PENDAHULUAN
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara global tentang
penulisan skripsi ini dan merupakan rangkaian apa saja yang akan diuraikan nantinya,
sehingga diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam mengikut tahapanpembahasannya.
Susunan penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut :
BAB I :
Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, pembatasan dan
perumusan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II
TinjauanPustaka
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian komunikasi keluarga, proses komunikasi
keluarga, urgensi dan tujuan komunikasi keluarga, hambatan-hambatan dan usaha-usaha
untuk menciptakan suasana komunikatif dan sikap sosial yang meliputi perkembangan sikap
sosial anak, peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak, arti pergaulan dan teman
bagi anak.
BAB III :
Metodologi Penelitian
Pada bab ini diuraikan metodologi penelitian, variabel penelitian, definisi operasional
variabel, waktu dan tempat penelitian, populasi dan sampel penelitian, tekhnik pengumpulan
data, dan tekhnik pengolahan data dan interprestasi data.
BAB IV :
Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dibahas tentang gambaran umum tempat penelitian , tingkat komunikasi
keluarga dan sikap sosial anak di Wilayah Rt 12/02 Kelurahan Meruya Kembangan Jakarta
Barat, analisis dan interprestasi data.
BAB V :
Penutup
Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian sesuai
dengan apa yang dirumuskan beserta saran-saran guna memperbaiki kelemahan-kelemahan
yang ada.
BABII
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Keluarga
1.Pengertian Komunikasi Keluarga
Secara etimologi atau menurut asal katanya istilah komunikasi berasal dari perkataan
bahasa Inggris “ Communication “ yang bersumber dari kata lain “ Communicatio “ yang
berarti pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Makna hakiki dari communicatio ini adalah
communis yang berarti sama, jelasnya kesamaan arti. Perkataan communis tersebut dalam
pembahasan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan partai komunis yang sering dijumpai
dalam kegiatan politik.
Jadi komunikasi berlangsung apabila orang –orang yang terlibat dalam komunikasi
harus terdapat kesamaan arti atau makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan.
Jelasnya, jika seseorang mengerti tentang sesuatu hal yang dikemukakan orang lain
kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Hal ini bukan berarti kedua belah pihak harus
menyetujui sesuatu gagasan tersebut. Yang penting adalah kedua belah pihak sama-sama
mengerti gagasan tersebut.
Dari tinjauan terhadap komunikasi secara etimologis tadi, dapat diambil kesimpulan
bahwa :
a. Komunikasi paling sedikit meliputi tiga komponen yaitu, komunikator, komunikan dan isi
komunikasi.
b. Pesan komunikasi harus sama-sama dimengerti oleh komunikator dan komunikan.
Sedangkan secara istilah, mengenai definisi komunikasi berbeda-beda tergantung dari sudut
pandang orang yang mendefinisikannya. Menurut Onong Uchjana dalam buku “komunikasi
berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain “. Dari
pengertian ini menunjukkan bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang.
James G.Robbins dan Barbara S.Jones mendefinisikan komunikasi sebagai “ suatu
tingkah laku, perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambang-lambang yang
mengandung arti atau makna. Atau perbuatan penyampaian suatu gagasan atau informasi dari
seseorang kepada orang lainnya. Atau lebih jelasnya, suatu pemindahan atau penyampaian
informasi mengenai pikiran dan perasaan-perasaan “
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi artinya “pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita antara 2 orang atau lebih sehingga pesan yang diterima dapat
dipahami.”
Sven Wahlroos,mendefinisikan komunikasi sebagai “ semua perilaku yang membawa
pesan yang diterima oleh orang lain. Perilaku itu bisa verbal atau non verbal. Semua itu
masih merupakan komunikasi sejauh membawa pesan “. Jadi jika pesan diterima oleh orang
lain, baik disengaja maupun tidak disengaja maka sebenarnya juga telah terjadi komunikasi.
Tanpa adanya pesan yang diterima maka komunikasi tidak akan terjadi.
A. Supratiknya membagi arti komunikasi secara luas dan secara sempit. Menurutnya secara
luas komunikasi adalah “ setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun non
verbal yang ditanggapi oleh orang lain. Sedangkan secara sempit komunikasi diartikan
sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud
sadar untuk mempengaruhi tingkah laku sipenerima “. Sebagai contoh yaitu iklan produk
tertentu yang ditayangkan ditelevisi yang secara sadar dimaksudkan untuk emmpengaruhi
pemirsa televisi. Komunikasi yang digunakan ada yang merupakan komunikasi verbal yang
merupakan kata-kata dan ada yang menggunakan lambang seperti gambar-gambar dan ada
pula yang berupa mimik wajah yang merupakan komunikasi non verbal.
Smith Braler dan Sim seperti dikutip oleh Sanapiah S.Faisal menyatakan bahwa
komunikasi adalah “ proses di mana sebuah pesan (berita) yang meliputi seperangkat arti
disampaikan kepada seseorang atau banyak orang dengan jelas sehingga arti yang diterima
sama dengan arti yang dimaksudkan oleh sipenyampai pesan ( berita ) itu.”
Col in Cherry merumuskan komunikasi sebagai pembentukan satuan sosial yang terdiri dari
individu-individu melalui penggunaan bahasa dan tanda.
Para ahli komunikasi memberikan batasan-batasan pengertian dan definisi komunikasi
antara lain:
a. James Afstoner, dalam bukunya yang berjudul manajemen, menyebutkan bahwa
komunikasi adalah proses di mana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan cara
pemindahan pesan.
b. John R.Schemerhorn Cs, dalam bukunya yang berjudul, Managing Organization Behavior,
menyatakan bahwa komunikasi itu dapat diartikan sebagai proses antar pribadi dalam
mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka.
c. Lalilliam F.Glueck, dalam bukunya yangberjudul, Manajemen menyatakan bahwa
komunikasi dapat dibagi dalam dua bagian utama yaitu :
1). Interpersonal Communications, komunikasi antar pribadi yaitu proses pertukaran
informasi seta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok
kecil manusia.
2). Organizational Communications, yaitu di mana pembicara secara sistematis memberikan
informasi dan memindahkan pengertian kepada orang banyak di dalam organisasi dan kepada
pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga di luar yang ada hubungan.
Sedangkan pengertian keluarga menurut etimologi yaitu, keluarga berasal dari kata “ Kula “
dan “ Warga “. Kula artinya famili dan warga artinya anggota. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, keluarga adalah “Ibu, Bapak dengan anak-anaknya. “
Ali Akbar dalam bukunya yang berjudul “ Merawat Cinta Kasih “ menyatakan bahwa “
keluarga adalah masyarakat terkecil yang sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami
istri sebagai anggota inti, berikut anak (anak-anak) yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-
tidaknya anggota keluarga adalah sepasang suami istri bila belum ada anak atau tidak punya
anak sama sekali. “
Definisi keluarga menurut Abu Ahmadi adalah “ kelompok primer yang paling penting di
dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-
laki dan wanita, perhubungan di mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan
dan membesarkan anak-anak.”
Sc.Utami Munandar mengartikan keluarga dalam arti sempit sebagai “keluarga inti yang
merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan
dan terdiri dari seorang suami ( ayah ), istri ( ibu ) dan anak-anak mereka.”
Keluarga itu tentunya terbentuk dari perkawinan dan pernikahan. Wanita dan pria yang hidup
bersama tanpa ikatan perkawinan tidaklah disebut keluarga. Oleh sebab itu perkawinan
diperlukan untuk membentuk keluarga.
Berdasarkan pengertian komunikasi dan keluarga di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
komunikasi keluarga adalah proses berbagai atau menggunakan informasi secara bersama
antara orang tua dan anak, sehingga akan menimbulkan pengertian yang mendalam karena
komunikasi dalam keluarga memegang peranan yang sangat penting, maka hal ini tidak boleh
dianggap sederhana, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an,yang
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ( Q.S.At-Taghabun/64 :14 )
Dari ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa dalam suatu keluarga dapat terjadi
perselisihan dan permusuhan, hal ini bisa terjadi jika tidak adanya saling pengertian dan
komunikasi yang baik. Antara sesama anggota keluarga harus ada pengertian yang
mendalam.
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah banyak memberikan pelajaran tentang
komunikasi yang baik, berikut ini sebuah contoh komunikasi yang baik menurut Al-Qur’an
sehingga dapat menjadi pelajaran,
Artinya : ” Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar". “( Q.S.Ash-Shafaat/37 :102 )
Dari arti ayat di atas, jelas terlihat adanya komunikasi dua arah yang sangat harmonis antara
bapak dan anak. Untuk melakukan sesuatu Nbi Ibrahim selalu mendiskusikannya kepada
Ismail anaknya dan ia memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengungkapkan
pendapat anaknya. Hal ini menggambarkan suasana yang sangat demokratis dalam suatu
keluarga sehingga komunikasi tidak hanya terjadi satu arah saja. Dalam dialog itu juga
bahasa yang digunakan sangat indah, hal ini menggambarkan adanya saling menghormati dan
menghargai antara sesama anggota keluarga sehingga menimbulkan pengertian yang
mendalam dan perselisihan dapat dihindari.
2. Proses Komunikasi dalam Keluarga
Dari pengertian komunikasi keluarga di atas, tampak adanya sejumlah unsur atau komponen
yang dicakup yang merupakan persyaratan dalam proses terjadinya komunikasi. Dalam
bahasa komunikasi komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan
b. Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang
c. Komunikan, adalah orang yang menerima pesan
d. Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya
atau banyak jumlahnya
e. Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan.
Ada dua cara untuk mengkomunikasikan sesuatu yaitu dengan komunikasi verbal dan
komunikasi non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-
simbol atau kata-kata, baik yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, komunikasi verbal
merupakan karakteristik khusus dari manusia. Tidak ada makhluk lain yang dapat
menyampaikan bermacam-macam arti melalui kata-kata, kata-kata dapat dimanipulasi untuk
menyampaiakan secara eksplisit sejumlah arti.
Sedangkan komunikasi non verbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak
menggunakan kata-kata seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh,
vokal yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan.
Dengan komunikasi non verbal orang dapat mengekspresikan perasaannya melalui ekspresi
wajah dan nada atau kecepatan berbicara. Kadang-kadang komunikasi non verbal lebih
efektif untuk mengungkapkan perasaan.
3. Urgensi dan Tujuan Komunikasi Keluarga
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak bisa mengesampingkan keberadaan orang-orang
di sekitar kita, dalam banyak hal kita memerlukan orang lain, demikian pula orang lain
terhadap kita. Dalam kehidupan sehari-hari, aktifitas seseorang pasti melibatkan
lingkungannya meskipun tidak secara langsung, bahkan keterlibatan tersebut memang
merupakan kebutuhan.
Salah satu bentuk kebutuhan untuk melibatkan lingkungan adalah adanya kebutuhan untuk
berkomunikasi. kebutuhan untuk berkomunikasi merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan
manusia. Betapa tidak, untuk berhubungan dengan orang lain dibutuhkan komunikasi, pada
saat tertentu seseorang perlu bercakap-cakap dengan orang lain dalam suasana santai di mana
ia dapat bercerita sepuas hatinya mengenai berbagai hal. Dengan demikian diperlukan
seseorang yang bersedia mendengarkan, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan
yang dikemukakan dengan penuh perhatian.
Pada umunya para orang tua menyadari bahwa dalam interaksi manusia, seseorang tidak
dapat tetap diam dalam waktu lama, orang menginginkan semacam interaksi verbal. Jelaslah
bahwa orang tua harus berbicara dengan anak-anak dan anak-anak butuh berbicara dengan
orang tua, bila mereka menghendaki hubungan yang erat.
“ Seorang anak yang di rumah tidak biasa bercakap-cakap, kurang belajar berkomunikasi,
biasanya akan malu-malu dan menarik diri bila ia berhadapan dengan orang lain. Ia pun
kurang mempunyai kepekaan terhadap sikap orang lain, ia tidak belajar bagaimana harus
bereaksi terhadap sikap orang yang berbeda-beda.”
Tanpa adanya komunikasi dengan anak, orang tua menjadi kurang tanggap akan kebutuhan-
kebutuhan dan permasalahan yang ada pada anak. Orang tua tidak tahu sejauh mana
perkembangan anak. Anak pun akan merasa keberadaannya diabaikan dan tidak dihargai. Hal
ini akan menimbulkan permasalahan lain bagi suatu keluarga.
Komunikasi antar pribadi sangat penting bagi kebahagiaan hidup kita. Menurut Johnson
seperti yang dikutip oleh A.Suplatiknya, menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan
oleh komunikasi antar pribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia yaitu :
a. Komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita.
Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin luasnya
ketergantungan kita kepada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang
intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi
semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan
intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain
itu.
b. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain.
Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati,
memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain
terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita.
Berkat pertolongan komunikasi dengan oran lain kita dapat menemukan jati diri yaitu
mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
c. Dalam rangka memahami realitas di sekitar kita serta menguji kebenaran kesan-kesandan
pengertian yang kita miliki tentang dunia sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan
kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama.
d. Kesehatan mental kita juga sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau
hubungan kita dengan orang lain, bila hubungan kita dengan orang lain mengalami berbagai
masalah, maka kita tentu akan menderita, cemas. Sedih dan frustasi.
Dalam kenyataan sehari-hari, komunikasi dalam keluarga sering tidak mencapai harapan
disebabkan hal-hal di atas. Seorang ayah pulang dari kantor dengan hati kesal karena ada
masalah di kantor dengan atasannya, sesampainya di rumah anaknya melaporkan hasil
ulangannya yang tidak memuaskannya, karena masih kesal dengan kejadian di kantor, ayah
marah-marah dan mengatakan anaknya bodoh, malas dan sebagainya. Akibatnya anak
semakin tidak puas dan takut untuk membicarakan permasalahan yang ia temui yang ia tidak
dapat memecahkannya sendiri, pada hal ia perlu saran dan dorongan dari orang yang lebih
dewasa.
Kegagalan dalam komunikasi ini dapat pula terjadi bila orang tua terlalu kukuh pada
pendapatnya sendiri. Jika setiap kali mengemukakan sesuatu selalu mendapat bantahan atau
kritikan dari orang tuanya, lama-lama anak tidak mau lagi mengajukan pendapatnya.
Menurut Hasan Basri, secara umum sumber penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan
komunikasi ada tujuh yaitu :
a. Di laksanakan dengan tergesa-gesa
b. Sewaktu pelaksanaan pikirannya sedang kacau
c. Perasaan sedang terganggu ( emosional )
d. Kesehatan kurang / tidak baik
e. Berprasangka
f. Kurang atau tidak baik dalam bahasa
g. Mau menang sendiri.
Sedangkan menurut Drs.Matindas, seperti dikutip oleh Alex Sobur, “ada banyak hal yang
dapat menghambat suatu komunikasi, diantaranya yang paling sering terjadi adalah kesalahan
penafsiran. Salah penafsiran ini umumnya disebabkan oleh adanya kata-kata yang
mempunyai arti ganda.”
Selain diperlukannya upaya guna menghindari salah paham, perlu juga diusahakan agar
komunikasi berlangsung secara kontruktif. Kontruktif tidaknya suatu komunikasi ditentukan
oleh menyenangkan tidaknya cara pesan itu disampaikan.
5. Usaha-usaha untuk Menciptakan Suasana Komunikatif
Barang kali orang tua mengira sudah cukup berkomunikasi dengan anak-anaknya. Bukankah
setiap orang tua hampir tidak pernah kekurangan kata-kata yang dilontarkan kepada anak-
anaknya. Namun komunikasi yang baik tidak dapat diukur dengan kata-kata yang diucapkan.
Komunikasi memerlukan usaha, pengertian serta latihan banyak.
Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama menciptakan komunikasi antara orang
tua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama barulah keintiman dan keakraban dapat
diciptakan di antara anggota keluarga. Bagaimanapun juga tak seorang pun dapat menjalin
komunikasi dengan anak bila mereka tak pernah bertemu ataupun bercakap-cakap bersama.
Bagaimanapun sibuknya orang tua bekerja, mereka harus menyediakan waktu untuk
berkomunikasi dengan anak-anaknya misalnya saat menonton televisi bersama di hari libur,
saat makan malam bersama atau selesai shalat subuh berjamaah. Saat-saat seperti inilah
suasana komunikatif antara orang tua dan anak dapat tercipta meskipun dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Jadi kualitas pertemuan itulah yang terpenting bukan lamanya waktu
pertemuan tersebut.
Ada tiga resep yang mendasar untuk mengadakan komunikasi yang efektif dengan anak dan
merupakan kunci bagi keberhasilan membina keakraban dengan anak “pertama, mencintai
anak tanpa pamrih dan sepenuh hati, kedua memahami sifat dan perkembangan anak dan mau
mendengarkan mereka, ketiga menciptakan suasana yang menyegarkan.”27
Jika ada orang tua mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak pernah membicarakan masalah-
masalah serius di rumah. Biasanya ternyata bahwa masalah-masalah tersebut sudah
dikemukakan dengan hati-hati dan ragu-ragu oleh anak, tetapi orang tua menanggapinya
dengan cara mengajarinya, memberi peringatan, menilai dan megalihkan perhatian. Lambat
laun anak akan memisahkan diri dan menutup diri pada orang tuanya. Orang tua biasanya
tidak mendengarkan, mereka hanya mengajar, membenarkan, mencela dan mengejek pesan-
pesan anak yang tengah tumbuh.
Menurut Thomas Gordon, “ Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menghadapi
ungkapan perasaan atau ungkapan persoalan anak-anak adalah membuka pintu atau
mengundang berbicara lebih banyak.”
Menurut Dr.Haim G.Ginott dalam bukunya “ Betwen Parent and Child“ yang dikutip oleh
Alex Sobur mengemukakan bahwa, cara baru berkomunikasi dengan anak harus berdasarkan
sikap menghormati dan keterampilan. Hal ini mengandung dua arti :
1. Tegur sapa, tidak boleh melukai harga diri anak maupun orang tua
2. Terlebih dahulu orang tua harus menunjukkan pengertian kepada anak, baru kemudian
memberikan nasehat atau perintah.
Makan bersama merupakan kesempatan emas untuk melibatkan anak dalam percakapan,
memperakrab hubungan dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada anak. Bagi anak-
anak makan bersama merupakan suatu peristiwa yang menyenangkan, meskipun ia tidak
benar-benar menikmati makanannya, justru ia lebih menikmati kesempatan untuk duduk
bersama orang tuanya di meja makan.
Para ahli berpendapat bahwa, “ saat makan bersama merupakan yang paling penting untuk
berkomunikasi. Mereka juga mengatakan bahwa ada hubungan antara kehangatan keluarga
dalam sebuah rumah tangga dengan kehidupannya di sekitar meja makan. Di meja makan
inilah rasa kasih sayang timbul.”
Cara menyelenggarakan suatu percakapan yang menyenangkan dengan anak-anak ialah
dengan menempatkan diri orang tua sesuai dengan suasana yang diciptakan oleh anak, yakni
orang tua harus mencurahkan perhatian penuh dan menunjukkan sikap yang simpatik, mata
orang tua harus tertuju kepada wajah mereka, sambil memperhatikan raut muka mereka,
apakah yang terpancar lucu, menyedihkan atau menjengkelkan. Setelah itu orang tua baru
menunjukkan responnya.
Umumnya pada usia sekitar 6-7 tahun, anak masih mau di pimpin, tetapi setelah menginjak
usia 10 tahun, anak berangsur-angsur menunjukkan sikap menentang sampai suatu saat ia
tidak mau dipimpin lagi. Dengan meningkatnya usia anak menjadi lebih sosial aktif,
terjadilah hubungan antar sebaya. Anak yang oleh orang tuanya terlalu dikekang dan tidak
boleh bermain dengan teman-temannya maka anak tersebut akan kurang dalam bersosialisasi
dengan orang lain. Sosialisasi anak dengan teman-temannya mempunyai dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya yaitu anak akan belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya
dan memperoleh pengalaman baru, sedangkan dampak negatifnya yaitu jika anak tidak punya
prinsip hidup yang kuat maka anak akan gampang mengikuti kebiasaan buruk temannya, di
sinilah dibutuhkan kontrol dan pengawasan dari orang tua untuk memberi tahu norma baik
dan buruk di masyarakat.
Anak mulai mengalami perkembangan kepribadian sosial dan mulai mencari konsep hidup,
meskipun dalam nilai religi, etik dan estetika belum mendalam. Karena itu pada usia ini
penyaluran di bidang sosio-budaya dan keagamaan hendaknya mendapat perhatian lebih dari
orang tuanya.
2. Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia di mana ia belajar
dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan
kelompoknya. Di dalam keluarga manusia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-
keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu-membantu dan lain-lain. Dengan kata lain
ia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-
norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain.
Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial dalam keluarganya turut menentukan pula
cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar keluarganya, di
dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi sosialnya di dalam keluarga karena
beberapa sebab tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar interaksi sosial dengan
masyarakat pada umumnya juga berlangsung tidak wajar.
Jadi selain keluarga itu berperan sebagai tempat manusia berkembang sebagai makhluk
sosial, terdapat pula peranan-peranan tertentu di dalam keluarga yang dapat mempengaruhi
perkembangan individu sebagai makhluk sosial yaitu :
a. Peranan sosial ekonomi
Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat juga berperan terhadap perkembangan anak-anak,
yang orang tuanya berpenghasilan cukup lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan bermacam-macam kecakapan. Begitu pula sebaliknya, hubungan sosial
anak-anak yang keluarganya mampu, mempunyai corak yang berbeda, orang tua mereka
dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam, sebab tidak disulitkan olehkebutuhan-
kebutuhan primer, seperti mencari nafkah sehari-hari. Namun demikian status sosial ekonomi
tidaklah dapat dikatakan sebagai faktor yang mutlak, sebab hal ini tergantung pula kepada
sikap orang tua dan corak interaksi dalam keluarga itu.
b. Keutuhan keluarga
Yang dimaksud keutuhan keluarga ialah pertama-tama keutuhan struktur keluarga, yaitu
bahwa di dalam keluarga itu ada ayah, ibu dan anak-anaknya. Selain itu dimaksudkan pula
keutuhan dalam interaksi keluarga, jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial
yang wajar (harmosnis). Apabila orang tuanya sering cekcok dan menyatakan sikap saling
bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut
utuh.
c. Sikap dan kebiasaan-kebiasaan orang tua
Cara-cara dan sikap-sikap dalam pergaulan kedua orang tua memgang peranan yang penting
dalam perkembangan sikap sosial anak. Hal ini mudah diterima apabila kita ingat bahwa
keluarga itu sudah merupakan kelompok-kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, struktur,
norma-norma, dinamika kelompok termasuk cara-cara kepemimpinannya yang sangat
mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
d. Status Anak
Status anak juga berperan sebagai suatu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
sosial anak di dalam keluarganya. Yang dimaksud status anak, misalnya sebagai anak
tunggal, status anak sulung atau anak bungsu di antara kakak adiknya.
Keutuhan keluarga yang dimaksud bukan saja keutuhan dalam struktur keluarga akan tetapi
juga harus tinggal bersama. Orang tua yang tinggal berjauhan dengan anaknya akan
mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan sosial anak karena komunikasi
antara keduanya tidak berjalan lancar.
3. Arti Pergaulan dan Teman bagi Anak
Meskipun dalam taraf usia balita anak-anak masih bisa menjadi asik dalam kegiatannya
sendiri, dalam kenyataan kalau mereka sedang bersama-sama dengan teman-teman
sebayanya, mereka cenderung menyatu dan bertukar pengalaman. Mereka juga bisa
menikmati permainan secara berdampingan seakan-akan tidak ada masalah, karena anak
seumur itu dapat saling menikmati keikut sertaan anak lain sebayanya.
Selain itu, anak-anak kecilpun sudah mulai mengembangkan perasaan saling mengasihi
antara satu dengan yang lain, hal ini merupakan permulaan timbulnya kesadaran dan simpati
terhadap perasaan yang hinggap pada anak lain. Boleh dikatakan anak mulai belajar
memahami perasaan orang lain.
Setiap anak tentu ingin mempunyai teman bergaul dan bermain, mereka memang
memerlukan teman bermain agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Keinginan untuk selalu mempunyai seseorang di dekatnya sudah tampak pada masa
permulaan kehidupan seorang anak, yaitu pada saat seorang bayi menangis terus sebelum ada
yang datang untuk menemaninya.
Jika sang anak menjadi lebih besar, kebutuhan ini akan semakin meningkat. Pertama kali
yang diinginkannya adalah melakukan sesuatu bersama orang lain, semua yang bisa
memenuhi keinginannya itu dianggapnya sebagai sahabat, meski sebetulnya orang tersebut
boleh dikatakan sudah dewasa.
E.Hurlock seperti dikutip oleh Singgih D.Gunarsa, mengemukakan tiga bentuk cara
berkawan pada anak-anak :
a. Orang-orang yang berkawan atau bergaul dengan anak-anak hanya dengan melihat atau
mendengarkan perkataan-perkataan mereka tanpa melakukan interaksi langsung dengan
mereka.
b. Teman sebaya adalah bentuk yang kedua, yaitu teman di mana mereka biasa bermain dan
melakukan aktifitas bersama-sama, sehingga menimbulkan rasa senang bersama. Biasanya
usia mereka sebaya dan juga dari jenis kelamin berbeda.
c. Ialah yang disebut sebagai teman sesungguhnya, dalam pengertian di mana anak tidak saja
ikut bermain bersama tetapi juga mengadakan komunikasi, memberikan pendapat dan saling
mempercayai satu terhadap lainnya. Kebanyakan mereka menyenangi teman sebaya.
Menurut para ahli, pengalaman bergaul sangat besar pengaruhnya bagi proses perkembangan
sosial seorang anak, baik pengalaman yang sangat pahit maupun yang manis. Keduanya sama
pentingnya, dalam saat-saat bermain dengan teman, anak akan menyadari bahwa pergaulan
tidaklah selalu menyenangkan, bahkan seringkali amat keras. Dengan bergaul anak akan
menghadapi kenyataan pahit dan manis yang mungkin tidak pernah terjadi dalam
keluarganya.
Melalui pengalaman interaksinya dengan anak-anak lain, seorang anak akan mengetahui apa
sebenarnya yang ia harapkan dari orang lain dan juga apa yang diharapkan orang lain dari
dirinya. Kesadaran ini sangat, bukan saja dalam masa kanak-kanak, melainkan juga
sepanjang hidupnya.
Diposkan oleh Zain di 22.50 0 komentar
Label: Pengaruh Komunikasi Keluarga
Antara pendidikan dan perkembangan masyarakat terdapat interaksi timbal balik dan saling
mempengaruhi. Artinya, perkembangan pendidikan akan amat bergantung pada pandangan
dan harapan masyarakat terhadap pendidikan, dan pada akhirnya perkembangan suatu
masyarakat ditentukan juga oleh tingkat pendidikan anggotanya.
Oleh karenanya, masyarakat modern pada satu segi memandang "pendidikan sebagai variabel
modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap sebagai prasyarat dan kondisi yang
mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi
atau pembangunan." Dengan demikian, pendidikan dalam benak masyarakat modern adalah
agent of change (agen perubahan) bagi masyarakat. Maju tidaknya pembangunan masyarakat
tergantung pada kemampuan pendidikan memenuhi kebutuhan yang diperlukan masyarakat.
"Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai
kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa 'pendidikan
merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi'."
Sehubungan dengan pembahasan ini, Shipman, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra,
berpendapat bahwa fungsi pendidikan bagi masyarakat modern terbagi dalam tiga bagian,
yaitu :
1). Sosialisasi : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa "pendidikan adalah
wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan."
2). Penyekolahan (schooling) : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa
pendidikan adalah sarana mempersiapkan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi
tertentu, dan oleh karena itu penyekolahan harus membekali peserta didik dengan kualifikasi-
kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran
dalam masyarakat.
3). Pendidikan (education) : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa
pendidikan atau education dimaksudkan untuk menciptakan kelompok elit yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program modernisasi.
Berdasarkan pandangan tentang fungsi pendidikan ini, maka pendidikan dalam masyarakat
modern dituntut untuk melakukan hal-hal berikut ini :
1). Sistem pendidikan dituntut mampu untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional
anak didik.
2). Sistem pendidikan dituntut untuk mampu mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan
kepemimpinan modern dan innovator yang dapat melakukan perubahan strategis dan
konstruktif terhadap masyarakat sekaligus memelihara nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat.
3). Sistem pendidikan dituntut untuk mempersiapkan anak didik menjadi sumber daya
manusia yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam
proses pembangunan. Oleh karenanya, lembaga-lembaga pen-didikan Islam tidak cukup lagi
sekedar menjadi lembaga transfer dan transmisi ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus dapat
memberikan skill dan keahlian.
4). Pendidikan dituntut untuk mampu memberikan arah perubahan. Maka, pendidikan Islam
khususnya tidak cukup lagi hanya memberikan bekal hidup kepada anak didiknya, tapi juga
menjadikan mereka sebagai aktor perubahan sosial.
5). Sistem pendidikan dituntut untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan
warisan kultural yang kondusif bagi pembangunan.
Dengan karakteristik yang ada pada masyarakat modern tersebut di atas, kita bisa
membayangkan apa tanggapan mereka tentang pendidikan Islam, sebagai sebuah sistem
pendidikan yang memadukan antara unsur materialistik dengan metafisis. Meskipun
demikian, kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan teknologi, tetapi kebutuhan rohani,
termasuk kebutuhan akan masa depan, baik di dunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani
ini ada pada agama.
Pendidikan Islam tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja dari kehidupan masyarakat
modern. Karena kebutuhan mereka terhadap unsur-unsur rohani adalah fitrah yang tidak
mungkin lepas dari diri mereka meski rasionalisme, materialisme, dan sekularisme
menyelimuti pemikiran mereka. Persentuhan manusia modern dengan produk-produk budaya
terkadang menimbulkan dampak negatif, serta masuknya manusia ke dalam siklus kehidupan
materialistik, hedonistik, dan menghalalkan segala cara dan kemudian terhenti pada perasaan
dosa yang tidak dapat dihapus dengan materi. Semua ini membawa ia kepada kehidupan
kerohanian.
Dengan demikian pendidikan Islam, sebagai pendidikan yang berasaskan nilai-nilai
religiusitas adalah alternatif yang dapat memberikan kesimbangan duniawi dan ukhrawi bagi
kehidupan masyarakat modern.
Inilah persepsi, harapan, dan tuntutan masyarakat modern terhadap pendidikan yang menjadi
agent of change. Oleh sebab itu, pendidikan dalam masyarakat, mau tidak mau, bergerak
searah dengan pandangan masyarakat tersebut. Memang, hal ini menjadi sangat dilematis,
menimbang keberadaan pendidikan agent of transformation, yang semestinya mengendalikan
perubahan masyarakat tapi eksistensinya ditentukan oleh pandangan masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, hal terpenting bagi pendidikan adalah memformulasikan pandangan-
pandangan tersebut agar pendidikan dapat menjadi wahana bagi masyarakat untuk mencapai
tujuan hidup yang sebenarnya.
Ada beberapa konsep modernisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Soedjatmoko
mendefinisikan modernisasi sebagai “menambah kemampuan suatu sistem sosial untuk
menanggulangi tantangan-tantangan serta persoalan-persoalan baru yang dihadapinya,
dengan penggunaan secara rasional daripada ilmu dan teknologi atas segala sumber
kemampuannya.
Dalam pandangan Mukti Ali, modernisasi adalah "proses di mana rakyat dalam kulturnya
sendiri menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu di mana mereka hidup."
Sedangkan Koentjaraningrat mengartikan modernisasi sebagai "usaha untuk hidup sesuai
dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang."
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, nampak bahwa modernisasi diartikan sebagai
proses perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian,
modernisasi tidak hanya terjadi pada abad ke-20 saja tapi juga pada masa-masa sebelumnya.
Lain dari pada itu, istilah modernisasi sering diidentikkan oleh sebagian masyarakat dengan
istilah westernisasi. Padahal pengertian keduanya sangat berbeda. Westernisasi, menurut
Koentjaraningrat adalah :
Meniru gaya hidup Barat berarti meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat dengan
cara mengikuti mode yang berubah cepat ; meniru gaya bicara dan adat sopan santun
pergaulan orang Barat dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa nasional
dan adat sopan santun pergaulan Indonesia. Meniru pola-pola bergaul, pola-pola berpesta
(merayakan ulang tahun), pola rekreasi dan kebiasaan-kebiasaan minum-minuman keras
seperti orang Barat. Orang-orang Indonesia yang berusaha mengadaptasi gaya hidup kebarat-
baratan itulah yang sebaiknya kita sebut orang yang condong ke arah westernisasi. Orang
seperti itu belum tentu modern dalam arti bahwa mentalitasnya modern...
Di samping dua istilah di atas, Faisal Ismail mengemukakan istilah lain yang menengahi dua
istilah di atas (modernisai dan westernisasi), yaitu adaptasi budaya Barat. Menurutnya, proses
adaptasi terhadap budaya Barat dapat membentuk masyarakat yang modern dan tidak
terwesternisasi, karena dalam proses adaptasi terhadap budaya Barat tersebut, yaitu proses
menggunakan dan mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat, kita tidak harus menjadi
Barat.
Akan tetapi, permasalahan membedakan antara modernisasi, westernisasi, dan adaptasi
budaya Barat menjadi semakin sulit, ketika melihat kenyataan bahwa "proses modernisasi
mencakup proses yang sangat luas. Kadang-kadang batasan-batasannya tidak dapat
ditetapkan secara mutlak." Sehingga bisa saja suatu hal yang saat ini dianggap sebagai
westernisasi atau proses adaptasi budaya Barat di masa mendatang dipandang sebagai
modernisasi, atau bahkan pada saat yang bersamaan suatu hal bisa dipandang oleh sebagian
orang sebagai modernisasi ataupun adaptasi budaya Barat, akan tetapi oleh sebagian orang
dipandang sebagai westernisasi. Sebagai contoh : Perpu Tentang Terorisme yang saat ini
sedang digulirkan di Indonesia, oleh sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai bagian
dari proses modernisasi, karena konstelasi dunia melakukannya. Namun sebagian anggota
masyarakat melihatnya sebagai proses westernisasi, sehingga mereka menentang perpu
tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis membatasi pengertian masyarakat modern dalam
penelitian ini sebagai masyarakat yang terwesterniasi dan tersekularisasi di tengah proses
penyesuaian diri mereka dengan perkembangan dan tuntutan zaman (modernisasi). Dalam
masyarakat yang penulis maksud, sebagaimana yang dipaparkan oleh Faisal Ismail,
pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan
kehidupan material, duniawi dan kebendaan, di mana nilai-nilai kerohanian, spiritual dan
moral mereka telah runtuh terdesak oleh pertimbangan dan kepentingan praktis-pragmatis
dan sekularistik
Dari pendapat di atas, semakin jelaslah bahwa masyarakat modern, baik di dunia Barat
maupun di dunia Islam, termasuk Indonesia, menyimpan berbagai problem dalam kehidupan
mereka. Di antara problem-problem masyarakat modern yang dapat penulis identifikasi
dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1). Manusia modern tidak memiliki horizon spritual dalam kehidupannya, bukan lantaran
horizon spiritual tersebut tidak ada dalam kehidupan mereka, tapi lebih disebabkan cara
pandang mereka dalam menyikapi kehidupan kontemporer saat ini. Mereka lebih cenderung
memandangnya dari sudut pandang mereka sendiri dan mengabaikan sudut pandang spiritual
sebagai unsurketuhanan. Dengan sikap seperti ini, tuntutan terhadap dunia pendidikan
sebagai wahana yang menyediakan kebutuhan lapangan pekerjaan hanya akan didasari atas
pertimbangan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh out put pendidikan dalam
bidang kerja tertentu, sedangkan aspek spiritual out put pendidikan yang juga penting untuk
membentuk pekerja yang agamis tidak menjadi pertimbangan.
2). Manusia modern "begitu tergila-gila pada prestasi material, sukses duniawi, efisiensi dan
kesenangan dengan mengizinkan pembaharuan teknologis yang tidak terkontrol dan
mengabaikan penyakit ekologi dan sosial mereka." Tanpa disadari teknologi yang telah
diciptakan oleh sains modern, secara tidak langsung menjadi alat penghancur bagi kehidupan
manusia, baik kehidupan sosial mereka maupun kehidupan mereka sebagai bagian dari alam
semesta.
3). Suatu hal yang tak kalah pentingnya sebagai problem yang dihadapi oleh masyarakat
modern dewasa ini adalah terjadinya krisis moral dan kejiwaan dalam masyarakat. Dalam
"masyarakat yang tengah mengalami krisis moral dan kejiwaan akibat gelombang histeris
materialisme, tidaklah menjadikan moralitas tetapi kekayaan sebagai ukuran kemuliaan dan
kehormatan..." Krisis moral ini tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda mereka, tapi
lebih dari itu terjadi pula dalam dunia pendidikan mereka. Akibatnya, moralitas yang
seyogyanya menjadi bagian dari orientasi pendidikan dapat terabaikan begitu saja.
Inilah beberapa problem yang dihadapi masyarakat modern yang tentunya menuntut
pendidikan Islam untuk berbuat lebih, setidaknya dapat mengatasi problem-problem tersebut.
Untuk itu paling tidak pendidikan Islam harus mampu memformulasikan konsep
pendidikannya hingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Dalam pelaksanaan pendidikan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku siswa
yang harus dicermati oleh setiap pendidik, baik orang tua di rumah ataupun guru di sekolah.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa tersebut adalah :
1. Pengawasan
Bila tingkat kesopanan siswa dapat dinyatakan rata-rata menurun, maka sesungguhnya yang
pertama-tama harus dilihat adalah bagaimana orang tua melakukan kontak keseharian atau
komunikasi dengan putra-putrinya. Kontak keseharian tersebut meliputi tiga aspek penting
dalam komunikasi, sebagai berikut:
a. Frekuensi komunikasi. Diyakini bahwa semakin tinggi frekuensi komunikasi antara anak
dengan orang tua, semakin besar pengaruh positif-nya kepada anak-anak. Tetapi frekuensi
saja tidak cukup untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut berlangsung secara efektif,
karena efektivitas komunikasi masih ditentukan oleh intensitas dan kualitas komunikasi yang
tercipta. Sementara itu, diperkirakan rata-rata jumlah jam per hari yang dipakai orang tua
untuk bekerja saat ini semakin panjang. Secara normatif, seorang pegawai negeri bekerja di
kantor antara jam 07.00 sampai pukul 14.00. Tidak jarang, mereka berkerja jauh lebih
panjang lagi karena tuntutan jenis pekerjaan yang ditangani, karena tuntutan tanggung jawab
pada jabatannya atau karena mencari penghasilan tambahan, dan sebagai-nya. Di kota-kota
besar seperti Jakarta, tidak jarang orang tua yang bekerja baru pulang dan sampai ke
rumahnya setelah pukul 18.00. Indikasi ke arah itu dapat dicermati di halte-halte bus atau di
stasiun kereta api yang, pada jam-jam tersebut, cukup banyak orang yang antre kendaraan
umum.
Dalam kondisi seperti itu, jelas frekuensi pertemuan orang tua dengan anak hanya
berlangsung pada malam dan pagi hari. Selebihnya, ke mana saja anak-anak itu pergi pada
siang hari selepas jam belajar di sekolahnya, para orang tua ini tidak banyak tahu. Kalaupun
ada yang membantu melakukan pengawasan di rumah, bisa jadi itu adalah pembantunya.
Pada malam hari pun belum tentu terjadi komunikasi. Lebih-lebih pada pagi hari. Semua
sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah atau ke kantornya masing-masing.
Maka problem kesantunan, kesopanan, moral, dan akhlak anak lebih banyak terjadi di daerah
perkotaan yang tingkat komunikasi orang tua dengan anak-anaknya relatif lebih sedikit.
b. Tingkat intensitas komunikasi. Bertemu tatap muka bisa jadi memang jarang berlangsung
di kota-kota besar yang kedua orang tuanya bekerja seharian. Tetapi masalah itu masih dapat
diatasi apabila pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan komunikasi kemudian
berlangsung dalam tingkat intensitas yang tinggi. Sambung rasa orang tua dengan anak
berlangsung mesra, terbuka, bertimbal balik, dan ceria. Pesan-pesan komunikasi akan
ditangkap dengan mudah oleh penerima komunikasi dipastikan menghasilkan kesan-kesan
positif terhadap pesan yang disampaikan. Pada intensitas semacam itulah sesungguhnya kita
banyak berharap pesan-pesan moral dan budi pekerti banyak ditanamkan orang tua.
c. Kualitas pesan yang dikomunikasikan. Frekuensi dan intensitas komunikasi belum tentu
juga menghasilkan pesan yang efektif dapat diterima oleh anak. Ada satu bagian lagi yang
dipersyaratkan, yaitu kualitas pesan yang dikomunikasikan. Apakah pesan-pesan tersebut
disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak ? apakah isi pesan tersebut sesuatu
yang mendidik positif kepada anak atau bahkan yang mendorong ke perbuatan-perbuatan
negatif ? Umpamanya saja, jika ada orang tua yang berpesan kepada putrinya : "Nak, kalau
nanti kamu kesulitan kendaraan umum ketika pulang sekolah, hentikan saja kendaraan Om-
Om yang lewat, mereka pasti mau mengantarkan kamu". Maka orang tua itu telah
memberikan pesan yang benar, tapi sama sekali tidak mendidik.
2. Sosok Teladan
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat pada upaya peningkatan moral
dan budi pekerti anak-anak kita. Pada awal masa pertumbuhan anak, peran keluarga begitu
dominan. Pada tahap berikutnya, sekolah ikut menyumbang pertumbuhan kejiwaan anak.
Dan ketika memasuki masa remaja, dunia mereka jauh lebih luas lagi. Ia menjadi bagian dari
kumunitas lingkungannya. Pada tahap inilah peran masyarakat mulai mewarnai penampilan
moral dan budi pekerti anak. Kunci keikutsertaan masyarakat terletak pada keteladanan yang
secara keseharian digaulinya.
Di samping keteladanan masyarakat, kontrol sosial juga sangat berperan. Di daerah
perkotaan, kontrol sosial sedemikian sudah sangat longgar, sehingga pengaruh film atau
lainnya akan dengan sangat mudah terlihat. Kontrol sosial juga semakin longgar di daerah
pedesaan. Kehidupan bangsa ini semakin mengedepankan individualitas dengan tingkat
intensitas yang semakin tinggi. Akibatnya, semakin kentara saat ini. Bila peredaran narkoba
dulu hanya di sekitar perkotaan, saat ini sudah banyak merambah kota-kota kecil di
pedalaman.
Pengaruh masyarakat bukan hanya dari perilaku individual dan komunal, tetapi juga dari
berbagai alat budaya dan alat komunikasi yang berinteraksi di dalam masyarakat.
Pengaruhnya diyakini luar biasa, baik yang positif maupun yang negatif. Dan pada era
keterbukaan informasi seperti saat ini, kehadirannya tak terhindarkan. Tinggal sejauh mana
kita membekali anak-anak dengan tameng iman dan kemampuan menyensor informasi yang
mereka terima.
3. Penanaman Bukan Pengajaran
Pendidikan budi pekerti anak-anak didik, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat,
bukanlah dengan mengajarkan mereka dengan ayat, dalil, atau apa pun namanya. Menurut
Barlow sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (role-modeling). Selanjutnya, menurut teori belajar sosial terhadap
proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan
merespons dan peniruan. Dan pembiasaan merespons tersebut melalui pemberian
penghargaan dan hukuman.
Khusus di sekolah, pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan pengintegrasian serta pendekatan role-modeling dan imitasi.
Pendekatan integratif ke dalam mata pelajaran yang memiliki pokok bahasan yang sesuai
dengan dapat dilakukan melalui penambahan materi pada mata pelajaran yang dititipi dan
atau melalui metode mengajar yang akan digunakan guru. Hanya saja, dalam pendekatan ini
guru akan merasa mendapatkan tambahan beban. Sedangkan pendekatan kedua menekankan
pada aspek keteladanan para guru. Semua guru di sekolah hendaknya menyadari bahwa
dirinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik bagi siswanya. Para guru memiliki
kewajiban moral yang melekat dengan profesi kependidikannya untuk memberikan
keteladanan. Dengan begitu, para siswa tidak hanya mengenali budi pekerti seperti yang
tercetak di dalam buku-buku pelajaran, tetapi mereka melihat langsung pada contoh yang
terjadi di sekitarnya, yaitu dari kalangan para guru mereka.
Pilihan pada pendekatan pertama, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui
fungsi guru sebagai pengajar, sementara jika guru melaksanakan pendidikan budi pekerti
melalui role-modeling, imitasi atau keteladanan, berarti guru melaksanakan pendidikan budi
pekerti itu melalui fungsi guru sebagai pendidik.
Pola pendidikan budi pekerti yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sesuai tersebut
lebih menjadi pilihan karena beberapa alasan, yaitu :
a. Budi pekerti merupakan perilaku bukan pengetahuan.
b. Beban kurikulum di SD, SLTP, SMU, dan SMK sudah sangat berat.
c. Pendidikan budi pekerti bukan tanggung jawab satu-dua guru pembina mata pelajaran saja,
tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
d. Sudah ada beberapa mata pelajaran yang dapat mengakomodasikan pemberian pendidikan
budi pekerti tersebut.
Jadi dilihat dari sisi lingkungan belajarnya, yang utama dan terutama adalah dengan
memberikan keteladanan yang terbaik, dengan perbuatan, perilaku orang tua, guru dan
masyarakat. Anak-anak akan menirunya, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan untuk lebih
memberikan penghayatan melalui tindakan, diskusi, pemahaman, dan penyadaran.
Inilah beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan budi pekerti, yang secara garis besar
merupakan upaya penanaman bukan pengajaran. Hal tersebut akan menjadikan pendidikan
budi pekerti berhasil guna, terlebih jika masalah budi pekerti yang selama ini dikeluhkan
ditanggulangi melalui gerakan terpadu orang tua, guru, dan masyarakat.
Dalam mengajar guru harus mengetahui tentang kriteria dalam menggunakan metode
mengajar sehingga ia akan lebih mudah dalam memilih metode. Pemilihan metode mengajar
ini disesuaikan dengan bahan pelajaran, situasi dan kondisi dan lainnya. Seorang guru yang
menggunakan metode mengajar secara bervariasi hendaknya dapat mengajak siswa untuk
terlibat aktif dalam belajar, sehingga siswa tersebut lebih mudah memahami pelejaran
tersebut.
Metode mengajar memegang peranan penting dalam mencapai tujuan atau keberhasilan
pengajaran. Seorang guru akan berhasil dalam tugas mengajar, bila dengan metode atau
teknik yang digunakannya ia mampu memotivasi serta memancing daya dan gairah belajar
murid-muridnya.
Menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany dalam Falsafah Tarbiyah Al-Islamiyah
mengungkapkan bahwa guru yang berjaya adalah yang menjadikan metode dan teknik
pengajarannya sebagai pendorong bagi kegiatan murid-muridnya, dan menjadi penggerak
bagi motivasi-motivasi dan kekuatan pengajaran yang terpendam pada diri murid-muridnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berhubungan dengan metode yaitu :
1. Metode hanyalah salah satu jalan atau cara yang digunakan oleh guru dalam mengajar dan
bukan tujuan.
2. Tidak ada satu metode yang paling baik.
3. Metode yang sesuaipun belum menjamin hasil yang baik secara otomatis.
4. suatu metode yang baik bagi seorang guru belum tentu baik bagi guru lain.
Dengan demikian metode pengajaran bersifat dinamis, agar dapat memilih dan memakai
metode yang tepat, harus selalu di adakan penelitian dan evaluasi secara terus menerus.
Faktor-faktor yang mendasari pemilihan dan penggunaan metode yaitu :
1. Metode sesuai dengan tujuan pengajaran.
2. Metode sesuai dengan jenis-jenis kegiatan yang tercakup dalam pengajaran.
3. Metode menarik perhatian murid.
4. Sesuai dengan kecakapan guru.12
Di samping itu ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode
yaitu : tujuan intruksional, keadaan murid, situasi dan kondisi, fasilitas yang tersedia dan
kebaikan atau kelemahan suatu metode.13
Metode berhubungan erat dengan tujuan pengajaran dan situasi pembelajaran, dalam
pemilihan metode harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Metode dapat membangkitkan motifasi, Minat dan gairah belajar murid.
2. Metode menjamin perkembangan kegiatan kepribadian murid.
3. Metode memberikan kesempatan bagi ekspresi yang kreatif bagi murid.
4. Metode merangsang keinginan murid belajar lebih lanjut.
5. Mendidik murid dalam teknik belajar sendiri.
6. Menanamkan nilai-nilai dan sikap utama.14
3. Metode Diskusi
Yaitu metode pengajaran melalui kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk
mengambil kesimpulan. Dengan metode ini diharapkan keaktifan, kearifan serta kemampuan
peserta didik dalam bertanya, komentar, saran serta jawaban yang dibawah koordinasi
pengawasan pendidik melalui proses belajar mengajar guna mencapai tujuannya.
a. Keunggulan metode diskusi, yaitu :
• Suasana kelas akan hidup, sebab peserta didik mengarahkan pikirannya kepada masalah
yang sedang didiskusikan
• Dapat menaikkan prestasi kepribadian individu seperti toleransi, demokratis, kritis, berfikir
sistematis, sabar dan sebagainya
• Kesimpulan-kesimpulan diskusi mudah dipahami peserta didik, karena mereka mengikuti
proses berfikir sebelum pada kesimpulan
• Melatih peserta didik untuk berfikir matang sebelum mengemukakan pikiran atau
pendapatnya kepada umum.
b. Kelemahan metode diskusi, yaitu :
• Sering terdapat sebagian peserta didik tidak aktif
• Sulit menduga hasil yang akan dicapai karena waktunya terlampau banyak
• Sering sebagai adu kemampuan dan pelampiasan emosi personal atau kelompok, bila
pendidik kurang menguasai masalahnya.
Dalam ajaran Islam banyak menunjukkan pentingnya metode diskusi dipergunakan dalam
pendidikan agama sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159 yang Artinya
: “ ... dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu ....“ ( Q.S.Ali Imran : 159 )12
4. Metode Pemberian Tugas ( Resitasi )
Yaitu cara mengajar yang dicirikan oleh adanya kegiatan perencanaan antara siswa dengan
guru mengenai suatu persoalan atau problema yang harus diselesaikan dan dikuasai oleh
peserta didik dengan jangka waktu tertentu yang disepakati bersama antara peserta didik
dengan pendidik.
a. Keunggulan metode penugasan yaitu :
• Siswa berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif,
bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
• Baik sekali untuk mengisi waktu yang luang dengan masalah yang konstruktif .
• Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan bekerja dalam suasana yang
merdeka dan demokratis
• Membiasakan siswa untuk belajar meskipun tanpa pengawasan.
5. Metode Demontrasi
Yaitu suatu cara mengajar yang pada umumnya penjelasan verbal digantikan dengan suatu
kerja fisik atau pengoperasian peralatan barang atau benda. Metode ini digunakan bila ingin
memperlihatkan bagaimana sesuatu harus terjadi dengan cara yang paling baik.
a. Kelebihan metode demontrasi :
• Membantu siswa untuk memahami dengan jelas suatu proses dengan penuh perhatian
• Memudahkan berbagai jenis penjelasan
• Menghindari verbalisme
• Memberikan keterampilan tertentu
b. Kelemahan metode demontrasi :
• Membutuhkan waktu yang cukup banyak, sehingga mata pelajaran yang lain kemungkinan
bisa terganggu
• Tidak efektif bila terbatasnya sarana
• Terlalu sering mengadakan bisa menghalangi proses berfikir dengan gaya abstraksinya
• Sukar dilaksanakan bila peserta didik tidak hadir sebagian.
Metode ini sering digunakan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam
menerangkan atau menjelaskan tentang cara mengerjakan suatu ibadah seperti shalat,
berwudhu, haji dan sebagainya.
Pendidikan selalu menyeimbangkan beberapa tujuan yang berbeda dan sering juga tujuan
yang saling bertabrakan, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian siswa, orientasi
sosial dan kewarganegaraan siswa, pengembangan siswa kejuruan dan berbagai jenis
pengetahuan dan pemahaman tambahan yang mereka perlukan. Dengan begitu
penyelenggara pendidikan tidak bisa dilihat sebagai bagian yang terpisah, atau hanya diisi
sendiri di dalam masyarakatnya; penting bagi pendidikan untuk dipengaruhi, dan pada
gilirannya mempengaruhi perkembangan di sektor ekonomi dan masyarakat secara luas.
Dengan kemajuan teknologi yang pesat, perubahan sosial dan ekonomi abad kesembilan
belas dan abad keduapuluh, pendefinisian ulang tujuan pendidikan, terutama wajib belajar
dan yang disediakan oleh masyarakat telah menjadi isu penting, pokok, dan
berkelanjutan. Isu-isu tersebut pertamakalinya dilibatkan dalam jalur utama yang
ditempuh oleh gerakan progresif yang dimulai di Eropa Barat dan Amerika Utara pada
tahun 1890-an.
Gerakan itu memperoleh inspirasi pertama-tama dari Herbart dan Froebel, dan kemudian
dari Dewey, kepercayaan luas mengenai pemikiran progresif itu diperoleh karena mencari
pendidikan yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industri baru yang muncul di
seluruh dunia sebagai dampak dari teori Darwin dan revolusi industri. Jika kita tengah
sedang menciptakan suatu masyarakat baru, kesanalah argumentasi diarahkan, pendidikan
memainkan peranan penting dalam bagaimana anggota-anggota baru dilantik, kapasitas
dan pemahaman seperti apa yang mereka perlukan untuk dikembangkan, orientasi-
orientasi seperti apa mereka perlukan dalam bertindak secara cerdas, penuh perenungan,
dan kreatif. Sehingga tujuan baru persekolahan dikembangkan dari profil siswa-siswa
seperti apa yang akan dimunculkan, misalnya, ingin memunculkan anggota masyarakat
yang kritis, kontruktif, penuh prakarsa dan mandiri, bersedia dan mampu bekerja sama
dengan orang lain dalam membentuk masyarakat baru tersebut. Dengan demikian,
persekolahan mempunyai tujuan sosial yang kuat – meminjam istilah Dewey, tampilan
rekontruksionis sosial.
Segaris dengan tujuan baru persekolahan ini, ilmu pendidikan yang sesuai telah
ditemukan, pengenaannya terutama sekali pada tilikan dari bidang pengembangan
psikologi pendidikan yang terbaru dan didasarkan pada kebutuhan seluruh siswa. Walau
sebagai gerakan progresivisme selalu ditumpas dan berkali-kali kandas, luasnya
konsensus merupakan bukti yang jelas dalam menempatkan siswa, dan kepentingan serta
kebutuhan siswa berada pada pusat proses-proses pendidikan. Berbagai pendekatan yang
berbeda-beda terhadap implikasi praktis dari ide-ide tersebut di atas telah diterapkan di
sekolah-sekolah progresif di beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Disebutkan
bahwa sekolah-sekolah progresif tersebut disosialisasikan dengan tokoh seperti Dewey,
Declory, Kerschensteiner, Montessori, Reddie dan Neil. Ketika sekolah-sekolah tersebut
ditulis secara luas, didiskusikan dalam lingkaran akademis dan pada forum-forum seperti
konferensi tentang Beasiswa Pendidikan Baru ( the New Education Fellowship ) dan pada
Asosiasi Pendidkan Progresif ( the Progressive Education Association )
Pendekatan progresif baru pendidikan yang berpusat siswa ( student-centred ) membawa
perubahan dramatis dalam manajemen dan organisasi kelas, hubungan guru - siswa dan
bahan pelajaran. Pendekatan pendidikan, atau pengajaran tradisional yang berpusat pada
guru ( teacher-centred ), merupakan pendekatan pengajaran ke seluruh kelas yang selama
berabad-abad ditandai oleh formalitas, keteraturan, rancangan prosedur mengajar lebih
lanjut, pemindahan informasi dari sumber-sumber terpercaya kepada siswa dan
menekankan perhatian pada rancangan logis materi untuk dipelajari. Sebaliknya,
pendekatan baru pendidikan yang memberi andil terhadap karakteristik-karakteristik
tersebut, tetapi menekankan penyelidikan, aktivitas siswa, relevansi dan luasnya
keragaman dari pertumbuhan siswa. Para pelopor pembaruan yang menggabungkan guru-
guru inovatif, par aorang tua, dan akademis ( Cremin, 1961). Berangkat dari pendekatan
formal, kelas-kelas yang relatif besar, yang lebih beragam, pendekatan informal dan aktif
akhirnya dicari.
Tantangan terhadap pencarian untuk menciptakan pendidikan di seluruh pelosok negeri
sebagai dasar suatu masyarakat baru sepanjang abad ini dihadapkan pada dua situasi
berbeda : pertama-tama pada iklim revolusi di Uni Soviet dan China setelah pemerintahan
Komunis memegang kekuasaan, dan sekali lagi dengan kejatuhan komunis di negara-
negara Eropa Tengah dan Eropa Timur pada tahun 1990-an; dan yang kedua dalam usaha
pembangunan beberapa negara yang baru saja merdeka dari kekuasaan kolonial.
Pada tahun 1920-an Uni Soviet yang baru terbentuk mengalami masa percobaan
pendidikan yang penting dalam usaha membangun pendidikan umum menyeluruh yang
dengan bangunan pendidikan yang menyeluruh itu masyarakat komunis yang baru akan
berbeda sama sekali. Adalah sebuah masyarakat di mana tidak ada model sebelumnya
dan, oleh karena itu, dalam situasi pendidikan seperti itu hanya ada sedikit saja petunjuk
untuk itu ( W.F.Connel, 1980 ). Sebagaimana sebuah masyarakat terdidik yang dipandang
sebagai kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat baru , usaha serentak
untuk memberantas tingkat buta huruf digalakkan yang secara serempak diarahkan pada
populasi orang dewasa dan anak-anak usia sekolah.
Keputusan eksekutif pusat pada Oktober 1918 yang menguraikan suatu pola baru tentang
pendidikan umum telah mencatat bahwa basis kehidupan sekolah ditemukan pada
pekerjaan yang produktif dan aktivitas kolektif. Balai latihan kerja terpadu baru yang
diwajibkan dan menyeluruh dilihat dalam konteks tradisi aktivitas sekolah yang progresif,
yang menyelenggarakan pendekatan-pendekatan belajar aktif untuk tenaga industri dan
pertanian yang diperlukan oleh masyarakat baru tersebut. Dengan memusatkan pada
sekoah tekhnik ini, pendidikan Uni Soviet yang baru dirancang untuk menghasilkan suatu
kurikulum yang akan menempatkan pekerjaan produktif pada pusatnya yang dan
menyediakan peluang untuk para murid agar belajar dan mengalami berbagai jenis-jenis
pekerjaan dan konsekwensi- konsekwensi sosial yang muncul dalam sebuah budaya
proletar. Percobaan penting berikutnya, misalnya, mengintegrasikan keseluruhan
kehidupan sekolah melalui pekerjaan produktif, membangun mata rantai sekolah dengan
pabrik, merumuskan workshop sekolah, metode pembelajaran terpadu yang komplek
dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam, memodifikasi (‘kolektif’
terpusat ) versi Dalton Plan, yang dalam banyak hal aktivitas progresif gagasan
pendidikan bisa dilihat. Pada eksperimen Shatsky selama tiga puluh tahun pada the
Colony of the Cheerful Life ( 1905-34 ), misalnya pekerjaan produktif, metode kegiatan,
swakelola masyarakat dan kurikulum yang kompleks di mana semuanya dipraktekkan
dengan efektif. Tetapi pada sepuluh tahun pertama pemerintahan Uni Soviet , tidak ada
persetujuan yang luas sebagai metode terbaik untuk mencapai keberhasilan tujuan baru
yang dijangkau dan para penentang percobaan tersebut secara mendadak muncul pada
tahun 1930-an dengan suatu perubahan kondisi politik internal. Dalam gerakan cepat pada
versi pendidikan tradisional Eropa lama yang telah dimodifikasi, pendidikan tenaga kerja
menjadi subordinat pendidikan umum, yang selanjutnya digabungkan dengan gagasan-
gagasan Makarenko, pendidik Ukraina, seorang tokoh yang sepanjang tahun 1920-an
hingga tahun 1930-an telah dengan seksama memperkenalkan pendekatan pendidikan
yang praktis pada masyarakat kolektif sekalipun penguasa beberapa sekolah koloni
menolak anak-anak masyarakat tersebut.
Ayunan yang tiba-tiba ke arah pendidikan yang lebih tradisional disempurnakan melalui
penetapan pada Rencana Lima Tahunan yang pertama pada tahun 1928, yang mana
penetapan itu merupakan yang pertama kalinya di sepanjang sejarah pendidikan, yang
diselaraskan dengan rencana ekonomi nasional dan pengembangan pendidikan. Dengan
demikian pendidikan menjadi tunduk kepada kepentingan ekonomi dan kepentingan
perencanaan tenaga kerja, dan mengajar sains dan matematika menjadi melangkah ke
depan, di mana pada lima belas tahun pendidikan Soviet yang pertama menjadi sebuah
contoh klasik dari masa transisi menuju revolusioner yang dimulai dengan suatu
pemutusan yang radikal dengan masa lalu dan diakhiri dengan meneruskan kembali
tradisi di dalam suatu format yang diubah.
Kita sekarang ini kembali rancangan situasi kedua di mana pengembangan masyarakat
baru menjadi pusatnya. Bagi sejumlah negara-negara koloni yang penting sebelumnya,
yang memperoleh kemerdekaan mereka di dalam suksesi yang berdekatan dengan tahun-
tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, tempaan identitas nasional yang kuat dan mencapai
keberhasilan pembangunan ekonomi menjadi tujuan kunci mereka. Pendidikan dilihat
sebagai salah satu kunci yang berarti mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan pendirian
sekolah universal dan pemberantasan buta huruf ditargetkan sejumlah rencana
pembangunan nasional lima tahunan. Ada keragaman penting dalam warisan pendidikan
para penguasa kolonial, tetapi diantara warisan tersebut terdapat inti dari model
sekolahan, sekalipun hanya terbatas dan tidak memadai. Di sub-Sahara Afrika , ketentuan
pendidikan di zaman kolonial bagi penduduk pribumi jauh lebih rendah baik dalam mutu
maupun jumlahnya, untuk itu anak-anak di negara kolonial Eropa, yang dicampur
adukkan dengan mitos keunggulan ras kulit putih, diumumkan secara luas pada saat itu.
Kebencian orang Afrika terhadap situasi tersebut mengambil - bagi kebanyakan orang -
bentuk dengan mencari pendidikan “kebuku-bukuan” Barat yang sangat mendunia
dengan maksud untuk memasuki dunia modern, menolak melalaikan tugas karena
“rendahnya mutu” bahasa daerah yang digunakan dalam pendidikan, yang mana itu telah
dibantah akan digunakan untuk membuat orang Afrika tetap tunduk. Sesungguhnya,
hingga merdeka pemerintah-pemerintah tersebut mencari manfaat pendidikan untuk
kebutuhan pembangunan nasional – mengelas negara-negara mereka yang baru itu ke
dalam unit-unit politik, budaya, dan ekonomi yang efektif melalui pendidikan secara
besar-besaran dan membuka pendidikan kejuruan yang tersebar luas. Para pemimpin baru
menyadari perlunya perencanaan nasional yang saksama, menggemakan pengalaman Uni
Soviet dalam perang Internasional selama bertahun-tahun . contoh temuan pada awal
penilaian kembali terhadap tujuan pendidikan dipandang dari sudut pengalaman pada
tahun-tahun pertama kemerdekaan di Afrika adalah konsep Nyerene tentang pendidikan
untuk kepercayaan diri ( Education for Self-Reliance ) pada tahun 1967 yang tujuannya
ingin menciptakan di dalam Republik Tanzania Serikat, suatu masyarakat sosialis yang
didasarkan pada tiga prinsip; persamaan dan rasa hormat untuk martabat manusia,
pembagian sumber daya yang diproduksi oleh usaha mereka sendiri, bekerja sama dengan
semua orang dan tidak ada eksploitasi sama sekali (Nyerene, 1986,p.50 ). Pendidikan
ditata ulang dan diorientasikan kembali pada dasarnya untuk melayani ( dan juga
melanjutkan ) masyarakat pedesaan. Selagi otoritas di negara-negara selain Afrika tidak
perlu menerima gagasan sosialis Nyerene dan menekankan pada pedesaan, semua negara
tersebut mendapati diri mereka berusaha untuk menghubungkan pendidikan menjadi lebih
dekat kepada kehidupan budaya dan ekonomi masyarakatnya.
Suatu pendekatan reformasi pendidikan yang multi-track dalam mengejar pembangunan
nasional Republik Korea memberi contoh yang sangat baik. Ketika merdeka pada tahun
1945, kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbatas hanya pada kelas sekelompok
kecil masyarakat, kelas yang diistimewakan; bahasa korea tidak digunakan sebagai
bahasa pengantar dalam mengajar, dan struktur pendidikan minim sekali. Undang-undang
Pendidikan tahun 1945 meletakkan pondasi bagi sistem pendidikan nasional yang
mencakup wajib pendidikan tingkat dasar dan memperluas kesempatan pendidikan
tingkat menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan keguruan. Implementasi undang-
undang tersebut disela oleh perang Korea dan digalakkan kembali ketika perang usai.
Pada tahun 1959, 96 % anak-anak usia sekolah dasar masuk sekolah dan pada tahun
1960-an, enam tahun pendidikan dasar universal telah dicapai. Pada waktu yang sama,
reformasi kurikulum diprioritaskan pada pendidikan kejuruan . total perubahan pelatihan
guru diaktifkan pada tahun 1968, sebagai bagian dari rancangan reformasi yang baru.
Dalam waktu kurang dari tiga dekade ( tidak termasuk tahun yang dihabiskan untuk
perang ) sepanjang periode tahun 1945-1980, pendidikan di Republik Korea meluas
secara dramatis, jumlah pendaftaran pada sekolah dasar berhasil mencapai 100 % dan
tingkat menengah mencapai 90% , dan jumlah pendaftaran pada pendidikan tinggi dua
kali lebih banyak, demikian juga pendaftaran pada pendidikan kejuruan.
Di luar fokus pendidikan yang sesuai dengan orang banyak masuyarakat nasional baru
abad ke duapuluh telah menumbuhkan gerakan yang meusatkan diri pada pendidikan
untuk masyarakat internasional dan global. Sampai saat ini hal ini belum merupakan
suatu hal yang mengasyikkan sehingga dibiayai secara rasional dan menjadi sistem
pendidikan diatur dengan baik, tetapi dalam jangka waktu yang panjang badan pendidik
tertentu merasa terikat untuk menciptakan masyarakat internasional yang damai dan siapa
yang telah membangun jaringan internasional antar siswa, para guru, prtugas
administrasi, dan sekolah, dan sudah mengembangkan program-program pengajaran yang
inovatif untuk kegunaan sekolah. Organisasi-organisasi intenasional, baik LSM maupun
organisasi antar pemerintah, telah memainkan peran penting dalam mendukung dan
melangsungkan usaha-usaha tersebut. Globalisasi yang berjalan dengan cepat sekali pada
kehidupan akhir abad ke duapuluh, dari perdagangan dan industri menuju kesenangan,
media dan komunikasi, secara radikal mengubah banyak aspek kehidupan sehari-hari
banyak orang dan telah mendorong para pendidik untuk lebih meningkatkan penekanan
pada lingkungan level dunia dan berbagai tantangan sosial, dan di luar suatu masa depan
yang bisa mendukung.
Dibukanya perdebatan tentang tujuan pendidikan, dan ilmu pendidikan yang sesuai,
menjadi dan tetap merupakan tantangan kunci bagi pendidikan yang diorganisir secara
tradisional – suatu agenda subtansial bagi perubahan, perdebatan yang muncul dan
tenggelam pada periode berbeda di sepanjang abad itu. Di akhir abad ke duapuluh
gagasan yang diperdebatkan terutama sekali yang berkaitan dengan konteks tentang :
Perubahan sifat pekerjaan dan berbagai peluang kerja, dan terutama tentang meluasnya
sebaran dan tetap berlangsungnya pengangguran kaum muda.
Ledakan pengetahuan di semua bidang ilmu yang terus berlanjut dan tantangan yang
kerapkali muncul dari ketentuan-ketentuan sebelumnya
Pencarian nilai-nilai budaya dan moral yang akan membantu menciptakan keseimbangan
antara tanggung jawab sosial dan kebebasan individu, dalam rangka menghadapi
meningkatnya budaya materialistis dan lingkungan ekonomi yang kompetitif.
Dasar persekolahan dipandang sebagai suatu yang minimum penting untuk dapat
berpartisipasi produktif di dalam peningkatan tingkat melek huruh yang didasarkan
pada ekonomi dan lingkungan kerja di seluruh dunia.
Untuk di masa depan, kombinasi dengan peluang pembelajaran-pembelajaran baru yang
disajikan oleh teknologi informasi, gagasan-gagasan tersebut bisa membentuk suatu
kekuatan yang regeneratif bagi model persekolahan.
Pemerataan Pendidikan dan Akses
Di dalam kecenderungan sosial luas menuju demokratisasi sepanjang abad ini, pendidikan
dilihat sebagai salah satu alat penting untuk memberi kesempatan yang sama dan
merupakan sebuah proses menjadi lebih sadar politik. Hal ini diterjemahkan dalam bidang
pendidikan pertama-tama agar terbuka akses kepada ketentuan tentang pendidikan,
mendorong pertumbuhan yang masif melalui banyaknya sekolah dan menyebarluaskan,
dan mewajibkan sekolah dasar dan sedikit menginjak sekolah menengah, biasanya umur
14 tahun, kemudian secara berangsur-angsur wajib belajar di negara-negara lain hingga
umur 15 tahun, 16 tahun dan sekarang secara efektif menjadi umur 17 dan 18 tahun.
Dukungan sosial yang luas muncul demi peningkatan jumlah dalam ketentuan dan
gagasan tentang hak untuk memperoleh pendidikan muncul, yang tercantum secara
formal dalam Hak Azasi Manusia yang universal itu.
Masyarakat persekolahan menekankan untuk memikirkan ulang isi dan organisasi
pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah, dan kemudian juga pada level
pendidikan tinggi. Dengan lebih banyaknya sekelompok anak seumur yang masuk ke
dalam dunia persekolahan dan tinggal lebih lama, keberadaan organisasi yang secara
akademis menitikberatkan pada pengkajian, yang selama ini dirancang agar cocok untuk
para elit yang diistimewakan, terutama di sekolah menengah sudah tidak lagi sesuai.
Dengan demikian sepanjang kebutuhan fisik untuk menyediakan lokasi sekolah yang
lebih (gedung-gedung baru, guru yang cukup dan sumber daya melimpah) memunculkan
pertanyaan untuk memikirkan kembali muatan pendidikan menengah yang sesuai dengan
semua pihak. Di beberapa negara, diskusi tentang masalah ini paling tidak mengarah
pertama-tama pada diferensiasi ketentuan pada pendidikan tingkat menengah, yakni tipe-
tipe persekolahan yang berbeda telah diciptakan. Di Inggris misalnya, program studi
linguistik, teknis dan ketentuan menengah modern sedikit banyak berbeda dengan
program-program studi yang harus ditempuh. Namun perbedaan status antara masing-
masing jenis ketetapan sangat jelas dan menekankan persamaan kesempatan memperoleh
pendidikan yang lebih besar (melalui para orang tua yang ingin agar anak-anak mereka
memperoleh status pendidikan tinggi, yang dirancang hanya untuk melayani proporsi
kecil kelompok usia, dan melalui para pendidik yang menganjurkan bahwa kasus itu
untuk sekolah pada umumnya) yang didorong gerakan dibeberapa negara untuk sekolah-
sekolah dengan masukan menyeluruh. Pertanyaan tentang program-program pengajaran
apa yang sesuai dengan cakupan kemampuan siswa yang lengkap dalam sekolah-sekolah
semacam itu kemudian diperlukan untuk dihadapi. Sedang negara-negara yang
menunjukkan jalan bervariasi bagaimana mengarahkan hal ini, kriteria yang ada diteliti
secara seksama mencakup keprihatinan-keprihatinan seperti relevansi dengan kehidupan
masyarakat industri ( dan kemudian post-industri ), derajat orientasi kejuruan dan tingkat
keluasan program-program yang harus ditunjukkan untuk semua para siswa pada
umumnya.
Bagaimanapun menjadi jelas bahwa menyediakan fasilitas menyeluruh tidak dengan
sendirinya menyamakan peluang pendidikan bagi seluruh masyarakat itu sendiri, baik
diskriminasi maupun harapan dikenali sebagai faktor pembatas. Ini membawa ke suatu
tepi yang kontroversial kepada isu persamaan kesempatan, dengan perubahan yang
diarahkan pada diskriminasi positif dan mengarahkan anggota-anggota kelompok tertentu
seperti anak-anak perempuan, minoritas etnis dari anak-anak keluarga miskin, yang selagi
di dalam lingkup kemampuan normal, tampil lebih rendah dari pada pendidikan normal
dan harapan karier. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan sendiri tidak bisa mengganti
kerugian ketidaksamaan sosial yang kadang-kadang dengan enggan dikenali itu penting,
tetapi perlu bagian yang ditarik untuk dimainkan.
Alam ketepatan untuk kelompok-kelompok minoritas berbeda ditumpahkan ke dalam
pertanyaan tentang perubahan alami ketetapan untuk semua siswa di dalam area-area
seperti “ mengharus-utamakan” ( mainstreaming ) para siswa yang mengidap berbagai
cacat dan mengembangkan program-program pendidikan multikultural demi akomodasi
masyarakat yang lebih baik terhadap kelompok-kelompok budaya dan etnis minoritas.
Gerakan yang menyediakan pengajaran yang lebih dalam berbagai bahasa ibu, terutama
untuk anak-anak usia sekolah dasar, selama ini ditandai lebih duapuluh tahun terakhir.
Solidaritas sosial, dalam mencari mana pendidikan dari yang telah dijalankan, harus
diperluas dari sesuatu yang sebagian besar sentimentil dan emosional, kepada reformasi
hubungan sosial dan kondisi-kondisi kehidupan yang praktis. Dengan demikian
pendidikan menjadi tak terelakkan dilibatkan di dalam program reformasi sosial secara
umum ( W.F.Connel, 1980, p.91 )
Isu reformasi sosial yang lebih luas ini, bagaimanapun dan dimanapun juga tidak
memecahkan dan tidak memberi inspirasi para pembaharu pendidikan yang secara tak
terhindarkan akan tinggal tetap gagal sepanjang negara-negara tersebut tidak mampu, atau
enggan mengejar agenda yang didasarkan pada kesamaan hak dan perbaikan sosial.
Kualitas Pendidikan, Pembiayaan dan Akuntabilitas
Sementara para pendidik selama ini selalu prihatin dengan outcome siswa atau apa yang
sudah dipelajari para siswa, suatu keprihatinan besar mengenai mutu pendidikan telah
muncul pada tahun-tahun terakhir. Dengan sistem pendidikan yang mendaftarkan lebih
dari masing-masing sekelompok anak seusia dan siswa yang tetap tinggal lebih panjang di
sekolah, sistem pendidikan harus menjadi persoalan pokok untuk pendanaan publik, suatu
pendanaan yang terus meningkat di bawah tekanan kebutuhan yang bersaing dan di
bawah penelitian cermat dari para pengawas ( watcdog ) belanja pengeluaran publik.
Unsur nilai untuk uang ( value for money ) yang kuat ditandai oleh isu kualitas, sepanjang
perhatian lebih besar diberikan demi kebaikan sosial bukannya individu. Dengan isu
keadilan, perdebatan tentang mutu pasti berpengaruh penting pada mempolitikkan
pendidikan.
Perubahan yang diperoleh dari isu tentang kualitas selama ini difokuskan pada pelurusan
fungsi sistem pendidikan, pada rancangan standar prestasi, pada pencapaian efisiensi,
pada perhatian untuk mengukur ( dan sering juga menstandardisasi ) apa yang dipelajari
oleh siswa di sekolah ( yang sering kali dalam usaha untuk menyerang apa yang dianggap
sebagai kegagalan sekolah ) dan pada peningkatan efektivitas guru. Di mana kebebasan
yang lebih besar untuk pengambilan keputusan diberikan ( seperti pada tingkat sekolah
yang mengikuti desentralisasi ), gerak dan struktur demi akuntabilitas haruslah diikuti.
Pada isu tentang apa yang dimaksud dengan kualitas dalam hubungannya dengan
pendidikan ( berkualitas buat siapa dan tentang apa ) dan apakah proses yang diusulkan
untuk membantu perkembangannya benar-benar mendukungnya, atau telah terbukti
counter-productive, terutama mengenai profesionalisme guru. Isu kualitas tetap
problematis . pertanyaan masih menjadi perdebatan adalah apakah rata-rata yang diadopsi
untuk mengukur dan maningkatkan mutu akan sungguh-sungguh mencapai hasil yang
diinginkan dan sedemikian rupa tanpa memaksakan batasan-batasan baru yang fantastis
dan biaya-biaya yang memberatkan. Keinginan untuk meningkatkan mutu disetujui secara
luas, tetapi bagaimana cara terbaik untuk melakukannya ? tergantung pada banyak faktor,
beberapa diantara faktor yang sangat spesifik tidak hanya ada pada negara-negara itu
sendiri tetapi juga pada aspek tertentu dari sistem itu sendiri.