1.Urgensi Pengelompokan
Pengelompokan atau lazim dikenal dengan grouping didasarkan atas pandangan bahwa
disamping peserta didik tersebut mempunyai kesamaan, juga mempunyai perbedaan. Kesamaan-
kesamaan yang ada pada peserta didik melahirkan pemikiran penempatan pada kelompok yang
sama, sementara perbedaan-perbedaan yang ada pada peserta didik melahirkan pemikiran
pengelompokan mereka pada kelompok yang berbeda.
Jika perbedaan antara peserta didik satu dengan yang lain dicermati lebih mendalam, akan didapati
perbedaan antara individu dan perbedaan intra individu. Yang pertama berkenaan dengan berbedanya
peserta didik satu dengan yang lain dalam kelas, dan yang kedua berkenaan dengan berbedanya
kemampuan masing-masing peserta didik dalam berbagai mata pelajaran atau bidang studi.
Perbedaan antar peserta didik dan intra peserta didik ini mengharuskan layanan pendidikan yang
berbeda terhadap mereka. Oleh karena layanan yang berbeda secara individual demikian dianggap
kurang efisien, maka dilakukan pengelompokan berdasarkan persamaan dan perbedaan peserta didik,
agar kekurangan pada pengajaran secara klasikal dapat dikurangi. Dengan perkataan lain,
pengelompokan adalah konvergensi dari pengajaran sistem klasikal dan sistem individual.
Alasan pengelompokan peserta didik juga didasarkan atas realitas bahwa peserta didik secara terus-
menerus bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik satu dengan
yang lain berbeda. Agar perkembangan peserta didik yang cepat tidak mengganggu peserta didik yang
lambat dan sebaliknya (peserta didik yang lambat tidak mengganggu yang cepat), maka dilakukanlah
pengelompokan peserta didik . Tidak jarang dalam pengajaran yang menggunakan sistem klasikal,
peserta didik yang lambat, tidak akan dapat mengejar peserta didik yang cepat.
2.Makna Pengelompokan
Pengelompokan atau grouping adalah pengelompokan peserta didik berdasarkan karakteristik-
karakteristiknya. Karakteristik demikian perlu digolongkan, agar mereka berada dalam kondisi yang
sama. Adanya kondisi yang sama ini bisa memudahkan pemberian layanan yang sama. Oleh kerena itu,
pengelompokan (grouping) ini lazim dengan istilah pengklasifikasian (clasification).
Dengan adanya pengelompokan peserta didik juga akan mudah dikenali. Sebab, tidak jarang, peserta
didik di dalam kelas, berada dalam keadaan heterogen dan bukannya homogen. Tentu, heterogenitas
demikian, seberapa dapat diketahui tingkatannya sangat bergantung kemampuan diskriminan alat ukur
yang digunakan untuk membedakan. Semakin tinggi tingkat kemampun membedakan alat ukur yang
dipergunakan, semakin tinggi pula tingkat heterogenitas peserta didik yang ada di sekolah.
Adapun alat ukur yang lazim dipergunakan untuk membedakan peserta didik antara lain adalah tes.
Dalam hal ini, banyak tes yang dapat dipergunakan untuk membedakan peserta didik. Tes kemampuan
umum seperti tes kemampuan verbal dan numerikal, dapat dipergunakan untuk membedakan
kemapuan umum peserta didik. Tes keklerekan dapat dipergunakan untuk membedakan kecepatan
kerja dan kecermatan kerja peserta didik. Tes minat dapat dipergunakan untuk membedakan minat
yang dimiliki oleh peserta didik. Tes prestasi belajar dapat dipergunakan untuk membedakan daya serap
masing-masing peserta didik terhadap bahan ajaran yang telah disampaikan kepada peserta didik. Tes
kepribadian dipergunakan untuk membedakan integritas dan kepribadian peserta didik. Dan, masih
banyak lagi jenis-jenis tes lain yang dapat membedakan kemampuan peserta didik.
Pengelompokan yang didasarkan atas kemapuan adalah suatu pengelompokan di mana peserta didik
yang pandai dikumpulkan dengan yang pandai, yang kurang pandai dikumpulkan dengan yang kurang
pandai. Sementara pengelompokan dalam setting kelas adalah suatu pengelompokan di mana peserta
didik pada masing-masing kelas, dibagi lagi menjadi beberpa kelompok kecil. Pengelompokan ini juga
memberi kesempatan kepada masing-masing individu untuk masuk ke dalam lebih dari satu kelompok.
Adapun kelompok-kelompok kecil pada masing-masing kelas demikian dapat dibentuk berdasarkan
karakteristik individu. Ada beberapa macam kelompok kecil di dalam kelas ini, yaitu: interest grouping,
special-need grouping, team grouping, tutorial grouping, research grouping, full-class grouping,
combined- class grouping.
Menurut Regan (1996), ada 7 macam pengelompokan atau grouping. Pengelompokan yang
dikemukakan oleh Regan tersebut didasarkan atas realitas pendidikan di sekolah dasar. Ketujuh
pengelompokan tersebut adalah: the non grade elementary school, muli grade and multi age grouping,
the dual progress plan, self-contained classroom, team teaching, departementalisasi dan ability
grouping.
Sistem sekolah dasar tanpa tingkat ini, menggunakan sistem pengajaran secara kelompok, di mana
seorang guru melayani kelompok-kelompok yang anggota kelompok tersebut mempunyai kemajuan,
keinginan dan kebutuhan yang sama. Mereka mempunyai kesamaan demikian, tidak saja yang berada
satu angktan melainkan dapatbjuga dari angkatan tahun yang berbeda-beda.
1)Secara psikologis, kebutuhan peserta didik terpenuhi, karena tidak pernah dipaksa untuk
melaksanakan sesuatu ang dia sendiri tidak bisa, tidak suka dan tidak mampu.
2)Peserta didik tidak bosan, oleh karena pengajaran yang diberikan diesuikan dengan minat dan
kemampuannya.
3)Peserta didik akan dapat dibantu sesuai dengan tingkat dan keceptan perkembangannya.
4)Peserta didik akan puas, oleh karena apa yang ia dapatkan sesui benar dengan yang mereka inginkan.
5)Terdapat kerja sama yang baik antara peserta didik dengan gurunya, karena di antara mereka tidak
terjadi perbedaan interpretasi (mis-intepretation).
1)Sangat sulit pengadministrasiannya, karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang
berbeda-beda.
2)Menyulitkan mutasi peserta didik ke sekolah lain, terutama jika peserta didik harus pindah ke sekolah
lain yang menggunakan sisitem tingkat. Tidak hanya itu, peserta didik juga akan sulit mutasi jika di
sekolah lain tersebut, jenis pengelompokannya tidak sama dengan sekolah asal.
3)Tidak efisien, karena membutuhkan biaya, tenaga dan ruang kelas yang banyak. Tenaga yang tersedia
didasarkan atas jumlah kelas atau tingkat yang ada, melainkan berdasarkan banyaknya kelompok yang
relatif lebih banyak jumlahnya.
4)Membutuhkan guru yang tinggi tingkatan komitmen dan tingkat kecermatannya, sebab hanya
demikian akan dapat mengetahui karakteristik peserta didik secara individual.
5)Karena segalanya banak bergantung kepada peserta didik, maka sulit mengharapkan tercapainya
kompetensi yang diharapkan. Sebab, kompetensi haruslah dirancang berdasarkan seperangkat
pengalaman belajar tertentu.
2)Peserta didik yang berada pada tingkat-tingkat awal dan yang relatif lebih sedikit usianya akan dapat
belajar banyak kepada peserta didik yang lebih tinggi tingkatannya, dan lebih tua usianya.
3)Peserta didik yang usianya lebih muda dan lebih rendah tingktannya, jika mempunyai kemampuan
yang tinggi akan semakin mempunyai kepercayaan diri.
4)Heterogenitas peserta didik dalam pengelompokan demikian, akan mendorong kuatnya kompetisi
mereka. Hal demikian akan sangat menguntungkan bagi pemacuan prestasi.
2)Peserta didik yang lebih tinggi usianya dan lebih tinggi tingkatannya, akan menjadi malas jika
mendapati bahwa anggota kelompok lain yang berasal dari usia dan tingkat yang lebih rendah ternyata
tidak dapat berbuat banyak untuk kelompoknya. Sebaliknya, jika ternyata lebih tinggi kemampuannya,
akan merasa dirinantersaingi dan bisa menjatuhkan privacy-nya.
Dengan sendirinya, sistem pengelompokan demikian, sebanyak ragam dan heterogenitas peserta didik
di sekolah tersebut. Semakin heterogen kelompok semakin banyak; sebaliknya semakin homogen
semakin sedikit. Homogenitas dan heterogenitas demikian lebih diaksuentasikan kepada bakat peserta
didik. Dengan demikian, layanan yang diberikan oleh guru lebih banyak diaksuentasikan kepada bakat
khusus yang dimiliki oleh peserta didik tersebut.
Keuntungan sistem pengelompokan kemajuan rangkap demikian ini adalah sebagai berikut:
1)Guru lebih banyak mengenal peserta didiknya, oleh karena layanan yang diberikan bersifat individual.
2)Layanan yang diberikan oleh guru benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan, karena lebih diarahkan
pada pelayanan bakat khusus peserta didik.
3)Peserta didik semakin mengenal lebih dekat mengenai gurunya. Hal demikian sangat bermanfaat
terutama dalam hal memahami watak, kepribadian dan cara mengajarnya.
4)Peserta didik yang tampak menonjol bakat khususnya akan cepat maju oleh karena secepat mungkin
mendapatkan layanan dari gurunya. Kecepatan untuk maju ini juga didukung oleh layanan pembinaan
yang terarah dari gurunya terhadap bakat khusus yang tampak menonjol tersebut.
Sementara itu, kekurangan sistem pengelompokan kemajuan rangkap adalah sebagai berikut:
1)Layanan yang diberikan oleh guru kepada seluruh peserta didik menjadi terbatas. Disamping
disebabkan oleh jumlah kelompok yang sangat banyak, waktu guru yang terbatas banyak dihabiskan
untuk menyusun strategi penyampaian kepada masing-masing kelompok yang beraneka tuntutan dan
kebutuhan.
2)Peserta didik sedikit kemungkinannya untuk maju secara kontinyu oleh karena peserta didik tidak
memenuhi standar untuk naik tingkat harus mengulangi tugas-tugas guru sejak awal di tingkatnya.
4)Guru akan banyak membantu terhadap kelompok yang menjadi tanggung jawabnya.
5)Memungkinkan kompetisi yang sehat antara kelompok satu dengan kelompok lain, hal ini akan
memacu kemajuan kelompok.
3)Oleh karena guru lebih banak berkelompok dengan peserta didiknya yang menjadi kelompoknya
sendiri, bisa jadi guru terisolasi dengan sejawat guru yang lainnya.
4)Banyaknya bidang yang harus dikuasai oleh guru, mengharuskan guru mengadakan persiapan terus-
menerus, sehingga waktu guru lebih banyak dipergunakan untuk persiapan.
Dalam suatu tim, guru merancang pembelajaran secara bersama-sama dengan anggota timnya, dan
mengadakan pembagian yang jelas antara apa yang harus ia kerjakan sendiri, apa yang harus dikerjakan
oleh anggota tim yang lain, dan apa yang harus dikerjakan secara bersama-sama secara tim. Peserta
didik, dalam pembelajaran ini akan mendapatkan sesuatu dalam perspektif yang lebih luas, mengingat
sesuatu yang dipelajari, dikemukakan oleh guru dari berbagai macam perspektif keahlian.
2)Oleh karena merupaka kerja tim, maka jika guru yang satu berhalangan dengan mudah dapat
digantikan oleh guru lain yang tidak berhalangan; dengan demikian, tidak terjadi kekosongan guru.
2)Banyak waktu yang dipergunakan untuk merencanakan kerja tim, terutama jika disesuaikan dengan
kebutuhan individu peserta didik.
m.Departementalisasi
Yang dimaksud dengan departementalisasi adalah suatu sistem pengelompokan peserta didik, yang di
dalamnya guru hanya mengkhususkan diri pada mata pelajaran tertentu. Oleh karena guru hanya
mengkhususkan diri pada mata pelajaran tertentu, maka yang mereka ajarkan hanyalah mata pelajaran
tertentu juga.
2)Peserta didik mendapatkan pengetahuan yang dalam dan menyakinkan, oleh karena yang
memberikan adalah mereka yang benar-benar ahli di bidangnya.
2)Kecenderungan guru untuk merasa ahli di bidangnya bisa menjadi penyebab yang bersangkutan bisa
merasa tidak perlu belajar lagi. Hal ini akan menyebabkan guru tersebut semakin tertinggal dengan laju
pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk yang berada di bidangnya.
3)Guru cenderung menganggap bahwa keahliannya lebih penting dibangdingkan dengan keahlian orang
lain. Hal ini bisa menjadi penyebab dia berambisi secara sektoral terhadap ilmunya sendiri, dan lebih
lanjut ia menganggap bahwa keahliannyalah yang lebih penting untuk diajarkan. Ada efek pengiring
sikap guru ini terhadap peserta didiknya, yaitu peserta didik akan serupa dengan gurunya.
2)Peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih tingi, tidak merasa terhambat perkembangannya
oleh peserta didik yang berkemampuan rendah.
3)Peserta didik yang mempunyai kemampuan sama akan dapat saling mengisi, sehingga semakin
mempercepat perkembangan dan mempertinggi kemampuan mereka.
4)Peserta didik yang berkemampuan rendah tidak merasa tertinggal jauh dengan anggota kelompoknya,
hal ini bisa menjadikan mereka frustasi.
Kelemahan ability grouping adalah:
1)Guru harus membuat persiapan yang berbeda-beda, ada rancangan pembelajaran yang dikhususkan
untuk peserta didik berkemampuan rendah, dan ada yang dikhususkan untuk peserta didik yang
berkemempuan tinggi.
2)Peserta didik merasa terganggu privacy-nya jika dimasukkan kedalam kelompok inferior.
3)Peserta didik yang masuk ke dalam kelompok superior merasa dirinya lebih dan sombong serta suka
membanggakan diri.
Sapartinah Pakasi, melaluai eksperimentasi di Sekolah Dasar Laboratorium IKIP Malang (kini Universitas
Negeri Malang), mengelompokkan peserta didiknya berdasarkan prestasi belajarnya di kelas.
Pengelompokan demikian ia namai dengan achievement grouping. Dengan adanya pengelompokan
demikian, maka peserta didik yang berprestasi tinggi dikelompokkan dengan peserta didik yang
berprestasi tinggi, sementara yang berprestasi rendah, dikelompokkan ke dalam yang berprestasi
rendah.
Ada tiga macam pengelompokan yang didasarkan atas achievement grouping ini, yaitu: kelompok untuk
peserta didik yang cepat berpikir, kelompok untuk peserta didik yang sedang dan kelompok untuk
peserta didik yang lambat belajar. Yeager (1994) mengemukakan bahwa pengelompokan dapat
didasarkan atas fungsi perbedaan. Pengelompokan menurut fungsi integrasi adalah pengelompokan
yang didasarkan atas kesamaan-kesamaan yang ada pada peserta didik. Pengelompokan tersebut
meliputi, yang didasarka atas umur, jenis kelamin, dan sebagainya. Pengelompokan ini melahirkan
pembelajaran yang bersifat klasikal.
Pengelompokan yang didasarkan atas fungsi perbedaan adalah yang diaksentuasikan pada perbedaan
individual peserta didik. Pengelompokan menurut fungsi perbedaan demikian, melahirkan pembelajaran
individual.
Hendyat Soetopo (1982) mengemukakan empat dasar pengelompokan peserta didik, yaitu: friendship
grouping, achievement grouping, aptitude grouping, attention or interest grouping dan intelegen
grouping.
Ada kecenderungan, pengelompokan demikian menjadikan peserta didik yang pandai cenderung
memilih temannya yang pandai sebagai anggota kelompoknya. Tidak jarang, mereka yang tidak pandai
juga mendapatkan angota kelompok yang tidak pandai. Pada hal, kualitas suatu kelompok ditentukan
juga oleh bobot masing-masing anggotanya.
http://www.khusnuridlo.com/2010/07/pengaturan-pengelompokan-peserta-didik.html
Oleh: Purwanto
Latar Belakang
Demi mengejar target nilai perolehan UAS/UASBN, tidak sedikit sekolah yang menerapkan
metode ‘one-shot and quick-fix’ proses sekali jadi dan bagus hasilnya. Untuk di sekolah dasar,
metode ini diterapkan di kelas enam dengan asumsi bahwa siswa kelas enam adalah siswa yang
diharapkan dapat mengangkat prestasi dan prestise sekolah. Prestasi berarti tercapainya nilai-
nilai akademik mata pelajaran-mata pelajaran khususnya yang di-UASBN-kan, sedangkan
prestise dalam kaitannya dengan mengangkat nama baik sekolah dan nilai jual sekolah.
Kebijakan sekolah dengan metode seperti ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , khususnya
Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 yang menerangkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendaliaan
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara..
Di samping itu, metode ‘one-shot and quick-fix’ tidak lagi seusai dengan karakter pembeajaran
yang diharapkan mampu mengubah perilaku dan pendewasaan siswa melainkan sudah mengarah
pada ‘penjejalan materi’ yang bagi siswa menjadi dogma yang harus diikuti. Siswa hanya ‘di-
drill’ dengan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan langsung dengan materi-materi ujian.
Interaksi antara guru dengan siswa terbatas pada pemecahan soal-soal ujian. Siswa dianggap
sebagai ‘robot’ yang dapat diprogram sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh guru.
Proses belajar-mengajar berlangsung sangat kaku dan kurang manusiawi. Siswa dianggap sebagi
‘botol’ yang harus terus diisi dengan pengetahuan. Siswa dianggap berhasil jika materi-materi
ujian itu cepat dikuasai. Sebaliknya, siswa dianggap gagal jika belum menguasai materi yang
diberikan guru.
Salah satu bentuk metode ‘one-shot and quick-fix’ adalah pemisahan siswa berdasarkan
kemampuan akademisnya yang lebih dikenal dengan istilah ‘ability grouping’.
Secara obyektif program AG akan memberikan kondisi pada suasana belajar yang ideal dan
kondusif untuk mencapai tujuan pragmatis dalam belajar. Hal ini tampak dari hasil evaluasi
belajar siswa yang memiliki kemampuan homogen / sama akan dengan mudah menerima
masukan / materi pelajaran. Potensi akademik yang homogen akan memberikan respon hasil
belajar yang homogen pula. Guru dengan mudah menyampaikan materi, selanjutnya siswa akan
menanggapi dalam proses belajar dengan lebih mudah. Pada akhirnya prestasi akademik siswa
akan mudah termonitor dan mudah pula melakukan perlakukan-perlakuan khusus dalam rangka
perbaikan atau pengayaan.
Baik siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial tinggi (pintar) ataupun siswa yang
terkelompok sebagai siswa berpotensial rendah (kurang pandai), akan dengan mudah termonitor
oleh guru. Perlakuan guru dalam proses pembelajaran yang homogen di dua kelompok tersebut
akan meningkatkan prestasi siswa.
Ada anggapan bahwa dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui pendidikan kita tidak lagi
mempersoalkan posisi (institusi) pendidikan. Mungkin karena ilmu pengetahuan itu sendiri
dianggap netral, dengan sendirinya proses belajar-mengajar pun kemudian dianggap netral dan
selalu mengandung kebajikan.
Menuru pengamatan penulis (melalui wawancara, diskusi sesama guru, perolehan nilai) program
AG memang berhasil menjadikan anak pandai semakin cepat menguasai pelajaran dan siswa
yang kurang pandai pun dapat diangkat prestasinya, minimal jika dibandingkan dengan kelas
heterogen. Guru pun menemukan metode yang tepat sesuai dengan bidang pelajaran dan jenis
kelasnya.
Dampak Penerapan AG
1. Terjadi dikotomi ‘anak pandai-anak bodoh’
Anak-anak cenderung bergaul sesuai dengan kelasnya. Mereka agak menjaga jarak dengan
sesama teman yang berbeda kelas. Anak pandai akan lebih banyak bergaul dengan anak pandai
dan anak kurang pandai akan bergaul dengan anak yang kurang pandai. Guru pun seolah
memberikan label bahwa si A anak pandai karena nilai-nilainya bagus sedangkan si B anak
bodoh karena niai-nilainya jelek.
2. Kesenjangan sosial meningkat
Interaksi sosial yang kurang baik menyebabkan banyak masalah kecil yang idak jarang
memunculkan masalah serius. Sikap sinis dan mudah curiga dari masing-masing grup
menimbulkan letupan-letupan yang menjurus pada ketidakstabilan suasana pembelajran di
sekolah. Tidak jaran terjadi pertengkaran bahkan perkelahian antara anak yang pandai dan
kurang pandai yang bermua dari saling ejek dan saling meninyindir.
3. Tidak memupuk rasa ‘convidient’
Siswa kurang pandai merasa tersisih dan kurang percaya diri. Cap bahwa ia ‘bodoh’ seolah
sudah melekat pada dirinya yang menjadikan ia tampak canggung dan merasa serba salah. Hal
ini kadang diperparah dengan sikap guru yang kadang melontarkan perkatan-perkataan tidak
pada tempatnya, seperti:
a. Coba seperti si A itu, ia selalu dapat nilai di atas 9.
b. Contohlah si A ia selalu rajin belajar
c. Jangan seperti si B sudah bodoh, malas lagi
1. Kebutuhan Fisiologis
2. Kebutuhan Rasa Aman
3. Kebutuhan Harga Diri
4. Penghargaan dari pihak lain
5. Pengetahuan dan Pemahaman
6. Kebutuhan Estetik
7. Kebutuhan Akatualisasi Diri
Kesimpulan
1. Program AG dari sisi proses belajar mengajar adalah baik dan kondusif dalam rangka
mencapai tujuan belajar. Siswa terpacu dan tertantang untuk lebih maju lagi. Target pencapaian
nilai akan lebih mudah tercapai. Siswa menemukan pola pebelajara yang sesai dengan tingkat
kemampuannya. Guru dapat menerpakan metode yang tepat untuk kelas tepat.
2. Dalam kerangka tujuan pendidikan ideal, yaitu pengembangan aspek pengetahuan, sikap dan
perilaku motorik (sosial) harus diperhatikan. Kondisi siswa yang homogen khususnya kelompok
berkemampuan tinggi , apabila memang dibentuk/ diprogramkan maka perlu adanya bimbingan
khusus bagi siswa yang mengalami persoalan dengan masalah sosialnya.
3. Program AG dapat memicu kerawanan sosial di sekolah jika tidak diantisipasi dengan baik,
yang melibatkan seuruh koponen sekolah.
4. Penerapan program AG harus bisa mengubah paradigma siswa, bahwa siswa itu mempunyai
kecerdasan majemuk, tidak hanya terbatas pada kecerdasan bidang akademik saja.
Dehumanisasi Pendidikan
Dalam novelnya Brave New World yang ditulis pada 1931, Aldous Huxley
bercerita mengenai rekayasa genetika di masa depan untuk
mengelompokkan anak manusia berdasarkan tingkat kecerdasan menjadi
lima jenis mulai dari Alfa Plus, Beta sampai dengan Epsilon. Dengan
kecerdasan dan kemampuan super, manusia jenis Alfa Plus menempati
posisi penting dalam masyarakat dan mendapatkan berbagai privilese.
Sebaliknya, manusia Epsilon bertubuh kerdil dan bodoh sehingga mereka
harus puas bisa bekerja sebagai penjaga lift atau tangga berjalan. Setiap
manusia merasa puas dengan kemampuan dan peran masing-masing dalam
masyarakat karena memang sudah dikondisikan demikian sejak proses
penciptaan di laboratorium. Proses pembelajaran dan kondisi emosional
anak dikontrol melalui mesin dan obat-obatan. Alhasil, masyarakat di dunia
baru ini memang nampak teratur. Tidak ada kekacauan, kejahatan, atau
bahkan protes.
Rencana pemerintah untuk membagi anak di sekolah dalam dua jalur
pendidikan formal (standar dan mandiri) sudah memancing respon dari
kalangan pendidik (Kompas, 7 April 2005 dan 13 April 2005).
Pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis dan finansial ini
akan membawa dampak sangat serius bagi proses pendidikan anak-anak
bangsa dan perubahan dalam masyarakat.
Pengelompokan Akademis
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan kemampuan
akademis (ability grouping) baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar
sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan yang
kontroversial di kalangan para pendidik. Pencarian di mesin pencari Google
dengan kata kunci ability grouping menghasilkan hampir dua juta artikel dan
situs. Para pendidik yang mendukung praktek ini menyebutkan kemudahan
bagi para pengajar untuk mefokuskan pengajaran pada satu tingkatan
kemampuan siswa dan menyesuaikan kecepatan pengajaran dengan
kebutuhan kelompok yang homogen. Selain itu, anak-anak "pandai"
seharusnya diberikan tantangan lebih dan kesempatan untuk maju lebih
cepat dari rekan-rekannya yang kurang pandai.
Bila seluruh kelas yang ada di sebuah sekolah dibentuk berdasarkan kemampuan,
prosesnya disebut between-class ability grouping (pengelompokkan antar kelas
berdasarkan kemampuan) atau tracking, praktik yang lazim diterapkan sekolah
menengah dan sebagian sekolah dasar. Meskipun di permukaan cara ini adalah
cara mengajar yang efisien, penelitian secara konsisten menunjukkan meskipun
segregasi berdasarkan kemampuan mungkin menguntungkan siswa berprestasi
tinggi, tetapi cara itu menimbulkan masalah bagi siswa yang berprestasi rendah.
...........Kelas-kelas berkemampuan rendah cenderung menerima pembelajaran
dengan kualitas yang secara umum lebih rendah. Guru menekankan tujuan
pembelajaran yag lebih rendah dan prosedur yang rutin, dengan fokus akademik
yang kurang. Track- yang lebih rendah seringkali memiliki jumlah yang tidak
proporsioal untuk siswa-siswa kelompok minoritas dan yang secara ekonomis
kurang beruntung. Jadi ability grouping (pengelompokkan berdasarkan
kemampuan) dapat mengakibatkan segresi di sekolah. Bahkan pertemananpun
mungkin menjadi terbatas pada siswa-siswa dengan rentang kemampuan sama.
Tugas-tugas kelas sering kali dibuat berdasarkan hasil Tes IQ dan bukan
berdasarkan hasil tes di bidang subjek tertentu.
...........Baru-baru ini ada gerakan untracking, atau mengajar semua siswa di
kelompok-kelompok dengan kemampuan yang bervariasi (campuran), tetapi
memberikan bantuan ekstra bagi mereka yang mengalami kesulitan dan
pengayaan bagi mereka yang belajar lebih cepat.
Dari dua kondisi di atas dapat dikatakan bahwa setiap keputusan dan kebijakan
yang diambil apakah dengan strategi tracking atau untracking bergantung pada
bagaimana tujuan yang akan digulirkan, karena masing-masing strategi memiliki
keunggulan dan kelemahan.
...........Ada sebagian yang berpendapat bahwa metode untracking dapat
merugikan siswa, seperti jika tracking dieliminasi akan mematikan siswa-siswa
yang memiliki track tinggi. Ada yang mengidentifikasikan bahwa jika siswa
dengan track yang rendah ditempatkan di kelas-kelas heterogen dan bukan di
kelas dengan track rendah pula, maka mereka akan mengalami penurunan
prestasi, mereka akan kehilangan 2 poin persentase prestasinya jika ditempatkan
di kelas yang heterogen.
...........Sebaiknya pengelompokkan kelas ini berdasarkan kebutuhan belajarnya,
yang disebut pengelompokkan fleksibel. Asesmen dilakukan terus menerus
sehingga siswa selalu bekerja dalam zona perkembangan proksimalnya.
Pendekatan pengelompokkan fleksibel sering mencakup pembelajaran tingkat-
tinggi dan ekspektasi tinggi untuk semua siswa, apapun penempatan
kelompoknya.
...........Cara penggunaan pengelompokkan fleksibel lainnya adalah nongraded
elementary school. Siswa dengan beberapa tingkat umur (misalnya, 6, 7, dan 8
tahun) disatukan dalam satu kelas, tetapi mereka dikelompokkan secara fleksibel
di kelas itu untuk pembelajaran berdasarkan prestasi, motivasi, dan minat dalam
subjek-subjek yang berbeda. Tetapi ini bekerja di tingkat menantang, dan dapat
dikuasai dengan usaha dan dukungan, yang paling berperan adalah mendorong
belajar dan motivasinya
Ability grouping (selanjutnya disingkat AG) adalah adalah pengelompokkan siswa dalam kelas yang sama berdasarkan kemampuan
akademiknya. Siswa yang tingkat penguasaan akademiknya baik, dijadikan satu dan dipisahkan dengan kelompok siswa yang
tingkat penguasaan akademiknya kurang baik.
Asumsi penerapan AG adalah bahwa siswa yang pandai memerlukan layanan pembelajaran yang berbeda dengan siswa yang
kurang pandai. Anggapan ini didasarkan bahwa siswa yang pandai cenderung lebih cepat menerima pelajaran dan lebih mudah
menerima pelajaran dibandingkan dengan siswa yang kurang pandai. Jika kedua kelompok yang berbeda tingkat penguasaannya
ini dijadikan satu, maka akan terjadi ketimpangan dalam penerimaan pelajaran.
Bentuk ketimpangan itu adalah siswa yang cepat menguasai pelajaran harus menunggu pada siswa yang kurang cepat menguasai
pelajaran sampai siswa tersebut menguasai pelajaran. Demikian juga gurunya, guru tidak bisa menerapkan satu cara dalam satu
kelas yang sama. Akibatnya, baik siswa maupun guru sama-sama mengalami kesulitan.
Secara obyektif program AG akan memberikan kondisi pada suasana belajar yang ideal dan kondusif untuk mencapai tujuan
pragmatis dalam belajar. Hal ini tampak dari hasil evaluasi belajar siswa yang memiliki kemampuan homogen / sama akan dengan
mudah menerima masukan / materi pelajaran. Potensi akademik yang homogen akan memberikan respon hasil belajar yang
homogen pula. Guru dengan mudah menyampaikan materi, selanjutnya siswa akan menanggapi dalam proses belajar dengan lebih
mudah. Pada akhirnya prestasi akademik siswa akan mudah termonitor dan mudah pula melakukan perlakukan-perlakuan khusus
dalam rangka perbaikan atau pengayaan.
Baik siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial tinggi (pintar) ataupun siswa yang terkelompok sebagai siswa berpotensial
rendah (kurang pandai), akan dengan mudah termonitor oleh guru. Perlakuan guru dalam proses pembelajaran yang homogen di
dua kelompok tersebut akan meningkatkan prestasi siswa.
Ada anggapan bahwa dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui pendidikan kita tidak lagi mempersoalkan posisi (institusi)
pendidikan. Mungkin karena ilmu pengetahuan itu sendiri dianggap netral, dengan sendirinya proses belajar-mengajar pun
kemudian dianggap netral dan selalu mengandung kebajikan.
Menuru pengamatan penulis (melalui wawancara, diskusi sesama guru, perolehan nilai) program AG memang berhasil menjadikan
anak pandai semakin cepat menguasai pelajaran dan siswa yang kurang pandai pun dapat diangkat prestasinya, minimal jika
dibandingkan dengan kelas heterogen. Guru pun menemukan metode yang tepat sesuai dengan bidang pelajaran dan jenis
kelasnya.
Dampak Penerapan AG
1. Terjadi dikotomi ‘anak pandai-anak bodoh’
Anak-anak cenderung bergaul sesuai dengan kelasnya. Mereka agak menjaga jarak dengan sesama teman yang berbeda kelas.
Anak pandai akan lebih banyak bergaul dengan anak pandai dan anak kurang pandai akan bergaul dengan anak yang kurang
pandai. Guru pun seolah memberikan label bahwa si A anak pandai karena nilai-nilainya bagus sedangkan si B anak bodoh karena
niai-nilainya jelek.
2. Kesenjangan sosial meningkat
Interaksi sosial yang kurang baik menyebabkan banyak masalah kecil yang idak jarang memunculkan masalah serius. Sikap sinis
dan mudah curiga dari masing-masing grup menimbulkan letupan-letupan yang menjurus pada ketidakstabilan suasana
pembelajran di sekolah. Tidak jaran terjadi pertengkaran bahkan perkelahian antara anak yang pandai dan kurang pandai yang
bermua dari saling ejek dan saling meninyindir.
3. Tidak memupuk rasa ‘convidient’
Siswa kurang pandai merasa tersisih dan kurang percaya diri. Cap bahwa ia ‘bodoh’ seolah sudah melekat pada dirinya yang
menjadikan ia tampak canggung dan merasa serba salah. Hal ini kadang diperparah dengan sikap guru yang kadang melontarkan
perkatan-perkataan tidak pada tempatnya, seperti:
a. Coba seperti si A itu, ia selalu dapat nilai di atas 9.
b. Contohlah si A ia selalu rajin belajar
c. Jangan seperti si B sudah bodoh, malas lagi
1. Kebutuhan Fisiologis
2. Kebutuhan Rasa Aman
3. Kebutuhan Harga Diri
4. Penghargaan dari pihak lain
5. Pengetahuan dan Pemahaman
6. Kebutuhan Estetik
7. Kebutuhan Akatualisasi Diri
Kesimpulan
1. Program AG dari sisi proses belajar mengajar adalah baik dan kondusif dalam rangka mencapai tujuan belajar. Siswa terpacu
dan tertantang untuk lebih maju lagi. Target pencapaian nilai akan lebih mudah tercapai. Siswa menemukan pola pebelajara yang
sesai dengan tingkat kemampuannya. Guru dapat menerpakan metode yang tepat untuk kelas tepat.
2. Dalam kerangka tujuan pendidikan ideal, yaitu pengembangan aspek pengetahuan, sikap dan perilaku motorik (sosial) harus
diperhatikan. Kondisi siswa yang homogen khususnya kelompok berkemampuan tinggi , apabila memang dibentuk/ diprogramkan
maka perlu adanya bimbingan khusus bagi siswa yang mengalami persoalan dengan masalah sosialnya.
3. Program AG dapat memicu kerawanan sosial di sekolah jika tidak diantisipasi dengan baik, yang melibatkan seuruh koponen
sekolah.
4. Penerapan program AG harus bisa mengubah paradigma siswa, bahwa siswa itu mempunyai kecerdasan majemuk, tidak hanya
terbatas pada kecerdasan bidang akademik saja