Anda di halaman 1dari 2

Mungkin ini hanya sekedar buah pemikiran bodoh saya saja akan pemahaman saya terhadap

peran seorang guru terhadap muridnya. Dimana saat ini saya tengah berperan menjadi
keduanya, ya jadi guru ya jadi murid. Ah, tetapi mungkin saya hanyalah seorang guru yang
sejujurnya belum pantas menjadi seorang guru. Karena bagi saya, menjadi guru itu tidaklah
mudah. Tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu, memberikan ulangan, dan membubuhkan
angka sebagai ukuran kesuksesan belajar muridnya. Namun di lain sisi, saya pun seorang murid,
bukan karena saya sedang melanjutkan kuliah, tapi bagi saya, menjadi murid itu seumur hidup,
hingga ruh terlepas dari jasad saya. Entahlah, apakah kalian menganggap demikian atau tidak,
terserah saja.

Bagi saya, seorang guru yang sebenar-benarnya guru adalah yang mampu mengarahkan
muridnya untuk menjadi manusia di atas rata-rata, maka sang gurulah terlebih dahulu yang
harus menjadi manusia di atas rata-rata. Ingat, di atas rata-rata, bukan berarti sempurna.
Karena guru-pun manusia, dan manusia tidak ada yang sempurna. Tugas utama guru memang
memberikan pelajaran dan pendidikan, memberikan ulangan sebagai evaluasi hasil belajar, dan
memberikan angka sebagai ukuran sejauh mana keberhasilan belajar muridnya. Ah, tapi bagi
saya nilai itu tidak terlihat. Yang disebut nilai bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan
hitungan angka. Nilai adalah moralitas dan apa yang terkandung dalam jiwa kita, yang
terpancar dalam penginderaan kita atau lebih jelasnya lagi, dalam tingkah laku kita. Sejauh
mana perubahan positif yang terjadi dalam jiwa kita, itulah keberhasilan belajar yang esensial.

Seorang guru yang sebenar-benarnya guru adalah yang mampu mempertahankan


kesabarannya, tatkala seringkali murid mempertunjukkan kreatifitasnya di dalam kelas.
Berbicara, teriak-teriak, mundar-mandir kesana kemari, memainkan mainannya, bercanda
dengan teman sebangkunya, dan tidak memperhatikan kondisi kelas yang kok semakin lama
semakin ramai. Bagi saya, diam itu sebagai symbol. Daripada saya harus menggebrak meja
sekuat tenaga, dan berteriak keras agar murid berhenti berbuat sesuatu, yang menunda
kesuksesan belajar mereka. Saya tidak tega jika harus menyakiti meja dengan gebrakan saya,
saya juga tak kuasa menyakiti telinga murid saya dengan teriakan saya. Ah saya cukup berdiam
saja, seraya berharap, murid-murid saya mengerti bahasa tubuh saya. Dan jika mereka tidak
mengerti juga bahasa tubuh saya, biarkanlah, mereka sedang belajar, belajar memahami orang
lain, dan belajar menghargai orang lain.

Seorang guru yang sebenar-benarnya guru adalah yang mampu menjadi suri tauladan bagi
murid-muridnya. Mengertikah apa itu suri tauladan? Suri tauladan itu panutan. Lalu
mengertikah apa itu panutan? Bisa sebagai idola, bukan idola cilik atau sejenisnya. Ah, terserah
kalian mengartikannya seperti apa, yang jelas guru harus menjadi suri tauladan, yang baik
tentunya. Bagi saya seorang guru lebih bisa menjadi inspirasi dalam hidup muridnya. Jangan
hanya menjadi idola karena pintar matematikanya, fisikanya, bahasa Inggerisnya, atau ilmu
apapun itu yang guru kuasai, termasuk memainkan gitarnya (ehemmm..). Tapi lebih ke
memunculkan sesuatu dalam jiwa murid yang mungkin terpendam dan tidak muncul, menjadi
muncul. Seperti halnya ee yang kita tidak pernah tahu bagaimana bentuknya sebelum ia keluar
dan menampakkan diri di bumi. Cairkah, padatkah, apakah usahanya keluar itu mudahkah,
keraskah, 2 hari tidak keluar atau setiap pagi keluarkah. Potensi itu secara sadar saya sebut
seperti ee, setiap orang memiliki potensi yang berbeda.
Tidak bisa dengan hanya membayangkan, bagaimana beratnya menjadi seorang guru. Bukan
hanya beban pendidikan yang harus diberikan kepada muridnya, tetapi beban moral,
bagaimana agar muridnya menjadi manusia di atas rata-rata, menjadi manusia yang baik dan
berbudi pekerti yang luhur. Sakit hati seorang guru jika mendengar muridnya tidak tahu cara
menghargai orang lain. Di saat yang bersamaan, guru pun harus tetap menjadi manusia di atas
rata-rata.

Lalu bagaimanakah cara pandang saya sebagai murid?

Murid itu ya punya guru, murid itu ya belajar, murid itu ya seumur hidup, karena belajar itu
seumur hidup. Setiap detik dalam kehidupan kita, itu adalah pelajaran (kata-kata yang selalu
diucapkan ayah saya yang bijaksana itu). Dan tidak mungkin status kita sebagai murid, jika tidak
memiliki guru. Bukan hanya guru dalam bentuk manusia berbadan, bertangan, berkaki,
bermulut, berhidung, bermata, dan berlain-lainnya. Tapi semesta inipun adalah guru, jadi
pemikiran logis itulah yang menjadi kesimpulan dalam diri saya, menjadi murid itu seumur
hidup…bukan hanya SD, SMP, SMA, dan Kuliah saja….Mantap gan!!!

Anda mungkin juga menyukai