Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa)
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).
2. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :

a. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)


b. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
c. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
d. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

3. Etiologi
a. Diabetes tipe I :

 Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA.
 Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu
otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
 Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta.

b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
 Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
 Obesitas
 Riwayat keluarga
4. Patofisiologis
Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan
seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan
proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi
tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan
neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta
meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related
metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut
kemungkinan karena aged related insulin resistance atau aged related insulin
inefficiency sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor
genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor
genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan,
kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat
muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin
pada jaringan sasaran.
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:
 Penurunan aktifitas fisik
 Peningkatan lemak
 Efek penuaan pada kerja insulin
 Obat-obatan
 Genetik
 Penyakit lain yang ada
 Efek penuaan pada sel

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin sehingga terjadi


gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi
perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan
glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih
tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan
pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa
hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi
hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan
glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut
Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH)

5. Tanda dan Gejala


Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan
akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM
lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena
katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan
luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal


yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau
bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang
dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu
tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien
DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut.
Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan
timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi,
kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang
biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat
banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi
sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala
kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak
lebih jelas.
Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi
penampilan klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan
menyelinap. Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu
bahwa mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti
polidipsi dan poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan
peningkatan nilai ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat
badan, kelelahan dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut
usia, berakibat tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti
dehidrasi, konfusio, inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM
merupakan gejala-gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk
bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga
dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang
mengatur okulomotorik. Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari
kemungkinan adanya DM.
Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai
pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital.
Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark
miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat
tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar
intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut
usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic
akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan
osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita
mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti
hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik.
Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya
disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas
tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan
fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia
(pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis
osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan
trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak selalu meningkat
tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyaj, yang lebih aterogenik.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM
(mg/dl).

Kadar glukosa darah sewaktu

 Plasma vena :
o <100>
o 100 - 200 = belum pasti DM
o >200 = DM
 Darah kapiler :
o <80>
o 80 - 100 = belum pasti DM
o > 200 = DM

Kadar glukosa darah puasa

 Plasma vena :
o <110>
o 110 - 120 = belum pasti DM
o > 120 = DM
 Darah kapiler :
o <90>
o 90 - 110 = belum pasti DM
o > 110 = DM

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)


2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

7. Penatalaksanaan
Pengelolaan DM pada lanjut usia
Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
a. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
b. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
c. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
d. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
e. Membuat berat badan menjadi ideal
f. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
g. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik


fisik, psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin
dan terpadu.
Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut.
Target yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c
<7%, dan ini sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala
seperti:
- Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua
- Adanya penyakit komorbid
- Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik
- Penurunan fungsi kognitif penderita  meningkatnya resiko hipoglikemi
- Adanya polifarmasi  meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain
dengan obat-obat antihiperglikemik
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa ibat atau
sering disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi:
1) Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan
sesuai penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada.
Komposisi normal biasanya 60-65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-
20% lemak. Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B
komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi.
Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian
makanan pada lansia dengan diabetes:
Akses terhadap makanan:
o Disabilitas fungsional
o Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
o Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan
makanan
o Sumber daya keuangan yang terbatas
o Asupan makanan:
o Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
o Gigi yang buruk dan atau xerostomia
o Kebiasaan makan yang sudah berakar
o Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
Fungsi kognitif yang menurun

2) Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan
disuruh berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak
dapat, bisa dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip
terapi olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula
darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi
makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum
turun atau terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat
antihiperglikemik.
3) Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja
pendek, mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar
tidak terjadi efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi
penderita dalam memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam
jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat
anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan
keadaan klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang
dipilih adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau
thiazolidinedione, karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah
juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati
atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai.
Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena
dapat menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin
secretagoue (repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan
berat badan normal.
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe
1, DM tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan
penyakit akut berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2
dengan penyakit komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2
dengan operasi yang lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan
malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik (ketoasidosis diabetik,
hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan hamil.1,4,5
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak
melakukan langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan
edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita.
Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan
terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen
antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang
diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah
komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang
dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama
untuk: evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan
financial serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak
memperhatikan hal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau
kebosanan penderita diabetes untuk terus berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap
penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM
dan penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus
dilakukan secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus
sesuai dengan keadaan penderita saat itu.
8. Komplikasi DM pada lanjut usia
Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara
lain penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non
ketotk) dan kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika
dan penyakit kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari
diabetesnya (nephropati, retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler
(penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang
mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih
berat pada penderita diabet.
9. Prognosis DM pada lanjut usia
Kesehatan penderita usia 75 tahun mempunyai harapan hidup sekitar 10
tahun, oleh karen aitu harus diterapi secara agresif seperti pada penderita usia
muda untuk menurunkan resiko komplikasi. Bagaimanapun juga harapan hidup
penderita lebih pendek, tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
komplikasi akut, yang mana terutama terjadi pada penderita lanjut usia.
Pada pasien ini, dari anamnesis yang mengarah ke gejala kencing manis
hanya didapatkan keluhan poliuri (buang air kecil banyak). Dari pemeriksaan fisik
tidak didapatkan pemeriksaan yang mengarah pada gejala diabetes melitus, hanya
didapatkan tanda komplikasi diabetes, yaitu infeksi saluran nafas (ronkhi basah
halus) dan adanya infeksi saluran kemih (nyeri kostovertebra).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan Keluarga


Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
2. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi
insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa
saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
3. Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
4. Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas,
ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan
darah
5. Integritas Ego
Stress, ansietas
6. Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
7. Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus,
penggunaan diuretik.
8. Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parestesia,gangguan penglihatan.
9. Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
10. Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
11. Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

B. Masalah Keperawatan

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan


2. Kekurangan volume cairan
3. Gangguan integritas kulit
4. Resiko terjadi injury

C. Intervensi

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein,
lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
o Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
o Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien.
o Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung,
mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan
keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
o Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya
melalui oral.
o Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan
indikasi.
o Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat
kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang,
cemas, sakit kepala.
o Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
o Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
o Kolaborasi dengan ahli diet.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,
nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin
tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
o Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
o Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
o Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
o Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
o Pantau masukan dan pengeluaran
o Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari
dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
o Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
o Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB,
nadi tidak teratur
o Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa
dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik
(neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan
penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :

o Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge,


frekuensi ganti balut.
o Kaji tanda vital
o Kaji adanya nyeri
o Lakukan perawatan luka
o Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
o Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
o Hindarkan lantai yang licin.
o Gunakan bed yang rendah.
o Orientasikan klien dengan ruangan.
o Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
o Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.
DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC,
1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati,
Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih,
Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih,
Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi
ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai


Penerbit FKUI, 2002

http://klikclinickink.files.wordpress.com/2010/07/dm-pada-lansia.doc Diakses tanggan 23 September


2010

Anda mungkin juga menyukai