Anda di halaman 1dari 12

TOKOH GEOLOGI

Jung Huhn

Jika orang berdarmawisata ke Lembang, salah satu tempat yang lazim dikunjungi adalah

sebuah tugu yang dikenal penduduk sebagai Tugu Junghuhn. Franz Wilhelm Junghuhn, perintis

penyelidikan geologi di Indonesia setelah Rumphius, adalah seorang penyelidik berkebangsaan

Belanda keturunan Jerman. Ia dilahirkan di Mansfeld, Prusia, Saksen pada 26 Oktober 1809 dan

meninggal di Lembang, 24 April 1864.

Semula ia belajar ilmu obat-obatan di Halle, Berlin tetapi karena terlibat suatu perkelahian (duel), ia

terpaksa berhenti. Ia kemudian dipenjara di Ehrenbeitstein. Suatu ketika ia berlagak seakan-akan

kurang ingatan, hingga ditampung di panti sakit jiwa di Bonn. Ia dapat melarikan diri dari sini hingga

akhirnya sampai di legium asing Perancis di Afrika. Karena tidak memenuhi syarat ia pindah ke

Utrecht, negeri Belanda, di sana ia menempuh ujian dokter pada Tentara Belanda. Sebagai dokter

tentara ia sampai di Jawa. Di pulau itu ia menetap dari tahun 1835 sampai 1848 dan dari 1855 hingga

meninggal dunia.

Junghuhn banyak melakukan perjalanan dan melukiskan pengalamannya terutama ditinjau dari sudut

ilmiah. Banyak gunungapi didakinya dan topografi serta tetumbuhannya dikenalnya dengan baik.

Pengetahuannya terutama dituangkan dalam karyanya: Java, terdiri dari 4 jilid dan dihiasi dengan

peta-peta dan gambar-gambar dalam tata warna. Di antaranya memuat sabuk-sabuk cuaca

(klimaatgordels) yang terkenal itu.

Pada 23 Januari 1850 ia menikah dengan Johanna Louisa Frederica Koch. Ia termasuk salah seorang

pendiri majalah orang-orang bebas agama De Degeraad (Fajar) pada 1855 dan pada 27 Juni 1855 ia

diangkat menjadi inspektur perkebunan kina yang didirikan oleh Hass Karl (1854). Junghuhn memilih

Lembang sebagai tempat terbaik untuk perkebunan kina dan di sana pulalah ia kemudian menutup

mata untuk selamanya.

Penerbitan-penerbitannya yang paling dikenal di antaranya Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en

inwendige bouw (Jawa, wujudnya, tetumbuhan penghiasnya dan struktur dalamnya), terdiri dari 4
jilid , 1849, 1850 - 1854, Kaart van Java (Peta pulau Jawa), 4 lembar (1855) dan Topographische und

Naturwissenschofliche Reisen durch Java (1845).

Mungkin karena pada hakekatnya Junghuhn adalah seorang dokter, dari karya ilmiahnya mengenai

pengetahuan alam tampak bahwa sebenarnya ia lebih merupakan seorang ahli botani dari pada

seorang geologiwan, namun ia tetap telah memberi dasar yang berarti dalam ilmu itu dengan

penyusunan peta geologi Jawa dan pembahasan sejumlah gejala gunungapi dan geologi Indonesia.

Salah satu pernyataannya yang menghebohkan akan tetapi kemudian ternyata tidak benar, adalah

mengenai letusan G. Salak, Bogor dalam bulan Juni 1699. Pada waktu itu korban yang diakibatkan

bencana alam diantaranya yang menimpa Jakarta, pada hakekatnya disebabkan oleh gempabumi

tektonika.

Koleksi Junghuhn yang besar kemudian diolah oleh sejumlah sarjana; fosil-fosil binatang oleh C.

Ekrenberg, J. Herklots dan K. Martin, fosil tetumbuhan oleh H. Goepert, dan batuan oleh H. Behrens

dan J. Lorie.

Kita dengan tepat dapat menyebut Java-nya Junghuhn sebagai prestasi terpenting dalam bidang

geologi yang telah sampai pada kita dari bagian pertama abad ke-19, yang hingga sekarang masih

tetap digunakan sebagai referensi

Reinder Fennema

Salah seorang geologiwan perintis di Indonesia yang mengakhiri riwayat hidupnya dalam menunaikan

pekerjaan, adalah insinyur kepala Fennema. Seperti kita ketahui ia mencapai umur 48 tahun ketika

menemui ajalnya di Danau Poso, Sulawesi Tengah 109 tahun yang lalu. Reinder Fennema dilahirkan di

Sneek, Friesland, Nederland pada 21 Oktober 1849. Setelah menyelesaikan sekolah dasar ia menjadi

murid HBS (sekolah menengah) dan tamat pada tahun 1867 di Groningen.

Setelah itu ia masuk Polytechnische School untuk insinyur pertambangan di Delft. Selama mengikuti

kuliah, masa liburnya dihabiskan dengan bekerja di daerah pertambangan seng dan timbal di

Immekeppel dekat Bensberg, Jerman. Setelah menempuh ujian B, di musim panas 1869 bersama

Hooze dan Birnie ia melakukan ekskursi geologi ke Inggris dan Skotlandia dibawah pimpinan Prof.

Vogelsang. Antara 1869 - 1870 pelajarannya diteruskan di Mijnakademie Clausthal, pegunungan


Hartz, Jerman. Selama libur 1871 ia bekerja di pertambangan batubara Heinitz, Saarbrucken,

Jerman dan akhirnya dalam tahun 1872 menempuh ujian C di Delft. Fennema sangat disenangi para

rekan mahasiswanya, beberapa lamanya ia menjadi anggota senat.

Kemudian dalam tahun 1872-1873 mulailah latihan kerja yang sesungguhnya. Beberapa bagian dari

Hongaria dan Zevenbergen, Saksen dan Bohemia Utara dikunjunginya, juga pameran Weener dan

pertambangan batubara di Belgia dan Perancis utara. Ia pun mempelajari pembuatan sumur di Douai

lewat lapisan yang kaya akan air menurut sistem Kind dan Chaudron.

Pada bulan April 1874 ia tiba di Batavia (sekarang Jakarta) sebagai calon insinyur dan kemudian

diangkat menjadi insinyur kelas 3. Dalam bulan Juli tahun itu, ia diperbantukan pada R.D.M. Verbeek

melakukan pemetaan geologi di Sumatra Barat. Karya pertamanya adalah pengukuran perbedaan

tinggi antara Talaweh dan G. Bekahur, kemudian dalam bulan Agustus 1874 ia berangkat ke daerah

Sibelabu, Tanah Tinggi Padang, menyelidik endapan sinaber.

Permulaan tahun 1875 ia ditempatkan di Payakumbuh untuk mengikuti pemetaan geologi bagian

sebelah utara dan timurlaut pantai Sumatra Barat. Selama pekerjaan inilah cara pengamatan

lapangan Fennema yang cermat tampak menonjol.

Pada Pebruari 1878 Fennema dipindahkan ke Batavia dan dipekerjakan pada Grondpeilwezen,

pemboran air artesis, mula-mula di daerah Batavia, kemudian di Jawa Tengah. Pada waktu itu ia telah

diangkat menjadi insinyur kelas 2. Pada Mei 1879 ia dipindahkan lagi ke Surabaya untuk memimpin

pemboran air di sana, serta di Pasuruan dan Lasem, Rembang.

Dalam bulan Juli 1880 ia dipanggil ke Batavia, dan pada bulan Agustus melakukan pemetaan geologi di

karesidenan Bagelen untuk kepentingan pemboran air di Gombong. Pada waktu itu Fennema sempat

pula mengunjungi pegunungan Serayu Selatan dan lapangan Luk Ulo. Di sinilah ia beruntung untuk

pertama kali menemukan “tanah dasar Jawa”, ialah batuan, yang di atasnya terletak batuan sedimen

dan gunungapi Tersier dan yang lebih muda. Pada akhir Agustus 1880 ia bersama Hooze dan Verbeek

menyelidiki batuan di Jasinga yang oleh Rigg ditentukan sebagai granit.

Dalam bulan September tahun itu Fennema dipindahkan ke Bengkulu untuk melakukan penyelidikan

kembali kemungkingan pengolahan lapangan batubara Bukit Sunar. Pekerjaan ini sangat meletihkan
dan setelah kembali di Batavia bulan Juni 1881 kesehatannya mulai terganggu, hingga menyebabkan ia

pulang cuti ke Eropa selama 2 ½ tahun.

Kemudian dalam bulan Oktober 1884 ia kembali di Indonesia dan bekerja di Ijo, pegunungan

Karangbolong di perbatasan Banyumas dan Bagelen. Setelah itu ia juga ditugaskan dalam penyelidikan

geologi di daerah Priangan. Dalam bulan Januari 1885 Fennema diangkat menjadi insinyur kelas 1. Ia

menikah dengan E. de Bruine dalam bulan Nopember tahun itu pula

Letusan G. Semeru, yang meminta korban 70 orang, terjadi di malam hari 17 April 1885, dan pada 28

April kita sudah melihat Fennema diperkebunan kopi Kali Bening sebelah selatan gunung, melakukan

penyelidikan sebab dan akibat terjadinya peletusan. Inilah yang menjadikan alasan pengangkatan

Fennema menjadi anggota Bagian Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam Koninklijke Akademie van

Wetenschappen Amsterdam pada 14 Mei 1886, satu-satunya penghargaan yang diperolehnya selama

masa kerjanya yang panjang dan sibuk itu. Dalam tahun itu juga ia terlibat dalam penyelidikan

kemungkinan pengolahan minyak bumi di Langkat. Dalam laporannya, tidak saja ditunjukkannya

kemungkinan pengolahan minyak bumi dari daerah Telaga Said, namun dibahasnya pula beberapa

angka kemungkinan keuntungan dari maskapai Langkat. Tugas ini menelorkan pendirian Koninklijke

Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch Indië. Setelah itu ia kembali

melakukan penyelidikan penyediaan air untuk Kota Medan.

Dalam tahun 1888 ia dipekerjakan lagi pada pemetaan geologi Jawa. Hasil kerjaan ini diterbitkan

bersama dengan R.D.M. Verbeek berjudul Geologische beschrijving van Java en Madoera,

(Amsterdam, 1896).

Pada Nopember 1893 Fennema diangkat menjadi insinyur kepala. Ia kemudian mempelajari akibat

letsuan G. Galunggung di Tasikmalaya, yang terjadi pada 18 - 19 Oktober tahun itu. Setelah itu ia

cuti ke Nederland, dan ia menulis laporannya. Laporan ini kemudian dimuat dalam Jaarboek tahun

1895.

Setelah kembali di Indonesia pada bulan Januari 1896 ia diangkat kembali menjadi insinyur kepala.

Dalam bulan Juli tahun itu ia mengunjungi beberapa endapan bijih emas di pantai utara Sulawesi;

selanjutnya ia dipindahkan ke Manado, untuk dibebani pimpinan penyelidikan geologi di keresidenan


itu. Ia kemudian melakukan peninjauan di daerah Minahasa, Paleleh, Gorontalo, Tojo, Poso, Parigi dan

Tinombo; termasuk pula gunungapi Sangir Besar dan Siau, sebelah utara Sulawesi. Selain itu,

didatanginya pula lajur pantai Sulawesi Utara, dari Kwandang hingga Lokodido.

Dalam bulan Nopember 1897 Pemerintah Hindia Belanda melakukan penyelidikan terhadap perluasan

kekuasaan Kerajaan Luwuk, terutama untuk mengetahui apakah seluruh daerah Poso juga termasuk

dalam kerajaan itu. Untuk penyelidikan ini pemerintah menunjuk kontrolir van Wetering dan van Rijn,

serta kapten Callas untuk melakukan pemetaan dan pendeta Alb. C. Kruyt, yang bertindak sebagai

penunjuk jalan dan juru bahasa.

Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Fennema. Ia ingin mempelajari keadaan geologi

Poso, antara kelokan Tomini dan Danau Poso. Karenanya ia menggabungkan diri dengan rombongan ini.

Bersama J. F. de Corte ia mengikuti regu dan sampai di tepi Danau Poso pada 18 Nopember. Kita

sudah mengetahui bahwa ini merupakan tugas terakhir Fennema; ia tenggelam pada 27 Nopember

tahun itu, dan mayatnya tidak pernah ditemukan.

Demikianlah akhir hayat dari seorang lelaki yang rajin dan cakap ini. Ia telah menjadi korban

kekurangan peralatan dan persiapan yang tersedia bagi setiap penyelidik alam, terutama geologiwan

di Indonesia dan yang telah memakan begitu banyak korban jiwa para sarjana.

Inilah gambaran apa yang telah dicapai Fennema selama masa kerja 23 ½ tahun lebih sebagai insinyur

pertambangan dalam bidang ilmiah maupun terapan. Tidak henti-hentinya ia bekerja, dan andaikata

saja maut tidak datang begitu mendadak, maka pastilah kita masih dapat mengharapkan pengetahuan

yang sangat berharga darinya. Ia akan selalu menjadi teladan bagi para geologiwan dimasa yang akan

datang, yang harus melakukan penyelidikan dalam keadaan serba sulit dan tidak menyenangkan. Dalam

hal ini mereka dapat mengenangkan kembali pelopor ini, yang tergambar dari penghidupan dan

pekerjaannya, yang setiap penemuan menjadi cambuk untuk lebih banyak lagi melakukan penyelidikan,

dan yang dalam tugasnya demi ilmu pengetahuan sampai harus mengorbankan jiwanya.

Kehidupan Fennema tidak kaya akan penghargaan yang diberikan orang, mungkin karena

kesederhanaan jiwanya dan kerendahan hatinya. Baru setelah ia tiada, isterinya mendapatkan sebuah

medali emas, disampaikan oleh Société de Geographie Commerciale di Paris. Kemudian ia dianugerahi
suatu penghargaan lebih tinggi lagi, ialah Prox Tchihatchef, oleh Academie des Sciences di Paris

bulan Desember 1899.

Karya menonjol lain yang ditulis Fennema bersama G.P.A. Renaud di samping mengenai geologi Jawa

adalah : Uitkomsten van het Gouvernementswezen ingestelde onderzoek naar petroleum in het

concessie terrain van de heer A.J. Zijller in Beneden Langkat (Oostkust van Sumatra) en

beschouwingen over de rentabiliteit eener aldaar gevestigde petroleum industrie. (hasil dari

penyelidikan oleh Pemerintah terhadap minyak bumi di lapangan konsesi tuan A.J. Zijller di Langkat

Bawah, pantai Timur Sumatra dan tinjauan mengenai kemungkinan menguntungkannya suatu industri

minyakbumi di sana) Agustus 1890.

(Dari R.D.M. Verbeek, 1903, Levensbericht van Reinder Fennema){mospagebreak}

Kisah Tewasnya R. Fennema di Poso

Para pengunjung museum yang naik melalui tangga ke lantai atas akan melihat batu pualam bertulis

yang ditempelkan pada dinding tepat di depan tangga. Letaknya yang istimewa itu menyebabkan orang

tanpa menyadarinya selalu membaca batu itu, mengenangkan jasa seorang geologiwan yang telah

tewas dalam menunaikan tugasnya di daerah terpencil, jauh dari kegiatan manusia.

Demikianlah pada 27 Nopember 1897, Reinder Fennema, seorang insinyur kepala, ahli geologi telah

tenggelam dan hilang di dasar Danau Poso, Sulawesi Tengah. Mayatnya tak pernah ditemukan.

Pada hari yang cerah, kira-kira pukul setengah satu hari itu, bertolaklah sebuah perahu dari pantai

barat danau menuju Peura di pantai timur, tempat rombongan lain yang melakukan perjalanan

mengikuti pantai timur menunggu mereka. Perahu itu berpenumpang 6 orang, yaitu Fennema dan de

Corte, pegawai Dienst van het Mijnwezen, dan 4 orang pembantu yang berasal dari Minahasa. Cuaca

amat baik, angin bertiup sepoi-sepoi basa. Pada kira-kira pukul 3 sore, ketika perahu berada

ditengah-tengah danau, tiba-tiba bertiuplah angin kencang. Dalam tempo yang singkat datang pula

gelombang yang tinggi; menggulung, menghantam perahu. Perahu kecil yang berpenumpang 6 orang itu

tidak berdaya. Hanya sekejap saja telah terbalik. Semua penumpang terlempar dan masing-masing

berusaha menyelamatkan diri dengan berpegang sekuat-kuatnya pada badan perahu yang terbalik itu.
Angin dan gelombang terus berkecamuk. Tenaga untuk menggantung sudah semakin berkurang, dan

akhirnya hampir habis samasekali.

Cuaca gelap dan pekat, ketika pada kira-kira pukul delapan de Corte mendengar teriakan lemah dan

kemudian mengetahui bahwa Fennema telah lepas dari perahu dan menghilang. Semua orang hanya

mempunyai tenaga tersisa sedikit saja untuk menggantung, sehingga tiada usaha dilakukan untuk

mencarinya. Kepekatan malam menambah kecut hati masing-masing. Semuanya menyerahkan nasibnya

kepada Tuhan.

Untunglah kira-kira 2 jam kemudian anginpun berhenti. Gelombang berangsur-angsur kurang. Dengan

segala usaha dan mengerahkan tenaga yang masih tersisa perahupun dibalikkan. Dengan susah payah

masing-masing mengangkat badannya untuk menaiki perahu. Semua peralatan dan dayung telah hilang.

Tinggallah menunggu perahu dihanyutkan arus. Semalam-malaman perahu hanyut terapung-apung.

Ketika matahari memancarkan cahaya merah di ufuk timur barulah mereka tahu keadaan sekitarnya.

Pantai barat danau ternyata tidak begitu jauh lagi. Merekapun berusaha mendekatkan perahu ke

pantai itu.

Penduduk setempat memberinya makanan dan nasi sekedarnya, dan berusaha pula mencari Fennema.

Namun Fennema telah hilang ke dasar danau bersama conto batu dan catatan hariannya.

Demikianlah geologiwan yang dilahirkan di Sneek, Nederland pada 21 Oktober 1849, telah tewas

dalam menunaikan tugasnya, yang seperti juga tugas geologiwan pada umumnya menuntut keberanian

hidup terpencil, jauh dari kegiatan manusia, dan tidak jarang pula penuh marabahaya.

(Tulisan mengenang Insinyur Kepala pada Mijnwezen di Hindia Belanda Reinder Fennema, kawan yang
setia, manusia yang mulia, sarjana yang rendah hati)

Van Bemmelan

Reinout Willem van Bemmelen dilahirkan di Jakarta pada 14 April 1904. Sewaktu berumur 17 tahun,

ia pergi ke Delft untuk belajar ilmu pertambangan. la adalah salah seorang murid terakhir dari

Sekolah Delft Molengraaff.


Pada 5 Juli 1927 Insinyur pertambangan van Bemmelen meraih gelar Doktor di Delft berdasarkan

disertasinya Bijdrage tot de Geologie der Betische Ketens in de provincie Granada. Promotornya

adalah Prof. H. A. Brouwer.

Setelah promosi, pemuda van Bemmelen bekerja pada Opsporingdienst van den Mijnbouw di Hindia

Belanda pada Perpetaan Sumatra dan Jawa. Kegemarannya dalam bidang geologi dan kemampuan

belajar yang luar biasa, pada waktu itu saja sudah memaksakan untuk mencurahkan pikirannya

terhadap banyak bidang di luar pekerjaan sehari-harinya. Pada beberapa tahun pertama ini bukan

saja telah tumbuh benih pemikiran geotektonikanya, yakni teori Undasi (1932), akan tetapi juga

benih karya standar (baku) yang kelak akan rnengakhiri karyanya di Indonesia dalam tahun 1949,

dengan penerbitan bukunya The Geology of Indonesia.

Pada hakekatnya perioda kegiatannya pada Opsporingdienst van den Mijnbouw, berakhir dengan

terjadinya Perang Dunia II, yang berarti pula penawanan bagi van Bemmelen. Namun sempat pula ia di

tahun pertama penjajahan Jepang itu, untuk memimpin Penyelidikan Gunungapi dengan menghasilkan

karyanya Bulletin of the East Indian Volcanological Survey for the year 1941 (Bulletin nos. 95 - 98)

yang di dalamnya memuat juga Register of the Localities of Volcanologic Activity in the East Indian

Archipelago dan Preliminary Historical Register of Volcanic activity in the East Indian Archipelago

oleh W.A. Petroeschevsky, yang kelak akan menjadi dasar untuk pembuatan Catalogue of the Active

Volcanoes of the World Including solfatara field, Part I Indonesia oleh Neuman van Padang.

Penjajah Jepang tidak dapat menghalangi van Bemmelen berkuliah di hadapan sesama tahanan yang

menaruh perhatian terhadap geologi. Setelah perang di negeri Belanda selesai, ia menulis kembali

The geology of lndonesia, karena manuskrip pertama hilang di waktu perang. Ini merupakan suatu

prestasi yang luar biasa.

Suatu bukti bukan saja dari kekuatan mental dan ketekunannya, melainkan juga dari kesadaran akan

kewajibannya kepada Opsporingdienst dan kepada semua yang pernah bekerja dalam bidang geologi

di Hindia Belanda. Setelah itu pada tahun 1951 menyusul pengangkatannya sebagai Gurubesar dalam

Geologi Ekonomi di Utrecht dan pada 1969 tibalah masa emeritusnya. Mengenai karyanya dapat

dicatat lebih lanjut sbb. : Pertama-tama mengenai sumbangannya pada geologi Indonesia. Buku The

Geology of Indonesia-nya masih tetap dianggap sebagai pekerjaan baku yang mengumpulkan geologi

dan geologi ekonomi bagian dari dunia ini. Kini sudah terbit terjemahannya dalam bahasa Rusia dan
mengingat banyaknya permintaan, cetakan ulang dilakukan. Sumbangannya pada pengetahuan geologi

ternyata kelihatan dari mengalirnya berbagai artikel, sedangkan pada banyak kongres van Bemmelen

telah mengungkapkan sejumlah problema geologi. Di atas sudah disebut teori Undasi, teori yang

tidak dapat dipisahkan dari namanya. ‘Tektogenesa sekunder yang dipengaruhi gayaberat” yang erat

hubungannya dengan ini telah melibatkan banyak geologiwan, terutama di bagian yang berbahasa

Inggris. Ini menghasilkan suatu tempat terkemuka baginya dalam dunia kepustakaan geologi. Akan

tetapi juga di bidang lain tampak perhatiannya. Banyak artikel yang ditulisnya mengenai gejala

gunungapi yang dihubungkan dengan tektonika. Batuan ignimbrit sangat menarik pertahiannya.

Sebagai ilmiawan van Bemmelen memadukan pertanyaan bagaimana dan mengapa dari gejala geologi.

Pertanyaan ini tidak dihindarinya. Dengan pengetahuan lapangan dan pustakanya yang luas ia selalu

mencoba merumuskan suatu jawaban. Dari pekerjaannya nyata keyakinannya, bahwa pemecahan

persoalan suatu problema harus dilihat sebagai gejala tambahan dari suatu kejadian yang lebih besar

dan ‘mondial’. Ini nyata dari penerbitannya mengenai problema selayang pandang seperti:

geotektonika dengan banyak segi atau fasetnya seperti sesaran kontinen, sistem sesar (patahan)

selayang pandang, dst.

Terjadinya bumi dan keraknya, dan akhirnya hubungan geologi dengan pengetahuan dan pengertian

dimensi dalam geologi merupakan suatu pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh seseorang, yang

menguasai ikhtisar dari banyak kekhususan atau cabang ilmu dalam geologi. Suatu kualifikasi yang

selain dipenuhi oleh van Bemmelen hanya dapat dipenuhi oleh beberapa gelintir geologiwan saja.

Jasa van Bemmelen ditandai dengan penganugerahan beberapa penghargaan, yakni :

1. Pening kehormatan Universitas Bebas di Brusel,

2. Medali dari Akademi Ilmu Pengetahuan Cekoslovakia,

3. Keanggotaan persamaan dari Geologische Gezellschaft di Wina.

Lebih penting bagi para geologiwan, yang menamatkan sekolahnya waktu ia (van Bemmelen) menjabat

gurubesar adalah perhatian yang sungguh terhadap orang muda, yang belajar di bawah bimbingannya.

Siapa saja yang mendapatkan buku Mountain building van Bemmelen, yang disampaikan olehnya
kepada para rekan dan muridnya pada waktu emeritusya dalam 1969, akan terkesan oleh

persahabatan, penghargaan dari kekaguman yang dicetuskan dalam buku ini.

Kepada para mahasiswa dan promovendinya, ia bertindak sebagai seorang sahabat yang lebih tua

dengan sedikit banyak pengalaman. Sikap ini tidak terbatas pada kuliah, eskursi dan pemetaan, tetapi

juga meluas ke penghidupan sehari-hari, yang didampingi dengan ketat oleh isterinya. Hubungannya

dengan para mahasiswa jelas bukan disebabkan oleh kewajiban sosial, melainkan bersemi dari

perhatian hangat terhadap sesama manusia.

Di lapangan ia mengajar para muridnya bagaimana memeta geologi, pertama-tama cara pengamatan

yang benar, setelah itu cara menyusun suatu hipotesa kerja berdasarkan pengamatan, dan pada

akhirnya cara menguji hipotesa ini dengan pengamatan baru.

Ia seakan-akan mendorong mereka agar selalu mengintip keluar dari tepi lembah dari mana mereka

keluar, untuk memperluas pemandangannya. Pemetaan yang dilakukan dibawah bimbingannya

mencakup bagian luas dari Alpina Timur dan Selatan.

Dalam kuliah dan diskusinya -apakah ini bersama kawan ataupun lawan anggapannya- van Bemmelen

mencirikan diri sebagai seorang pembela yang setia yang dengan kekuatan alasan (argument) yang up

to date mencoba membantu orang lain menjadi kawan seperjuangan dalam anggapannya.

Pada tahun 1970 pemimpin Koninklijk Nederlandsch Geologisch Mijnbouwkundig Genootschap,

setelah mendengar Raad van Bestuur, telah menganugerahkan Pening van Waterschoot van der

Gracht, berdasarkan pertimbangan sbb. : “Prof. Dr. Ir. R. W. van Bemmelen dengan pemikiran

geologinya yang orisinil dan berani telah memberikan sumbangan penting pada ilmu pengetahuan bumi

di Negeri Belanda. Pemikiran geotektonikanya yang diabadikan dalam banyak penerbitan menjadi

sangat terkenal dalam dunia Internasional. Geology of Indonesia-nya merupakan karya standar yang

setelah lebih dari 20 tahun tetap tidak berkurang nilainya. Semangatnya terhadap geologi dan

perhatiannya yang dalam terhadap manusia, yang bekerja di bawah bimbingannya memberi inspirasi

kepada para muridnya, yang sambil menyebar di seluruh dunia, memperkenalkan pemikiran geologi

Negeri Belanda”.
Von Koeningswald

Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, keturunan Jerman-Denmark yang lahir di Berlin, adalah
seorang ahli paleontologi manusia purba dan kebudayaannya. Untuk mendapatkan sebutan itu ia telah
menjelajahi P. Jawa, memasuki gua manusia Peking, mengacak-acak toko obat Cina serta menelusuri
lembah Olduvai di stepa Sere-ngeti Afrika Utara, hanya untuk mengumpulkan fosil yang ia perlukan
untuk penyelidikannya. Catatan-catatan harian yang dibuatnya, setelah dilakukan perbaikan dan
tambahan di sana-sini agar pembaca awam lebih mudah menyelami lika-liku ilmu geologi dan
prasejarah, akhirnya dituangkan dalam bukunya yang terkenal Speurtocht in de prehistorie,
ontmoetingen met onze voorouders (Penelusuran di zaman prasejarah, perjumpaan dengan
nenekmoyang kita).

Von Koenigswald belajar geologi dan paleontologi di Berlin, Tubingen, Koln, dan sampai meraih gelar
dotor dalam bidang geologi di Munchen pada tahun1928. Pada tahun 1931 ia datang di Hindia Belanda
(Nusantara) dan langsung melakukan penelitian-penelitian yang terarah pada stratigrafi Pliosen-
Plistosen di P. Jawa. Antara tahun 1932-1933 ia melakukan penggalian untuk penyelidikan paleontologi
di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah, dan menemukan fosil manusia purba yang diberi nama Homo
erectus soloensis. Penyelidikan selanjutnya dilakukan di daerah situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah
antara tahun 1934-1941. Di daerah itu von Koenigswald menemukan gigi rahang yang sudah lepas yang
kemudian diketahui dari spesies Modjokertensis, tengkorak dari spesies Pithecanthropus erectus, serta
rahang atas dan bawah dari spesies Meganthropus palaeojavanicus.

Di bidang prasejarah, von Koenigswald dikenal dengan penemuannya peranti (artifact) manusia purba
berupa serpihan obsidian di dataran tinggi Bandung (1931), di daerah Punung, Pacitan, Jawa Tengah
(1933) berupa piranti yang digolongkan sebagai Pacitanian, dan di daerah Sangiran (1934) berupa
serpihan rijang. Untuk mendapatkan fosil yang telah disimpan orang, ia menelusuri ke toko-toko obat
Cina di beberapa negara, seperti di Indonesia (terutama Jawa Barat), di Malaysia, Muangthai,
Hongkong, Indocina, Pilipina, dan di Amerika. Dalam penelusuran itu, ia menemukan di antaranya gigi-
gigi dari spesies Gigantopithecus (di Hongkong), spesies Hemanthropus peii, Sinanthropus officinalis,
dan rahang dari Wajak.

Von Koenigswald adalah paleontologiwan yang sangat banyak berkarya. Karya ilmiahnya yang berjumlah
lebih dari 300 judul, sebagian besar membahas tentang hasil penemuannya di P.Jawa. Dalam tulisannya
perihal manusia purba, ia membahas tentang: taksonomi, morfologi, bahan makanan, tata lingkungan,
migrasi, dan banyak yang menyangkut teori penting dalam evolusi manusia. Dari hasil-hasil
penyelidikannya, dapat ditemukan pengabadian namanya di dalam nama beberapa binatang mamalia
purba. Di daerah Ngandong, ia menemukan jenis Artiodactyla yang diberi nama Sus terhaari von
koenigswald dan rusa purba Cervus javanicus von koenigswald. Dari daerah-daerah lain, von
Koenigswald juga menulis hasil penyelidikannya tentang fosil primata dan fosil manusia purba dari
Afrika, Eropa dan dari Australia. Hasil penyelidikan dari daerah-daerah itu meliputi: Oreopithecus,
Ramapithecus, Sivapithecus, Dryopithecus, dan manusia purba Neanderthal.

Sebagai seorang sarjana antropologi yang telah berprestasi dan berdedikasi, terutama di bidang
paleoantropologi, von Koenigswald telah banyak menerima tanda penghargaan. Selain ia memperoleh
beberapa penghargaan seperti: Medali Annandale, Plaket Darwin, Medali Thomas Huxley, dan Hadiah
Werner-Reimers, ia juga mepe-roleh gelar Dotor Kehormatan dari Universitas Gajahmada pada tahun
1976. Dari tahun 1948 sampai dengan 1968, ia menjadi gurubesar paleontologi di Universitas Utrecht,
Belanda, dan kemudian pindah bekerja di Museum Senckenberg, Frankfurt, Jerman, sampai ia
meninggal pada tahun 1981.

Anda mungkin juga menyukai