Dari studi diakronis tentang kebudayaan lokal Banyumas tidak lepas dari eksistensi kebudayaan
Jawa secara keseluruhan. Dalam konteks eksistensi kultural, Jawa tidak sekedar bermakna
sebagai wilayah atau nama pulau. Jawa juga merupakan terminologi yang meliputi pengertian
tentang gagasan ideal tentang manusia dan nilai-nilai humanisme. Adi Suripto menyebutkan
bahwa kata “jawa” berasal dari kata “arjawam” pada bahasa sansekerta, yang artinya jujur,
rendah hati. Ketika kata “jawa” itu diputuskan untuk menjadi nama pulau, tersirat harapan para
leluhur semoga para penghuninya kelak selalu bermoral tinggi, bersifat “bener” dan jujur atau
“arjawam”. Maka sering kali kita dengar istilah ”ora Jawa” (tidak Jawa) yang dapat diartikan
Harapan ideal tentang kesusilaan ini ini berlangsung terus-menerus searah dengan periodisasi
pusat kekuasaan (raja) sejak dari Purwa Carita, Mataram Kuno, Kediri, Majapahit, Demak,
Hadiningrat. Dalam hal ini kata “jawa” mempunyai arti khusus yaitu “kadar moralitas dan
kesusilaan seseorang”. Kekuatan moral sebagai pedoman perilaku (karma marga) banyak
direpresentasikan ke dalam berbagai macam kitab suci, babad hingga berbagai jenis folklor.
Mahabharata dan Ramayana yang sarat dengan nilai-nilai moral itu sangat digemari hingga
menjadi pengetahuan andalan yang tak tergantikan oleh ceritera lain, meski beberapa alternatif
telah ditawarkan. Bhagawatgita yang juga disebut ”Kidung Sukma”, penulisannya dikhususkan
dan sering dianggap sebagai “kitab suci yang disakralkan”, sebab dianggap sebagai suara
kebenaran sejati atau suara nurani. Beberapa karya sastra lain seperti Wedhatama, Wulangreh,
Wulang Sunu dan sejenisnya memiliki ajaran moral mendapat porsi amat besar. Hampir seluruh
isi dari karya-karya sastra tersebut mengandung nasehat tentang ajaran moral. Bagi orang Jawa
moral amat penting, bahkan sebagai penentu kadar kematangan spiritual dan kedewasaan
seseorang. Sebuah petuah leluhur mengatakan “Dadiya wong bener aja ora Jawa”, artinya
“jadilah orang susila, jangan tidak bermoral”. Dari kata-kata itu jelas bahwa kedewasaan
seseorang bukan ditentukan oleh kematangan fisik semata, tetapi juga kematangan “jiwa”.
Seorang spiritualis sering disebut “bathok bolu isi madu”, artinya “seperti tempurung kelapa
yang berisi madu”. Walau tampil sederhana tetapi isinya amat berharga.
Ajaran moral Jawa terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai
representasi falsafah hidup manusia Jawa. Ajaran moral Jawa juga berkembang di lingkungan
kraton sekaligus di lingkungan masyarakat jelata. Dalam perkembangannya hal tersebut telah
menjadi dua arus perkembangan kebudayaan Jawa yang sama-sama kuat. Di satu sisi ajaran
moral Jawa berkembang di lingkungan kultur kraton, dijiwai oleh spirit adiluhung dan
direpresentasikan dalam berbagai aspek kebudayaan yang rumit, halus dan indah. Sedangkan di
sisi lain ajaran moral Jawa juga berkembang di kalangan masyarakat jelata, menjadi bagian
integral dari kehidupan wong cilik yang hidup dalam pola tradisional-agraris, direpresentasikan
Salah satu wujud kebudayaan dengan pola kerakyatan yang masih hidup sampai sekarang adalah
kebudayaan lokal Banyumas yang hidup jauh di luar batas tembok kraton. Pola kerakyatan yang
dijumpai dalam kebudayaan lokal Banyumas telah menjadi paradoks dari ragam kebudayaan
kraton. Kultur lokal Banyumas lahir dan berkembang dengan mengadaptasi dua kutub budaya;
Jawa dan Sunda. Kehadiran kedua kutub budaya itu tidak dalam posisi menghancurkan, tetapi
justru bersifat memperkaya dan turut berperan dalam membangun entitas kebudayaan
Banyumas. Spirit kebudayaan kraton dengan konsep adiluhung-nya, di Banyumas tercermin pada
kalangan minoritas priyayi yang seringkali berada dalam posisi berhadapan dengan semangat
pada sikap sosial yang seringkali menempatkan kedua kelompok ini dalam posisi “aku dan kau”.
“Aku” atau “inyong” adalah kaum penginyongan yang berada dalam kondisi hidup bersahaja,
sederhana, egaliter dan dari sisi kuantitas berjumlah banyak. Sementara “kau” terdiri dari
kalangan priyayi yang sesungguhnya minoritas, namun mampu berada dalam situasi hidup lebih
dalam konteks kebudayaan kaum penginyongan-lah yang menjadi penyangga utama kebudayaan
Banyumas.
Dalam perkembangan sejarah kebudayaan lokal Banyumas, sikap moral dan filosofi Jawa,
Sunda, dan lokalitas Banyumas sendiri berada dalam satu susunan paralel yang secara bersama-
sama membentuk sebuah kultur tersendiri dengan tetap menampakkan warna-warna aslinya.
Secara garis besar, keragaman kebudayaan lokal Banyumas dapat dilihat pada empat patron yang
1. Hubungan manusia dengan diri sendiri. Dalam kacamata pandang masyarakat Banyumas,
hubungan antara manusia dengan diri senidiri dipahami melalui ajaran kosmologi, khususnya
tentang mikro kosmos (jagad cilik). Jagad cilik adalah jagading manungsa, ada dalam diri
manusia, mencakup empat nafsu beserta satu titik imajiner disebut pancer. Keempat nafsu
tersebut antara lain: nafsu amarah, aluamah, sufiah, dan mutmainah, sedangkan pancer-nya
adalah hati nurani. Perpaduan antara keempat nafsu dan satu titik imajiner tersebut sering
digambarkan ke dalam lima macam warna, yaitu nafsu amarah (merah), aluamah (hitam), sufiah
(kuning), dan mutmainah (putih), sedangkan pancer-nya digambarkan dengan warna ijo moyo-
moyo. Semua itu juga digambarkan dalam perwujudan kreta jaran sakusire (kereta, kuda dan
kusirnya). Kereta untuk menggambarkan badan wadag manusia, kuda sebagai simbolisasi
keempat nafsu, dan kusir sebagai penggambaran hati nurani. Selain itu, setiap individu yang
terlahir ke dunia juga diyakini memiliki dua saudara yang disebut kakang kawah adhi ari-ari (air
ketuban disebut sebagai ’kaka’ dan placenta disebut sebagai ’adik’) yang sering disebut dengan
istilah sedulur tua sedulur nom (saudara tua dan saudara muda). Kedua saudara ini akan
2. Hubungan manusia dengan alam semesta. Paham tentang hubungan manusia dengan alam
semesta masih terkait dengan paham tentang kosmologi Jawa, khususnya jagad gedhe (makro
kosmos). Jagad gedhe dipahami sebagai alam semesta yang memiliki keblat papat lima pancer.
Keblat papat (kiblat empat) adalah empat arah mata angin terdiri dari timur, selatan, barat dan
utara) , sedangkan lima pancer (pusat imajiner dalam hitungan kelima) adalah titik pusat di mana
kita berada. Dalam simbolisasi yang lain, keblat papat lima pancer digambarkan melalui hari
pasaran meliputi manis (timur), pahing (selatan), pon (barat), wage (utara), dan kliwon
(pancer/tengah). Dalam paham kosmologi Jawa, baik jagad gedhe maupun jagad cilik sama-sama
harus dipelihara demi kontinuitas kehidupan manusia di alam fana. Kepercayaan bahwa alam
pasti akan hancur itulah yang menyulut semangat hamemayu hayuning bawana sebagai strategi
preventif.
3. Hubungan manusia dengan Tuhan. Kata Tuhan merujuk kepada suatu Zat Abadi dan
Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau
jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang
mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada;
kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa
dimengerti atau dijelaskan. Bagi masyarakat Banyumas, pencarian Tuhan selain melalui agama
wahyu juga dilakukan melalui akal pikiran dan usaha yang dilakukan sendiri oleh manusia.
4. Hubungan manusia dengan lingkungan sosial. Pada tingkatan hubungan manusia dengan
lingkungan sosial terdapat multifaset aktivitas yang melibatkan diri pribadi maupun kelompok
masyarakat. Melalui hubungan ini lahir berbagai aktivitas kebudayaan yang melahirkan sistem
Keempat bingkai hubungan manusia ini masing-masing telah menghasilkan artefak-artefak yang
memperkaya khasanah kebudayaan lokal Banyumas. Dalam konteks hubungan manusia dengan
diri pribadi telah menghasilkan aneka ragam artefak, seperti kendi tempat menyimpan ari-ari,
pesucen tempat sesaji, sarana-prasarana dupa/sesaji, dan lain-lain. Sementara, hubungan manusia
dengan alam menghasilkan berbagai artefak seperti dapat dilihat pada sarana ritual dengan alam,
misalnya dalam tradisi cowongan, ujungan, mimiti, pedhiang, dan lain-lain. Model pencarian
Tuhan melalui agama wahyu maupun akal pikiran dan usaha lain, juga telah menghasilkan aneka
ragam artefak budaya, seperti masjid, tempat-tempat persembahyangan (manembah), serta alat-
alat yang digunakan untuk keperluan tersebut. Kemudian, melalui kancah pergaulan sosial,
masyarakat Banyumas menghasilkan berbagai macam artefak budaya seperti alat-alat rumah
Jawa secara keseluruhan. Dalam konteks eksistensi kultural, Jawa tidak sekedar bermakna
sebagai wilayah atau nama pulau. Jawa juga merupakan terminologi yang meliputi pengertian
tentang gagasan ideal tentang manusia dan nilai-nilai humanisme. Adi Suripto menyebutkan
bahwa kata “jawa” berasal dari kata “arjawam” pada bahasa sansekerta, yang artinya jujur,
rendah hati. Ketika kata “jawa” itu diputuskan untuk menjadi nama pulau, tersirat harapan para
leluhur semoga para penghuninya kelak selalu bermoral tinggi, bersifat “bener” dan jujur atau
“arjawam”. Maka sering kali kita dengar istilah ”ora Jawa” (tidak Jawa) yang dapat diartikan
Harapan ideal tentang kesusilaan ini ini berlangsung terus-menerus searah dengan periodisasi
pusat kekuasaan (raja) sejak dari Purwa Carita, Mataram Kuno, Kediri, Majapahit, Demak,
Hadiningrat. Dalam hal ini kata “jawa” mempunyai arti khusus yaitu “kadar moralitas dan
kesusilaan seseorang”. Kekuatan moral sebagai pedoman perilaku (karma marga) banyak
direpresentasikan ke dalam berbagai macam kitab suci, babad hingga berbagai jenis folklor.
Mahabharata dan Ramayana yang sarat dengan nilai-nilai moral itu sangat digemari hingga
menjadi pengetahuan andalan yang tak tergantikan oleh ceritera lain, meski beberapa alternatif
telah ditawarkan. Bhagawatgita yang juga disebut ”Kidung Sukma”, penulisannya dikhususkan
dan sering dianggap sebagai “kitab suci yang disakralkan”, sebab dianggap sebagai suara
kebenaran sejati atau suara nurani. Beberapa karya sastra lain seperti Wedhatama, Wulangreh,
Wulang Sunu dan sejenisnya memiliki ajaran moral mendapat porsi amat besar. Hampir seluruh
isi dari karya-karya sastra tersebut mengandung nasehat tentang ajaran moral. Bagi orang Jawa
moral amat penting, bahkan sebagai penentu kadar kematangan spiritual dan kedewasaan
seseorang. Sebuah petuah leluhur mengatakan “Dadiya wong bener aja ora Jawa”, artinya
“jadilah orang susila, jangan tidak bermoral”. Dari kata-kata itu jelas bahwa kedewasaan
seseorang bukan ditentukan oleh kematangan fisik semata, tetapi juga kematangan “jiwa”.
Seorang spiritualis sering disebut “bathok bolu isi madu”, artinya “seperti tempurung kelapa
yang berisi madu”. Walau tampil sederhana tetapi isinya amat berharga.
Ajaran moral Jawa terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai
representasi falsafah hidup manusia Jawa. Ajaran moral Jawa juga berkembang di lingkungan
kraton sekaligus di lingkungan masyarakat jelata. Dalam perkembangannya hal tersebut telah
menjadi dua arus perkembangan kebudayaan Jawa yang sama-sama kuat. Di satu sisi ajaran
moral Jawa berkembang di lingkungan kultur kraton, dijiwai oleh spirit adiluhung dan
direpresentasikan dalam berbagai aspek kebudayaan yang rumit, halus dan indah. Sedangkan di
sisi lain ajaran moral Jawa juga berkembang di kalangan masyarakat jelata, menjadi bagian
integral dari kehidupan wong cilik yang hidup dalam pola tradisional-agraris, direpresentasikan
Salah satu wujud kebudayaan dengan pola kerakyatan yang masih hidup sampai sekarang adalah
kebudayaan lokal Banyumas yang hidup jauh di luar batas tembok kraton. Pola kerakyatan yang
dijumpai dalam kebudayaan lokal Banyumas telah menjadi paradoks dari ragam kebudayaan
kraton. Kultur lokal Banyumas lahir dan berkembang dengan mengadaptasi dua kutub budaya;
Jawa dan Sunda. Kehadiran kedua kutub budaya itu tidak dalam posisi menghancurkan, tetapi
justru bersifat memperkaya dan turut berperan dalam membangun entitas kebudayaan
Banyumas. Spirit kebudayaan kraton dengan konsep adiluhung-nya, di Banyumas tercermin pada
kalangan minoritas priyayi yang seringkali berada dalam posisi berhadapan dengan semangat
pada sikap sosial yang seringkali menempatkan kedua kelompok ini dalam posisi “aku dan kau”.
“Aku” atau “inyong” adalah kaum penginyongan yang berada dalam kondisi hidup bersahaja,
sederhana, egaliter dan dari sisi kuantitas berjumlah banyak. Sementara “kau” terdiri dari
kalangan priyayi yang sesungguhnya minoritas, namun mampu berada dalam situasi hidup lebih
dalam konteks kebudayaan kaum penginyongan-lah yang menjadi penyangga utama kebudayaan
Banyumas.
Dalam perkembangan sejarah kebudayaan lokal Banyumas, sikap moral dan filosofi Jawa,
Sunda, dan lokalitas Banyumas sendiri berada dalam satu susunan paralel yang secara bersama-
sama membentuk sebuah kultur tersendiri dengan tetap menampakkan warna-warna aslinya.
Secara garis besar, keragaman kebudayaan lokal Banyumas dapat dilihat pada empat patron yang
1. Hubungan manusia dengan diri sendiri. Dalam kacamata pandang masyarakat Banyumas,
hubungan antara manusia dengan diri senidiri dipahami melalui ajaran kosmologi, khususnya
tentang mikro kosmos (jagad cilik). Jagad cilik adalah jagading manungsa, ada dalam diri
manusia, mencakup empat nafsu beserta satu titik imajiner disebut pancer. Keempat nafsu
tersebut antara lain: nafsu amarah, aluamah, sufiah, dan mutmainah, sedangkan pancer-nya
adalah hati nurani. Perpaduan antara keempat nafsu dan satu titik imajiner tersebut sering
digambarkan ke dalam lima macam warna, yaitu nafsu amarah (merah), aluamah (hitam), sufiah
(kuning), dan mutmainah (putih), sedangkan pancer-nya digambarkan dengan warna ijo moyo-
moyo. Semua itu juga digambarkan dalam perwujudan kreta jaran sakusire (kereta, kuda dan
kusirnya). Kereta untuk menggambarkan badan wadag manusia, kuda sebagai simbolisasi
keempat nafsu, dan kusir sebagai penggambaran hati nurani. Selain itu, setiap individu yang
terlahir ke dunia juga diyakini memiliki dua saudara yang disebut kakang kawah adhi ari-ari (air
ketuban disebut sebagai ’kaka’ dan placenta disebut sebagai ’adik’) yang sering disebut dengan
istilah sedulur tua sedulur nom (saudara tua dan saudara muda). Kedua saudara ini akan
2. Hubungan manusia dengan alam semesta. Paham tentang hubungan manusia dengan alam
semesta masih terkait dengan paham tentang kosmologi Jawa, khususnya jagad gedhe (makro
kosmos). Jagad gedhe dipahami sebagai alam semesta yang memiliki keblat papat lima pancer.
Keblat papat (kiblat empat) adalah empat arah mata angin terdiri dari timur, selatan, barat dan
utara) , sedangkan lima pancer (pusat imajiner dalam hitungan kelima) adalah titik pusat di mana
kita berada. Dalam simbolisasi yang lain, keblat papat lima pancer digambarkan melalui hari
pasaran meliputi manis (timur), pahing (selatan), pon (barat), wage (utara), dan kliwon
(pancer/tengah). Dalam paham kosmologi Jawa, baik jagad gedhe maupun jagad cilik sama-sama
harus dipelihara demi kontinuitas kehidupan manusia di alam fana. Kepercayaan bahwa alam
pasti akan hancur itulah yang menyulut semangat hamemayu hayuning bawana sebagai strategi
preventif.
3. Hubungan manusia dengan Tuhan. Kata Tuhan merujuk kepada suatu Zat Abadi dan
Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau
jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang
mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada;
kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa
dimengerti atau dijelaskan. Bagi masyarakat Banyumas, pencarian Tuhan selain melalui agama
wahyu juga dilakukan melalui akal pikiran dan usaha yang dilakukan sendiri oleh manusia.
4. Hubungan manusia dengan lingkungan sosial. Pada tingkatan hubungan manusia dengan
lingkungan sosial terdapat multifaset aktivitas yang melibatkan diri pribadi maupun kelompok
masyarakat. Melalui hubungan ini lahir berbagai aktivitas kebudayaan yang melahirkan sistem
Keempat bingkai hubungan manusia ini masing-masing telah menghasilkan artefak-artefak yang
memperkaya khasanah kebudayaan lokal Banyumas. Dalam konteks hubungan manusia dengan
diri pribadi telah menghasilkan aneka ragam artefak, seperti kendi tempat menyimpan ari-ari,
pesucen tempat sesaji, sarana-prasarana dupa/sesaji, dan lain-lain. Sementara, hubungan manusia
dengan alam menghasilkan berbagai artefak seperti dapat dilihat pada sarana ritual dengan alam,
misalnya dalam tradisi cowongan, ujungan, mimiti, pedhiang, dan lain-lain. Model pencarian
Tuhan melalui agama wahyu maupun akal pikiran dan usaha lain, juga telah menghasilkan aneka
ragam artefak budaya, seperti masjid, tempat-tempat persembahyangan (manembah), serta alat-
alat yang digunakan untuk keperluan tersebut. Kemudian, melalui kancah pergaulan sosial,
masyarakat Banyumas menghasilkan berbagai macam artefak budaya seperti alat-alat rumah