenza Pandemic: Global Perspective”, Jakarta, Indonesia,
37-42.

Aksoro, B., T., 2005. Pemberantasan Avian Influenza pada Unggas Pandangan dari Dokter Hewan.
National Seminar on “Avian Influenza Pandemic: Global Perspective”, Jakarta, Indonesia, 9-15.

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Jakarta, 2005.
Jong M., Simmon C., Thanh T., Hien V., Smith G., Chau T., et al. Fatal outcome of human influenza A
(H5N1) is associated with high viral load and hypercytokinemia, Journal of Nature Medicine
2006;12:1203-1207
Louisa, M., Setiabudy, R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Nainggolan L., Rumende C., Pohan H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed) Departemen Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Uiprasertkul M., Puthavathana P., Sangsiriwut K., Pooruk P., Srisook K., Peiris M., et al. Influenza A
H5N1 replication sites in humans, Journal of Emerging Infectious Diseases 2005;11:1036–41

DIPOSKAN OLEH BANUNENDRO DI 22.29

Anda mungkin juga menyukai