Anda di halaman 1dari 5

# Latar belakang # Tentang pemberlakuan kembali UUD 1945

Sejak diumumkannya pemberlakuan UUD-RI yang pertama tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia telah Sementara itu, pemberlakuan kembali UUD 1945 (Dekrit Presiden, 5 Juli 1959) mengantikan UUDs 1950,
melakukan tiga kali penggantian konstitusi, Konstitusi UUDs (sementara) 1945, konstitusi UUDs RIS, dan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan keras dan tidak mengenal lelah KSAD, Jenderal A.H Nasution, yang
konstitusi UUDs 1950, kemudian melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945 (tidak lagi menghendaki kembali diberlakukannya UUD pertama RI tersebut. Kembali ke UUD 1945 diyakini,
tercantum istilah ‘sementara’). Sementara itu terhadap pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang khususnya oleh kalangan militer (AD), sebagai solusi mengatasi instabilitas politik yang terjadi sejak
didasarkan atas UUDs 1945/UUD 1945 tanpa perlu menambah, mengurangi, ataupun mengubah diberlakukannya UUDs 1950 yang bersifat ‘parlementer’ dan menganut demokrasi liberal sebagai hal-hal
pasal/pasal-pasal dimungkinkan untuk terjadinya interpretasi yang berbeda antara rezim pemerintahan yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Parlemen yang terlalu kuat dan demokrasi liberal terbukti hanya
yang satu dengan rezim pemerintahan yang lainnya. Demikianlah dalam era yang berbeda bisa dan membuahkan sistem pemerintahan yang labil. Dalam kondisi semacam itu pemerintah (kabinet) tidak
dimungkinkan terjadi perbedaan ‘wajah’ pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang diakibatkan oleh pernah bisa bekerja secara maksimal karena selalu dirongrong oleh kalangan oposisi. Jatuh bangunnya
interpretasi yang berbeda atas UUD yang sama, UUD 1945. kabinet yang seakan tidak kunjung usai itu diyakini sebagai penyebab instabilitas politik, yang pada
gilirannya menjadikan program pembangunan (ekonomi) menjadi terlantar. Pemberlakuan SOB artinya
Adakah multi tafsir hanya terjadi atas UUDs 1945/UUD 1945. Hal yang kurang lebih sama sesungguhnya Negara dalam keadaan Darurat Militer (14 Maret 1957) tetap tidak meredakan kemelut dan konflik politik
terjadi pula pada UUDs 1950. Persepsi yang terbangun hingga kini adalah bahwa UUDs 1950 bersifat yang melanda negeri (pemberontakan PRRI, Permesta, dll). Namun seperti apa yang telah disinggung di
parlementer yang dilaksanakan diatas norma demokrasi liberal. Namun benarkah UUDs 1950 bersifat atas, bahwa pelaksanaan berbangsa dan bernegara dalam bingkai UUD 1945 sepertinya selalu
parlementer, mengingat sejumlah pasal UUDs-1950 begitu besar memberikan hak dan kewenangan pada menghadirkan ‘wajah’ berbeda antara rezim yang satu dengan rezim yang lainnya.
Presiden a.l., hak membentuk kabinet lewat formatur yang ditunjuk Presiden, Presiden berhak membentuk
departemen, Menteri bertanggungjawab pada Presiden, Presiden berhak membubarkan DPR (DPR tidak # UUD 1945 di era Soekarno
memiliki hak mosi tidak percaya). Bahkan atas kekuasaan yang sangat besar tersebut konstitusi seakan
memperkokoh sekaligus memproteksinya melalui ketentuan, dan ini mengherankan, bahwa “Presiden (dan Pelaksanaan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, di era Soekarno (1959-1966) dimulai
Wakil Presiden) tidak bisa diganggugugat” (pasal 83.1). Setidaknya lebih mendekati kebenaran apa yang dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin yang dikatakan sebagai yang sesuai dengan budaya bangsa,
dijelaskan oleh Prof Supomo (Menteri Kehakiman saat itu) bahwa “UUDs 1950 bersifat presidensial” menggantikan sistem demokrasi liberal yakni sistem yang tidak bisa menciptakan harmoni dalam
(Tolchah: 1983). Bila demikian halnya maka adakah masih relevan premis yang menyatakan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam prakteknya publik kemudian mengenal makna hakiki
parlementer tidak sesuai dengan Indonesia, padahal UUDs 1950 bersifat presidensial. Demokrasi terpimpin adalah diberlakukan dan diterapkannya suatu sistem pengambilan keputusan yang
bersifat top-down. Maka sebagai konsekuensi logis dari sistem semacam itu pemilu (yang bersifat bottom-
# Tentang Maklumat No. X. up) memang tidak perlu dan tidak mungkin diberlakukan. Di sisi lain militer yang memiliki karakter dan
penganut sistem top-down (sistem komando) memang merasakan kepentingan yang sama, militer
Hanya berselang kurang dari tiga bulan sejak diberlakukannya UUDs 1945 (18 Agustus 1945) Pemerintah mendukung penuh penerapan Demokrasi Terpimpin (Nasution, B.: 2001, 44-45).
RI mengeluarkan Maklumat No. X (16 Oktober 1945), yang kerap dibaca dengan sebutan Maklumat Eks.
Dengan diberlakukannya maklumat tersebut maka terjadi perubahan sifat pemerintahan yang semula Penerapan UUD 1945 di era Soekarno adalah dilaksanakannya sistem pemerintahan yang tidak
bersifat presidensial menjadi bersifat parlementer (pertanyaannya adalah benarkah UUDs 1945 asli memberlakukan pembagian/pemisahan kekuasaan berdasarkan asas Trias Politika. Seluruh institusi atau
bersifat presidensial bila Presiden dipilih dan bertanggungjawab pada lembaga negara, bukan langsung lembaga-lembaga utama negara diposisikan sebagai bagian dari fungsi dan/atau alat eksekutif. Pimpinan
pada rakyat - penulis) dan KNIP diperankan sebagai parlemen sementara hingga terbentuk parlemen hasil lembaga, dengan strata kepangkatan yang berbeda, ditetapkan sebagai menteri. Ketua MPR/DPR adalah
pemilu. Berdasarkan maklumat tersebut pemerintahan sehari-hari (fungsi dan peran eksekutif) WMP (Wakil Menteri Pertama/Wakil Perdana Menteri), Wk. Ketua MPR adalah Menko (Menteri Koordinator)
dilaksanakan oleh kabinet di bawah kepemimpinan seorang Perdana Menteri (PM) yang bertangungjawab , Wk. Ketua DPR adalah Menko (Menteri Koordinator), Wk. Ketua DPA adalah Menko (Ketua DPA
pada Parlemen. Sejarah mencatat, bahwa perundingan-perundingan antara pemerintah RI dengan dirangkap oleh Presiden), Ketua BPK adalah Menko, dan Ketua Mahkamah Agung, Pangad, Pangal,
pemerintah Kerajaan Belanda, hingga dicapainya persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar), dilaksanakan Pangau, dan Pangak, adalah Menteri. (Tolchah: 1983, 80-85). Di era ini seluruh pejabat tinggi lembaga-
dalam bingkai konstitusi produk maklumat dimaksud. Terlepas dari kontroversi yang di kemudian hari lembaga negara dipilih dan diangkat oleh Presiden. Seluruh kekuasaan mengerucut pada satu tangan,
muncul, apabila mencermati proses kelahirannya sulit untuk tidak mengakui bahwa Malumat No. X (nomor tangan Presiden. Presiden menunjuk, memilih dan/atau mengangkat anggota pimpinan legislatif, memilih
sepuluh angka Romawi, merujuk pada bulan kesepuluh saat dikeluarkannya maklumat tersebut) dan/atau mengangkat Ketua Mahkamah Agung. Kesemuanya dimungkinkan karena Presiden selain
sesungguhnya adalah terobosan cerdas para founding fathers atas pemerintahan (implementasi UUDs sebagai Panglima Tertinggi, seperti memang diamanatkan oleh konstitusi adalah Pemimpin Besar Revolusi
1945) yang, oleh situasi dan kondisi, belum memiliki cheks and balances system, menjadi sistem dan seluruh elemen negara diposisikan sebagai Alat Revolusi. Fungsi jabatan yang terakhir ini boleh
pemerintahan yang memiliki checks and balances system. dikatakan sebagai ‘unsur pengabsah’ atas tindakan apapun yang dilakukan Presiden baik yang tercantum
atau tidak tercantum dalam konstitusi. Pada akhirnya hukum besi sejarah yang selalu berlaku pula pada
rezim otoriter yakni lemah dan lesunya perekonomian negara terjadi pula di sini. Seiring dengan makin
memburuknya perekonomian negara rezim Soekarno tumbang.
# UUD 1945 di era Soeharto konglomerasi). 32 tahun kekuasaan Orde Baru adalah tetap berlakunya sistim politik otoritarian, yang kali
ini bersifat militeristis. Rezim ini akhirnya tumbang (1998) dipicu oleh sebab yang sama yang dialami rezim
Rezim baru yang mengantikan, menjuluki dirinya sebagai Orde Baru, mengumandangkan slogan “Ekonomi sebelumnya, ambrolnya fondasi perekonomian negara. Orde Baru meninggalkan 4-masalah besar yang
Yes” dan “Politik No!”. Selanjutnya rezim ini, yakni rezim militer yang didukung oleh kaum teknokrat sipil, perlu disikapi bangsa. Pertama, Utang Negara dan Swasta (yang telah menempatkan Indonesia sebagai
berjanji “akan melakukan koreksi total terhadap kesalahan yang dilakukan Orde Lama” (demikian Orde negara no 3 pengutang terbesar di dunia. Kedua, SDA habis, menipis, atau terikat kontrak jangka panjang
Baru menamakan rezim yang digantikannya) dengan cara “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara yang kemudian diperparah oleh kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA yang tidak terkendali. Ketiga,
murni dan konsekuen”. Melalui doktrin politik Dwi Fungsi ABRI, peran dan kiprah militer tidak terbatas ancaman (proses) desintegrasi bangsa. Keempat, ketidakjelasan menghadapi era Globalisasi (Ranadireksa,
pada wilayah politik, namun telah merambah dan mendominasi ke seluruh kehidupan sipil, ekonomi, H.: 2000, 81).
budaya tidak terkecuali pendidikan. Kiprah militer (AD), sudah merupakan conditio sinne qua non.
# Tentang UUD 1945 produk Amandemen
Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen diterjemahkan dengan diterapkannya
Demokrasi Pancasila. Namun ternyata, dalam prakteknya, Demokrasi Pancasila hampir tidak berbeda Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pudar pula nilai ‘kesakralan’ UUD 1945. Kaum reformis
dengan Demokrasi Terpimpin yakni diterapkannya suatu sistem pengambilan keputusan yang bersifat top- mulai mengumandangkan tuntutan kepada pemimpin pengganti Pak Harto, Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie,
down. Hal yang memang wajar karena sistem tersebut sesuai dengan budaya komando yang dianut agar UUD 1945, yang selalu saja menghadirkan kediktatoran agar dirombak total. Tarik menarik antara
militer. Untuk mensosialisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam butir-butir Pancasila (versi Orde yang menginginkan perombakan (yang umumnya berada di luar MPR) dengan yang enggan melakukan
Baru), diberlakukan Program (wajib) P4 (Pedoman Penghayatan & Pengamalan Pancasila) untuk seluruh perubahan (umumnya anggota MPR yang berada di dalam MPR) akhirnya melahirkan Amandemen
warganegara. Sementara di sisi lain, sejarah Pancasila dibiarkan dalam posisi bias antara Soekarno Pertama UUD 1945. Proses tari menarik antara yang menginginkan perombakan menyeluruh dengan yang
sebagai ‘penggali’ Pancasila dengan Moh. Yamin yang mulai dipopulerkan sebagai pihak yang lebih dahulu tetap enggan melakukan perubahan berbuah ‘produk kompromi’ demi ‘kompromi’, UUD 1945 Amandemen
membacakan butir-butir Pancasila dalam sidang BPUPKI. Berbeda dengan Pancasila yang dibiarkan II (2000), Amandemen III (2001) ,hingga Amandemen IV (2002). Produk yang terakhir ini oleh Ketua MPR
‘mengambang’, UUD 1945 justru diposisikan sebagai produk founding fathers yang telah sempurna. kala itu, Prof. Dr. Amien Rais, disebut sebagai produk masterpiece.
Artinya tidak terbuka sekecil apapun ‘celah’ bagi yang berkehendak untuk mengubah atau
menyempurnakannya. UUD 1945 menjadi sesuatu yang ‘sakral’ atau ‘disakralkan’. Seiring dengan makin tidak jelasnya pola dan sistem konstitusi yang berlaku dan diberlakukan di
Indonesia, kini, terhadap UUD 1945 produk Amandemen IV mulai muncul gugatan. Sebagian tidak puas
Tidak berbeda dengan sebelumnya, Orde Baru juga menempatkan Presiden sebagai figur sentral. karena menilai amandemen yang dilakukan telah keluar dari porsi yang seharusnya. Amandemen IV,
Presiden, selain sebagai Panglima Tertinggi, adalah juga sebagai Mandataris MPR (yang diartikan bahwa menurut kalangan ini, tidak berbeda dengan membuat UUD yang baru samasekali a.l. karena sifat
MPR telah menyerahkan mandat yang dimilikinya kepada Presiden ‘yang dipilih’ lembaga tersebut). presidensial konstitusi telah beralih menjadi parlementer yang menempatkan legislatif menjadi terlalu
Presiden dalam versi Orde Baru adalah Pemegang Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang dengan itu dominan. Artinya bukan amandemen. UUD 1945 Amandemen IV terlalu didominasi kepentingan partai-
Presiden memiliki kekuasaan mutlak bisa melakukan tindakan kenegaraan apapun yang dianggap perlu, partai yang berkuasa. Sementara yang lain menilai bahwa UUD 1945 masih belum berhasil menghadirkan
tanpa harus berkonsultasi dengan atau memperoleh persetujuan dari lembaga tinggi negara yang kerangka dasar konstitusi secara lebih jelas selain dari sistematika penyusunan pasal yang dipaksakan
manapun. Di wilayahpolitik praktis Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas organiasi (non?) untuk tetap 37-pasal (sesuai dengan UUD 1945 yang asli) juga sejumlah pasal berisikan materi yang akan
politik terkuat dan terbesar dalam kancah perpolitikan yakni sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar tetap menghadirkan kerawanan pemerintahan seperti, pemilu legislatif mendahului pemilu presiden (Ps.
(penentu akhir kebijakan organisasi). 22 E) yang bernuansa parlementer, Presiden dan Wakil Presiden (fungsi ‘dwitunggal’) bisa berasal dari
kubu yang berbeda [Ps. 6A (2)] , Presiden/Wakil Presiden, selagi memangku jabatan, dimungkinkan diadili
Keanggotaan MPR di era Orde Baru berasal dari dua sumber, yang dipilih lewat pemilu dan yang dipilih dalam perkara pidana (Ps. 7). Dll.
dan diangkat oleh Presiden. Anggota MPR/DPR faksi ABRI diangkat Presiden demikian pula anggota MPR
yang berasal dari Utusan Golongan diangkat presiden, sementara anggota MPR yang berasal dari Utusan # Tentang pergantian konstitusi
Daerah diperankan oleh Pangdam, Gubernur, Kajati, Kapolda, dan Ka DPRD dari masing-masing Provinsi.
Berbeda dengan Orde Lama yang tidak memberlakukan pemilu, Orde Baru menghadirkan kembali pemilu Pergantian konstitusi yang dialami Indonesia terjadi sebanyak tiga kali, yakni dari UUDs 1945 ke UUDs RIS
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, walau terbatas pada pemilu untuk memilih (sebagian) (31 Januari 1950-17 Agustus 1950), selanjutnya dari UUD RIS berganti menjadi UUDs 1950 (17 Agustus
anggota DPR, dan DPRD. Secara konsisten dan konsekuen rezim ini menyelenggarakan pemilu setiap lima 1950 -5 Juli 1959) dan UUDs 1950 berganti menjadi UUD 1945 (tanpa menyebut lagi sifat kesementaraan
tahun sekali, terlepas dari banyaknya keluhan dan sinisme masyarakat yang menilainya sebagai pemilu UUD tersebut). Yang menarik dari ketiga UUD tersebut apabila mengacu pada ‘apa yang seharusnya ada
rekayasa. dalam UUD seperti yang biasa dikenal dalam ilmu ketatanegaraan bahwa konstitusi demokratik sekurang-
kurangnya harus memuat tiga hal pokok yakni pertama, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan
Di bidang ekonomi, Orde Baru menterjemahkan Pasal 33 UUD 1945 (ekonomi berdasarkan asas warganegara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; ketiga,
kekeluargaan dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. (Sri Soemantri: 1987, 51).
negara) dengan menerapkan sistem ‘ekonomi terbuka’ (PMA, PMDN, swastanisasi BUMN, dan Maka terlepas dari pertimbangan atau alasan politik yang melatarbelakanginya hingga konstitusi RIS
praktis hanya ‘bisa bertahan’ delapan bulan, setidaknya yang perlu diakui adalah bahwa dibandingkan # Tentang amandemen UUD 1945
denganUUD yang lainnya (UUDs 1945 dan UUDs 1950), materi pasal UUDs RIS adalah yang paling
mendekati ‘apa yang disyaratkan dan perlu ada dalam konstitusi’. Hal ini sesungguhnya juga tidak Seperti diketahui benteng ‘kesakralan’ UUD 1945 yang demikian kokoh di era Orde Baru seakan runtuh
mengherankan apabila diingat bahwa proses pembuatan UUD tersebut telah melibatkan sejumlah tokoh pasca ‘Lengser Keprabon’-nya Pak Harto (21 Mei 1998). Kaum reformis menuntut perombakan total atas
yang berlatar belakang politik/ahli hukum/akademisi/teknokrat pergerakan (11 orang mewakili RI dipimpin UUD 1945 yang dinilai hanya membuahkan kediktatoran. Sementara pihak yang masih yakin akan
oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Mr. Muh Rum (selaku Ketua dan Wakil Ketua), 24 orang mewakili kesempurnaan UUD 1945, namun menyadari lemahnya posisi tawar mereka (saat itu), masih berhasil
Kerajaan Belanda dipimpin oleh Mr J.H. van Maarseveen, MR. D.U. Stikker, Dr. J.H. van Royen (selaku membuahkan kesepakatan yang bersifat kompromistis, ‘UUD 1945 tidak dirombak total melainkan secara
Ketua, Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II), termasuk 14 ahli ketatanegaan dari kalangan akademisi, 15 bertahap akan dilakukan amandemen atas UUD dimaksud’. Sejalan dengan waktu dan seiring dengan
orang mewakili BFO dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung dan Mr. Kosasih Purwanegara (selaku Ketua makin melemahnya posisi kaum reformis – yang memang tidak memiliki agenda jelas terhadap perubahan
dan Wakil ketua). (Tolchah: 1983, 39-40). – mulai muncul dan menguat kembali tuntutan untuk ‘Kembali ke UUD 1945 yang asli!’. Maka UUD 1945
yang hingga kini telah mengalami empat kali amandemen itu, kembali menjadi kontroversi. Seiring dengan
Apabila dicermati apa yang melatarbelakangi terjadinya pergantian konstitusi, maka akan dapat dirasakan lemahnya pelaksanaan demokrasi pasca Orde Baru mulai menguat kembali aspirasi politik yang ingin
bahwa pada umumnya berlatar belakang murni politik. Unsur penyebabnya bisa faktor eksternal bisa juga mengembalikan UUD 1945 sebagaimana aslinya. Kemelut poltik, lemahnya pemerintahan era pasca Orde
internal, Pergantian dari UUDs 1945 ke UUDs RIS adalah produk Konferensi Meja Bundar yang melibatkan Baru dinilai sebagai akibat dari diterapkannya UUD 1945 hasil amandmen (I s/d IV). Slogan-slogan seperti,
Republik Indonesia, Kerajaan Belanda, BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, yakni negara-negara “Tidak semua yang dilakukan Orde Baru buruk. Ambil yang baik dan tinggalkan yang kurang baik”,
yang kemudian menjadi anggota Republik Indonesia Serikat). Pergantian UUDs RIS menjadi UUDs 1950 “Perubahan tidak bisa serentak. Perubahan bersifat gradual”, “Reformasi kebablasan”, “Demokrasi
lebih dilatarbelakangi oleh faktor eksternal, Belanda. UUDs RIS dicurigai sebagai upaya devide et impera kebablasan”, “Indonesia tidak membutuhkan demokrasi, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang
Belanda agar masih tetap bisa ‘mengangkangi’ bekas jajahannya tersebut dalam ‘bentuk lain’, negara kuat”, dll.
serikat atau federasi. Sebagai akibat daripadanya adalah berkobarnya semangat akan persatuan dan
kesatuan yang ingin diwujudkan secara kongkret dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yakni,
bentuk negara kesatuan. Maka pemberlakuan UUDs 1950 adalah pemberlakuan kembali bentuk negara
kesatuan, harus dilihat sebagai wujud ‘perlawanan’ atas bentuk federasi produk KMB.
# Rekonstruksi sistem bernegara
Sementara pergantian UUDs 1950 ke UUD 1945 faktor penyebabnya lebih bersifat internal. Kembali ke
UUDS 1945 kendati bersifat lebih kompleks namun toh masih bisa dilihat ‘benang merah’ akan kuatnya Pertanyaannya adalah benarkah demokrasi belum diperlukan, benarkah demokrasi memerlukan waktu,
peran militer (AD) yang sejak lama menginginkan untuk dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan atau benarkah kepemimpinan yang kuat jauh lebih penting dari demokrasi. Dalam kondisi dan situasi yang
keputusan politik. Peristiwa penculikan sejumlah tokoh poltik termasuk tokoh militer (27 Juni 1946), seperti dialami saat ini, masihkah relevan slogan “Negara Kesatuan adalah harga mati!” (sementara
tekanan politik politisi sipil dan perwira tinggi militer (3 Juli 1946) yang memaksa Presiden Soekarno agar dimungkinkan provinsi tertentu memiliki sistem hukum sendiri) atau “Sistem Presidensial sudah final!”
membubarkan Kabinet Syahrir dan Amir Syarifuddin, peristiwa 17 Oktober 1952, yakni tuntutan militer (sementara partai-partai politik berkiprah sebagai layaknya partai dalam sistem parlementer), dari sudut
(AD) agar Presiden membubarkan parlemen, pemberontakan PRRI/Permesta, perjuangan KSAD, A.H. pandang siapa munculnya slogan-slogan semacam itu? Sejarah menghadirkan fakta bahwa dinamika
Nasution agar Presiden Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945, pertentangan keras antara Angkatan bahkan kemelut politik terjadi sejak Indonesia merdeka hingga kini, di era parlementer, era presidensial,
Darat dengan PKI hingga meletusnya peristiwa G 30 S, memperlihatkan dengan jelas, bahwa secara de era negara serikat, dan era negara kesatuan, di era Presiden dipilih MPR, dan di era Presiden dipilih
facto, telah sangat lama militer (AD) berkiprah dan berperan kuat di wilayah politik. Militer yang merasa langsung oleh rakyat. Sudahkah kita melihat bagaimana wajah ‘Arsitektur Konstitusi’, baik yang didasarkan
sebagai pemilik andil terbesar atas kemerdekaan RI yakni mempertaruhkan jiwa dan raga mengusir atas UUDs 1945 asli, UUDs RIS, UUDs 1950, UUD 1945 era Bung Karno, UUD 1945 era Pak Harto, UUD
penjajah tidak menghendaki hanya diperankan sebagai sekedar ‘pelaksana kebijakan politik’ produk politisi 1945 era Habibie, Gus Dur, Mega, hingga yang terakhir, yang sedang berlangsung, era SBY-Kala.
sipil (hal yang bisa diartikan bahwa kiprah militer jauh lebih berarti ketimbang kiprah kaum politisi sipil Bagaimana wajah Arsitektur Indonesia bila dipersandingkan dengan wajah Arsitektur Konstitusi
yang melakukan perjuangannya melalui perjuangan diplomatik, seperti perang propaganda dan melakukan Demokratik yang bersifat umum/universal baik ia bersifat parlementer ataupun bersifat presidensial.
perundingan demi perundingan). Di sisi lain persepsi bahwa militer tidak boleh mencampuri urusan politik, Adakah selama ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita mengenal istilah-istilah seperti
karena militer bukan institusi politik, tergerus oleh buruknya kinerja partai politik. Bahkan, seperti wilayah ‘can do no wrong’ , wilayah ‘might be wrong’, wilayah kepercayaan publik, wilayah karir, wilayah
dinyatakan oleh Daniel Lev, terjadi kondisi paradoks, bahwa justru partai politiklah (PNI, Masyumi, PSI, politik, domain sipil dan domain militer? Agaknya akibat tidak atau kurang dikenalnya istilah-istilah
Partai Katolik, dan Partai Kristen) yang makin memperkokoh kiprah militer dalam wilayah politik dengan tersebut kurang dikenal pula standar etika yang perlu dimiliki pejabat negara. Maka kehidupan berbangsa
ajakan mereka (pada militer) yang meminta Presiden agar membatalkan penyelenggaraan pemilu nasional dan bernegara sepertinya masih akan selalu diselimuti keguncangan dan/atau kemelut politik yang tidak
1959, yang diprediksi hanya akan dimenangkan PKI. Sebagaimana diketahui pada pemilu DPRD (Juni dan berkesudahan.
Juli 1957), PKI memenangkan suara hampir di semua wilayah pemilihan. (Baskara,T.W.: 2001, 166-167).
(Dikutip dari: Hendarmin Ranadireksa, ARSITEKTUR KONSTITUSI DEMOKRATIK, Fokus Media - Edisi
Kedua - 2010, Gambar: 8)
Kepustakaan: Catatan:
- Anshari, Endang Saifuddin, H, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Penerbit Pustaka – 1983. Makalah ini disajikan dalam: 1. Seminar Sehari dengan tema “Rekonstruksi Sistem Benegara” di Hotel
- Bagir Manan, H., Prof., DR., S.H., M.C.L., Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press – 2004. Savoy Homann Bandung, 15 Januari 2007, diselenggarakan oleh Yayasan Sri Soemantri bekerja sama
- Bambang Cipto, Drs., M.A., Prospek dan Tantangan Partai Politik, Pustaka Pelajar - 1996. dengan Yayasan Gema Pesan Bangsa; 2. Seminar Sehari di Universitas Pramita, Karawaci Banten, 3
- Baskara T. Wardaya (Editor), Mencari Demokrasi, Institut Studi Arus Informasi, 1999. November 2007; 3. Diskusi Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis Guru Besar (MGB) ITB
- Bonar Simangunsong, Ir., Drs., MSc. S.E. & Daulat Sinuraya, Ir., MM, Negara Demokrasi dan Berpolitik bekerjasama dengan Ikatan Alumni (IA) ITB dengan tema “Rekonstruksi Kehidupan Benegara di
Yang Profesional, Perpustakaan Nasional: Data Katalog Dalam Terbitan – 2004. Indonesia” di Gedung BPI-ITB, Jl. Surapati No. 1 Bandung, 10 November 2007; 4. Seminar Reaktualisasi
- Harus Alrasid, Prof, Dr., S.H., Naskah UUDS 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Penerbit Ketahanan Nasional menghadapi Ancaman Liberalisme, Separatisme, Bahaya Laten Komunis, dan
Universitas Indonesia – 2003. Penyalahgunaan Narkoba. Dalam Rangka 41 Tahun TRITURA. Rabu, 16 Januari 2008, di Grand Pasundan
- Ismail Suny, Prof., DR., S.H., M.C.L., Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru Jakarta – Convention Hotel, Jl Peta No. 147-149, Bandung.- Dimuat dalam: 1. Jurnal Universitas Pramita Indonesia
1986. Tahun 6. No. 11. Mei-Agustus 2007; 2. Jurnal Ilmu Pemerintahan "Public Sphere", Diterbitkan oleh:
- Kahin, George McTurnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (judul asli: Nationalism and Revolution Laboratorium Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung.
in Indonesia, alih basa: Nin Bakdi Soemanto), Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan Pustaka
Sinar Harapan, 1995.
- Mohtar Mas‘oed & Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press – 2000.
- Nasution, Adnan Buyung, Dr., Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Studi Sosio-Legal atas
Konstitusi 1956-1959 (penerjemah: Sylvia Tiwon), Grafiti – 2001.
- Padmo Wahjono, Prof., S.H. (editor), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (kumpulan tulisan),
Ghalia Indonesia – 1984.
- Ranadireksa Hendarmin, Visi Bernegara. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Penerbit Fokus Media
Bandung, 2007.
- Ranadireksa Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Penerbit Fokus Media Bandung, 2007.
- Ranadireksa, Hendarmin, Visi Bangsa. Gudang Pangan, Tujuan Wisata, Paru-paru DUNIA, PT Permata
Artistika Kreasi Depok – 2000.
- Ranadireksa, Hendarmin, Visi Politik. Amandemen UUD 45, Menuju Konstitusi Demokratik, Pancur Siwah
– 2002.
- Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (judul asli: A History of Modern Indonesia Since
1200, Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Sutrisno, Has Manadi), Serambi –
2005.
- Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam
Persiapan UUDS 1945, Grafiti, 1997.
- Siti Zainab Luxfiati (penyunting), Bung Tomo, Vokalis DPR 1956-1959 (Sebuah Dokumen Sejarah),
Yayasan Bung Tomo – 1998.
- Sri Soemantri M, Prof., DR., S.H., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni Bandung –
1987.
- Sri Soemantri, Prof., DR., S.H., Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUDS 1945, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti Bandung – 1983.
- Tolchah Mansoer, Mohammad, Dr., S.H., Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan Eksekutif dan
Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita – 1983.
- Wolhoff, G.J., Prof., Drs., Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara Republik Indonesia, Timun Mas Jakarta –
1960.
- 30 Tahun Indonesia Merdeka 1 & 2; 40 Tahun Indonesia Merdeka 3 & 4, Set. Neg. RI – 1995.
- UUD RI (sementara) – 1945, UUD RI S (sementara) – 1949, UUD RI (sementara) – 1950, UUD RI 1945
Amandemen I – 1999, UUD RI 1945 Amandemen II – 2000, UUD RI 1945 Amandemen III – 2001, UUD RI
1945 Amandemen IV – 2002.
Perbandingan uud 45, konstitusi ris dn uuds

Aspek : Sistematika Penulisan UUD


• UUD 45 : Pembukaan terdiri dari 5 alinea disebutkan: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara yang terbentuk dalam susunan Negara Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada….”.
• Konstitusi RIS : mukadimah terdiri dari 4 alinea disebutkan: Kemerdekaan disusun dalam suatu piagam
negara yang berbentuk Republik- Federasi (Alinea ke 3).
• UUDS : Mukadimah terdiri dari 4 alinea disebutkan: Kemerdekaan disusun dalam suatu piagam negara
yang berbentuk Negara Republik-Kesatuan.( alinea ke4)
Aspek : Mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan
• UUD 45 : Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik (pasal 1 ayat 1)
• RIS : RIS yang merdeka berdaulat ialah suatu negara okum yang demokrasi dan berbentuk federasi.
(dalam pasal I ayat 1).
• UUDS : Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara okum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan. (dalam pasal I ayat 1).

Aspek : dasar Negara


• UUD 45 : UUD 1945 tidak menjelaskan dengan terinci mengenai mana saja wilayah Inonesia itu.
• RIS : RIS meliputi seluruh daerah Indonesia yaitu daerah bersama
• UUDS : Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia (Pasal 2).
Aspek: Penjelasan Alat-alat kelengkapan Negara
• UUD 45 : MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan daerah dan golongan
menurut aturan yang ditetapkan UU, putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak, bersidang
sedikitnya sekali dalam 5 tahun di ibukota negara dan mentapkan UUD dan GBHN.
• RIS : Dalam konstitusi RIS tidak ada MPR
• UUDS : tidak ada MPR

Anda mungkin juga menyukai