Pasal 48 KUHP berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa
tidak dipidana.
Kata "daya paksa" disini terjemahan dari kata "overmacht" (Belanda) yang artinya kekuatan
atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut dengan kalimat " Tidak boleh
dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.
Daya paksa atau daya yang memaksa secara mutlak sehingga tidak dapat menghindarinya
tersebuit dapat berupa paksaan pisik yang disebut "vis absoluta" dapat juga berupa paksaan
psykhis atau "vis compulsiva"
Perbuatan untuk membela yang dimaksud pasal 49 (1) tersebut meliputi tiga persoalan pokok
yang menyangkut perbuatan untuk membela, yaitu :
a) harus berupa pembelaan, artinya harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan
perbuatannya ;
b) kepentingan macam apa saja yang harus diserang (diri atau badan orang ;
kehormatan-kesusilaan ; harta benda orang )
c) serangannya harus bersifat melawan hukum.
Bagaimana kalau ada orang mengira ada serangan, padahal senyatanya tidak, dan dia
melakukan pembelaan terpaksa menurut pasal 49 ayat (1) tersebut ? ---- Perbuatan ini
dinamakan pembelaan terpaksa yang putatif yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi
sesungguhnya tidak ada apa-apa. Perbuatan ini tetap salah, hanya saja 'salah sangka' atau
salah terkanya' harus dibuktikan dulu.
Pasal 49 (2) KUHP: Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga,
tidak boleh dihukum
Dalam noodweer-ekses tidak ada salah terka, tidak ada salah sangka, disini betul-betul ada
serangan yang bersifat melawan hukum, tetapi reaksinya keterlaluan / melampaui batas, tidak
seimbang dengan sifat seranagannya. Dalam hal ini terdakwa dapat dihindari dari pidana
apabila dapat dibuktikan bahwa eksesnya tadi langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa
yang hebat, sehingga karena ada tekanan dari luar itu fungsi bathinnya menjadi tidak normal
lagi (---- alasan pemaaf).