Oleh :
Untuk mewujudkan suatu prinsip negara yang demokrasi, maka arah politik
hukum bangsa ini haruslah sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita konstitusional
bangsa Indonesia yang nantinya terimplementasikan di dalam peraturan perundang-
undangan. Untuk mewujudkan itu semua perlunya keterkaitan elemen-elemen penting
di dalamnya, seperti transparansi, partisipatisi, keterbukaan informasi dan sebagainya.
Sehingga nantinya akan terwujud suatu kebijakan hukum seperti yang tertuang di
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih bersifat responsif.
Untuk mencermati arah politik hukum bangsa ini, saya melihat ke salah satu
peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006
hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak hakikat
supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu adalah alat
untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik (political engineering).
Supremasi hukum harus diletakan sebagai sentral pengaruh dan pedoman dalam
upaya pencapaian tujuan negara melalui politik hukum nasional.
Saksi dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan
mewujudkan supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu
mengakselerasikan tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa
lalu. Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka
trauma dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan
ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka
bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya dan
keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti
bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan
menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud dari
apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.
Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU
Perlindungan Saksi dan Korban ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang
mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang
bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;
1. Dengan disahkannya UU Perlindungan Saksi dan Korban ini, adanya suatu
peraturan yang mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi
dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama
kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu
tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated
justice system).
2. UU Perlindungan Saksi Korban tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi
perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang
sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif
karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga
terhadap keluarga saksi dan korban.
3. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini terdapatnya materi pasal-pasal
yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) (Pasal 11-27 UU Perlindungan Saksi Korban) yang akan melaksanakan
tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap
saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini
telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga
terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan
dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
4. UU Perlindungan Saksi dan Korban memberikan kejelasan dan kepastian
tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi
dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam
Pasal 5 samapi Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal
tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.
Arah politik hukum yang bersifat negatif (konservatif) yang tertuang di dalam UU
Perlindungan Sanki dan Korban :
1. Sebagaimana yang terdapat dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) bahwa perlindungan
saksi dan korban yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi
dan atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK. Di dalam penjelasannya memuat bahwa kasus-kasus tertentu itu antara
lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana
terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban
dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Dari ketentuan
tersebut kita dapat mencermati arah politik hukum dari UU Perlindungan Saksi
dan Korban ini, bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan diskriminasi, karena
tidak semua hak yang diatur dalam pasal tersebut hanya dibutuhkan oleh saksi
dan korban (tindak pidana tertentu), melainkan oleh semua saksi (dalam tindak
pidana apapun). Diskriminasi tersebut dalam prakteknya akan semakin besar
karena tidak ada kriteria baku yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini bagi
LPSK, untuk menentukan keadaan seperti apa yang memperlihatkan posisi saksi
dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya
sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5.
2. Berkenaan dengan perlindungan terhadap keamanan saksi ini, belum terdapat
pengaturan yang rinci tentang bentuk perlindungan atau tindakan yang dapat
atau harus dilakukan oleh LPSK untuk merealisasikan rasa aman tersebut.
Misalnya untuk memberikan perlindungan tersebut LPSK dapat menempatkan
saksi dalam program perlindungan saksi, yang isinya antara lain; mengajari
saksi tentang cara membela diri dari serangan yang mungkin mengancam tanpa
bantuan orang lain (petugas LPSK), menempatkan petugas untuk mengawasi
saksi dan keluarganya, merahasiakan identitas saksi dan menyediakan
pendamping atau penasehat hukum yang dapat mengawasi agar hak-hak saksi
dalam pemeriksaan terpenuhi.
3. Pasal 2 menetukan : “undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi
dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan”. Pasal 8 kemudian menetukan: “perlindungan dan hak saksi dan
korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berkahir sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Pasal terkait dengan
aturan ini adalah Pasal 32 ayat (1) yang mengatur tentang penghentian
perlindungan atas keamanan saksi dan korban. Dari pasal-pasal tersebut tidak
jelas, sampai proses peradilan yang mana pemberian perlindungan itu dapat
dilakukan. Apakah bila perkara pidana terkait telah ada putusan hakim,
perlindungan masih dapat diberikan atau harus berakhir. Hal ini perlu diatur
secara tegas agar tidak menimbulkan penafsiran yang akan merugikan atau
membahayakan saksi (korban), karena meski putusan hakim sudah ada dan
pelaku sudah berada di Lembaga Pemasyarakatan, tidak dengan serta merta
saksi terbebas dari ancaman atau bahaya.
ARAH POLITIK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO 26 TAHUN 2000
TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA