Anda di halaman 1dari 3

Islam Agama Fleksibel dan Universal

Islam agama wahyu terakhir, berasal dari Allah SWT dan di wahyukan kepada seoran yang ummi (buta),
Muhammad S.A.W. Sebagai agama wahyu terakhir, Islam merupakan sebuah sistem akidah dan syari’ah
serta akhlak yang engatur hubungan tidak hanya kepada Tuhan, Allah S.W.T sebagai sang Pencipta, tapi
juga kepada sesama manusia sebagai subjek lingkungan sosial. Hal ini berbeda dengan agama-agama
wahyu yang lainnya seperti Nasrani dan Yahudi yang lebih menempatkan kepada hubungan dengan
tuhan. Seorang sosiolog, Guru Besar Perbandingan Agama, The Institute of Islamic Studies, Universitas
McGIll Montreal Canada, Wilfred Cantwell Smith, mengatakan bahwa agama Islam itu bersifat unik
(unicum), lain dari pada agama manapun. Kemudian lebih lanjut dalam bukunya The Meaning and End
of Religion, ia membandingkan agama Islam dengan agama lainnya terutama agama Nasrani dan Yahudi.
Menurutnya agama Islam adalah sui generis (sesuai dengan wataknya, mempunyai corak dan sifat
sendiri dalam jenisnya), karena dalam banyak hal agama Islam berbeda dengan agama lainnya. Sebagai
contoh beliau menunjuk pada nama agama dan nama pemeluk agama.

1. Berbeda dengan agama lain yang namanya dihubungkan dengan nama manusia sang pendiri u
penyampai ajaran agama tersebut seperti Budha (Budhism), Christian (Christianity), atau Yahudi
(Judaism). Agama Islam yang dibawa oleh Muhammad tidak dinamakan sama dengan sang
pembawa tersebut, Muhammaidsm, baik oleh si pembawa maupun para pemeluknya. Menurut
Wilfred Cantwell Smith, nama Islam itu adalah nama yang telah diberikan Allah sendiri, hal ini
termaktub dalam kitab sucinya Ali-Imran (3): 19 dan Al-Maidah (5): 3
2. Islam dalam arti lebih lanjut bermakna damai, sejahtera, selamat, penyerahan diri, taat, patuh,
dan menerima kehendak Allah. Orang yang mengaku beragama Islam disebut dengan Muslim.
Penamaan ini menurut Smith juga terdapat dalam Al-Quran surat az-Zumar (39) ayat 12

Jelaslah Islam dilihat dari penamaan berbeda dengan agama lainnya. Selain itu cirri-ciri Islam yang
membedakan Islam dengan agama lainnya, Islam itu agama yang universal. Islam dating untuk
menyempurnakan risalah tauhid yang mengesakan Allah. Diwahyukan pada seorang manusia yang
ummi, Muhammad S.A.W sebagai rasul dan nabi yang terakhir. Semua ajaran ke-tauhid-an ini sempurna
diturunkan Allah kepada beliau, sesuai dengan firman-Nya “Hari ini telah aku sempurnankan    bagi
kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan segala nikmatku kepadamu dan akupun ridha
Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3).

Oleh karena itu, dengan sifat kesempurnaan yang dimilki oleh Islam maka ia mampu menjawab segala
tantangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia, tidak ada suatu masalah dan problem
kehidupan kecuali Islam mampu menjawab dan memberikan solusi untuknya. Islam sebuah agama yang
tidak membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lainnya, di mata Islam semua manusia adalah
sama, tidak terdapat perbedaan jasmani antara satu dengan yang lainya.  Kulit putih sama dengan orang
kulit hitam, orang Arab sederajat dengan non-Arab, Si kaya sama posisinya dengan si miskin, dan
sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan tingkatan, tetapi Islam
membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah dimana meninjam istilah teknis
filsafat, manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan
tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Semakin dekat ia dengan sumber wujud
(Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan dan ketaqwaannya.                       

Berbeda dengan agama-agama yang lainnya, dimana syiar dan kenyataannya sangat jauh berbeda.
Perbedaan dan diskriminasi begitu sangat mencolok, manusia dinilai dari segi lahiriahnya, semakin tinggi
tingkat sosialnya maka semakin mendapat tempat dan posisi dalam agama tersebut. Tempat-tempat
ibadah dapat menjadi contoh yang sangat jelas tentang hal ini. Orang kaya, pejabat dan pemuka
masyarakat memilki posisi yang utama di dalam tempat-tempat ibadah dan orang miskin dan
masyarakat yang memilki derajat rendah harus rela untuk menempati tempat yang sederajat dengan
keadaan mereka. Tetapi di dalam agama Islam hal ini tidak terlihat, siapa saja bisa menempati tempat
yang diinginkannya, tidak terjadi dikotomi strata sosial.

Seperti dalam agama-agama lain, dalam Islam pun terdapat hak dan kewajiban. Setiap kewajiban
mengandung arti tanggung jawab yang harus diemban. Kewajiban tidak berarti pemaksaan kehendak
semata yang berakhir pada kesulitan, karena tidak ada konsekwensi antara kewajiban dengan kesulitan.
Allah Swt berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
(QS.2:286). “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. 94:5-6).
Satu contoh untuk mendekatkan acuan pembahasan, dalam Islam, zakat atau haji itu diwajibkan.
Namun, wajib itu didahului dengan persyaratan, diantaranya, mampu. Mampu adalah syarat “wajib aini”
bagi muslimin untuk menunaikan haji atau zakat. Selama syarat itu tidak dipenuhi maka, kewajiban itu
tidak serta merta memaksakan ditunaikannya haji maupun zakat oleh siapa saja sehingga harus
menghutang. Bahkan dalam shalat sekalipun; jika tidak mampu berdiri, dia boleh melakukannya dengan
sambil duduk, atau sambil merebah jika tidak bisa duduk.

Dalam bahasa analogis, mustahil Islam akan mewajibkan anak lima tahun atau orang sakit parah agar
memikul beban di atas kemampuan dan kesiapan mereka. Karena, kalaulah demikian, itu justru satu
bentuk kedzaliman, sedangkan Islam menolak segala kezaliman, apa pun itu.
Penjelasan atas prinsip mudah di atas tidak lantas berarti kita dengan seenaknya bisa meremehkan
kewajiban yang harus kita jalankan, karena memberatkan maupun meremehkan apa saja yang berkaitan
dengan kewajiban apa pun; negara, agama atau kewajiabn lain, merupakan dua gejala ekstrim yang
bertentangan dengan akal sehat maupun wahyu Tuhan. Sebaliknya, dengan berbagai keterangan yang
dibawa, Islam justru mengajarkan agar mengembalikannya pada kondisi natural di atas garis imbang
yang bisa dicerna oleh akal sehat.

Islam dalam banyak ajarannya selalu menekankan jalan tengah; lepas dari dua sikap ekstrim. Jalan ini
juga penting dalam memahami ayat dan hadis. Otoritas memahami al-Quran yang sebagai sumber
utama agama bukan hanya didominasi oleh kaum elit Islam saja. Pada saat yang sama, jalan tengah juga
tidak membiarkan setiap orang bisa begitu saja mengutak-atik kitab suci dan menafsirkan sesuka hati.
Karena, kalau ini terjadi maka, jika ada sepuluh orang dalam satu perkara bisa jadi ada sepuluh
penafsiran yang kemungkinannya saling kontradiksi.
Prinsip mudah itu juga berlaku dalam pelaksanaan syariat Islam lain. Kita ketahui, hukum syariat
mencakup: mubah-halal (boleh dilakukan ataupun ditinggal), wajib (harus dilakukan dan dosa jika
ditinggal), haram (kebalikan wajib), sunah (jika mengerjakannya dapat pahala dan tidak dosa jika
ditinggalkan), dan makruh (kebalikan sunah).
Kelima hukum ini merupakan hukum dasar dalam syariat yang subjek-subjeknya sudah ditentukan dalam
hukum fiqih. Yang diakui atau tidak dalam setiap aktifitas sehari-hari, apa yang telah, sedang dan akan
kita lakukan tidak akan terlepas dari hukum-hukum tersebut. Akan tetapi, masih dalam Islam, ada suatu
kaidah yang disepakati oleh ulama mazhab, bahwa Islam anti kesukaran. Kaidah itu biasa disebut juga
dengan nafyu ad-dharar wal haraj “menolak bahaya dan kesukaran”, dimana subjek yang wajib bisa jadi
haram, atau sebaliknya, yang haram jadi halal, yang sunnah jadi wajib; yang semuanya itu biasa disebut
sebagai hukum kondisional dan bersifat aksidental.  Dalam keadaan ini, orang awam menyebut situasi
darurat. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam fleksibel dan tidak kaku sebagaimana yang
digambarkan oleh sebagian pihak.
Kesimpulannya, Islam itu fleksibel, mudah dan menjunjung tinggi kemudahan. Memang dalam beberapa
masalah, penentuan mudah tidaknya suatu kasus ada pada otoritas ulama, tetapi dalam banyak hal
otoritas pelaksanaannya ada pada diri kita masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai