Anda di halaman 1dari 10

Penatalaksanaan

Tujuan mencegah komplikasi yang mengancam


penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika
mungkin mengobati penyebabnya.
Pengobatan berdasar dari diagnosis yang ditegakkan.
Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, ada 2 tindakan
yang di lakukan, yaitu :
1.Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi
spesialistik.
2.Pengobatan inisial non spesifik.
Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke
arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik
terhadap etiologinya.
OBAT-OBATAN NON SPESIFIK
1. Midriatik-sikloplegik
2. Kortikosteroid
3. Imunosupresan

1. Midriatik-sikloplegik
berfungsi untuk memberikan kenyamanan dengan
mengurangi spasme muskulus siliaris dan sfingter
pupil pada pasien, mencegah pembentukan
sinekia posterior, dan menghancurkan sinekia.
Macam obat Lama kerja
Midriacyl 0.5% 1% 2%( 3x1 tetes/hari ) 3 - 6 jam
Fenilefrin 2.5% 10% 4 ­10 jam
Homatropin 1 % 2% 4% 5% 18 -­36 jam
Atropin 0.5% 1% 2%( 1x1 tetes/hari ) 10 ­-14 jam

Apabila sudah terjadi sinekia posterior dapat dilepaskan


dengan atropin atau homatropin diteteskan tiap 5 menit
2. Kortikosteroid
Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid :
A. Lokal
paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal.

1) Tetes mata
Efek terapeutik dipengaruhi oleh sifat kornea ,sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung
pada : Konsentrasi dan frekuensi pemberian, Jenis steroid, Jenis pelarut, dan Bentuk larutan.

2) Injeksi peri-okular

 long acting ( triamcinolone acetonide 40 mg, atau methyl prednisolone acetate 20 mg)
 short acting ( betamethasone 4 mg atau dexamethasone 4mg).

Lokasi injeksi peri-okular :

a.) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior


Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository efektif pada peradangan kronis segmen
anterior bolamata.
b.) sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
b. Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat
akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi.
Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal
antara 1­2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan
perlahan selang sehari (alternating single dose).
Indikasi kortikosteroid sistemik :
1. Uveitis posterior
2. Uveitis bilateral
3. Edema makula
4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid
sistemik
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam
response imun:
1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T.
2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan
blocking sintesislimfokin/lymphotoxic factor.
3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga
menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intra-
cellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen
activation factor.
4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten
terhadap efek CsA.
3. Immunosupresan
a. Sitostatika
b. Siklosporin A

a. Siklostatika
preparat klorambusil 0,1­0,2 mg/kg BB/hari.
preparat Kolkhisin dosis 0,5 mg­1 mg/peroral/2 kali/hari. Selama
terapi sitostatika bekerja sama dengan Internist atau Hematologist.
Indikasi sitostatika
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)
Kontra indikasi sitostatika
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
­Internist/hematologist
- Fasilitas monitoring sumsum tulang
- Fasilitas penanganan efek samping akut

Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun :


1. Menekan secara langsung produksi antibodi.
2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik.
3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi
antibodi berkurang.
4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap
sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.
b. Siklosporin A (CsA)
Relatif banyak yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan
bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh
imunitas tubuh.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik
dengan :
1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum
produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA
tidak menghambat fungsi sel B.
2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natu-ral killer cell)
dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam
mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.
4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak
mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.
PENGOBATAN SPESIFIK
Di berikan setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan
pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya.

1) Toxoplasmosis :
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

2) Infeksi virus :
a) Herpes simplex : diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik.
b) Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10­14 hari. Kortikosteroid
sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia.
c) Sitomegalovirus : DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian IV ,
Foscarnet: 20mg/kgBB/perinfus.

Terapi operatif  untuk evaluasi diagnostik (parasentesis, vitreus tap dan biopsikorioretinal untuk menyingkirkan
neoplasma atau proses infeksi) bila diperlukan.

Komplikasi
 Komplikasi terpenting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akut yang terjadi
sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau penggunaan kortikosteroid topikal.
 Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen.
 Komplikasi lain meliputi corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula,
edema diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.

Anda mungkin juga menyukai