Anda di halaman 1dari 12

f

DRAFT

Judul:

Kenangan Yang
Tersisa

Oleh

Eddy Sunarto

2008
BAGIAN

Kamis, 7 Juli 2005 saat ini,


Kenangan mana yang paling indah disekolah? Menurutku, waktu di SMP. Memang.., banyak
kenangan-kenangan yang menjadi bagian perjalanan hidupku, utamanya disekolah. Waktu di STM,
waktu kuliah…, waktu SD…..
Tapi yang membekas dihatiku sampai sekarang, ya.., waktu di SMP itu. Ada kisah sedih, ada kisah
lucu.., ada juga.., kisah cinta. Semua bercampur jadi satu, membentuk untaian kenangan yang
mengharu biru bila diingat.

Sampai- sampai…, dalam setahun belakangan ini, aku sampai bermimpi…, mimpi kembali
menikmati masa-masa indah itu dengan segala cerita dan romantismenya. Dan aku berharap tidak
terlalu cepat terbangun dari tidur, mati suri kalau perlu sekalipun, agar bisa tinggal lebih lama dalam
suatu ruang waktu dimana aku bisa merasa damai dan tentram didalamnya. Sayang…, itu tidak
mungkin. Terjagaku selalu cepat, sehingga aku hanya bisa termenung dan berpikir.

Oh.., rupanya terlalu terbawa perasaan, sehingga tak sadar waktu yang semakin merangkak
naik.
Saat ini, aku masih berdiri disini, di tempat sebagian sejarah hidupku tertoreh yang tak mungkin bisa
dilupakan seumur hidupku. SMP Negeri No. 03 Tanjung Enim, dimana aku bersekolah.

Reuni akbar diadakan oleh para alumni untuk menjalin kembali tali silahturahmi yang terputus
untuk angkatan 91, 92, 93 dan 94. aku sendiri termasuk angkatan 92. sudah 2 bulan persiapan telah
dilakukan. Event Organizer, OQ Production, telah bekerja keras dengan mendata ulang para alumni
berbagai angkatan, membuat selebaran dan promosi on air, mengumpulkan property yang berkenaan
dengan masa itu, untuk menyukseskan acara reuni tersebut.

Koleksi piala, vandel, medali atas prestasi yang telah dicapai dikumpulkan, sekolah disulap
sesuai setting saat itu, dan tentu saja yang tak boleh dilupakan adalah koleksi photo. Ada ungkapan
satu lembar photo lebih bisa berbicara daripada seribu kata.
Photo-photo tersebut disusun dalam frame-frame berdasarkan urutan waktu dan kegiatan yang
dilakukan, lalu dipajang di dinding perpustakaan sekolah , yang untuk sementara waktu menjadi
Memorian Gallery.

Kupandangi photo-photo itu satu persatu, sambil mengumpulkan ingatan pada saat apa
kejadian itu diabadikan. Semua menggambarkan tentang pencapaian prestasi yang diraih para siswa
sekolah kami waktu itu.
Rasa-rasanya aku tak ada disana. Selain memang tak terlalu gemar berpose, tidak ada secuilpun
prestasi yang kusumbangkan untuk mengharumkan nama sekolah, kecuali catatan-catatan buruk yang
mungkin hanya cocok masuk lemari arsip berdebu.

Photoku hanya terpampang satu di album perpisahan, dengan ekspresi standar. Hanya itu.
Oh.. ya, ada memang, saat pawai pembangunan menyambut hari kemerdekaaan, aku berpoto
bersama dengan peserta lainnya dengan memakai baju daerah Jawa Tengah. Sekolah kami meraih
juara 2 saat itu. Tapi tidak dipajang disini. Mungkin tidak terlalu penting untuk ditonjolkan.

Tunggu..!!!
Ada yang terlewatkan, atau lebih tepatnya tidak terlalu diperhatikan. Ada photo dirinya, beserta
dua temannya saat mengekspresikan kegembiraannya, karena berhasil menyabet juara 1 Cerdas
Cermat antar SMP se- propinsi Sumatera Selatan tahun 1992. Mulai saat itu, sama seperti teman-
teman lain, terbit rasa kagum kepadanya.., kagum atas pencapaian prestasi yang telah diraihnya,
sehingga menempatkan dia dalam sepuluh besar siswa berprestasi SMPN No. 03 Tanjung Enim. Rasa
kagum, yang lama-lama berubah menjadi perasaan sayang. Perasaan yang tak bertepuk sebelah
tangan.., yang mampu mengubah hidupku 180 derajat .

Semua memang sudah berubah. Keadaan sekolah kami sudah berubah fisiknya lebih baik
daripada puluhan tahun yang lalu. Halaman tempat kami biasa upacara Senin kini telah dibuat
lapangan basket, walau fungsinya sebagai tempat berkumpul tidak dihilangkan. Lapangan sepakbola
kami tidak lagi berukuran 100 x 110 meter lagi, karena sudah dibangun kelas untuk menampung siswa
kelas 1, sehingga semuanya masuk pagi.
Aku jadi teringat sesuatu. Bergegas aku menuju halaman belakang kelasku, yang dulunya kebun
apotek hidup. Sekarang lahan tersebut telah dibangun rumah penjaga sekolah dan sebuah mushola
kecil. Hanya sebuah sumur tua dan pohon akasia menaunginya yang masih ada. Entah alasan apa
pihak sekolah tetap mempertahankan kedua obyek tersebut mengingat keduanya tidak mempunyai
fungsi yang penting. Tapi yang jelas, aku sangat bersyukur pohon Acacia Mangium itu tidak ditebang.

Kuraba-raba batang pohon tersebut, mencari sesuatu. Masih ada, kata hatiku lega. Akasia ini
memiliki arti yang penting bagiku. Dia menyimpan sekaligus jadi saksi bisu kisah cintaku dengan
seorang gadis, teman kelasku yang sudah lama kukagumi Ya..! dia yang jadi juara 1 Cerdas Cermat
se- propinsi itu..
Torehan nama kami berdua terpahat dibatangnya...
Eddy Love Indi
11 Januari 1995

Setelah puluhan tahun berlalu, pahatan itu masih ada. Seolah.., waktu tak membiarkan
prasasti cinta itu lekang, dan menjadikannnya abadi.
Tapi..., mungkin.. aku.. terlalu banyak berharap. Setelah sekian lama berpisah, seberapa besar
kemungkinannya aku dapat berjumpa lagi dengannya. Reuni akbar ini tidak bisa dipastikan dapat
menjadi sarana untuk bertemu kembali dengan gadis pujaanku itu.
Kalaupun dapat bersua, apakah dia masih sendiri mengingat usia kami tidak muda lagi? Dua puluh
tujuh tahun usia kami saat ini.

Mungkin dia sudah punya suami..., punya 1 atau 2 orang anak yang lucu-lucu dan pintar-
pintar.
Oh..., jadi diacara ini, aku... bagaikan camar yang terbang diantara karang-karang sendirian. Ada rasa
hampa...., kosong yang melanda jiwa.....
Tapi...., rasanya aku tak perlu sesedih itu. Dapat berjumpa lagi dengannya (Walau kecil
kemungkinannya) , aku sudah bahagia.
Biarlah...., biarlah...., dia memiliki kebahagiaannya sendiri, dan aku tak boleh merusaknya. Biarlah aku
mencari kebahagiaanku sendiri...

Kulihat arlojiku. Pukul 8 pagi. Satu jam lebih awal dari jadwal acara resmi dimulai. Aku sengaja
datang lebih cepat, untuk memastikan apakah pohon yang menjadi saksi sejarah kisah cintaku masih
ada. Ternyata masih terpelihara dengan baik.

Kusentuh torehan nama itu lagi. Pikiranku kembali mengembara menelusuri.., mencari-
mencari..., mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan yang tersisa dan mencoba menyusunnya
kembali. Sejarah kembali di putar balik.
Dan inilah ceritanya.......
xxx

BAGIAN

2
1
Senin, 11 Juli 1994 pukul 07.00 WIB,
“ Pagi semua, para sobat muda! Apa kabar? Baik-baik saja bukan? Senang rasanya saya,
Ardi, bisa menemani kamu semua hari ini, di acara Gita Pagi di Radio Angkasa Citra Buana(ACB)
pada frekuensi 103,8 FM. Oh..ya, sampe lupa, kalau Senin ini tanggal 11 Juli 1994, merupakan awal
untuk memasuki tahun ajaran baru. Kalau tidak salah, Tahun Ajaran 1993/1994, setelah sebulan
lamanya menikmati libur panjang bagi kami yang duduk dibangku sekolah. Bagi yang menjalaninya,
selamat menempuh hidup baru! Eh, salah! Maksudnya selamat menempuh hari baru, dengan kelas
baru jika naik tingkat berikutnya, ehmm.., teman-teman baru, suasana baru, pelajaran dan guru-guru
baru pula, dengan semangat membara dan pantang menyerah dalam menggapai cita-cita setinggi
bintang. ”
”Jika kamu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan pada waktu-waktu lalu, segera bulatkan
tekad untuk melupakan hal tersebut dan lanjutkan hidupmu dengan penuh ceria. Juga.., jika kamu
sedang sedih, murung, atau patah hati, oho.., jangan khawatir! Kami akan selalu setia menemani dan
menghibur dengan tembang-tembang yang pasti kamu suka. Karena ACB yang tahu akan selera
kamu semua, akan lagu-lagu yang sekarang lagi merajai papan tangga lagu populer. Oke! Sebagai
pembuka, saya putarkan lagu dari Co-boy. Stay tune always!”

Dan bergemalah lagu Co- boy didalam angkutan umum Colt L-300 lewat speaker, yang
judulnya apa ”Sungguh Aku” atau ”Hanya Untukmu”, entahlah, aku tak tahu pasti. Aku bukanlah remaja
yang terlalu mengikuti perkembangan musik yang lagi in. Paling-paling cuma senang mendengarnya
tanpa merasa berkewajiban untuk mengetahui lagu ini penyanyinya dan judulnya apa.

Radio ACB masih belum lama mengudara, tapi sudah digemari para remaja Tanjung Enim,
kota tempat aku tinggal. Selain karena bergerak dijalur frekuensi FM, sehingga suara lebih jelas dan
jernih didengar dibanding radio sebelumnya, Radio Gema Bukit Asam(RGBA) difrekuensi 828 AM,
radio ini membawa suasana baru yang lebih fresh dengan membawakan acara lebih santai dan enjoy,
serta tidak terdengar formal.
Yang lebih penting lagi, ACB belum tercemar oleh serentetan iklan yang walaupun perlu untuk
kelangsungan hidup radio, tapi mengganggu keasyikan dalam menikmati acara.

Namaku Adi Wira Negara. Statusku sekarang adalah siswa kelas 3 Sekolah
Menengah Pertama Negeri(SMPN) No. 03 Tanjung Enim, berlokasi di Desa Tegal Rejo RT. 3B.
Bapakku bernama Suratno, adalah Pegawai Negeri Perusahaan Umum Kereta Api(Perumka),
sekarang berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia(KAI). Ibuku bernama Sri Inten adalah ibu rumah
tangga biasa. Jarak antara rumah dan sekolahku lebih kurang 1,5 km, karena sama-sama satu desa,
hanya aku tinggal di RT 3A.Didesaku, RT 3 wilayahnya luas sehingga harus dibagi menjadi 3A, 3B,
dan 3C.

SMP 3 masuk jam 7.30 WIB, sehingga siswa-siswa yang berasal dari daerah yang jauh, harus
berangkat pagi-pagi sekolah. Ada yang berangkat naik angkutan umum, ada yang naik sepeda, ada
yang berjalan kaki, ada yang diantar orangtuanya.
Kadang-kadang aku berangkat sekolah jalan kaki, kadang-kadang naik angkutan umum seperti pagi
ini. Angkutan umum didaerah kami sering disebut taksi. Jika mau naik, cukup melambaikan tangan
atau berteriak, ”Taksi!”, dan taksipun menepi.
Mengenai penyebutan nama taksi ini, ada cerita lucu yang kudengar dari seorang kakak SMU
yang sering naik taksi bareng. Namanya Soleh. Ceritanya mereka sedang berdarmawisata di Taman
Mini Indonesia Indah(TMII) Jakarta. Disana mereka ketemu dan kenalan rombongan siswa dari SMU
di Jakarta. Setelah ngobrol ngalor ngidul, akhirnya mengarah pada persoalan taksi tersebut.

”Ya, kalau kesekolah biasanya kami naik taksi”, jawab Soleh santai.
”Taksi??”, kenalannya ini terbelalak kaget. Tidak percaya.
”Iya taksi?”
”Berapa kali naik taksi?”
”Ya tergantung. Kalau pas sekarang mau ujian, paling sedikit lima kali sekali. Mau berangkat
sekolah, pulang, lalu kalau ada les tambahan. Belum kegiatan lain. Capek deh pokoknya”, jawab
Soleh.
”Kaya betul orang Tanjung Enim. Kemana-mana naik taksi”, kenalan Soleh ini bergumam.

Mulanya Soleh berpikir, apakah komentar teman barunya ini memuji atau mengejek dirinya
yang berasal dari daerah. Dalam perjalanan pulang Soleh baru sadar, kalau taksi dikota-kota besar itu
adalah sedan carteran dengan tarif puluhan ribu Rupiah, bukan angkutan umum yang ongkosnya
hanya 100 Rupiah untuk anak sekolah, seperti didaerahnya. Pantesan kenalannya tersebut serasa tak
percaya.
Setelah tahu itu, Soleh jadi tertawa.
”Pantesan dia bilang aku orang kaya. Kemana-mana naik taksi sih?”, tawa Soleh.
Kejadian itu jadi cerita lucu untuk oleh-oleh di Tanjung Enim.

Ya.., masalah perbedaan budaya bisa jadi kesalahpahaman persepektif yang berbuah
kelucuan tadi.

Kembali pada diriku. Kalau siswa-siswa yang lain mungkin merasakan hari pertama masuk
sekolah sebagai Good day, sebaliknya aku merasa kalau hari ini adalah Bad day. Pasalnya, kelasku
kemarin, kelas 2.7 (Tujuh menandakan urutan ruang), dilikuidasi. Muridnya dimerger dikelas-kelas
yang lain, saat naik ketingkat 3 sekarang ini. Karena jumlah muridnya yang banyak berkurang, karena
alasan pindah atau tinggal kelas, sehingga tidak efisien mempertahankan kelas yang jumlah muridnya
hanya sedikit.

Waktu kelas 1 dulu, jumlah murid seangkatanku sebanyak 280 orang, dibagi dalam 7 kelas.
Jadi, per kelas muridnya berjumlah 40 orang.
Jumlah itu makin berkurang, waktu naik ketingkat dua, tapi tetap dipertahankan menjadi tujuh kelas.
Waktu naik tingkat tiga ini, diambil kebijakan untuk memangkas kelas yang jumlah siswanya dibawah
standar, dan disebar ditiap-tiap kelas. Kelasku yang jadi sasaran kebijakan tersebut.

Kalau teman-temanku dipindahkan kekelas lain mungkin tidak terlalu pusing, karena jumlah
mereka berkisar 3 sampai 5 orang waktu ditempatkan, sehingga tidak terlalu kesepian dan masih ada
teman ngobrol jika masih kesulitan beradaptasi dengan teman-teman baru.

Aku pengecualiannya. Selain dilempar sendirian, kelas baru yang akan kumasuki ini adalah
kelas 3.4, yang waktu kelas dua kemarin siswa-siswanya dijuluki The Dream Team. Sarangnya siswa
dengan segudang prestasi. Malah bisa dibilang kelas unggulan.
Ada yang jago basket, ada yang pinter matematika, ada yang peraih medali perak untuk Lari Triathlon,
dan bla.., bla.., segudang prestasi lainnya.
Aku? Semester terakhir prestasiku diraport tercatat menduduki peringkat 25 dari 32 siswa
dikelasku. Dalam arti kata, aku termasuk dalam deretan sepuluh besar murid yang nilainya terpayah
dikelas. Jumlah kehadiranku 20% dari total 65% syarat tatap muka minimal. Paling besar nilaiku 7
pada pelajaran Bahasa Indonesia, itupun karena aku memukau Ibu Nurjanah, guru Bahasa
Indonesiaku, dan teman-temanku dengan pembacaan puisi Kerawang- Bekasi karya Chairil Anwar.
Selebihnya, kalau tidak 6 ya 5 nilaiku. Itupun nilai 5 bisa jadi katrolan dari nilai sebenarnya yang
mungkin 4..,3..,2.., 1.., atau lebih parah lagi nol besar.

Gejala-gejala aku mengalami sindrom ”MS”(Malas Sekolah), dimulai pada saat aku
berkenalan dengan ”Dunia Hiburan”, waktu aku duduk dikelas 1 semester 2.
Dunia hiburan yang kumaksud adalah Pusat Permainan Dingdong(Game Watch)Perkasa di Pasar
Pagi Tanjung Enim. Penular virusnya adalah teman-temanku kongkow.
Tohir, Aryo, Maman, Iskak, namanya. Mereka remaja yang putus sekolah yang kerjaannya kelayapan
dipasar, utamanya di pusat permainan dingdong itu.

Game yang kusuka adalah Round Table Knight dan Street Fighter. Betapa senangnya aku jika
Lancelot dalam Round Table Knight, atau Ryu dalam Street Fighter, tokoh game yang selalu aku pilih
dalam bermain, mampu menghabisi lawan-lawannya hingga berdarah-darah.

Permainan tersebut mempengaruhi mentalku, sehingga dikehidupan sehari-hari, sering


persoalan yang kuhadapi selalu diselesaikan dengan adu jotos. Pangkal persoalannya pun kadang
bukan berasal dari diriku, tapi bisa saja dari temanku kongkow, sehingga mau tak mau aku melibatkan
diri atas dasar setia kawan.
Tawuran tak terelakkan, sehingga satpam pasar turun tangan dengan menyerahkan aku kepihak
sekolah, karena saat itu masih berseragam saat kejadian itu yang tentu saja gampang dikenali. Ulahku
telah membuat malu sekolah.

Berkali-kali aku duduk dibangku pesakitan ruang guru BP. Dinasehati dengan cara halus
maupun dengan ancaman dikeluarkan dari sekolah.
Sudah banyak surat panggilan ditujukan pada orangtuaku membicarakan tentang kelakuan diriku, tapi
tak pernah sampai. Karena memang aku akan melakukan apa saja agar persoalan ini tidak sampai
ketelinga orangtuaku. Setiap ditanyakan guru, selalu beralasan orangtuaku sibuk. Jika tidak sanggup
lagi meladeni cecaran dari guru BP, aku bolos sekolah sehingga beliaupun malas bertanya lagi.

Anehnya, sampai saat ini aku tetap naik kelas hingga ketingkat tiga sekarang ini, walau
dengan nilai seadanya. Entah apa yang menjadi pertimbangan dewan guru.
Termasuk menempatkanku sendirian kekelas 3.4. Mungkin aku termasuk siswa berprestasi dalam
kutip, malu-maluin nama sekolah. He..he..,he...

Rasanya aku masih tidak percaya kalau aku menjadi bagian The Dream Team ini. Sebagai
orang baru, aku diperkenalkan oleh Bu Susni, yang jadi Wali Kelas 3.4, kepada siswa-siswa yang lain.

”Anak-anak, hari ini kita mendapat teman baru. Namanya Adi Wiranegara. Dulunya dia duduk
dikelas 2.7. Sekarang sudah tidak ada lagi, dan muridnya ditempatkan dibeberapa kelas lain. Salah
satunya teman kalian ini. Sebagaimana biasa, teman kalian ini akan memperkenalkan dirinya, tempat
tinggalnya, nama orangtuanya dan pekerjaannya, serta hal lain yang bisa mempererat tali persatuan
dan menambah keakraban diantara kalian. Adi, silakan!”, perintah Bu Susni.

Walau dengan perasaan gugup, kucoba untuk mengumpulkan keberanianku. Namun, tak
sepatah katapun kalimat meluncur dari mulutku. Rasanya seperti tersendat ditenggorokan. Tapi,
sebenarnya persoalan berbicara didepan kelas bukan hanya jadi momok bagi diriku saja, tapi siswa-
siswa yang lain mengalaminya juga.
Rasa-rasanya memperkenalkan siapa diri kita sama saja mengeluarkan ”isi perut” untuk diketahui
umum.

”Halo, teman-teman.....! Perkenalkan..., nama saya Adi Wira Negara. Tempat tinggalku....,
ehm.., di.., Desa Tegal Rejo RT 3A.... aku...., aku...., saya...”
”Nama orangtuamu siapa dan apa pekerjaannya?”, potong Bu Susni cepat.
”Nama..., ayahku...,” perasaan nervous masih menjangkitiku sehingga menyulitkanku
menyusun kata-kata. ”Namanya Suratno. Pekerjaannya di Perumka. Anu.., ibuku.., Sri Inten ibu rumah
tangga biasa.”
”Sudah, cukup!”, kata Bu Susni. Beliau berdiri. ”Ternyata.., masih ada.., temanmu yang susah
untuk mengekspresikan diri, bahkan untuk memperkenalkan dirinya sekalipun. Tugas kalian, anak-
anakku sekalian, untuk membantu teman baru kita ini untuk beradaptasi dengan lingkungan sekarang.
Sehingga.., dia tidak merasa terasing dan merasa nyaman. Sehingga, memacu semangat belajarnya
untuk meraih prestasi maksimal, yang mampu membanggakan dirinya, orangtuanya, maupun
sekolahnya. Baiklah Adi, silakan duduk dengan Budiono. Yang masih kosong itu. Ya..Silakan!”

Sambil berjalan pelan menuju bangku yang telah ditunjuk Bu Susni, ku lihat sekelilingku. Ada
beberapa siswa yang kukenal, karena memang sudah sangat familiar bagi siswa disekolah ini.
Hariyadi, yang memperkuat skuad sepakbola sekolah sebagai Libero, duduk dibangku belakang
barisan pertama dekat pintu kelas. Sahid, peraih medali perak Olympiade matematika tingkat SLTA
sekecamatan,duduk dibangku depan baris ketiga . Irvan Harianto, ketua OSIS, duduk ditengah baris
ketiga. Dan.., itu..., itu.. si Indri Hapsari, peraih juara 1 Cerdas Cermat itu, duduk bersama Arif
Setiawan, yang jago basket, dibangku kedua baris keempat paling kiri.

Aku duduk disamping Budiono. Bangku paling belakang sebaris dengan Indri tadi. Dia
memperkenalkan dirinya dan aku menyambut dengan datar saja. Tanpa ekspresi gembira karena
mendapat teman baru, kelas baru, suasana baru...,
Entah mengapa..., seperti yang dikatakan Bu Susni tadi.., aku masih merasa asing. Belum terbiasa
dan merasa bukan menjadi bagian dari kelas ini.

Aku tidak terlalu memperhatikan dengan antusias, waktu Bu Susni membuat jadwal piket
kelas, piket kantor, piket jaga koperasi, dan pemilihan perangkat kelas.

Hari ini tidak belajar. Para siswa dari kelas 1 sampai kelas 3 dikerahkan untuk melakukan
pembersihan halaman sekolah yang sudah sebulan tidak diurus, sehingga banyak daun-daun
berserakan dan rumput-rumput yang mulai tinggi.
Aku sendiri tidak ikut kegiatan ini. Dengan mengendap-endap lewat belakang sekolah yang masih
penuh semak belukar, aku minggat dengan melompati tembok pagar.
Kulepas baju seragamku dan hanya memakai kaos oblong saja. Kusetop taksi yang lewat dan
langsung cabut ketempat aku biasa nongkrong. Sampai diterminal, aku sudah disambut empat teman
segankku.

”Kemano bae, di? Ditunggu lamo nian datang!”(Kemana aja di? Ditunggu lama betul datang!),
tanya Tohir dengan dialek Tanjung Enim.
”Biasolah, ce! Baru masuk sekolah. Banyak pengarahan dari guru. Ini bae aku minggat, baru
pacak kesini!”(Biasalah kawan! Baru masuk sekolah. Banyaklah pengarahan dari guru. Ini saja aku
minggat, baru bisa kesini!), jawabku.
”Jadi cakmano? Kito midang ke dingdong Perkasa?” (Jadi bagaimana? Kita main kedingdong
Perkasa?), tanya Maman, rambut keriting berkulit sawo matang itu.
”Yo iyolah!Payo kito berangkat sekarang!” (Ya iyalah! Ayo kita berangkat sekarang!), kata
Iskak. Dia pemimpin di gank kami, karena dia yang berbadan besar dan berkulit hitam legam, sehingga
agak disegani gank-gank lain. Kalau ada perselisihan, dia duluan maju kedepan menghajar habis-
habisan lawan-lawan kami, tapi kadang dia ngacir duluan jika lawan kami tidak sebanding banyaknya.

Dalam perjalanan, kami bergantian menghisap dua batang rokok yang kami beli dari terminal.
Kuhisap rokok dalam-dalam yang pangkalnya sudah basah oleh liur Tohir.
Di depan Pasar Inpres sepi sekali. Maklum sudah jam satu lebih. Mana panas lagi. Waktunya istirahat.
Kalau pagi sampai jam 11 siang, biasanya berjejer sepeda motor di halaman pasar inpres tersebut,
dan tukang parkir akan sibuk mengaturnya.

Siang ini hanya ada satu sepeda motor Honda Astrea Star diparkir disana. Sepertinya masih
gress dari dealer. Tukang parkir tidak tampak disana.
Iskak mendadak menghentikan langkahnya, sehingga kami berempat terantuk badannya yang besar.
Dia menjawil kami, sambil menunjuk-menunjuk motor tersebut. Tampaknya timbul ide dibenaknya
untuk menjahili Astrea tersebut.

”Kito kerjain motor itu!”, ajaknya. Kamipun mengikuti ajakannya.

Iskak memungut paku yang tergeletak dijalan, sementara kami berempat melihat-lihat situasi.
Iskak langsung memulai aksinya dengan mencoblos ban belakang motor hingga bocor. Belum puas,
kami bermaksud untuk menggores bodi motor. Tapi belum sempat niat kami terlaksana, dari belakang
tiba-tiba terdengar teriakan keras.

”Hoyy!! Kamu apakan motorku???”


Seorang bapak berusia 37 tahun berlari kearah kami, sambil mengacungkan tangannya.
Melihatnya, kami langsung kabur. Aku yang sedang dalam posisi jongkok dapat sial. Tubuhku tertabrak
teman-temanku, sehingga terjengkang kebelakang. Susah payah aku bangkit. Belum sempat kabur,
sebuah tangan kekar mencengkeram kuat kudukku.

”Dasar anak nakal! Kamu apakan motorku, hah?”, bentak bapak itu. Aku meronta-meronta
berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya kuat sekali. Aku makin pucat, waktu beberapa orang
dan satpam pasar yang jadi langganan menangkapku berdatangan. Kuhempaskan badanku ketubuh
bapak itu, sehingga tubuhnya oleng dan pegangannya lepas.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk meloloskan diri. Kulewati gang-gang sempit
sehingga menyulitkan orang untuk mengejarku.
”Brengsek! Kemana mereka? Kudamprat kalau ketemu!”, omelku dalam hati terhadap teman-
temanku. Karena mereka tak kutemukan, aku langsung ngeloyor pulang.
xxx
BAGIAN

3
1

“Darimana saja kau ini? Jam segini baru pulang?”, tanya ibuku waktu melihat kedatanganku.
”Kerja bakti, Mak! Disekolah sudah panjang-panjang rumputnya. Jadi harus ditebas”, jawabku
singkat.
Berbohong. Hal yang sering kulakukan jika menghadapi pertanyaan yang bernada mencurigai atau
menyelidik.

Ibuku tak bertanya apa-apa lagi. Beliau melanjutkan pekerjaannya menyeterika baju Rashid,
karyawan PT. Truba Jurong Engineering yang tinggal dimess karyawan, 50 meter depan rumah.
Sejak 1 tahun lalu, ibuku menerima cucian dari para karyawan perusahaan itu. Bukan hanya ibuku
saja. Sejak Truba datang kemari mengerjakan proyek pembangunan pabrik Briket di Tambang
Batubara Air Laya Tanjung Enim tahun 1992, banyak ibu-ibu dilingkunganku mengambil upahan cuci
pakaian karyawan bujangan, yang tidak banyak waktu atau malas mengerjakan sendiri.

Untuk tambah-tambah uang belanja, itu alasan ibuku ketika ditanya kenapa mau mengerjakan
hal tersebut. Maklum, untuk menghidupi tiga orang anak, gaji pegawai negeri ditempat kering macam
Perumka tentu sangat pas-pasan kalau tidak ada penghasilan tambahan.
Belum lagi aku dan adikku, Aprizal, yang baru duduk dikelas 1 SMP, masih butuh biaya banyak untuk
pendidikan kami, termasuk membeli buku-buku teks pelajaran yang tambah tahun makin mahal.

Orangtuaku sekolah hanya sampai tingkat SD, tapi mereka menyadari pentingnya pendidikan
bagi masa depan anak-anaknya. Mungkin mereka tidak bisa membimbing langsung karena
keterbatasan yang mereka miliki, namun kelemahan itu dikompensasi dengan melakukan segala daya
upaya untuk menyediakan sarana belajar yang memadai bagi anak-anaknya. Sayang...

Kubuka tudung saji dimeja makan. Ada lauk tempe goreng dan sayur asem, plus sambel
terasi. Salah satu makanan kesukaanku. Namun aku tidak terlalu berselera hari ini.Aku langsung
ngeloyor kekamarku. Kurapikan peralatan sekolahku, lalu tidur-tiduran.
Aku sekamar dengan adik keduaku. Dulunya kami juga satu tempat tidur. Namun karena sejak kecil
kami sering berkelahi, maka masing-masing dibuatkan dipan tapi tetap satu kamar. Mau pisah kamar
tidak bisa, karena kami hanya punya dua kamar.

Panas sekali hari ini. Aku bangun dan menyalakan teve. Kami berlangganan teve kabel
dengan pemilik parabola yang masih satu RT dengan kami. Kalau hanya TVRI, tentu tidak setiap
waktu ada acara bagus. Saat ini, lagi diputar TV1 Malaisya. Acaranya film India dengan bintangnya Anil
Kapoor dan Sridevi. Judulnya Mr. India. Ceritanya tentang temuan seorang profesor yang mampu
membuat pemakainya bisa menghilang, dan hanya bisa dideteksi keberadaannya dengan
menggunakan kacamata hijau. Menarik juga ceritanya.

Rumahku lagi sepi. Aprizal pergi ke rumah o’omku disebelah, sementara adikku perempuan
yang baru berumur 4 tahun, sedang tidur siang. Bapakku sendiri sudah 2 hari dinas keluar, mengawal
Kereta Api Pengangkut Batubara Rangkaian Panjang (Babaranjang) dari stasiun Tanjung Enim Baru
ke Pelabuhan Tarahan, Lampung , untuk dibawa menggunakan kapal kepada customer yang order.
Penambangan batubara di Air Laya cukup sibuk, sehingga bapakku yang sebagai maintenance hanya
punya waktu hari Minggu untuk bersantai.

Batubara yang telah dikeruk oleh Bagger (Bahasa Jerman; ember) atau Bucket Wheel
Excavator(BWE), lalu dialirkan melalui belt conveyor sepanjang puluhan kilometer menuju Train
Loading Station(TLS) untuk diisikan kegerbong-gerbong Babaranjang. Setelah penuh semua, kereta
api siap berangkat dan tugas bapakku yang memastikan kereta api tidak menemui masalah dijalan dan
sampai ditempat tujuan sesuai jadwal keberangkatan.

Channel teve berganti ke TPI. Acaranya pastinya jam segini yaitu Bursa Obrolan Kreatif dan
Sensasi(BOKIS) dengan presenter Becky Tumewu dan Gugun Gondrong, berlanjut dengan acara
Jendela Anak Muda(JAM)4, lalu acara Anda Meminta Kami Memutar(AMKM) dengan presenter Rina
Gunawan.

Kalau BOKIS ngobrolin tentang persoalan remaja yang lagi marak dengan mengundang
siswa-siswa dari beberapa sekolah dan narasumber yang kompeten, sementara JAM 4 ngobrolin
tentang artis yang jadi pembicaraan saat ini, dan AMKM adalah acara yang memutar video klip terbaru
penyanyi Indonesia berdasarkan permintaan pemirsa. Ketiga acara tersebut lagi disukai oleh penonton
remaja saat ini.

Sudah jam 5 sore. Aku mengambil sapu lidi, untuk menyapu daun-daun berserakan
dihalaman rumahku. Begitu setiap hari dan selalu begitu setiap hari rutinitas yang harus kujalani.
Bersikap menjadi anak yang baik dirumah, tapi jadi bengal waktu diluaran. Kadang sampai terpikir oleh
diriku, mungkin aku memiliki kepribadian ganda. Atau mungkin itu suatu ekspresi dari sikapku yang
merasa terpasung kaki dan tangan kebebasannya.

Bapakku berkarakter pendiam, menurun padaku. Sementara ibuku cenderung cerewet dan
meledak-ledak. Tapi yang pasti harus kuakui, kalau mereka sangat keras mendidik anak-anaknya.
Terlalu keras malah, sehingga tidak mempertimbangkan faktor psikologis anak.
Anak tidak memiliki kebebasan dalam berpendapat dan berperilaku, karena semua terus dikontrol
ketat agar tidak melenceng dari apa yang telah digariskan.
Tidak boleh begini..., tidak boleh begitu...., harus begini...., harus begitu....

Kadang-kadang terbersit iri dihatiku, kenapa anak yang lain bisa mempergunakan masa
remajanya dengan bersenang-senang, sementara aku terkurung disini....
Jiwaku... ragaku....
Sistem ini memang turun temurun diterapkan dalam keluarga besarku yang lain. O,om-o’om dan bulek-
bulekku dulunya mengalami tempaan serupa dari mbahku. Hasilnya mereka sukses menapaki
kerasnya hidup, baik dari segi karir dilingkup pekerjaan maupun dari segi usaha yang mereka jalani .

Namun mereka menjadi manusia yang memiliki ego tinggi, ingin selalu menang sendiri, dan
terbatas dalam memandang persoalan dari satu perspektif saja, tanpa mempertimbangkan perspektif
yang lain.
Dan nilai-nilai ini yang ingin diterapkan kepada kami juga, tanpa mempertimbangkan parameter
sekarang.

Tapi aku tak memiliki keberanian untuk mendobrak tatanan nilai yang sudah mapan ini.
Akibatnya, jiwaku tertekan, karena merasa terpaksa melakukannya.
Kulminasinya, aku meledak. Kulampiaskan apa yang kupendam selama bertahun-tahun, lewat
serangkaian tindakan-tindakan tidak terpuji. Tawuran...., bikin onar...., merokok.......
Bahwa aku terpengaruh atmosfer buruk dari teman-teman sepergaulanku, memang betul.
Tapi, aku menerima dengan sukarela dan tidak menolak atas apa yang selama ini selalu ditanamkan,
bahwa hal itu tidak boleh untuk dilakukan. Aku merasa terbebas saat melakukannya. Tapi itu hanya
diluar...
Saat aku kembali kerumah, jiwaku kembali merasa terkungkung dan terpaksa menjadi orang tabik.
xxx

Anda mungkin juga menyukai