Abu Muawiah
Abu Muawiah
Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin -semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada
kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah-, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan
menerima suatu amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat
mendasar dan prinsipil, yaitu:
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut
sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala.
2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
ala alihi wasallam-.
Dalil untuk kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`an. Di
antaranya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi :
110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas, “[Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah, [dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya
diinginkan wajah Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun untuk amalan yang
diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala
alihi wasallam-”.
Dan juga Firman Allah Ta’ala:
“Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling
baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah
-rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling
baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan,
jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan
tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar.
Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas
sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
Berikut uraian kedua syarat ini:
Dari syarat yang pertama ini, sebagian ulama ada yang menambahkan satu syarat lain diterimanya
amalan, yaitu: Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini sebuah
aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi
wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa Allah Ta’ala berada dimana-mana. Keyakinan dia ini adalah
keyakinan yang kafir karena merendahkan Allah, yang karenanya shalatnya tidak akan diterima.
Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi
-shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui perkara
ghaib. Maka hajinya pun tidak akan diterima karena dia telah meyakini keyakinan yang rusak lagi
merupakan kekafiran.
Karena tempat yang terbatas, insya Allah pembahasan syarat yang kedua akan kami sebutkan pada dua
edisi mendatang, wallahu a’lam bishshawab.
[Rujukan: Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, bab keempat. Yang ditulis
oleh Ust. Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah- dengan beberapa perubahan]