Anda di halaman 1dari 5

BUKAN STATUS PALSU

OLEH: NORA JOENTAK

Menjelang bulan Februari, tiga bulan yang lalu ide konyol itu terlintas cepat seperti
roller coaster di otak Dona. Ide itu membuat Sunu berjengit heran.
“Enggak, ah. Apaan? Emangnya mudah nanti ngejalaninnya? Lagian kalo kamu emang
suka sama dia bilang dong, jangan jadiin gue tumbal, lo!”
Dona mendecak. Dia enggak suka dengan gaya Sunu yang mencak-mencak.
Sebenarnya, Dona tahu kalau yang dibilang Sunu memang benar, memang enggak baik punya
niat memanas-manasi hati orang. Bukan perbuatan baik sih, tapi mau gimana lagi dia sudah
kehabisan stok ide.
“Aduh, Nu. Tolongin gue deh kali ini. Gue jadi gemes sendiri tau enggak kalo ngeliatin
dia deket melulu sama Resi!”
“Iya, gue tau,” sahut Sunu cepat. Tangannya bersedekap di dada, lalu dia
membalikkan badan menghadap Dona yang sedang duduk, terlihat masih kecapekan. Mereka
sekarang berada di taman komplek rumah mereka karena pagi ini Dona dan Sunu jogging
bareng. Ini hari minggu. “Tapi, apa pura-pura pacaran jadi solusi, neng? Enggak juga kan?!”
Dona menyeruput air yang dibawanya di botol minumannya. Menenggaknya sebelum
bicara lagi.
“Lo enggak tau sih gimana rasanya jadi gue. Serba salah, Nu. Gue udah ngasih sinyal-
sinyal kalo gue tuh suka sama dia tapi dianya enggak peka gitu, lho. Enggak mungkin dong gue
harus ngomong terang-terangan sama dia ‘Arga, aku suka sama kamu’, dimana harga diri gue
mau gue taruh?”
“Huh, cinta pake gengsi,” ujar Sunu tapi sorot matanya benar-benar menyindir Dona,
“tunjukin dong emansipasi lo sebagai kaum cewek. Gimana sih?”
Dona enggak menjawab Sunu lagi. Dia mendadak diam. Sunu pun mendadak jadi
merasa bersalah, serba salah. Cewek memang kadang aneh, pikirnya. Sebaliknya Dona
bergumam dalam hati, cowok kadang sok jual mahal dan susah cepat mau ngertinya, padahal
nanti luluh juga.
“Ya, udah. Gue mau deh jadi pacar bohongan lo,” pungkas Sunu mengalah.
Seketika wajah Dona cerah. Senyumnya pun sumringah.
***
“Kalo gue perhatiin, kamu kayaknya deket banget sama Sunu, Don?” Tanya Resi pada
Dona. Dona, Resi dan Arga sengaja ngumpul bertiga di kantin sementara Sunu harus menghadiri
rapat OSIS dadakan. “Kalian pacaran ya?”
Pertanyaan itu meluncur bagai anak panah yang lepas dari busur, membuat Dona
mengerjap-ngerjapkan mata. Sempat kaget sih, karena dia enggak menyangka kalau Resi akan
membahasnya sekarang. Tapi, Dona merasa senang karena Arga ada bersama meraka. Inilah
saatnya, piker Dona.
“Eee…gimana ya, Res? Gue juga enggak tau tapi yang jelas gue ngerasa seneng aja
kalo bisa deketan sama Sunu,” pungkas Dona sambil senyum-senyum enggak jelas. Senyum
yang Cuma dia dan Sunu yang tahu apa artinya. Dona melihat Arga sekilas, ingin tahu apa
reaksinya.
Arga, anak baru pindahan dari Surabaya enam bulan yang lalu dan langsung jadi
teman Dona dan Sunu di kelas, balik mendongak menatap Dona setelah menyeruput the
botolnya.
“Beneran nih, Don, lo pacaran sama Sunu?” Arga bertanya. Perasaan senang mencuat
di hati Dona, dia senang banget lho, Arga bisa ikutan bereaksi. “Bukannya kalian cuma
sahabatan ya, karena rumah kalian satu komplek sebelahan lagi?”
“Dari temen bisa jadi demen lho, Ga,” ujar Resi sembari melempar senyum genitnya
pada Dona. “Gue malah seneng kok, Don kalo lo bisa jadi cem-ceman Sunu apalagi kalo kalian
pacaran. Jadi, kapan-kapan kita bisa double date.”
“Double date? tanya Dona. “Jadi, kalian…”
“Kami udah jadian, Don,” sahut Arga cepat.
Ucapan Arga membuat Dona ternganga tapi untungnya dia cepat-cepat menutup
mulutnya itu. Lalu, dia mulai melempar senyum klise, pura-pura ikutan senang dengan bilang
selamat. Dia tersentak kaget begitu tahu Arga dan Resi sudah jadian. Dona merasa patah hati.
Bumi seperti gonjang-ganjing buat Dona. Dia bahkan enggak peduli geng Arneta Cs, kumpulan
cewek-cewek centil di sekolah sedang tertawa heboh, entah karena apa.
***
“Sunu… mereka udah jadian, mereka pacaran. Resi udah jadi pacarnya Arga,” ujar
Dona pada Sunu. Dia sengaja mendatangi rumah Sunu yang ada di sebelah rumahnya saat Sunu
sedang member makan ikan-ikan kesayangannya yang berada di aquarium yang diletakkan di
teras belakang rumah.
“Terus, emangnya kenapa kalo mereka pacaran?”
“Gue enggak suka. Gue iri, Sunu! kenapa bukan gue yang jadi pacarnya Arga,”
pungkas Dona dengan nada sedikit berapi-api. “Lagian kenapa gue dulu enggak main agresif aja
deketin Arga biar enggak keduluan sama Resi. Ih.. gemes banget gue sama si Resi. Pengen deh,
gue jambak rambutnya!”
Sunu tertawa. Lucu melihat Dona seperti itu. Oh, cinta membutakan segalanya.
Bahkan bisa membuat orang jadi kalap, pikir Sunu.
“Lo ini aneh, Don. Lo enggak bisa dong maksain orang buat suka sama lo sekalipun lo
suka mati sampe ke ubun-ubun sama orang itu,” ujar Sunu. “Itu masalah perasaan, Dona
sayang.”
Dona menatap Sunu. ditatapnya bola mata Sunu yang berwarna hitam kecokelatan
itu. Dalam, sedalam kata-kata Sunu barusan. Si cerdas Sunu yang terkadang suka usil
dengannya itu sebenarnya cowok yang solider banget sebagai sahabat. Seringkali Dona dibuat
terperangah dengan kata-kata bijak Sunu yang bisa membuat Dona bergumam ‘iya juga ya’ di
dalam hatinya.
“Pokoknya, kita harus keliatan lebih mesra didepan Arga, kalo perlu didepan Resi
juga. Dan kalopun itu enggak berhasil, gue turutin saran lo, gue bakal bilang yang sebenarnya
sama dia kalo gue suka sama dia”, sergah Dona.
Dona hendak beranjak. Tapi langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang ingin dia katakan
pada Sunu, sebelum dia lupa.
“Oya, Sunu, gue enggak suka kamu manggil gue sayang. Emang kapan kita jadian?
Gue kan bukan pacar lo?!”
Dona pun melengos pergi, meninggalkan Sunu yang terheran-heran. Tapi, enggak
urung itu membuat Sunu jadi kepikiran juga. Tangannya tetap memberi makan ikan-ikannya
tapi pikirannya sibuk berpikir.
***
“Lo yakin, mau ngomong sama Arga tentang perasaan lo sama dia?” tanya Sunu.
Dona dengan cepat mengubah rencananya dalam waktu tiga jam setelah dia
meninggalkan rumah Sunu tadi sore. Selama tiga jam ber’semedi’ di kamarnya sampai-sampai
enggak makan malam, Dona yakin kalau itu keputusan yang tepat. Dia harus bilang yang
sebenarnya pada Arga tentang perasaannya terhadap cowok itu. Masalah reaksi Arga nanti
gimana, urusan sembilan puluh sembilan deh, pikirnya.
“Gue yakin, Nu. Bener-bener yakin kalo gue harus melakukannya, daripada kita pura-
pura pacaran. Bikin status palsu yang enggak ada juntrungnya, iya kan?”
“Tapi kalo gue pikir-pikir lagi, enggak ada salahnya kalo kita pura-pura pacaran?!”
tukad Sunu pada Dona. Mendengar ucapan Sunu, Dona langsung melempar pandang pada
cowok yang terkadang suka menjawilinya itu.
“Maksud lo apa? Bukannya lo sempat enggak setuju sama usul gue itu ya?”
“Iya… siapa sih yang enggak mau pacaran sama cewek yang cantik, tinggi, pinter lagi
kayak lo, Don,” ujar Sunu menjawab. Dia mesem-mesem sendiri di depan Dona. “Arga aja yang
aneh, enggak bisa baca sinyal-sinyal lo, eh malah milih Resi yang jelas-jelas kalah jauh sama lo.
Kalo gue jadi dia, ehmm… aku jelas milih lo lah.”
Dona berjengit heran. Ternyata dalam tiga jam, bukan dia saja yang bisa berubah
suasana hatinya tapi Sunu juga ikut-ikutan berubah. Aneh, pikirnya.
***
“Gue udah bilang sama Arga, Nu,” ujar Dona pada Sunu sewaktu Sunu sengaja
menyambangi Dona di rumahnya, keesokan sorenya.
“Terus, gimana reaksi Arga?”
Dona meringis.
“Dia bilang seneng dan makasih karena gue udah suka sama dia, tapi dia tetep milih
Resi,” ujar Dona dengan tatapan mata pasrah. Mendung terlihat di wajahnya sekarang. “Gue
seharusnya tau kalo Arga bakal nolak gue tapi gue tetep aja nekat bilang suka sama dia. Bikin
malu gue aja didepan dia.”
Sunu melempar senyum maklum. Cowok itu tahu kalau Dona sudah berjuang untuk
hari ini. Dia sudah mengejar cintanya sebisa mungkin. Biarpun hasilnya dia kalah dan
mengalami penolakan tapi dia enggak mau kalah sebelum berjuang untuk rasa sukanya itu.
Dona punya caranya sendiri dan Sunu menghargai itu.
Tapi…
“Ya, udah, gimana kalo kita beneran pacaran, Don? Sama kayak mereka?” ujar Sunu
tiba-tiba.
Dona mendongak. Dia lalu mendelik kearah Sunu. Apa Sunu lagi terganggu otaknya
sampai-sampai enggak peka kalau dia sedang sedih karena ditolak sama Arga?!
“Apa lo bilang, pacaran?”
Sunu mengangguk dengan polosnya, seolah enggak peduli dengan reaksi Dona.
“Gue beneran kok mau pacaran sama lo, Don. Bukan pacaran bo’ongan tapi pacaran
beneran. Bener-bener pacaran,” ujar Sunu njelimet.
“Lo ngomong apaan, Sunu?! Kok, lo jadi aneh gini sih?!”
Sunu memutar bola mata hitam kecokelatan miliknya.
“Lo ini gampang banget bilang kalo Arga enggak peka. Lha lo sendiri juga enggak
peka!”
“Aduh, Sunu ngomongnya jangan muter-muter deh!”
“Gue mau kita pacaran, Don,” pungkas Sunu mulai menjelaskan sedangkan Dona
bertampang serius, menyimak. “Gue mau lo jadi pacar gue dan gue jadi pacar lo. Gue enggak
mau status palsu sebagai pacar lo. Apalagi Cuma gara-gara lo mau manas-manasin si Arga. Itu
karena gue… sayang sama lo, Dona. Tapi sayangnya lo enggak peka.”
Dona terperangah tapi dia enggak mau percaya begitu saja.
“Sayang sama gue kata lo?” tanya Dona. Dia lalu tertawa ngakak. “Jangan ngawur
deh, Nu.”
“Lo enggak percaya?” Sunu balik bertanya dengan menatap Dona dalam, membuat
Dona berhenti tertawa.
Hei…hei…hei…, efeknya luar biasa. Dona pun mencoba membaca air muka Sunu.
Tapi, rasanya cuma ada keseriusan disana.
Sunu sayang sama aku? pikir Dona.
Maka Dona jadi sibuk berpikir. Menerka-nerka, kalau-kalau saja Sunu memang
berbohong. Kalau Sunu memang bohong, Dona juga lagi mikir hukuman apa yang cocok
diterima oleh Sunu. Tapi, kalau Sunu enggak bohong dan serius dengan ucapannya, Dona juga
enggak tahu harus bilang dan berbuat apa!
***

Anda mungkin juga menyukai