Anda di halaman 1dari 3

Sensory Base Description : The Power Of Words!

Dalam memberikan pelatihan mengenai Covert Persuasion atau Hypnotic Persuasion, saya sering
mendapatkan pertanyaan “Benarkah kata-kata memiliki kekuatan mempengaruhi?”

Untuk menjelaskan pertanyaan itu, biasanya saya menjawab dengan metafora, agar langsung
terasa bagaimana sebuah kata-kata bisa mempengaruhi. Salah satu kisah favorit saya adalah
mengenai “Seorang Pemuda Yang Menggampar Nenek-nenek”. Saya mendapat kisah ini dari
salah satu milis humor, entah penulisnya siapa. Jika penulisnya mampir ke blog saya , dengan
senang hati saya akan berterima kasih kepada Anda, dan meminta ijin pemakaian kisah tersebut.
Dibawah ini saya ceritakan kepada Anda kisahnya, dengan berbagai perubahan sehingga menjadi
lebih sensory base description.:

Seorang pemuda sedang berada di sidang pengadilan karena tuduhan menggampar berkali-kali
seorang nenek-nenek di dalam kereta api. Saat diminta penjelasan kenapa ia memukuli nenek-
nenek itu ia menjelaskan demikian :

“Begini Pak Hakim, saya minggu lalu sedang naik kereta api Senja Ekonomi dari Jakarta ke
Surabaya. Setelah naik dan menunggu, maka sesaat saya sempat merasa senang karena kursi
sebelah saya terlihat kosong tiada yang menduduki. Namun saat sudah mau berangkat lantas naik
seorang nenek-nenek yang membawa tas besar berwarna merah kotak-kotak, dan duduk begitu
saja tanpa mengucapkan kata permisi ataupun kata lainnya. Saya dianggap sepi saja. Mulai terasa
hilang kesenangan saya!”

“Saat saya menyapanya dan menawarkan bantuan untuk mengangkat dan meletakkan tas besar
berwarna merah kotak-kotak itu ke atas bagasi, nenek-nenek itu menolak dengan ketus dan
memandang saya dengan tatapan mata curiga. Bahkan ia malah menaruh tas itu di antara kursi
dan menindih kaki saya sepanjang perjalanan. Ya sudah saya masih mengalah sekalipun tas itu
terasa berat dan kaki saya sakit sekali.”

“Yang paling mengesalkan adalah saat kondektur datang di stasiun Jatinegara. Saat kondektur
meminta tiketnya, nenek-nenek itu tangannya bergerak cepat membuka tas merah besarnya dan
kemudian mengeluarkan buntalan kain besar berwarna abu-abu di dalamnya, di dalam buntalan
kain itu lantas di ambilnya tas tangan yang sudah kusam. Sambil melotot ke saya, dari dalam tas
tangan itu lantas dikeluarkannya gulungan saputangan, dan kemudian dari dalam gulungan
saputangan itu tersimpan dompet kecil bergambar corak Jepang, setelah dompet itu dibuka,
terdapat sebuah amplop berwarna coklat tua. Kemudian ia membuka amplop itu dan di dalamnya
ia keluarkan tiket kereta api yang dilipat-lipat sangat rapi itu.”

“Setelah melihat kertas tiket itu dibubuhi tanda oleh kondektur itu lagi, tanpa bersuara apapun
nenek itu kembali melipat tiketnya, memasukkan ke dalam amplop, menutup amplop dan
memasukkan ke dalam dompet kecil yang lantas digulung dengan sapu tangan kemudian
dimasukkan ke dalam tas tangan. Setelah itu, ia masukkan tas tangan itu ke dalam buntalan kain
besar. Lantas sambil menggumam tidak jelas namun bernada amat puas, ia kemudian
memasukkannya buntalan kain besar itu ke dalam tas besarnya. Kemudian tas besar itu kembali
diletakkan menindihi kaki saya. Saya sudah ceritakan bagaimana rasa sakitnya kaki saya!”
Pak Hakim lantas menyela : “Lantas kenapa kamu gamparin nenek-nenek itu? SUngguh kurang
ajar kamu pemuda gagah beraninya ama nenek-nenek…!”

Pemuda itu menjawab : “Sebentar Pak Hakim, kisahnya belum selesai, itu baru permulaan.
Setelah melewati stasiun Jatinegara kereta api Senja Ekonomi berjalan lagi, kemudian berhenti
lagi di stasiun Bekasi. Saat kereta mulai berjalan, kembali kondektur itu mendatangi setiap
penumpang dan meminta tiket kami termasuk si nenek-nenek itu. “

“Saat diminta tiketnya oleh kondektur itu, nenek-nenek itu tangannya bergerak cepat membuka
tas besarnya kemudian mengeluarkan buntalan kain besar berwarna abu-abu di dalamnya, di
dalam buntalan kain itu lantas di ambilnya tas tangan yang sudah kusam. Lantas lagi-lagi sambil
melotot ke saya, dari dalam tas tangan itu lantas dikeluarkannya gulungan saputangan, dan
kemudian dari dalam gulungan saputangan itu tersimpan dompet kecil bergambar corak Jepang,
setelah dompet itu dibuka, terdapat sebuah amplop berwarna coklat tua. Kemudian ia membuka
amplop itu dan di dalamnya ia keluarkan tiket kereta api yang dilipat-lipat sangat rapi itu.”

“Setelah melihat kertas tiket itu dibubuhi tanda oleh kondektur, lagi-lagi tanpa bersuara apapun
nenek itu kembali melipat tiketnya, memasukkan ke dalam amplop, menutup amplop dan
memasukkan ke dalam dompet kecil yang lantas digulung dengan sapu tangan kemudian
dimasukkan ke dalam tas tangan. Setelah itu, ia masukkan tas tangan itu ke dalam buntalan kain
besar. Lantas sambil menggumam tidak jelas namun bernada amat puas, ia kemudian
memasukkannya buntalan kain besar itu ke dalam tas besarnya. Kemudian tas besar itu kembali
diletakkan menindihi kaki saya lagi. Tentunya saya sudah tidak perlu mengulang, karena saya
sudah ceritakan bagaimana rasa sakitnya kaki saya!”

“Kereta berjalan terus dan kini memasuki Stasiun Kerawang, sebenarnya saya sudah tertidur
beberapa saat saat tiba-tiba dibangunkan lagi oleh gesekan tas besar yang diangkat oleh si nenek.
Rupanya kembali kondektur sedang memeriksa tiket penumpang lagi. Si Nenek itu kembali
tangannya bergerak cepat membuka tas besarnya kemudian mengeluarkan buntalan kain besar
berwarna abu-abu di dalamnya, di dalam buntalan kain itu lantas di ambilnya tas tangan yang
sudah kusam. Kembali sambil memelototi saya, dari dalam tas tangan itu lantas dikeluarkannya
gulungan saputangan, dan kemudian dari dalam gulungan saputangan itu tersimpan dompet kecil
bergambar corak Jepang, setelah dompet itu dibuka, terdapat sebuah amplop berwarna coklat tua.
Kemudian ia membuka amplop itu dan di dalamnya ia keluarkan tiket kereta api yang dilipat-
lipat sangat rapi itu.”

“Setelah melihat kertas tiket itu dibubuhi tanda oleh kondektur, kembali tanpa bersuara apapun
nenek itu kembali melipat tiketnya, memasukkan ke dalam amplop, menutup amplop dan
memasukkan ke dalam dompet kecil yang lantas digulung dengan sapu tangan kemudian
dimasukkan ke dalam tas tangan. Setelah itu, ia masukkan tas tangan itu ke dalam buntalan kain
besar. Lantas sambil menggumam tidak jelas namun bernada amat puas, ia kemudian
memasukkannya buntalan kain besar itu ke dalam tas besarnya. Kemudian tas besar itu kembali
diletakkan menindihi kaki saya lagi. Busyet nich ucap saya! Lagi-lagi Anda pasti bisa merasakan
sendiri bagaimana jika kaki Anda yang ditindih seperti itu, sakitnya!”
Mendengar kisah itu, keruan saja Sang Hakim marah, mengetuk palu secara keras berkali-kali
dan berteriak geram sekali :

“Saudara jangan main-main dan mengacau ya! Saya sebagai Hakin betul-betul terhina dan marah
besar!!!! Ini pengadilan yang terhormat! Saya bisa menuntut saudara sebagai pelecehan, atau
delik penghinaan institusi peradilan!”

Pemuda itu membalas dengan berteriak berang sekali seolah tak mau kalah :

“Pak Hakim, Anda baru mendengarkan cerita saya saja sudah marah-marah dan mengancam
saya dengan berbagai hukuman yang kejam! Apalagi jika Anda yang mengalaminya sendiri!!!
Padahal itupun belum semua saya ceritakan, bayangkan masih ada berapa puluh lagi stasiun
pemberhentian kereta Senja Ekonomi sehingga saya sampai di Surabaya?!!!! Jadi apa Anda
masih mau menuntut saya dan masih juga heran kenapa saya menggampari nenek-nenek
tersebut?!!”

Hwaqiqiqiqiqiq…, (mode geli : on)

Saya rasa di sini sudah jelas, bagaimana suatu kisah yang diceritakan secara sensory base
description, akan mampu mempengaruhi pendengarnya bahkan menjadi emosional. Terus
bagaimana jika sudah dibumbui dengan proper tonality, misal ditambah dengan embedded
command yang menggunakan analog marking ataupun tonality shifting? Plus tambahkan
gesture, spatial anchor dan yang lainnya?

Wuih, kok banyak bener istilah NLP yang aneh-aneh, jadi pengin ngerti deh! Biar bisa
mempengaruhi juga….

Untuk info lebih lengkap tentang NLP klik : www.belajarNLP.com

Anda mungkin juga menyukai