Anda di halaman 1dari 4

INEFISIENSI BIAYA PENDIDIKAN

Oleh. Hendra Manurung


----------------------------------------------

Seorang intelektual tidak pernah fanatik atau pendendam. Ia tidak akan mengejar
pengukuhan diri oleh orang lain. Ia berani untuk tetap memiliki pendirian, sikap, dan
tidak takut mengaku salah atau keliru kalau memang demikian. Ia juga tidak pernah takut
kehilangan gengsi atau wibawa sekalipun. Akhir – akhir ini begitu banyak muncul
persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia yang semakin rumit
penanganannya. Inti permasalahannya antara lain menyangkut kualitas pendidikan,
pemerataan pendidikan, dan pengelolaan atau manajemen pendidikan. Hal – hal yang
berhubungan dengan kualitas pendidikan, di antaranya masalah mengenai kurikulum,
proses pembelajaran, evaluasi pembelajaran, buku pelajaran, kualitas pendidikan guru,
sarana dan prasarana pendidikan.
Persoalan – persoalan yang menyangkut manajemen pendidikan, terutama yang
berhubungan dengan berbagai macam pengaturan pendidikan, seperti : otonomi
pendidikan, birokrasi pendidikan, dan transparansi anggaran pendidikan sekolah saat ini,
pada akhirnya menghambat program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat. Kegagalan mengatur sistem pendidikan nasional telah terbukti menurunkan
kualitas bangsa Indonesia dan mengambat proses pemerataan pendidikan ke seluruh
nusantara. Hingga saat ini masih banyak anak umur sekolah yang tidak dapat menikmati
pendidikan formal di sekolah, akibat sangat mahalnya biaya pendidikan yang harus
ditanggung setiap orang tua. Tetapi, hal ini tidak pernah dilihat sebagai masalah besar.
Dewasa ini sering kali ditemui terjadi inefisiensi dalam penyelenggaraan
pendidikan dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas/kejuruan
(SMA/SMK), bahkan perguruan tinggi (PT). Inefisiensi dalam dunia pendidikan tersebut
jelas – jelas adalah merupakan masalah yang mengakibatkan begitu mahalnya biaya
pendidikan. Hal ini semakin membebani para orang tua untuk dapat menyekolahkan putra
dan putrinya memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pemerintah maupun
penyelenggara sekolah swasta hanya melihat besaran biaya pendidikan dari sumbangan
pembinaan pendidikan atau SPP saja.
Padahal, selama ini bagi sebagian besar masyarakat, besaran jumlah SPP hanya
bagian kecil dari pembiayaan pendidikan.Hal ini sesuai dengan besaran beasiswa yang
diberikan pemerintah, dimana besarnya SPP untuk SD hanya Rp 10.000, SMP Rp 25000,
dan SMA Rp 50.000 per murid/bulan. Tetapi, kenyataannya biaya sesungguhnya yang
harus dikeluarkan masyarakat bisa lima kali lipat dari SPP.
Inefisiensi tersebut semakin ditampilkan setiap sekolah melalui begitu banyaknya
jenis dan besaran pungutan resmi di luar SPP (disetujui kepala sekolah dan para guru),
tetapi sebenarnya apabila ditiadakan tidak akan mengurangi standar kualitas pendidikan
nasional, misalnya khusus untuk kelas I (SD/SMP/SMA/SMK) dibebaskan uang
pendaftaran siswa baru (beli formulir), uang pangkal, uang seragam, dan pengeluaran
biaya untuk penyelenggaraan MOS (Masa Orientasi Siswa).
Di samping itu, pengeluaran di luar SPP yang diwajibkan pembayarannya kepada
setiap orang tua, untuk semua kelas (I,II,III) termasuk daftar ulang, uang seragam,
tabungan, buku paket, buku penunjang, uang praktek laboratorium, LKS (Lembar Kerja
Siswa), fotokopi, alat peraga penunjang pendidikan, uang koperasi, uang OSIS, iuran
peringatan hari besar keagamaan, camping, uang les/tambahan pelajaran, pendalaman
materi, ekstrakurikuler (ekskul), ulangan umum bersama (UUB), try out, uang study tour,
uang jajan, pensil berwarna, buku gambar besar, transportasi pergi dan pulang sekolah,
dan masih banyak lagi pengeluaran yang pada akhirnya membuat frustasi orang tua dan
siswa itu sendiri.
Besaran pengeluaran tersebut jelas lebih besar dibandingkan dengan uang SPP.
Contohnya, SPP untuk SD Rp 10.000/bulan atau Rp 120.000/tahun. Sementara untuk
membeli buku satu semester bisa Rp 300.000 – Rp 400.000, setahun mencapai Rp
800.000 atau hampir 7 (tujuh) kali lipat SPP.
Untuk kegiatan study tour, baik SD/MI, SMP/MTs, maupun SMTA
(SMA,SMK/MA) bisa jauh lebih besar dari jumlah pembayaran SPP untuk satu tahun.
Padahal, apabila kedua pengeluaran itu ditiadakan, maka hasilnya sama sekali tidak
mengurangi kualitas pendidikan, bahkan sebaliknya dapat membuat suasana belajar dan
mengajar lebih terarah dan nyaman. Dalam hal study tour, sekolah selalu berdalih bahwa
para murid sudah memiliki tabungan, tinggal membayar kekurangannya saja. Nyatanya,
bagi murid kelas VI SD dan kelas III SMP/MTs, setelah lulus ujian nasional (UN) masih
perlu biaya besar untuk melanjutkan ke SMP dan SMTA, sedangkan murid SMTA setelah
lulus perlu biaya sangat besar untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau mencari
kerja. Sebaiknya, tabungan dijadikan modal untuk melanjutkan sekolah atau bekerja.
Konsep program tabungan murid sendiri sudah saatnya dihilangkan, karena selain
merupakan salah satu bentuk inefisiensi, juga tidak tepat penggunaannya di sekolah. Kita
mengetahui, bahwa sekolah merupakan tempat belajar, bukan institusi/lembaga
perbankan atau keuangan. Apalagi, sebagian besar murid belum berpenghasilan sendiri.
Jadi, tidak ada yang bias ditabungkan di sekolah. Menabung uang yang diminta dari
orang tua sama saja dengan membebani orang tua, terutama yang memiliki anak
bersekolah lebih dari satu orang. Kenyataannya, dalam banyak kasus, tabungan murid
sering ditilep para guru. Selain memalukan, juga merugikan masyarakat.
Dari banyak kasus, kegiatan study tour tidak memberikan manfaat manfaat sama
sekali bagi para murid, sebaliknya semakin menumbuhkan kepribadian dan mentalitas
santai serta kebiasaan suka menghamburkan uang. Bahkan kejadian kecelakaan lalu lintas
di SMK Yapemda, Sleman (2003) dan SMA di Surabaya, malah membawa bencana
kematian. Ironisnya, sebagian besar kepala sekolah dan para guru tidak peduli dan tidak
pernah mau relajar dari fenomena tersebut.
Pungutan resmi lainnya yang sering kali mengatasnamakan sekolah dan menjadi
keluhan orang tua adalah besaran biaya daftar ulang. Selain jumlahnya yang terus
meningkat setiap tahunnya, konsep daftar ulang sendiri tidak jelas. Dalam Surat Pembaca
Kompas, 2 Agustus 2005 lalu, yang ditulis orang tua murid di Cianjur, Jawa Barat,
mengeluhkan jumlahnya yang mencapai Rp 625.000, bahkan di sekolah lain ada yang
Rp3.000.000, dimana hal ini menunjukkan daftar ulang itu terjadi di hampir semua
sekolah.
Di Yogyakarta, misalnya seorang tukang becak mengeluhkan (Kompas,14/7/
2005) besarnya biaya daftar ulang anaknya di SMPN 16 sebesar Rp 265.000, sedangkan
biaya daftar ulang anaknya yang lain di SMKN jurusan pariwisata mencapai Rp 365.000.
Yang semakin membuat tukang becak itu pusing karena dalam surat edaran sekolah
disebutkan, bila hingga Sabtu (Kompas,16/7/2005) tidak membayar daftar ulang, maka
anaknya dianggap mengundurkan diri. Sungguh suatu perbuatan kejam.
Memang beban orang tua selalu menumpuk pada bulan pertama tahun ajaran
baru, karena baik untuk kelas I maupun kelas di atasnya menuntut pelunasan semua
pembayaran. Selain daftar ulang, biaya yang harus dikeluarkan orang tua pada bulan
pertama tahun ajaran baru juga termasuk pembelian seragam, buku paket, buku tulis, tas,
sepatu, dan SPP dua bulan (Juli-Agustus). Sudah menjadi tradisi sekolah, SPP Agustus
harus dilunasi saat masuk sekolah bulan Juli. Kepala sekolah dan guru seperti tidak
pernah memiliki anak, sehingga tidak memiliki empati pada tanggung jawab orang tua
murid yang bertambah memasuki awal bulan pertama sekolah.
Penumpukan beban pada bulan pertama tahun ajaran baru inilah yang membuat
orang tua enggan menyekolahkan anaknya. Mereka sebenarnya masih punya utang tutup
tahun ajaran bagi anaknya yang baru lupus SD/SMP. Banyak kasus, orang tua masih
berutang ke sekolah saat anaknya dinyatakan lupus SD/SMP/SMTA dan semua utang
harus dilunasi sebelum meninggalkan sekolah. Bila tidak dilunasi, maka ijazahnya akan
ditahan. Akibatnya, orang tua banting tulang untuk membayarnya. Mereka belum sempat
bernafas lega, tiba-tiba langsung dibebani biaya besar untuk memasuki jenjang
pendidikan lebih tinggi. Sulit bagi orang tua miskin, karena bila mereka tidak
menyekolahkan anaknya akan dipersalahkan oleh anak, lingkungan sekitar, dan
pemerintah. Tetapi, bila menyekolahkan, maka beban mereka amat berat. Jelas beban
berat itu bukan untuk murni pembiayaan pendidikan berkualita, tetapi untuk program
sekolah yang tidak jelas relevansinya.
Apabila semua bentuk pengeluaran yang tidak efisien ditiadakan, barangkali
semangat orang tua menyekolahkan anak tetap tinggi. Permasalahannya, siapa yang bisa
meniadakan ? Atas nama otonomi daerah, bahkan Menteri Pendidikan Nasional pun tidak
bisa lagi campur tangan (intervensi) ke sekolah.

Anda mungkin juga menyukai