Anda di halaman 1dari 13

KECERDASAN EMOSIONAL SPRITUAL DALAM BELAJAR

A. PENDAHULUAN

Kecerdasan spiritual merupakan sebuah kesadaran yang


menghubungkan manusia dengan Allah SWT dengan hati nurani.Tingkat
spiritual pada anak-anak tercermin pada aktivitas kreatifnya. Arah dan tujuan
hidup akan indah dengan kecerdasan spiritual. Contohnya: bagaimana kita
memandang alam, air, tumbuh – tumbuhan, awan, bunga yang berwarna-warni,
Fauna–kupu-kupu, yang suka menyelam (diving) bisa melihat bagaimana
keindahan isi laut. Untuk mencapai ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT,
maka Allah SWT mengajak kita untuk mengenali alam ( kecerdasan spiritual
kita tinggi). Seperti misalnya kita merasa takjub dengan keindahan alam, Surat
Abasa (80) ayat 24-31.

  


   
    
   
    
   
  
  

24. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.25.


Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),26.
kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,27. lalu Kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi itu,28. anggur dan sayur-sayuran,29. zaitun dan kurma,30.
kebun-kebun (yang) lebat,31. dan buah-buahan serta rumput-rumputan

Aristoteles menjabarkan orang yang marah tapi cerdas, adalah yang


mengerti kapan dan bagaimana bersikap ketika akan marah. Kecerdasan
emosional menyangkut motivasi diri, dengan mendorong dirinya dengan cara-
cara sebagai berikut :
 Bagaimana seseorang memiliki sifat positif thinking (berfikir)

 Bagaimana seseorang bisa memanage pekerjaannya

 Bertahan menghadapi frustasi

 Mengenali emosi orang lain.

 Kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain


(social skill-interpersonal intelligent).

Wilayah emosional meliputi:


1. Kenali emosi diri.
2. Bisa menghibur diri dari ketersinggungan.

B. PEMBAHASAN

1. Emosi
Setiap individu menurut dasarnya memilki kebutuhan-kebutuhan
jasmaniyah tertentu . Di antara kebutuhan-kebutuhan ini kita dapati misalnya
kebutuhan-kebutuhan akan makanan, kebebasan bergerak, serta komport atau
kebebasan dari stimulus-stimulus yang mengganggu. Setiap stimulus yang
akan menghalangi, memblokade atau mengacaukan salah satu kebutuhan
semacam ini dapat menyebabkan individu kehilangan cara hidupnya yang
biasanya berlangsung dengan lancar dan menyebabkan dia mengalami emosi
yang tidak enak, seperti takut, marah atau mata gelap. Sebaliknya suatu situasi
yang memenuhi atau mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar akan
menghasilkan sambutan-sambutan yang mengenakkan, yang dapat disebut
:kepuasan kegembiraan yang memuncak ; kelegaan atas rasa nikmat. Emosi
juga dapat ditimbulkan oleh reaksi sosial, seprti interaksi antara individu
dengan individu lainnya. Emosi bukanlah pengalaman yang berdiri sendiri atau
diskrit.
Untuk kepentingan belajar dalam membimbing perkembangan emosional dapat
diisolasikan empat aspek dari emosi : manifestasi yang terlihat, intensitet, nada
perasaan dan kecendrungan arah. Karena emosi bukanlah pengalaman yang
terpisah-pisah, melainkan mengantar aktivitet-aktivitet psikis yang lain, guru
harus berusaha dengan bijaksana untuk melengkapi berbagai aktivitet belajar
dengan cara-cara yang tepat yang dapat menyinggung aspek-aspek yang
menyenangkan dari pengalaman yang diemosikan.

C. Motivasi Dan Emosi

Motivasi berkaitan erat dengan emosi. Emosi itu sendiri adalah pendorong
terjadinya perilaku, tetapi hubungannya dengan motivasi seperti apa, belum
terjawab sepenuhnya oleh ahli psikologi. Menurut Hilgrad dan kawan-kawan,
kebanyakan ahli beranggapan bahwa motivasi adalah pendorong perilaku yang
determinan-determinannya berasal dari dalam diri individu (stimulus-stimulus
internal), sedang determinan-determinan emosi berasal dari luar individu
(stimulus-stimulus eksternal).

Kebanyakan perilaku bermotivasi mempunyai komponen emosional (afektif).


Komponen inilah yang menyebabkan perilaku tertentu cenderung di ulang
kembali (karena menghasilkan sesuatu yang menyenangkan) atau
dijauhi/dihindari (karena menimbulkan sesuatu yang tidak disukai) meskipun
demikian, para ahli lebih memperhatikan perilaku terarah tujuan bila mempelajari
motivasi dan pengalaman-pengalaman subjektif afektif bila mempelajari emosi.

Karena perilaku bermotivasi selalu mempunyai komponen afektif, maka


pengetahuan tentang perilaku apa dengan komponen afektif apa akan
mempermudah usaha untuk memperbesar motivasi manusia. Para ahli sepakat
bahwa didalam emosi masih terdapat unsur nalar, kognisi. Karena adanya kognisi
inilah, maka dapat terjadi dua orang yang menghadapi insentif yang sama (uang)
mempunyai reaksi yang amat berbeda. Dengan pengetahuan emosi inilah orang
setinggi mungkin mempertahankan motivasi ini baik dalam hal pekerjaan ataupun
belajar
D. Motivasi, Belajar, dan Minat

Dalam kaitannya dengan belajar dan minat biasanya para ahli membedakan dua
macam motivasi berdasarkan sumber dorongan terhadap perilaku, yaitu motivasi
intristik dan ekstrisik. Motivasi intrinsik adalah yang bersumber dari dalam diri
individu yang bersangkutan (ingin menjadi Guru, saya harus lebih banyak belajar
karena kurang menguasai bagaimana menjadi guru yang profesional ; dan lain-
lain). Motivasi ekstrinsik mempunyai sumber dari luar (takut nilai rendah ; untuk
mendapatkan si Maya tersayang ; biar dibilang anak pintar ; dan lain-lain).

Motivasi intrinsik erat kaitannya dengan n-achnya Mc Clelland dan aktualisasinya


Maslow. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa motivasi intrinsik lebih tahan
lama dan kuat dibanding motivasi Ekstrinsik untuk mendorong minat belajar.
Namun demikian, motivasi ekstrinsik juga bisa sangat efektif karena minat tidak
selalu bersifat intrinsik.

E. Kecerdasan Inteligensi

Sebenarnya pengertian cerdas ini sangat beragam, karena kecerdasan bisa


meliputi berbagai aspek, seperti intelektual, emosional, spritual, kinestetik, musik,
interpersonal, akademis dan sebagainya. Tapi secara awam, budaya masyarakat
kita cenderung menganggap cerdas adalah apabila anak yang selalu jadi juara
kelas atau yang jago matematik. Padahal, tentu tidak selalu demikian. Belum
tentu semua anak yang cerdas adalah anak yang jago matematik atau anak yang
selalu jadi juara kelas. Ada banyak anak yang tidak menjadi juara kelas tapi
sebenarnya ia tergolong anak yang cerdas.Ada banyak anak yang cerdas
berbahasa tapi tidak pandai matematik, atau ada anak yang pandai bergaul tapi
kurang trampil dalam hal menggambar, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
bahwa pengertian cerdas di sini menggambarkan adanya potensi-potensi yang
menonjol yang dimiliki anak dan bersifat unik antara anak yang satu dengan
yang lain. Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda.

F. Kecerdasan Emosional Spritual

Seorang ibu, orangtua murid yang baru lulus, bercerita bagaimana caranya untuk
mengirim Rahmat ke Jerman. Ia sudah meyakinkan anaknya bahwa ia tidak akan
mampu untuk membiayainya. Tetapi anaknya berulang-kali meyakinkan
orangtuanya, bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan. Ditengah-tengah
pembicaraan, ibu itu bercerita tentang perubahan perilaku anaknya setelah
masuk sekolah yang menitik beratkan kepada pengembangan kecerdasan
emosional spritual. Waktu pulang kampung, ia banyak menaruh perhatian pada
tetangga-tetangganya yang miskin. Menjelang Lebaran, seperti biasanya, ibu itu
memberi anaknya uang untuk membeli pakaian baru. Rahmat menerima uang itu
seraya minta izin untuk memberikannya pada tukang becak tetangganya. “Uang
ini jauh lebih berharga bagi dia ketimbang saya, Bu,” kata Rahmat. Ibunya
bercerita sambil meneteskan air mata. Kisah nyata di atas menyajikan contoh
anak yang cerdas secara spiritual. Itu terjadi jauh sebelum konsep kecerdasan
spiritual ramai diperbincangkan. Dan kutipan lima karakteristik orang yang cerdas
secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The – Psychology of Ultimate
Concerns:

(1)   Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;

(2)   Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;

(3)   Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;

(4)   Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat


menyelesaikan masalah.

(5) Kemampuan untuk berbuat baik.

Karakteristik di atas sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan


spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di
sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia
spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan
seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang
disaksikan dengan alat-alat indranya. Dalam interaksi sehari-hari, kalau
seseorang tidak memiliki kecerdasan emosional maka hubungan yang dia
lakukan adalah berdasarkan pamrih semata.Kalau orang yang beriman maka dia
akan menjalin hubungan dengan orang lain, karena mengharap ridho Allah SWT
(surat Al Insan ayat 9).
Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad
pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang
mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka
cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan
ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya
ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan? “Yang
cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.” Yang ceria berkata, “Saya
sedang membangun Masjid!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan
“menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan
sanktifikasi.

Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup


hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan
makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual -seperti
teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan
penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi

Mengelola emosi berarti bagaimana menangani perasaan agar terungkap


dengan tepat. Ini bergantung pada kesadaran diri.Makanya kalau dibilang
mengelola emosi itu tidak tepat, Contoh: Apabila seorang anak melakukan
kesalahan,maka sang ibu sebaiknya tidak langsung memarahi. Tapi bertanya
kepada sang anak, apakah dia tahu telah melakukan kesalahan. Karena, sang
anak belum tentu dia tahu kesalahannya.Begitupun dengan suami. Jadi tanyalah
dengan cara yang baik tidak dengan marah-marah.

Ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup


menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu
bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan.
Bukankah Tuhan berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan
Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami”? Bukankah Heinrich
Heine memberikan inspirasi dengan kalimatnya “Den Menschen machtseiner
Wille gro=DF und klein”? Rahmat memiliki karakteristik yang ke empat. Tetapi
Rahmat juga menampakkan karakteristik yang ke lima: memiliki rasa kasih yang
tinggi pada sesama makhluk Tuhan. “The fifth and final component of spiritual
intelligence refers to the capacity to engage invirtuous behavior: to show
forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and
wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan
terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan,
hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristikterakhir ini mungkin disimpulkan
dalam sabda nabi Muhammad saw, “Amal paling utama ialah engkau masukkan
rasa bahagia pada sesama manusia.”

Dijelaskan secara singkat kiat-kiat untuk mengembangkan SQ :

(1)   Jadilah “gembala spiritual” yang baik,

(2)   Bantulah anak untuk merumuskan “missi” hidupnya,

(3)   Baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan
kita,

(4)   Ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual,

(5)   Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,

(6)   Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,

(7)   Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional,

(8)   Bawa anak untuk menikmati keindahan alam,

(9)   Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan

(10) Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.

1. Jadilah gembala spiritual. Orang tua atau guru yang bermaksud


mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami
kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk
mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas yakni karakteristik orang
yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan
Tuhan dalam hidupnya. “Spiritual intelligence is the faculty of our non-material
dimension the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan
makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-
orang di sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.”
(Al-Quran 6:122).
   
    
    
   
    
  

Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan


tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. “Spiritual
intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and not because
of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa
banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal
sebagai orang yang berSQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita,
atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.

2.Rumuskan missi hidup. Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai


tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan
akhir kita: Suatu misal ada seorang anak yang ingin melanjutkan kuliah ke
perguruan tinggi swasta, setelah gagal di UMPTN. Ia tidak punya apa pun kecuali
kemauan. Sayang, ia belum bisa merumuskan keinginannya dalam kerangka
missi yang luhur. Berikut ini adalah cuplikan percakapannya anatar anak dan
yang dimintai tolong :

* Saya ingin belajar, Pak

* Untuk apa kamu belajar?

* Saya ingin mendapat pekerjaan.

* Jika belajar itu hanya untuk dapat pekerjaan, saya beri kamu pekerjaan.

* Tinggallah di rumahku. Cuci mobilku, dan saya bayar.

* Saya ingin belajar, Pak

* Untuk apa kamu belajar?


* Saya ingin mendapat pengetahuan

* Jika tujuan kamu hanya untuk memperoleh pengetahuan, tinggallah


bersamaku. Saya wajibkan kamu setiap hari untuk membaca buku. Kita
lebih banyak memperoleh pengetahuan dari buku ketimbang sekolah.

* Tetapi saya ingin masuk sekolah.

* Untuk apa kamu masuk sekolah?

* Saya bingung, Pak.

Kita dapat membantu anak untuk menemukan missinya. Jika kamu sudah
sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa,
what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus.
Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak.Jika sudah
punya duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita
sudah tidak terhitung jumlahnya. Sampai di sini, kita sudah membantu anak
untuk menemukan tujuan hidupnya.

3. Baca Kitab Suci. Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan
guru-guru kita. Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk
memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar
Islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah
pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam
tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama
Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal
ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia
membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran
seakan-akan ia diturunkan untukmu!” Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-
Quran seakan-akan berbicara kepadaku.”

4. Ceritakan kisah-kisah agung. Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat


terpengaruh dengan cerita. “Manusia,” kata Gerbner, “adalah satu-satunya
makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.”
Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para
sufi seperti Al-’Attar, Rumi, Sa’di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita.
Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken
Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima
cerita itu dari semua sumber.

5. Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah. Melihat dari


perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana
Agung Ilahi (Divine Grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang
diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita
bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merkah setelah langit menangis.
Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya
setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita
menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu
keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan
selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum
kita dapat menyebut asma-Nya.

6. Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan. Kegiatan


agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan Sumber dari Segala Kekuatan.
Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya,
komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya.
Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang
menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam
bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke
pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan
dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-
anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan
sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia
yang Mahakasih dan Mahasayang!

7. Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional.


Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas, fakultas untuk
mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap hal-hal spiritual. Kita
punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”, kita
sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata “keputusan ini
pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian,
keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut
sbg SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-
lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata “pada sentuhan
cinta semua orang menjadi pujangga”, kita dapat berkata “pada sentuhan puisi
semua orang menjadi pecinta.”

8. Bawa anak untuk menikmati keindahan alam. Teknologi moderen dan


kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan
alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari,
dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita
memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak
tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan
sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian
alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan
kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita
harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan
Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.

9. Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita. Nabi Musa pernah


berjumpadengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia
merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, “Tuhanku, di mana bisa
kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang
yang hancur hatinya.”

10. Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Dari Canfield dalam


Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan
kejahatannya lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak,
dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan- kawannya. Dalam sebuah acara
perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan
makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil
memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan
dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah
makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam
beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang
lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik –
rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab.
G. Penutup

Kecerdasan Emosional Spritual adalah Anak yang merasakan kehadiran


Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan
material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang
menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya
tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indranya. Dalam
interaksi sehari-hari, kalau seseorang tidak memiliki kecerdasan emosional maka
hubungan yang dia lakukan adalah berdasarkan pamrih semata.Kalau orang
yang beriman maka dia akan menjalin hubungan dengan orang lain, karena
mengharap ridho Allah SWT (surat Al Insan ayat 9).

    


    


Ada tipe orang yang straight forward/berbicara langsung apa adanya. Dari
sudut pandang kecerdasan emosional, orang seperti ini harus belajar memahami
perasaan orang lain.

Rasulullah pernah menerima tamu, Usman bin Affan. Rasulullah


selalu membetulkan bajunya ketika Usman bertamu. Karena Rasulullah
tahu betul sifat Usman yang pemalu. Apalagi kalau Rasulullah berpakaian
santai. Untuk itu kita perlu belajar mengenali orang lain seperti tindakan
Rasulullah terhadap tamunya. Sehingga tindakan kita bisa diterima oleh
orang lain

DAFTAR BACAAN

Whiterington., “Psikologi Pendidikan”, PT.Rineka Cipta. Jakarta, 1991

Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikiran Islam”, Kalam Mulia,


1994
Irwanto. Drs. Dkk., “Psikologi Umum”, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1994

Ditulis oleh Bidang PSDM Fahima. Rabu, 20 September 2006, Pukul


20.00-21.30 JST/18.00 – 19.30 WIB), “Membangun Emosi yang
Cerdas di Bulan Ramadhan”, Tempat : Radio Tarbiyah
Pembicara : Ust. Adi Junjunan Mustafa.

Jalaluddin Rakhmat. Prof. Dr. KH, “Mengembangkan Kecerdasan


Spiritual Anak”, Dikutip dari artikel lepas Yayasan Muthahari,
http://www.melasayang.netfirms.com, 05 Februari 2007

Dewa Ketut Sukardi. Drs., “Analisis Tes Psikologis”, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 1990

27- Mei- 2008 Ditulis oleh udhiexz | PSIKOLOGI, Pendidikan | KECERDASAN


EMOSIONAL SPRITUAL DALAM BELAJAR | 3 Komentar

http://udhiexz.wordpress.com/category/pendidikan/psikologi-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai