PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah.Sholawat dan salam kepada Rasulullah.
Berkat limpahan rahmat-
Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat
dikaji melalui berbagai sudut pandang.
Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas
abad lebih
menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran
dan pemikirankeagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan
budaya.
Dalam makalah ini kami akan membahas masalah undian berhadiah
dari berbagai pandangan ulama.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi
kepada mahasiswa fakultas tarbiyah sebagai bekal melakukan muamalah.
Dan tentunya makalah ini masih
sangat jauh dari sempurna.
Untuk itu kepada dosen pembimbing kami minta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.
Vaksin Meningitis adalah vaksin yang disuntikkan kepada para jamaah haji yang
hendak melaksanakan ibadah haji dengan tujuan mencegah penularan meningitis
meningokokus antar jamaah haji.
Sejak tahun 2002, Kementerian Kerajaan Arab Saudi telah mengharuskan negara-
negara yang mengirimkan jamah haji untuk memberikan vaksinasi meningitis
meningokokus dan menjadikannya syarat pokok dalam pemberian visa haji dan
umrah. Kebijakan ini diperbaharui dengan Nota Diplomatik Kedubes Kerajaan
Saudi Arabia di Jakarta No 211/ 94/71/577 tanggal 1 Juni 2006 yang ditujukan
kepada Departemen Luar Negeri tanggal 7 Juni 2006. Isinya memastikan suntik
meningitis (vaksinasi meningitis meningokokus ACYW 135) bagi semua jamaah
haji, umrah, dan bahkan TKW/TKI yang akan masuk ke Arab Saudi.
Yang menjadi persoalan, kontroversi tajam kemudian muncul seputar vaksin ini
setelah muncul pernyataan vaksin ini mengandung enzim babi. Kontroversi ini
melibatkan berbagai pihak yang terlibat penyelenggaraan haji baik langsung atau
tidak, seperti DPR, MUI, Depag, Depkes, dan Amphuri (Asosiasi Muslim
Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia), produsen vaksin, dan
sebagainya.
Pernyataan itu lalu dibantah oleh Depkes melalui Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (P2 PL) Depkes, dr Tjandra Yoga Adhitama. Dalam
suratnya tertanggal 4 Mei 2009 dr Tjandra menyatakan bahwa vaksin meningitis
Mencevax ACWY menggunakan kultur media yang bebas binatang, termasuk
bebas dari material bovine (sapi) dan porcine (babi). Produsen vaksin meningitis
Mencevax ACWY, yaitu Glaxo Smith Kline Beecham Pharmaceuticals, asal
Belgia, mengirim surat ke Depkes (5 Mei 2009) dan mengklaim bahwa produk
vaksin meningitis yang dibuatnya bebas dari unsur babi.
Walau demikian, MUI Pusat bersikukuh vaksin itu mengadung zat babi. MUI
Pusat mengeluarkan fatwa keharaman vaksin itu pada tanggal 8 Mei 2009 yang
lalu. Melalui salah seorang ketuanya, K.H. Umar Shihab, Komisi Fatwa MUI
telah memutuskan bahwa haram hukumnya menggunakan vaksin yang
mengandung babi. Akan tetapi, karena tidak ada vaksin yang lain, MUI
menetapkan penggunaan vaksin tersebut boleh dilakukan, karena keadaan darurat.
Pada Rabu, 20 Mei 2009 berlangsung pertemuan antara produsen vaksin, yaitu
GSK (Glaxo Smith Kline) di hadapan berbagai pihak. Dalam pertemuan itu
terungkap bahwa meski pada hasil akhirnya vaksin meningitis itu tak lagi
mengandung enzim babi, namun dalam prosesnya masih menggunakan enzim
babi. Kesimpulan ini sejalan dengan penjelasan Ketua Badan Pengawas Obat dan
Makanan Husniah Rubiana Thamrin yang pernah menyatakan bahwa tidak ada
kandungan babi dalam vaksin, karena penggunaan enzim hanya untuk proses
pemisahan bahan vaksin dari medianya. (Koran Tempo, 2 Januari 2009).
Namun Ketua MUI Pusat Amidhan tetap meragukan keterangan bahwa tidak ada
kandungan babi dalam vaksin (produk akhir). “Tidak mungkin tak mengandung
babi kalau mediasinya menggunakan enzim babi,” kata Amidhan.
1. Vaksin meningitis lama (“Old” Mencevax TM ACW 135 Y), pada produk
akhir tidak mengandung unsur babi, tapi pada proses pembuatan/pengolahannya
bersinggungan atau bersentuhan dengan unsur babi (sebagai katalisator). Di
antaranya diambil dari pankreas babi.
3. Belum ditemukan vaksin meningitis yang benar-benar lepas dari murni tanpa
keterkaitan dengan vaksin meningitis yang ada. (Lihat : Wawan Shofwan
Sholehuddin, Hukum Vaksinasi Meningitis Untuk Jamaah Haji,
http://persis.or.id/?p=769).
2. Fakta Meningitis
Meningitis sendiri adalah penyakit radang selaput otak. Penyakit ini terjadi
pada meninges, yaitu selaput (membran) yang melapisi otak dan syaraf tunjang.
Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri, ataupun
jamur yang menyebar masuk ke dalam darah dan berpindah ke dalam cairan otak.
Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui batuk, bersin,
ciuman, sharing makan atau sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan merokok
bergantian dalam satu batangnya.
Memang penularan meningitis kerap terjadi, termasuk dalam pelaksanaan ibadah
haji. Daerah “sabuk meningitis” di Afrika terbentang dari Senegal di barat ke
Ethiopia di timur. Daerah ini ditinggali kurang lebih 300 juta manusia. Pada 1996
terjadi wabah meningitis di mana 250.000 orang menderita penyakit ini dengan
25.000 meninggal dunia. (www.wikipedia.com). Dalam pelaksanaan ibadah haji,
pada tahun 2000 lalu, sebanyak 14 orang jamaah haji Indonesia tertular penyakit
ini. Sebanyak 6 orang dari 14 penderita meningitis tersebut meninggal di Arab
Saudi dengan penyebab kematian meningitis meningokokus serogrup W–135.
Angka tersebut bertambah pada tahun 2001 menjadi 18 penderita dan enam di
antaranya meninggal di Arab Saudi. (Republika, Jumat 12 Juni 2009).
Dalam dunia farmasi pun, penentuan persoalan halal haram suatu produk obat-
obatan dan produk industri makanan/minuman merupakan persoalan yang tak
sederhana. Sebab, zat yang haram/najis tidaklah mudah terdeteksi. Dr. Rahmana
Emran, staf pengajar Sekolah Farmasi ITB kelompok keahlian farmakokimia,
menyampaikan bahwa tolok ukur halal-haramnya produk obat-obatan seperti
vaksin adalah hal baru dalam dunia farmasi. Selama ini, dalam dunia akademik
maupun industri farmasi hanya dikenal tiga tolok ukur bagi sebuah produk :
(1) Safety, yaitu keamanan produk bagi kesehatan pengguna, (2) Efficacy, yaitu
kemampuan memberikan manfaat pengobatan bagi pengguna, (3) Quality, yaitu
kualitas bahan yang digunakan dalam produk, antara lain dilihat dari identitas dan
kemurniannya.
Karena belum jelasnya fakta ini bagi kami pribadi, yakni apakah vaksin
meningitis masih mengandung enzim babi atau tidak, kami akan menjelaskan
hukumnya dalam 2 (dua) alternatif hukum, yaitu : Pertama, hukum jika vaksin
mengandung enzim babi. Kedua, hukum jika vaksin tidak mengandung enzim
babi.
Jika vaksin mengandung zat babi, maka hukum yang perlu diterapkan pada fakta
ini adalah hukum berobat (al-tadawi / al-mudaawah) dengan zat yang najis. Sebab
babi adalah zat yang najis.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat
yang najis atau yang haram. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut : Darul
Fikr], 1990, Juz I hal. 384). Dalam masalah ini paling tidak ada 3 (tiga) pendapat :
1. Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram,
kecuali dalam keadaan darurat. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I hal. 492; Az-
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Darul Fikr],
1996, Juz IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).
2. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah
(bermazhab Syafii) menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis.
(Izzuddin bin Abdis Salam,Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Ahkam, [Beirut :
Darul Kutub al-Ilmiyah], 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam,
Juz VI hal. 100).
Hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, misalnya sabda
Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya,
dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan
janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no
3376). Sabda Nabi SAW “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”
(wa laa tadawau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat dengan sesuatu
yang haram/najis.
Namun menurut Imam An-Nabhani, hadis ini tidak otomatis mengandung hukum
haram (tahrim), melainkan sekedar larangan (nahi). Maka, diperlukan dalil lain
sebagai indikasi/petunjuk (qarinah) apakah larangan ini bersifat jazim/tegas
(haram), ataukah tidak jazim (makruh).
Kedua hadis ini menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis (air
kencing unta), dan sesuatu yang haram (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-
Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal. 74-75).
Kedua hadis inilah yang dijadikan qarinah (indikasi) oleh Imam An-Nabhani
bahwa larangan berobat dengan sesuatu yang najis/haram hukumnya bukanlah
haram, melainkan makruh. Maka dari itu, hukum vaksin meningitis andai
mengandung zat babi yang najis, hukumnya adalah makruh, bukan haram. Hukum
makruh ini berarti lebih baik dan akan berpahala jika seorang jamaah haji tidak
disuntik vaksin meningitis. Namun jika disuntik dia tidak berdosa.
Jika vaksin tidak mengandung zat babi, maka hukum yang perlu diterapkan pada
fakta ini adalah hukum berobat (al-tadawi / al-mudaawah) itu sendiri. Sebab
tujuan vaksinasi ini adalah dalam rangka pengobatan yang bersifat pencegahan
(wiqayah, preventif).
Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat. Sebagian ulama
berpendapat hukum berobat adalah boleh (mubah) seperti Imam Syaukani
(Lihat Nailul Authar, Bab Ath-Thib) dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani
(Lihat Muqaddimah Ad-Dustur). Namun sebagian ulama lainnya, seperti Syaikh
Abdul Qadim Zalum, menyatakan hukum berobat adalah mustahab (sunnah).
(Lihat kitabnya Hukmu Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, hal. 30).
Hadis yang mengandung amr (perintah) berobat antara lain sabda Nabi
SAW : : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit,
Allah juga menciptakan obatnya, maka berobatlah kamu.” (HR Ahmad). Hadis
ini mengandung perintah (amr) untuk berobat (maka berobatlah kamu) (Arab : fa-
tadaawaw).
Namun perintah ini disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan hukum sunnah,
bukan hukum wajib. Misalkan sabda Nabi SAW,”Akan masuk surga dari umatku
70.000 orang tanpa hisab.” Para sahabat bertanya,”Siapa mereka itu wahai
Rasulullah?” Nabi SAW menjawab,”Mereka itu adalah orang-orang yang tidak
melakukan ruqyah (berobat dengan doa), tidak melakukan tathayyur
(menimpakan kesialan pada pihak tertentu), dan tidak melakukan kay (berobat
dengan cara mencos tubuh dengan besi panas). Dan mereka bertawakkal hanya
kepada Tuhan mereka.” (HR Muslim). Hadis ini membolehkan kita untuk tidak
berobat. Jadi ini merupakan qarinah (indikasi) bahwa perintah berobat pada hadis
sebelumnya adalah perintah yang tidak tegas (ghairu jazim), yaitu hukumnya
sunnah/mandub, bukan perintah yang tegas (jazim), yang hukumnya wajib. Jadi,
hukum berobat adalah sunnah (mandub). Tidak wajib. (Abdul Qadim
Zallum, Hukmu Asy- Syar’i fi Al-Istinsakh, hal. 33).
Maka dari itu, hukum vaksin meningitis andai tidak mengandung zat babi,
hukumnya adalah sunnah atau mandub.
4. Kesimpulan
Hal ini bertujuan agar kita dapat keluar dari perbedaan pendapat ulama tersebut,
dan mencari posisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebab kaidah fiqih
menyebutkan,”Al-Khuruj minal khilaf mustahab.” (Menghindarkan diri dari
persoalan khilafiyah adalah sunnah/mustahab). (Lihat : Imam Nawawi, Syarah
Muslim, 1/131; Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir fi Al-Furu’, hal.
246). Wallahu a’lam [ ]
===
*Disampaikan dalam Kajian Tsaqofah Islam (Fiqih Kontemporer), dengan
tema Hukum Vaksin Meningitis Jamaah Haji, Jumat 30 Oktober 2009, di STEI
Hamfara Yogya, diselenggarakan oleh Pesantren Hamfara Yogya.
**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus Jurusan Biologi Fakultas
MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2). Pernah nyantri
di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang Ketua DPP Hizbut Tahrir
Indonesia, konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta
(www.mediaumat.com), dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok
Pesantren Hamfara Yogya.
REFERENSI