Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

Oleh :

Nama : Rifai Usman


Nim : 2006 – 21 – 066
MENCERMATI ARAH POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NO 13
TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Untuk mewujudkan suatu prinsip negara yang demokrasi, maka arah politik
hukum bangsa ini haruslah sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita konstitusional
bangsa Indonesia yang nantinya terimplementasikan di dalam peraturan perundang-
undangan. Untuk mewujudkan itu semua perlunya keterkaitan elemen-elemen penting
di dalamnya, seperti transparansi, partisipatisi, keterbukaan informasi dan sebagainya.
Sehingga nantinya akan terwujud suatu kebijakan hukum seperti yang tertuang di
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih bersifat responsif.
Untuk mencermati arah politik hukum bangsa ini, saya melihat ke salah satu
peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006
hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak hakikat
supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu adalah alat
untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik (political engineering).
Supremasi hukum harus diletakan sebagai sentral pengaruh dan pedoman dalam
upaya pencapaian tujuan negara melalui politik hukum nasional.
Saksi dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan
mewujudkan supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu
mengakselerasikan tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa
lalu. Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka
trauma dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan
ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka
bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya dan
keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti
bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan
menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud dari
apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.
Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU
Perlindungan Saksi dan Korban ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang
mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang
bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;
1. Dengan disahkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban ini, adanya suatu
peraturan yang mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi
dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama
kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu
tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated
justice system).
2. UU Perlindungan Saksi Korban tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi
perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang
sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif
karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga
terhadap keluarga saksi dan korban.
3. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini terdapatnya materi pasal-pasal
yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) (Pasal 11-27 UU Perlindungan Saksi Korban) yang akan melaksanakan
tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap
saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini
telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga
terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan
dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
4. UU Perlindungan Saksi dan Korban memberikan kejelasan dan kepastian
tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi
dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam
Pasal 5 samapi Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal
tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.

Arah politik hukum yang bersifat negatif (konservatif) yang tertuang di dalam UU
Perlindungan Sanki dan Korban :
1. Sebagaimana yang terdapat dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) bahwa perlindungan
saksi dan korban yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi
dan atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK. Di dalam penjelasannya memuat bahwa kasus-kasus tertentu itu antara
lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana
terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban
dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Dari ketentuan
tersebut kita dapat mencermati arah politik hukum dari UU Perlindungan Saksi
dan Korban ini, bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan diskriminasi, karena
tidak semua hak yang diatur dalam pasal tersebut hanya dibutuhkan oleh saksi
dan korban (tindak pidana tertentu), melainkan oleh semua saksi (dalam tindak
pidana apapun). Diskriminasi tersebut dalam prakteknya akan semakin besar
karena tidak ada kriteria baku yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini bagi
LPSK, untuk menentukan keadaan seperti apa yang memperlihatkan posisi saksi
dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5.
2. Berkenaan dengan perlindungan terhadap keamanan saksi ini, belum terdapat
pengaturan yang rinci tentang bentuk perlindungan atau tindakan yang dapat
atau harus dilakukan oleh LPSK untuk merealisasikan rasa aman tersebut.
Misalnya untuk memberikan perlindungan tersebut LPSK dapat menempatkan
saksi dalam program perlindungan saksi, yang isinya antara lain; mengajari
saksi tentang cara membela diri dari serangan yang mungkin mengancam tanpa
bantuan orang lain (petugas LPSK), menempatkan petugas untuk mengawasi
saksi dan keluarganya, merahasiakan identitas saksi dan menyediakan
pendamping atau penasehat hukum yang dapat mengawasi agar hak-hak saksi
dalam pemeriksaan terpenuhi.
3. Pasal 2 menetukan : “undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi
dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan”. Pasal 8 kemudian menetukan: “perlindungan dan hak saksi dan
korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berkahir sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Pasal terkait dengan
aturan ini adalah Pasal 32 ayat (1) yang mengatur tentang penghentian
perlindungan atas keamanan saksi dan korban. Dari pasal-pasal tersebut tidak
jelas, sampai proses peradilan yang mana pemberian perlindungan itu dapat
dilakukan. Apakah bila perkara pidana terkait telah ada putusan hakim,
perlindungan masih dapat diberikan atau harus berakhir. Hal ini perlu diatur
secara tegas agar tidak menimbulkan penafsiran yang akan merugikan atau
membahayakan saksi (korban), karena meski putusan hakim sudah ada dan
pelaku sudah berada di Lembaga Pemasyarakatan, tidak dengan serta merta
saksi terbebas dari ancaman atau bahaya.
ARAH POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO 26 TAHUN 2000
TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal


Declaration of Human Rights) pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di
dunia internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap
pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya
kesadaran masyarakat internasional mengenai isu HAM ini dalam tempo yang relatif
singkat merupakan pula suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara secara
demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep tatanan dalam rezim-
rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun konstruksi demokrasi
berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk
mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. 2 Hal ini juga telah
membawa perubahan dalam konteks mekanisme sistem pemerintahan di belahan
dunia dalam membentuk masyarakat yang menaruh penghormatan terhadap nilai-nilai
HAM dalam kerangka konstitusi sebagai landasan yuridis yang tertinggi dalam
kehidupan bernegara. Demikian pula halnya dengan Indonesia, dimana penyusunan
muatan HAM yang lebih demokratis dalam Konstitusi Republik Indonesia mulai
dilakukan dan dimuat ketika pembentukan amandemen kedua Undang-undang Dasar
(UUD) 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, wacana untuk memiliki suatu
peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan penghormatan, pemajuan dan
penegakan nilai-nilai HAM kian mendapat respon yang positif dari berbagai kalangan
masyarakat, terutama bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang
terkena pelanggaran HAM berat. Ide pemikiran wacana tersebut pun disambut positif
oleh kalangan wakil rakyat untuk mengakomodasi nilai-nilai HAM dalam konstitusi
UUD 1945, yang kemudian diamandemen beberapa kali. Sebagai bentuk pelaksanaan
dan penjabaran dari amandemen UUD 1945, Pemerintah dan DPR akhirnya
merumuskan suatu peraturan perundang-undangan khusus di bidang HAM, antara lain
yaitu: UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Perppu No. 1 Tahun
1999 tentang Pengadilan HAM yang kemudian menjadi UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat
peraturan perundang-undangan dibidang HAM tersebut (law making policy) maka
terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai
HAM, salah satunya adalah tentang Peradilan HAM. Peradilan inilah yang kemudian
menjadi topik pembicaraan tugas ini.
Adapun arah politik hukum dalam Undang-Undang No 26 tahun 2000 adalah
sebagai berikut :
Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM
yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah
dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk
membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari
pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh penguasa.
Dengan demikian, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa UU
No. 26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perppu No.1 Tahun 1999 tentang hal
yang sama maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan RUU
tentang Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan
tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat
dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM
yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia.
2. Dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
dan sebagai tindak lanjut dari UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini
mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka segera
dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk menyelesaikan
masalah pelanggaran HAM yang berat
3. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan
ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan Pengadilan
HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat
dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian
hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
Bila diamati lebih lanjut maka berdasarkan segala pertimbangan tersebut, pada
prinsipnya dapat disimpulkan perlu membentuk suatu peraturan perundang-undangan
yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen
dalam menangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Hal ini sangat
penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang
dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya merevisi
perundang-undangan dibidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM dan
Pengadilan HAM.
Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang
demokratis akan menghasilkan produk yang responsif. Hal ini dikarenakan politik
hukum HAM lahir dalam suatu tatanan Negara yang ingin lebih demokratis maka
menghasilkan produk hukum yang lebih responsive salah satunya dibentuk juga UU
mengenai HAM, Pengadilan HAM

Anda mungkin juga menyukai