Anda di halaman 1dari 16

PENATALAKSANAAN STRESS

PERSPEKTIF RELIGI DAN SPIRITUALNYA

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas Konsep Dasar Keperawatan II

Oleh
Ns. Muhammad Ulul Amrie, S.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga
mengalami perubahan dengan pesat. Kemajuan jaman ibarat pisau bermata ganda.
Di satu sisi ia memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap
sehingga dapat memanfaatkannya. Di sisi yang lain technologi dapat memberikan
akibat negatif untuk mereka yang belum siap mental menghadapi perubahan
lingkungan yang sedemikian cepat. Tuntutan-tuntutan jaman dan konflik-konflik
yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu akhirnya dapat
menjerumuskan orang yang belum siap menerima kondisi ini pada kondisi stress.
Banyak factor dapat meringankan beban atau tekanan yang dihadapi oleh manusia
pada saat stress, salah satunya adalah agama. Agama memegang peranan yang
sangat penting dalam kehidupan pribadi, termasuk didalamnya keperawatan pre
operatif. Oleh karena itu sudah pada tempatnya jika dalam menghadapi setiap
masalah yang timbul selalu dikaitkan dengan kehidupan religius. Manusia
mempunyai keyakinan untuk memperoleh ketenangan hidup spiritualnya. Hidup
keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi
tantangan dan percobaan hidup, memberikan bantuan moril di dalam menghadapi
krisis, serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana Tuhan
menakdirkan-Nya. Hidup yang dilandasi nilai-nilai agama akan tumbuh
kepribadian sehat yang didalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan
keimanan yang cukup teguh. Tetapi sebaliknya orang yang jiwanya goncang dan
jauh dari agama maka individu tersebut akan mudah cemas, marah, putus asa dan
kecewa.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan stress dan stressor?
2. Apakah sumber dari stressor?
3. Faktor-faktor yang menyebabkan stress?
4. Bagaimana penatalaksanaan stress dalam perspektif religi dan spiritual?

1.3 Tujuan
1. Dapat menjelaskan dan memahami pengertian dari stress dan stressor.
2. Dapat menjelaskan sumber-sumber stressor.
3. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan stress.
4. Dapat menjelaskan penatalaksanaan stress dalam perspektif religi dan
spiritual.

1.4 Manfaat
Dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi stress

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Teori


Stress adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan
seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976). Lazarus
dan Folkman (1994) mendefinisikan stress psikologis sebagai hubungan khusus
antara seseorang dengan lingkungannya yang dihargai oleh orang lain tersebut
sebagai pajak terhadap sumber dayanya dan membahayakan kemapanannya.
Stress dianggap sebagai faktor predisposisi atau pencetus yang meningkatkan
kepekaan individu terhadap penyakit (Rahe, 1975). Richard Lazourus seorang
psikolog mendefinisikan stress yang bersifat psikologis sebagai suatu hubungan
khusus antara individu dengan lingkungannya yang tidak sesuai dengan
kemampuannya dan membahayakan kesejahteraannya. Vincent Cornelli seorang
psikolog lainnya mendefinisikan stress sebagai tekanan atau gangguan pada tubuh
dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang
dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam lingkungan
tersebut.
Stressor adalah stimulus yang menimbulkan masalah atau stress yang
membutuhkan cara untuk menyelesaikannya sehingga individu dapat menjadi
lebih baik atau adaptif. Stressor adalah semua keadaan, kejadian, atau peristiwa
yang dapat menimbulkan stress. Namun tidak semua stressor menimbulkan stress
yang merugikan. Stressor ringan atau yang berlangsung singkat justru dibutuhkan
untuk meningkatkan daya tahan mental seseorang. Untuk menghadapi stress
digunakan beberapa strategi, diantaraya adalah menghadapi masalah dengan sikap
positif, tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan negative dan memikirkan
apakah penyebab stress itu nyata atau hal yang dibayangkan. Lalu tidak bersikap
perfeksionis, realistis dalam menerima kenyataan dan membuat skala prioritas
dalam beberapa hal. Menurut William James seorang ahli psikologi mengatakan
bahwa terapi terbaik bagi keresahan jiwa atau stress adalah keimanan kepada

4
Tuhan. Menurut Mudaris Muslim seorang dosen konseling lintas budaya jurusan
ilmu pendidikan FKIP UNS, manusia yang benar-benar religius akan terlindung
dari keresahan, kecemasan, dan selalu terjaga keseimbangan mentalnya serta
selalu siap menghadapi segala masalah.

2.2 Tahapan-Tahapan Stress


Tahap Pertama
Sumber Stress adalah Keinginan
Manusia hidup pasti tidak akan pernah terlepas dari keinginan. Memiliki
keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri.
Oleh karena itu, keinginan dapat menjadi salah satu sumber stress. Stress dapat
timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki
kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan
kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak
berkeinginan menghadapi perubahan.Padahal, setiap saat dan di setiap tempat ada
kemungkinan orang akan mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup ini dapat
merupakan perubahan ke arah yang menggembirakan ataupun sebaliknya.
Menghadapi perubahan yang menggembirakan, orang tidak akan
mempermasalahkan seperti bila sedang menghadapai perubahan yang tidak
menyenangkan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan
yang membuat orang tidak bahagia karena tidak sesuai dengan keinginannya.
Perubahan dapat dirasakan mengarah pada hal yang tidak membahagiakan karena
disebabkan oleh niat orang untuk tidak ingin berkumpul dengan yang tidak
disenangi dan berpisah dengan yang dicinta. Perubahan ini terjadi dalam bentuk
yang seluas-luasnya, misalnya dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan
benda maupun dengan suasana serta masih banyak yang lainnya. Stress muncul
karena orang tidak ingin melihat perubahan ke arah yang tidak menggembirakan
itu terwujud sebagai kenyataan. Orang bahkan ingin memaksakan kenyataan
seperti keinginannya. Tentunya hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi.
Pada dasarnya terdapat dua macam keinginan yang dominan dalam
kehidupan ini yaitu ingin selalu bersama dengan hal-hal atau kondisi yang

5
menyenangkan dan yang lainnya adalah ingin tidak pernah menjumpai hal-hal
atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tentu saja bila kedua macam keinginan
ini dapat terpenuhi maka bahagialah kehidupan orang tersebut. Namun, karena
hidup selalu berubah maka orang kadang, kalau tidak dapat dibilang sering,
mengalami kekecewaan. Bila kekecewaan ini bertambah banyak kuantitas
maupun kualitasnya maka stress dan akibat-akibat negatif lainnya akan muncul.
Dewasa ini masalah stress dan akibatnya serta juga cara-cara
menanggulanginya telah ramai dibicarakan di seluruh dunia. Banyak ahli
menuliskan pendapatnya tentang stress. Salah satu diantaranya adalah Peter G.
Hanson. Menurut hasil penelitian Hanson, beberapa di antara sumber stress dalam
masyarakat adalah terutama karena memiliki kondisi yang tidak seimbang pada
bidang-bidang keuangan, pribadi, kesehatan dan pekerjaan. Hanson mengartikan
keuangan sebagai kondisi memiliki ketrampilan kerja yang dapat dijual, memiliki
cukup uang untuk mencapai tujuan, dan jaminan keuangan jika nanti terserang
penyakit, resesi, atau kehilangan pekerjaan. Pribadi adalah berarti memiliki teman
sejati (tidak perlu banyak) dan keluarga, misalnya perkawinan atau hal yang
serupa. Kesehatan yang dimaksudkan adalah kesehatan lahir batin yang
dinyatakan oleh dokter dan bukan pendapat pribadi. Sedangkan pekerjaan berarti
adalah tampil efisien dengan integritas dan mendapatkan rasa hormat dari
lingkungan, dalam hal ini apabila sebagai seorang pelajar berarti segi pendidikan.
Bila orang mengalami perubahan atau kegagalan pada salah satu atau lebih dari
keempat hal di atas maka ia memiliki potensi untuk mengalami stress, kecuali bila
pengertian batinnya telah matang.

Tahap Kedua
Keinginan Dapat Dikendalikan
Apabila sumber stress diketahui maka sesungguhnya jalan untuk
mengatasinya telah terjawab setengahnya. Telah disadari bahwa keinginan yang
tidak fleksibel justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang stress.
Semakin kukuh keinginan seseorang, semakin besar pula kemungkinan stress
yang akan dihadapinya. Untuk itulah, orang perlu memiliki wawasan berfikir

6
bahwa dalam hidup ini sering keinginan tidak dapat menjadi kenyataan sedangkan
kenyataan tidak jarang amat berbeda dari keinginan yang dimiliki. Wawasan ini
berguna untuk melunakkan keinginan sehingga akhirnya dapat diubah dan
disesuaikan dengan kenyataan. Bila keinginan telah sesuai dengan kenyataan
maka stress pun akan dapat dihalau jauh-jauh dari hidup ini.

Tahap Ketiga
Cara Mengendalikan Keinginan
Untuk mengendalikan keinginan agar stress dapat diusir dari kehidupan ini,
ada beberapa langkah dalam Agama Buddha yang harus ditempuh, yaitu:
a. Kerelaan
Dalam Agama Buddha, kerelaan atau keikhlasan meliputi dua macam yaitu
kerelaan materi dan nonmateri. Kerelaan materi akan lebih mudah dilakukan
karena lebih kelihatan secara indriawi. Kerelaan materi juga menjadi awal untuk
mencapai tahap yang lebih tinggi lagi. Kerelaan materi dapat berbentuk bantuan
sandang, pangan, papan, obat-obatan maupun keuangan.
Kerelaan non-materi atau kerelaan batin agak lebih sulit dilakukan. Kerelaan
non-materi dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan yang lebih tinggi daripada
kerelaan materi. Kerelaan ini membutuhkan sikap mental untuk tidak
mementingkan diri sendiri. Memiliki sikap mental mengharapkan semoga semua
makhluk hidup berbahagia. Memperhatikan sekeliling dan siap membantu mereka
dengan tenaga, ucapan maupun pikiran yang dimiliki. Beberapa bentuk kerelaan
non-materi adalah nasehat, pengendalian diri dan peka pada kondisi lingkungan.
Melaksanakan kedua bentuk kerelaan di atas secara bersama-sama akan
menumbuhkan kebahagiaan dalam hati si pelaku. Perasaan menjadi lebih ringan
dan bahagia karena mempunyai ingatan bahwa dirinya telah mampu mengisi
kehidupan ini dengan sesuatu yang berguna yaitu 'melakukan perbuatan baik'
kepada fihak lain secara aktif. Kebahagiaan yang muncul karena orang telah
mampu mengatasi dirinya ataupun keinginannya sendiri untuk mengembangkan
rasa kebersamaan di jaman orang tidak lagi terlalu memperhatikan lingkungannya.

7
Perasaan ini akan menambah semangat hidup dan ketenangan batin serta dapat
membebaskan diri dari stress.
b. Kemoralan
Kemoralan adalah usaha mencegah berkembangnya bahkan -kalau dapat-
menghilangkan perbuatan atau kebiasaan buruk yang telah dimiliki dan berusaha
agar diri sendiri tidak melakukan keburukan yang telah dilakukan oleh orang lain.
Kemoralan juga akan memberikan ketenangan batin karena kemoralan menjaga
segala perbuatan yang dilakukan lewat badan, ucapan dan pikiran agar 'terbebas
dari kesalahan'. Manusia pada dasarnya berhasrat untuk melaksanakan segala
bentuk keinginannya baik keinginan luhur maupun tidak baik. Namun dengan
pengertian akan kemoralan maka orang kemudian akan mampu memilih
perbuatan yang pantas dilakukan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan maupun ukuran kemoralan yang lainnya. Semakin tepat pilihannya,
semakin diterima pula seseorang dalam lingkungannya, semakin besar pula
keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia 'terbebas dari kesalahan'. Bila keinginan
telah terbiasa dikendalikan, maka bila dalam kehidupan ini orang menjumpai
kenyataan yang bertentangan dengan keinginannya, ia akan dengan lapang dada
dan penuh pengertian akan mampu menerima kenyataan tersebut. Ia tenang
menghadapi kenyataan.
Dalam pengertian Agama Buddha, apabila kerelaan adalah unsur aktif untuk
berbuat kebaikan maka kemoralan adalah unsur negatif yaitu mencegah kejahatan.
Kedua unsur ini masing-masing bekerja aktif untuk mengendalikan keinginan
seseorang, menundukkan keinginan seseorang. Kedua unsur ini tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya karena mereka bekerja saling melengkapi untuk
mencapai tujuan yang sama, hidup bahagia dan bebas dari stress sebagai awal
pencapaian yang lebih tinggi. Dengan demikian, umat Buddha selalu dianjurkan
untuk melaksanakan kedua hal pokok ini.
Dalam menyimpulkan hasil penelitiannya Dr. Claire Weekes menyatakan
bahwa menganut salah satu agama tertentu dapat mencegah serta mengatasi stress
disamping memiliki pekerjaan yang sesuai dan keberanian dalam menghadapi
resiko hidup.

8
c. Ketenangan batin
Langkah yang ketiga ini digunakan untuk mengatasi stress langsung dari
sumbernya yaitu pikiran. Dalam pikiran itulah terletak bermacam-macam
keinginan. Ketenangan batin dicapai melalui latihan meditasi. Meditasi dapat
digunakan untuk mengendapkan dan menyusun segala bentuk keinginan dalam
latihan berpikir dengan benar. Manusia mampu melatih setiap gerakan badan dan
ucapan sesuai dengan kemauan, demikian pula terhadap pikiran. Sarana melatih
pikiran itulah yang disebut dengan meditasi. Meditasi mengarahkan batin
seseorang untuk dapat menyadari bahwa hidup adalah saat ini, bukan masa lalu
maupun masa yang akan datang. Pada masa lalu orang pernah hidup tetapi sudah
tidak hidup, di masa datang orang akan hidup tetapi belum hidup; di masa ini, saat
inilah orang hidup dan sedang hidup. Bila batin telah mencapai tahap ini, batin
akan mampu memisahkan antara keinginan yang diperlukan saat ini dari
keinginan yang dapat ditunda atau bahkan keinginan yang perlu dihilangkan.
Dengan demikian, maka orang akhirnya dapat menundukkan keinginannya sendiri
dan terbebaslah ia dari stress. Pada hakekatnya meditasi adalah menyadari segala
sesuatu yang sedang dilakukan, diucapkan dan terutama segala yang dipikirkan.
Meditasi bukanlah berdoa, mengatur pernafasan maupun mengosongkan pikiran.
Dalam melaksanakan meditasi dibutuhkan beberapa persyaratan dasar yaitu posisi
tubuh yang benar, waktu meditasi yang sesuai, tempat meditasi yang memenuhi
persyaratan, obyek meditasi yang cocok dan juga guru yang mampu mengarahkan
meditasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bila ketenangan batin tercapai maka stress pun tidak mempunyai
kesempatan muncul dalam kehidupan ini. Dr. Vernon Coleman juga mengarahkan
para pasien stress-nya untuk melakukan relaksasi terutama dengan meditasi
walaupun tidak harus mengikuti satu bentuk institusi tertentu.
d. Kebijaksanaan
Kemampuan meditasi bukan hanya untuk menghasilkan ketenangan batin
saja tetapi dapat dikembangkan ke arah pengertian batin yang hendak dicari
sebagai obat tertinggi dalam menanggulangi stress.

9
Menurut Sang Buddha, ada dua macam kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan
duniawi yang berupa teori dan kebijaksanaan mutlak yaitu tercapainya tujuan
tertinggi dalam Agama Buddha, Nibbana/Nirwana. Kebijaksanaan duniawi adalah
pengertian dasar bersifat filosofis dan teoritis untuk mendorong pelaksanaannya
agar orang dapat membuktikan kebenarannya. Apabila telah dilaksanakan maka
setahap demi setahap orang akan mendekati tujuan akhir yaitu kebijaksanaan
mutlak. Pencapaian kebijaksanaan mutlak dengan melatih ketenangan batin
berpandangan terang. Sasaran latihan ketenangan batin tahap akhir ini adalah agar
orang setelah mampu memisahkan antara keinginan yang pokok dan sampingan,
kini di arahkan untuk menyadari bahwa keinginan itulah yang menjadi dasar
ketidakpuasan dalam hidup ini. Keinginan itu pulalah yang menjadi salah satu
sebab munculnya stress dalam hidup ini. Sedangkan sumber keinginan adalah
karena tidak menyadari bahwa hidup akan selalu berubah dan hanyalah proses.
Tahap ini menjadi tahap akhir dan menjadi tahap tertinggi dalam Agama
Buddha. Untuk menguraikan tahapan ini membutuhkan suatu latihan dasar dari
ketiga tahap sebelumnya, oleh karena itu dalam kesempatan ini tahap terakhir ini
hanya diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran sepintas dahulu.
Dalam kesempatan lain, mungkin akan dibicarakan secara khusus dan mendalam.
Sesungguhnya bila hanya untuk mengatasi stress saja ketiga tahap di atas sudah
lebih dari cukup. Bila hendak mengatasi masalah hidup yang sesungguhnya yaitu
untuk mencapai Tuhan Yang Maha esa(=Nibbana/Nirwana) maka tahap keempat
adalah tahap yang harus dilaksanakan.

2.3 Sumber Stressor


1. Lingkungan
a. Sikap lingkungan: berupa tuntutan, pandangan positif dan negatif terhadap
keberhasilan diterima bekerja.
b. Tuntutan dan sikap keluarga, misalnya keharusan mendapatkan pekerjaan,
keinginan akan pilihan orang tua untuk bekerja.

10
c. Perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi (IPTEK), makin cepatnya
memperoleh informasi dan trend masa depan jika berhasil terhadap
sesuatu yang diinginkan
2. Diri sendiri
a. Kebutuhan psikologis yaitu keinginan yang harus dicapai terhadap yang
diinginkannya.
b. Proses internalisasi diri, yaitu penyerapan terhadap yang diinginkan secara
terus menerus sesuai dengan perkembangannya
3. Pikiran
a. Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan dan
pengaruhnya pada diri serta persepsi terhadap lingkungan
b. Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara penyesuaian yang biasa
dilakukan oleh individu yang bersangkutan.
Pikiran individu yang negarif baik penilaian saat ini maupun masa yang
akan datang memberi pengaruh yang lebih berat. Misalnya:
 Kecemasan menghadapi ujian masuk kerja
 Ketakutan tidak lulus ujian masuk kerja
 Ragu-ragu mengikuti masuk kerja

2.4 Penatalaksanaan Stress dalam Perspektif Religi dan Spiritual

Penerapan proses keperawatan dari perspektif kebutuhan spiritual klien tidak


sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar mengkaji praktik dan ritual keagamaan
klien. Perlu memahami spiritualitas klien dan kemudian secara tepat
mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber yang diperlukan (Potter and
Perry,1997). Dengan proses keperawatan sebagai suatu metode ilmiah untuk
menyelesaikan masalah keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan
spiritual yaitu :

a) Pengkajian

11
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan yang dimiliki perawat dalam
mendukung atau menguatkan spiritualitas klien. Pengkajian tersebut dapat
menjadi terapeutik karena pengkajian menunjukkan tingkat perawatan dan
dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami pendekatan konseptual
menyeluruh tentang pengkajian siritual akan menjadi yang paling berhasil
(Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997). Pengkajian data subyektif meliputi
konsep tentang Tuhan atau ketuhanan, sumber harapan dan kekuatan, praktik
agama dan ritual, hubungan antara keyakinan dan kondisi kesehatan. Sedangkan
pangkajian data obyektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi
pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan
lingkungan. Pengkajian obyektif terutama dilakukan melalui observasi.(Hamid,
2000).

b) Diagnosa keperawatan

Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan informasi


kedalam diagnosa keperawatan yang sesuai, perawat harus mempertimbangkan
status kesehatan klien terakhir dari perspektif holistik, dengan spiritualitas sebagai
prinsip kesatuan (Farran, 1989). Setiap diagnosa harus mempunyai faktor yang
berhubungan dengan akurat sehingga intervensi yang dihasilkan dapat bermakna
dan berlangsung (Potter and Perry, 1997).

c) Perencanaan

Dengan menetapkan rencana perawatan, tujuan ditetapkan secara individual,


dengan mempertimbangkan riwayat klien, area beresiko, dan tanda-tanda
disfungsi serta data obyektif yang relevan (Hamid, 2000). Menurut (Munley, 1983
cit Potter and Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian perawatan
spiritual yaitu klien merasakan perasaan percaya pada pemberi perawatan, klien
mampu terkait dengan anggota sistem pendukung, pencarian pribadi klien tentang
makna hidup meningkat.

d) Implementasi

12
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan
melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid,
2000) : periksa keyakinan spiritual pribadi perawat, fokuskan perhatian pada
persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya, jangan berasumsi klien tidak
mempunyai kebutuhan sipiritual, mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan
spiritual klien, berrespon secara singkat, spesifik, aktual, mendengarkan secara
aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien,
menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan tehnik mendukung, menerima,
bertanya, memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang
dimiliki klien, meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan
verbal klien, bersikap empati yang berarti memahami dan mengalami perasaan
klien, memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti
menyetujui klien, menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon
terhadap penyakit, apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya
merupakan hukuman, cobaan, atau anugrah dari Tuhan, membantu memfasilitasi
klien agar dapat memenuhi kewajiban agamanya, memberitahu pelayanan
spiritual yang ada di rumah sakit.

Menurut Amenta dan Bohnet (1986) cit Govier (2000) ada empat alat/cara
untuk membantu perawat dalam menerapkan perawatan spiritual yaitu menyimak
dengan perilaku wajar, selalu ada, menyetujui apa yang dikatakan klien,
menggunakan pembukaan diri

e) Evaluasi

Perawat mengevaluasi apakah intervensi keperawatan membantu


menguatkan spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritualitas klien
dengan perilaku dan kebutuhan yang tercata dalam pengkajian keperawatan. Klien
harus mengalami emosi sesuai dengan situasi, mengembangkan citra diri yang
kuat dan realistis, dan mengalami hubungan interpersonal yang terbuka dan
hangat. Keluarga dan teman, dengan siapa klien telah membentuk persahabatan
dapat dijadikan sumber informasi evaluatif. Klien harus juga mempertahankan

13
misi dalam hidup dan sebagian individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang
Maha Kuasa atau Maha Tinggi. Bagi klien dengan penyakit terminal serius,
evaluasi difokuskan pada keberhasilan membantu klien meraih kembali harapan
hidup (Potter anfd Perry, 1997).Menurut Hamid (2000) tujuan asuhan
keperawatan spiritual tercapai apabila secara umum klien mampu beristirahat
dengan tenang, menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika,
mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan, menunjukkan hubungan
yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama, menunjukkan afek yang positif,
tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas, menunjukkan perilaku lebih
positif, mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stress adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan
seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976). Lazarus
dan Folkman (1994) mendefinisikan stress psikologis sebagai hubungan khusus
antara seseorang dengan lingkungannya yang dihargai oleh orang lain tersebut
sebagai pajak terhadap sumber dayanya dan membahayakan kemapanannya

Stressor adalah stimulus yang menimbulkan masalah atau stress yang


membutuhkan cara untuk menyelesaikannya sehingga individu dapat menjadi
lebih baik atau adaptif. Stressor adalah semua keadaan, kejadian, atau peristiwa
yang dapat menimbulkan stress.

3.2 Saran
1. Dengan membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
tentang hal – hal yang berkaitan dengan stress.

2. Pembaca dapat menginterpretasikan pengetahuan dalam makalah ini pada


kehidupan sehari – hari.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/10PenatalaksanaanStress123.pdf/10Pe
nata laksanaanStress123.html
http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/01/mengurangi-respon-tubuh-terhadap-
stress.html
Abraham C dan Shanley E.1997.Psikologi social untuk perawat.Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Keliat, B.A.1999. Penatalaksanaan Stress. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Kozier, B., and Erb. G.1983. Fundamental of nursing: concept and procedures.
California: Addison – Wesley Publishing company.

16

Anda mungkin juga menyukai